Awalnya Regano tidak setuju dengan ide gila Meta yang ingin memancing kemarahan Edward. Menurutnya hal itu terlalu berbahaya untuk Meta dan calon bayinya. “Ini cara yang bisa aku lakukan, Gano. Kalau aku dan Edward gak bercerai sebelum kandunganku semakin besar, mereka bisa sadar dan menyingkirkan anak aku,” ucap Meta meyakinkan Regano. Gadis dengan gaun hitam selutut itu memperhatikan penampilannya sekali lagi. Tubuhnya tidak lagi seramping dahulu, mengharuskannya mengenakan pakaian yang lebih besar. “Aku janji gak akan minum wine kok. Aku tau batasan, Gano, tenang saja,” “Kamu tau batasan, bagaimana dengan bocah itu? Bagaimana kalau di melewati batasan, Ta?” cecar Regano masih khawatir. Masalahnya, Meta pergi bersama seorang pria yang baru dikenal. “Kalau begitu, kamu harus mendampingiku.” Kesepakatan dibuat. Regano ikut bersama gadis itu, tetapi harus mengawasi dari kejauhan. Seorang pria berjaket jeans tampak menghampiri Meta, menggenggam tangan gadis itu dan mengajaknya ke la
Meski gagal, tekad untuk berpisah dari Edward belum juga pudar. Setelah semalam bertengkar hebat dan bahkan mendapat luka baru, pagi ini pria itu justru bersikap manis padanya. Edward seperti menyesali perbuatannya, tapi gengsi untuk sekedar meminta maaf? Entahlah, hanya Edward dan Tuhan yang tau. “Bangun, setelah itu sarapan,” suruh Edward lebih lembut, mengusap kepala Meta agar gadis itu membuka mata. Pandangan keduanya bertemu, tidak satu pun yang berniat untuk mengalihkan pandangan. Keduanya saling menenggelamkan satu sama lain lewat tatapan. “Maaf udah buat kamu marah,” gumam Meta. Edward mengangguk kecil, membantu gadis itu untuk duduk. Pria itu mengangkat sedikit baju tidur yang Meta kenakan, lantas mengoleskan saleb ke luka akibat ulahnya. “Jangan diulangi. Kamu tau aku gak akan diam aja, melihat tingkah kamu kemarin,” Meta mengangguk kecil, sangat polos seperti anak kecil yang baru dinasehati orang tuanya. Gadis itu menurut saja, saat Edward malah mengangkat tubuhnya, me
Edward sadar akan kehilangan Meta saat melanggar sebuah kesepakatan yang dia buat dengan Regano. Pria itu meneguk wine yang ke sekian kalinya. Pintu ruangan yang terbuka menarik atensi pria itu. Dia terkekeh, menyadari berakhirnya sebuah permainan. Di tempat yang sama dengan kesepakatan itu dibuat, di situ pula dia akan mengakui kekalahannya.Regano mengambil posisi di hadapan Edward, menuang wine ke dalam gelas, lantas meneguknya hingga kandas.“Aku pikir kamu akan pergi bersenang-senang, bersama mereka yang tidak bisa memenuhi target,” ucap Regano membuka pembicaraan. Biasa kalau Edward sedang stress, pelariannya pasti memainkan alat-alat kesayangannya. Suasana hatinya akan kembali saat korbannya menderita dan memohon ampun padanya.“Aku tidak ingin dia semakin membenciku. Bukan, aku tidak ingin dia terseret dalam duniaku yang semakin gelap. Dia terlalu bersih untuk kuberi warna hitam,” ungkap Edward terkekeh, ada sekelibat rasa pedih yang tampak di mata pria itu.Regano menuang wi
