Kamar Max dan Mentari tiba-tiba menjadi ruang pertemuan dadakan. Tamara bersama putranya memaksa ingin menemui Max. Tingkahnya yang seperti perempuan murahan sebenarnya membuat Mentari muak. Ia ingin mengusirnya jika saja ia tidak membutuhkan penjelasan darinya.
Lama terdiam, Mentari akhirnya bersuara dengan nada lirih. "Tolong jelaskan padaku. Dia–"
"Aku istrinya, apa kurang jelas?" Tamara tersenyum kemenangan, lalu mendekati Max dan bergelayut manja di lengannya. "Kami sudah menikah sejak lama, bahkan kami juga sudah memiliki seorang putra. Itu dia, namanya Peter D'alterio. Cobalah lihat dia, dia sangat mirip dengan ayahnya." Tamara menunjuk putranya lalu kembali kembali memeluk Max.
Tidak ada penolakan sama sekali dari pria itu, seolah ia membenarkan apa yang dikatakan Tamara. Keduanya memamerkan kemesraan tanpa memandang bayangan Mentari yang nyaris ambruk saat melihat kebersamaan mereka.
Saat pandangan Mentari jatuh pada sosok Peter
Wanita bergaun ketat dengan bagian dada yang terbuka itu melengkungkan sudut bibirnya saat berpapasan dengan seorang pria. Tatapan nakalnya mulai berkelana, menjelajahi paras tampan serta tubuh ideal pria di hadapannya hingga tak ada yang terlewat satu inchi pun. Wanita itu sudah seperti jalang murahan yang menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menarik perhatian lawan jenis."Ehm, Nyonya Tamara, apa kau melihat Leader? Sejak tadi aku mencarinya tapi tidak kunjung kutemukan. Aku—"Wanita itu menyela, "Ya, aku melihatnya. Dia sedang berada di bawah dan sibuk bekerja bersama Alvin dan Alvian." "Kalau begitu aku juga akan ke bawah."Tamara menghalangi jalan pria itu dan menaikkan gaunnya, menciptakan situasi yang semakin panas karena ia mulai terbakar gairah. Tanpa ragu, Tamara berjalan mendekat lalu mengalungkan kedua tangan di leher sang pria. Tubuh pria itu menjadi kaku seketika hingga sesuatu terasa bangun di bawah sana. Jonathan berusaha menyingkirkan tangan Tamara, tetapi wanita
Semuanya nampak baik-baik saja ketika seorang gadis berjalan di tengah teriknya matahari. Senyum mengembang, wajah ceria, dan bibirnya yang lumayan tebal menyenandungkan lirik lagu yang sudah ada di luar kepala.Hingga sebuah mobil Jeep hitam menepi di pinggir jalan dan menyita perhatiannya. Satu orang turun dan hal itu membuat dahinya berkerut.Tak ada yang aneh, pria bule itu hanya menanyakan alamat dengan logat berantakan, awalnya. Namun, ketika suasana sepi, pria bertopeng ketenangan itu menunjukkan wujud aslinya.Sebuah pistol dengan moncong yang menyasar pada kening sang gadis siap memuntahkan timah panas. Mungkin, jika sang gadis sedang bernasib sial, telunjuk si bule akan langsung mengakhiri kisahnya."Diam atau kami tidak segan melukaimu!" bisiknya sambil menempelkan kain bernoda bius dengan tangan lain. Wajah gadis belia yang kini memberontak itu memucat.Alih-alih ingin melawan, gadis itu justru melemas karena efek obat yang ia terima. I
Ketika sosok itu sampai di depan bilik penjara milik Mentari, degup jantung gadis belia itu semakin tak terkendali. Dadanya sesak, seolah pasokan oksigen di dalam ruangan semakin menipis karena tersedot sepenuhnya.Maxime D'alterio, begitu nama ketua dari orang-orang yang sempat menculik Mentari dan yang lainnya. Sosok pemilik mata setajam elang dan tubuh proporsional, sekaligus pria yang ahli dalam hal mengintimidasi.Mentari meneguk ludahnya berat ketika sosok menjulang itu menoleh ke arahnya. Pandangan mereka sempat bertemu. Anehnya, Mentari kesulitan mengalihkan perhatian. Matanya terkunci untuk terus menyelami netra tajam milik Max. Pria bule yang jauh lebih memikat para kaum hawa dibanding pria-pria lainnya."Tampan," gumam Mentari tanpa sadar.Namun, deheman dari seseorang di seberang, memutuskan kontak mata di antara mereka karena Max langsung mengalihkan atensinya pada Sakha."Jadi kau, pria yang sejak tadi dibicara