Edward memutuskan untuk tidak pulang malam itu, memilih menginap di motel milik keluarganya. Setelah minum wine dan mabuk, dia benar-benar tertidur pulas, sampai Regano yang bersamanya begitu tidak tega. Bagaimana jika pada akhirnya Edward harus kehilangan Meta untuk selamanya. Apa Edward sungguh akan baik-baik saja? “Mau ke mana?” tanya Regano saat Edward mengambil kunci mobil serta ponselnya. Pria itu baru bangun, mencuci wajah dan hendak pergi. “Menemui Meta,” sahut Edward singkat. “Dia udah tau kebenarannya. Bukankah lebih baik kalau kamu tidak menemuinya sekarang. Dia mungkin akan melakukan hal gila,” ungkap Regano menahan kepergian Edward. Pria itu tetap sahabatnya. Regano juga jadi bimbang harus berada di pihak siapa. Dia tahu Meta pasti membenci Edward setelah mengetahui kenyataanya. Namun, di sisi lain, Edward juga hanya seseorang yang merasa bersalah dan menuntut balas ata kematian saudarinya sendiri. Edward terkekeh, menatap remeh pada Regano. “Kamu pikir akan sepengecu
Untuk pertama kalinya, Edward terbaring lemah dengan alat-alat rumah sakit yang menopang hidupnya. Alat pendeteksi detak jantung, menunjukkan bahwa putranya itu sedang berjuang, atau mungkin Edward ingin beristirahat sejenak.Pria itu pasti lelah dengan semua kesibukan dan beban yang harus dia tanggung sebagai seorang leader serta orang yang berpengaruh di world agency. Dari lantai dasar tanpak seorang wanita berjalan terburu-buru, menanyakan keberadaan putranya.Wanita itu adalah Azura, si paling merasa bersalah atas masa lalu. Namun, tidak bisa melakukan apa pun untuk memperbaiki kesalahannya. Azura melangkah lebar, air mata tidak berhenti membasai pipi wanita paruh baya tersebut. Baru kemarin, dia dan putranya berpergian bersama, setelah bertahun-tahun berlalu.“Di mana dia? Apa dia baik-baik saja?” cecar wanita itu. Ren menunjuk sebuah ruanga, di mana Edward dirawat.Azura menangis pilu, mendapati putranya yang berjuang di dalam sana.“Apa yang terjadi?”Ren menghela napas sejena
Dia harus melanjutkan hidup, apa pun yang terjadi. Di rumah baru yang tidak terlalu besar, Meta harus memulai hidup barunya. Sulit, apalagi setelah semua hal buruk yang menimpa akhir-akhir ini. Gadis dengan perut mulai tampak menonjol itu harus melakukan segalanya seorang diri. Sesekali Regano akan mengunjunginya, membantu gadis itu. Regano benar-benar menjadi dukungan terbesar yang dimilikinya untuk saat ini.Hanya Regano yang akan ada saat perutnya terasa sakit. Regano yang akan membantunya belanja kebutuhan bulanan. Edward? Meta memilih untuk pura-pura tidak tahu saja. Dia berusaha semaksima mungkin untuk tidak membahas pria itu yang entah bagaimana kabarnya saat ini. Entah pria itu meninggal atau justru masih berbaring di rumah sakit.Meta berusaha keras mengenyahkan masalah Edward dari dalam benaknya, bersikap seolah pria itu tidak pernah ada di skenario hidupnya yang berubah secara drastis. Meta akan menganggap jika bayi itu adalah anaknya dari seseorang yang tidak ingin dia ing
Suasana hati Meta memburuk setelah makan di luar bersama Regano. Rupanya dikenal dan dijadikan sebagai istri seseorang yang cukup berpengaruh kadang tidak nyaman. Mereka membicarakan Meta dan itu cukup mengganggu. Keberadaan Regano yang juga dikenal sebagai sahabat terdekat Edward justru semakin memperkerush suasana. Dikasih leader, kok milihny asisten? Jangan-jangan dia udah hamil sama orang kepercayaan Regano, makanya udah gak sama Edward lagi. Menjijikan! Kemarin kabur ke luar negeri, sekarang pergi bersama pria lain. Meta muak, tidak memiliki nafsu untuk makan. Dia juga tidak memiliki niatan untuk memberikan penjelasan. Orang-orang itu juga tidak akan mengerti apa yang Meta alami. Mereka juga tidak akan percaya jika Edward bukan leader seperti dalam benak mereka. “Aku masakin makanan aja ya,” tawar Regano. Meta yang tengah memejamkan mata di sofa hanya berdehem pelan. Untuk membuka mata saja gadis itu sangat enggan. “Ta,” panggil Regano. Meta akhirnya membuka mata. Kalau s
Dia mencintaimu, Nak. Pengakuan dari Azura terus mengganggu pikiran gadis itu. Dia menatap ke depan, pada sosok dosen yang tengah memberikan pembahasan materi, tetapi perhatiannya entah di mana. Pikirannya melayang-layang. “Untuk hari ini, kita hanya bahas tentang garis besar materi untuk satu semester, jadi silakan bentuk kelompok sendiri, lalu buat penjelasan terkait. Sekian untuk sore ini, selamat sore semua,” ucap sang Profesor, mengakhiri perkuliahan yang hanya berjalan sekitar setengah jam saja. Awal perkuliahan diisi hanya penjelasan terkait materi, selebihnya para mahasiswa/I yang akan membahas materi tersebut lebih lanjut, dalam bentuk tim. Terkait Alec, Meta baru tahu setelah masuk kuliah, kalau pria itu tidak lagi melanjutkan pendidikannya. Pilihan yang dibuat Regano saat itu. Meski Edward memerintah agar Alec dihabisi, Regano tidak sebodoh itu untuk mengikuti kemauan Edward. Lagipula Meta yang lebih dulu mengajak Alec, tanpa mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada.
Dua tahun berlalu begitu saja. Dengan sedikit bantuan dari world agency hukumannya bisa selesai lebih cepat. Dia kini bisa menghirup udara dengan bebas. Tangannya terentang, menyambut dunia barunya.Mobil hitam berhenti, membuat senyumnya semakin lebar.“Selamat datang kembali, Edward,” sapa Regano.Tidak ada embel-embel ‘tuan’ lagi, karena sejak hari itu mereka hanyalah saudara yang akan memulai hidup baru. Edward terkekeh, lantas masuk ke dalam mobil, mendahului sang supir.“Bagaimana keadaannya?”Sebulan yang lalu, dia akhirnya mendengar berita terbaiknya. Meta akhirnya bangun setelah tidur cukup lama. Edward sungguh berpikir tidak memiliki kesempatan untuk bersama wanitanya lagi. Namun, harapan itu sedikit memudar kala mengetahui kalau Meta kehilangan cukup banyak kenangannya.“Keadaannya mulai membaik, meski harus menjalani latihan untuk bisa berjalan lagi,” jelas Regano.Selain memori, Meta juga sempat tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya atau disebut lumpuh total. Sebulan t
Dia terlahir dengan julukan monster, tatapan benci bercampur rasa takut yang sering dijumpainya. Bukan hanya orang-orang, bahkan ibunya tak pernah mau menatapnya sebagai seorang putra. Bertahun-tahun, dia hidup dalam kegelapan. Edward Leonardo, namanya. Si pria berhati dingin dan beku. Tidak ada cinta, bahkan tidak ada rasa sedikit pun. Ditolak oleh orang-orang memaksa kepribadian gelapnya muncul. Asnaf adalah role model yang dia miliki, satu-satunya. Hanya Asnaf-yang sama dengannya- yang mau dekat dengan Edward. Asnaf membesarkannya dengan cara yang salah, hingga Edward tumbuh sesuai keinginan pria psikopat tersebut. Waktu berjalan begitu cepat. Edward yang tanpa perasaan, dinobatkan sebagai leader dalam organisasi besar dunia. Mafia yang akan mengambil organ milik orang lain yang tak mampu memenuhi target. Apa saja, termasuk hidup mereka jadi jaminannya. “Kamu hanya perlu menjalani hukuman penjara selama dua tahun, leader,” ucap Mr. Secret A. Tidak ada pilihan. Masalah sudah mera