Enam truk dan sebuah Jeep hitam yang menjadi pemimpin berjalan konvoi ke sebuah daerah di kaki gunung. Lebatnya hutan menjadi saksi bagaimana para korban itu bergelung dalam rasa takutnya.Dua jam berlalu, semua kendaraan itu memasuki gerbang yang di baliknya berdiri rumah lima lantai. Kemegahan senantiasa menyambut. Namun, tak ada yang pernah tahu, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik kata 'megah' itu sendiri.Para korban dikeluarkan secara paksa kemudian diseret masuk. Masing-masing dari mereka diperintahkan untuk berbaris di ruang utama. Kain penutup mata dibuka dan mereka diharuskan tetap bungkam. Tak boleh bersuara apalagi melawan.Lagi, suara sepatu menggema di lantai marmer. Meskipun pesona seorang Max mampu memikat mata, tetapi kebanyakan tak ada yang bernyali besar untuk membalas tatapan tajam dari mata elang itu.Seorang pria menggeser kursi lalu membersihkannya dengan tissue. Max duduk dengan satu kaki bertumpu di atas kak
"Huweeek! Huweeek!"Rasanya sudah habis tenaga Mentari untuk memuntahkan isi perutnya yang bergejolak. Ia lemas. Makanan basi itu nyatanya memang tidak cocok dikonsumsi. Lambungnya tak menerima sekali pun ia memaksa.Sudut ruangan adalah tempat yang ia pilih. Mentari sudah tak tahan sementara tidak terdapat toilet di ruangan sempit ini. Ia sendiri enggan untuk meminta bantuan pada para penjaga. Bisa jadi, mereka justru akan menyuruhnya untuk memakan kembali muntahan yang telah keluar.Mentari terduduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding. Napasnya terengah-engah dan keningnya dipenuhi keringat. Wajah ayu yang semula berseri kini berubah pucat serupa mayat hidup. Mentari memejamkan matanya untuk mengatasi rasa pusing yang tiba-tiba menyerang.Hingga tanpa sepengetahuannya pintu ruangan terbuka bersamaan dengan seseorang yang masuk ke dalam. Kini sedikit berbeda. Langkah tegap yang biasanya mampu mengintimidasi, sekarang
"Kau ingin melarikan diri? Apa kau sudah gila? Ini adalah sarang iblis. Ada banyak penjaga di sini dan pasti tidak mudah untuk melarikan diri. Jika kita tertangkap, entah apa yang akan terjadi pada diri kita, Shaka," bisik Mentari kali ini sedikit bersuara.Ketakutan Mentari bukan tidak beralasan. Bila Max saja mampu membuat para tawanannya hidup serupa di neraka, maka bukan tidak mungkin dia juga akan bertindak lebih pada mereka yang berniat melarikan diri."Apa maksudmu? Apa kau tidak ingin pergi dari sini? Apa kau ingin disiksa setiap hari? Dijadikan wanita sewaan lalu jika kau menolak kau akan diberi cambukan lima puluh kali?" Shaka menggeleng pelan. "Tidak, Mentari, ini adalah kesempatan kita. Kita harus melarikan diri dari sini sebelum hidup kita benar-benar dibuat hancur. Ayo!"Shaka menarik pergelangan tangan Mentari, tetapi gadis itu tetap dalam posisinya."Shaka, aku–""Kita tidak punya banyak waktu, Me
Waktu kian berlalu. Tirai kegelapan yang menutupi sebagian bumi mulai tersingkap. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan perlahan membuat suasana hutan menjadi terang.Berjam-jam kedua anak manusia itu berlari tak kenal lelah. Tanpa tujuan dan buta arah. Niat mereka sudah bulat. Meskipun resiko besar tengah mengintai, mereka tetap tak menyerah.Pergelangan Mentari terasa seperti akan lepas. Kram yang ia rasakan sudah tak terhitung lamanya. Napasnya yang tak beraturan dan tenggorokan yang menyekat ia kesampingkan demi sebuah kata 'bebas' dari gelar sang Tawanan.Sreeet!Ranting pohon menggores telapak kakinya hingga menimbulkan luka yang cukup dalam. Ujung celana panjang yang Mentari kenakan juga sedikit koyak. Gadis itu berhenti dan mendesis pelan. Ia menarik Shaka agar mengetahui keadaannya."Berhenti sebentar. Kakiku ... kakiku terluka, Shaka," kata Mentari dengan napas terengah-engah.Dia dudu
Rasa lelah yang melingkupi membuat dua orang itu langsung berjalan ke arah sungai. Shaka membantu Mentari yang masih berjalan terpincang-pincang. Mereka berjongkok di pinggiran sungai kemudian meminum airnya."Cepatlah! Mereka bisa datang kapan saja." Shaka berdiri lebih awal setelah menuntaskan dahaganya. Memperhatikan keadaan sekitar yang amat sepi dan lengang."Aku ... aku lelah sekali. Tidak bisakah kita berhenti sejenak untuk beristirahat?" Ia duduk di atas batuan kering sembari meluruskan kakinya.Shaka bertolak pinggang dan berbalik. Wajahnya juga terlihat lelah. Akan tetapi, tak ada sedikit pun niatan untuk mengabulkan permintaan Mentari. Baginya, saat ini waktu terasa amat mencekik. Anak buah Max bisa datang kapan dan darimana saja."Kita baru akan beristirahat setelah kita menemukan jalan raya dan terbebas dari sini."Satu helaan napas panjang lolos dari bibir tebal Mentari. Ia mengurut kakinya yang terasa kr
Wanita bergaun ketat dengan bagian dada yang terbuka itu melengkungkan sudut bibirnya saat berpapasan dengan seorang pria. Tatapan nakalnya mulai berkelana, menjelajahi paras tampan serta tubuh ideal pria di hadapannya hingga tak ada yang terlewat satu inchi pun. Wanita itu sudah seperti jalang murahan yang menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menarik perhatian lawan jenis."Ehm, Nyonya Tamara, apa kau melihat Leader? Sejak tadi aku mencarinya tapi tidak kunjung kutemukan. Aku—"Wanita itu menyela, "Ya, aku melihatnya. Dia sedang berada di bawah dan sibuk bekerja bersama Alvin dan Alvian." "Kalau begitu aku juga akan ke bawah."Tamara menghalangi jalan pria itu dan menaikkan gaunnya, menciptakan situasi yang semakin panas karena ia mulai terbakar gairah. Tanpa ragu, Tamara berjalan mendekat lalu mengalungkan kedua tangan di leher sang pria. Tubuh pria itu menjadi kaku seketika hingga sesuatu terasa bangun di bawah sana. Jonathan berusaha menyingkirkan tangan Tamara, tetapi wanita
Kamar Max dan Mentari tiba-tiba menjadi ruang pertemuan dadakan. Tamara bersama putranya memaksa ingin menemui Max. Tingkahnya yang seperti perempuan murahan sebenarnya membuat Mentari muak. Ia ingin mengusirnya jika saja ia tidak membutuhkan penjelasan darinya.Lama terdiam, Mentari akhirnya bersuara dengan nada lirih. "Tolong jelaskan padaku. Dia–""Aku istrinya, apa kurang jelas?" Tamara tersenyum kemenangan, lalu mendekati Max dan bergelayut manja di lengannya. "Kami sudah menikah sejak lama, bahkan kami juga sudah memiliki seorang putra. Itu dia, namanya Peter D'alterio. Cobalah lihat dia, dia sangat mirip dengan ayahnya." Tamara menunjuk putranya lalu kembali kembali memeluk Max.Tidak ada penolakan sama sekali dari pria itu, seolah ia membenarkan apa yang dikatakan Tamara. Keduanya memamerkan kemesraan tanpa memandang bayangan Mentari yang nyaris ambruk saat melihat kebersamaan mereka.Saat pandangan Mentari jatuh pada sosok Peter