Bagi Dion terlalu mudah mengakhiri rasa sakit hanya dengan membunuh Edward. Bertahun-tahu dia hidup dalam penderitaan setelah kehilangan gadis yang dia sayangi, sementara Edward terus beraksi tanpa takut sedikit pun. Kali ini, dia hanya ingin pria itu merasakan penderitaan yang sama dengannya. Dia ingin Edward merasakan ketakutan yang luar biasa. “Kamu pikir aku akan mudah melakukannya?” Dion terkekeh, menarik Meta agar mengikuti langkahnya. Tidak seorang pun berani melangkah. Meta menangis, menatap Adam yang semakin melemah. Dia sungguh ingin berlari dan memeluk pria tersebut. “Tolong Papa,” gumam Meta sebelum Dion memaksanya masuk ke dalam mobil. Edward menurut, menyuruh anak buahnya untuk segera membawa Adam ke rumah sakit. Dia dan Regano akan mengejar mobil yang Dion bawa. Di dalam mobil Meta hanya terus menangis, bukan karena dirinya dalam bahaya, melainkan karena takut tidak bisa melihat Adam lagi. “Kamu hebat! Aku akui itu. Kamu bisa membuat leader tergila-gila, bahkan tak
Kakinya terus melangkah, tanpa keinginan melihat ke belakang. Dia semakin jauh ke dalam kegelapan, ke tengah pepohonan yang semakin menjulang tinggi. Rasa takut kerap muncul. Namun, tekad untuk segera pergi dari tempat itu tak kalah besar. Dia terus melangkah lebar. Sebelah tangannya memegang satu-satunya pistol yang jadi alatnya untuk saat ini.Dor!Dia kembali menembak di salah satu pohon, memberi petunjuk. Dia sadar akan ada seseorang yang mencarinya nanti. Petunjuk itu akan membantunya untuk ditemukan lebih mudah.“Sssh, bertahanlah, Nak. Kita akan segera keluar dari tempat ini,” gumamnya mengelus perutnya yang semakin perih.Sesuatu yang buruk bisa terjadi jika dia terlambat keluar dari tempat itu.“Awss,”Pada akhirnya, Meta kehilangan tenaga untuk terus melangkah. Rasa sakit melanda seluruh tubuhnya, bukan hanya perut. Napasnya mulai tercekat, pelipinya dipenuhi keringat. Tubuhnya lemas, seolah tenaganya terserap habis tanpa sisa.“Ed, tolong,” gumamnya lirih. Dia bersandar di
Dari mana semua permasalahan ini bermula? Rasa cinta yang tidak bisa dikendalikan adalah awal semua dimulai. Azura jatuh hati pada pangeran kegelapan. Jika waktu diputar dan Azura tidak pernah menikah dengan Asnaf, mungkin kisah ini gak akan dimulai. Tidak ada Edward atau pewaris gen psikopat dari pria kegelapan tersebut. Satu sisi, jika saja Dion tidak jatuh hati pada gadis kecil itu, pasti tidak akan ada akar pahit, hingga sejauh ini.Rasa yang tak seharusnya hadir, terkadang menjadi sebuah kesalahan, menjadi pemicu akan skenario yang lebih rumit. Akan tetapi, apakah manusia bisa mengatur segalanya? Tentu saja tidak.Sebagai seorang anak, Edward dulunya selalu mengikuti jejak Asnaf, sampai semua semakin memburuk saat Asnaf hampir saja menjadikan Xadira-putrinya sendiri- sebagai korbannya. Edward jelas tidak terima, dan memutuskan untuk mengurung Asnaf selama bertahun-tahun. Pada awalnya, pria itu akan rutin memerintah anak buahnya mengirimkan beberapa ekor kelinci sebagai pemuas has
Meta berusaha menahan diri untuk meneriaki Dion sekarang juga. Rasa bencinya menumpuk begitu mengetahui kalau Dion yang memaksa Xadira melompat dari atas gedung. Perlahan tangannya menyusup ke sela kemeja yang dikenakannya, meraih sesuatu dari dalam sana. “Kamu tidak ingin minum dulu, manis? Bukankah kamu butuh tenaga untuk menghadapi ini semua?” Dion menyodorkan segelas susu. Awalnya Meta curiga, tetapi juga tidak memiliki pilihan lain. Dia menegok cairan kental berwarna putih itu meski sedikit. “Manis sekali,” tangan Dion terulur, membersihkan sisa susu di bibir Meta. Pria itu tersenyum hingga memunculkan lesung pipinya. Dia memperhatikan detail wajah Meta, sangat indah. Pantas saja Edward yang notabenya tidak memiliki hati, bisa luluh pada gadis itu, bahkan sampai membuat Meta mengandung keturunannya. “Seandainya kita bertemu lebih awal, mungkin aku akan jatuh cinta padamu. Sayang sekali, kamu adalah milik dari musuhku sendiri,” lontar pria itu lebih mirip seperti psikopat menge
Satu per satu kebenaran terungkap. Edward yang ternyata tidak mewarisi gen dari Asnaf. Banyak hal yang berubah akibat satu kebenaran yang disembunyikan. Azura jelas tidak terima akan kegagalan itu. Saat itu juga, dia mengajukan agar rumah sakit tersebut ditutup, didukung dengan data yang ada. Akan lebih banyak korban jika rumah sakit itu terus beroperasi. “Mulai sekarang, kamu harus hidup normal. Kalau perlu keluar saja dari world agency,” pinta Azura. “Tidak semudah yang Mama pikirkan,” Azura mengangguk paham. Perlahan, dia ingin Edward menjalani hidup selayaknya pemuda pada umumnya. Mungkin, jika Meta mau kembali, hidup putranya itu akan lebih sempurna. “Soal Meta, Mama sungguh minta maaf udah buat kalian takut memiliki anak. Sekarang, Mama justru ingin segera menimang cucu. Melihat keriput yang semakin banyak, rasanya tak sabar dipanggil nenek,” Azura terkekeh, membayangkan dirinya menimang bayi mungil. Dia bisa menebus kesalahan dengan membantu Meta membesarkan cucunya dengan
Saat kesempatan itu datang, Meta hanya ingin memperbaiki apa yang rusak di antara dia dan Edward. Mungkin cara Xadira salah, tetapi dia tetap seorang adik yang ingin saudaranya sembuh. Jika aku tidak bisa, maka setidaknya kamu harus membantu Bang Edward untuk sembuh. Tolong, wujudin mimpi aku, Ta. Meta akhirnya membuka mata. Mimpi itu kembali, mimpi yang sama di mana Xadira muncul dan memintanya untuk kembali. Xadira berkali-kali mengigatkannya untuk berhati-hati dengan Dion. “Sudah bangun, manis?” Meta menoleh, Dion tersenyum miring. Meta memegangi keningnya yang terasa pening, baru sadar ada cairan kental berwarna merah di tangannya. Benar juga, dia sempat kejar-kejaran sebelum kecelakaan itu terjadi. Rasa pusing menyerangnya, tetapi itu tidak seburuk rasa khawatir pada anaknya. Meta memegangi perutnya, bersyukur tidak terjadi hal buruk pada anak itu. “Kamu butuh sesuatu?” tanya Dion bersikap sok manis, hingga membuat Meta ingin muntah di hadapan pria itu. Si perusak yang mengha
Perkembangan baru terlihat hari ini, setelah dua bulan berlalu. Kelopak mata sang leader akhirnya menunjukkan pergerakan, sebelum akhirnya terbuka. Langit-langit putih menyambutnya. Pertama kali selam hidupnya, dia terbaring selama itu di rumah sakit.Pintu ruangan yang terbuka, menarik atensi pria itu. Wajah Azura tampak sembab, kantung matanya menghitam bersama kerutan yang menandakan usia wanita itu yang semakin menua. Sudut bibir Azura terangkat, membentuk lengkungan sabit tipis.“Akhirnya kamu bangun juga, Nak,” gumam Azura penuh haru.Dua bulan dipenuhi rasa takut akan kehilangan. Hanya Edward yang kini dia miliki. Tangan Azura terulur, membantu pria itu untuk duduk, lantas menyodorkan air minum untuknya. Meski tampak enggan, Edward tidak menolak semua bantuan wanita tersebut.“Mama baik-baik aja?”Tangis Azura pecah mendengar pertanyaan putranya. Tak menunda lagi, dia memeluk tubuh putranya dengan lembut. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan hati Azura saat ini. Hanya tangi