Alvin merasa jengkel dengan situasi ini. Sejak dulu, ia selalu malas berhubungan dengan wanita apalagi mereka yang keras kepala. Lalu lihatlah sekarang, ia justru harus menggantikan Leader-nya menemui wanita yang sudah lama menghilang. Jangankan bersimpati, menghirup udara dari ruangan yang sama saja ia sudah kesal setengah mati."Apa maumu?" tanya Alvin tanpa basa-basi. Setelah datang ke apartemen ini sejak lima menit lalu, yang menjadi lawan bicaranya justru diam membisu.Wanita itu berdecak. Meluruskan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu hak tinggi berwarna merah ke atas sofa. Ia berbaring di sana, seperti seorang jalang yang sedang merayu pria hidung belang. Namun, semua tingkah lakunya sama sekali tak menarik perhatian Alvin. Ia tetap berwajah datar, bahkan meski wanita itu melucuti pakaiannya sekali pun."Kau masih kaku seperti dulu. Apa Leader-mu itu tidak pernah mengajarimu cara menyenangkan wanita?" ujarnya dengan nada menggoda, kemud
Tangan Mentari yang gemetar perlahan menyentuh kulit wajah Max yang pias. Ia meringis karena merasakan hawa panas yang tak biasa. Suhu tubuh Max tinggi dan sepertinya ia mengalami demam. Semua itu semakin diperparah ketika Mentari tak sengaja menghirup aroma napasnya, bau alkohol yang menyengat begitu ketara. Apakah pria itu mabuk berat saat kondisinya sekarat? Huh, mati baru tahu rasa!Dengan sedikit kesusahan Mentari menuntun tubuh besar Max ke dalam kamar lalu menjatuhkannya ke atas ranjang. Tubuh pria itu langsung ambruk layaknya kulit tak bertulang. Mentari sedikit tertawa menyaksikannya. Andai Max sadar ia memperlakukannya seperti ini, pria itu pasti tak segan memberinya hukuman.Dalam keadaan mata yang tertutup, secara tak sengaja Max bergumam pelan. Entah apa yang ia bicarakan di tengah kondisinya yang tak berdaya seperti ini, Mentari sama sekali tak mengerti. Gadis itu mengangkat bahu dan mengabaikannya. Namun, ia ingin melakukan sesuatu saat Max sedang
Max mengayunkan kaki jenjangnya ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak berisi botol minuman keras. Kemudian duduk pada sofa panjang berwarna abu-abu di dekat jendela dan menaikkan kakinya ke atas meja lalu terpejam. Pikirannya sedang penat, kepalanya seperti diikat pada paku besi berukuran besar.Lima menit setelah itu, ia baru membuka mata. Menghubungi Alvin yang sedang menyelesaikan permasalahan jual beli senjata api untuk menyusul ke ruangan tersebut menggunakan ponselnya. Hingga tak lama, sosok yang ia tunggu menampakkan batang hidungnya dari balik pintu. Alvin lalu berdiri di hadapan pria itu."Temani aku minum," ucap Max yang langsung mendapat anggukan dari Alvin.Pria itu mengambil sebotol Cocktails beserta dua gelas kosong dan meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di sofa lainnya lalu menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas."Kapan wanita itu akan datang?" tanya Max setelah menenggak minumannya hingga tersisa
"A-apa maksudmu?" tanya Mentari dengan suara yang semakin serak. Ia menangis dalam diam beberapa detik setelah mengetahui kabar ini. Ia terlalu syok, bahkan bingung harus bagaimana mengartikan perasannya."Apa kau tuli? Lenyapkan dia sebelum dia tumbuh semakin besar dan–""Tidak!" potongnya. "Apa kau sudah gila? Kau berniat untuk melenyapkan janin yang bahkan belum memiliki bentuk?" Ia menatap Max tak percaya.Max menarik tubuhnya lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berbalik memunggungi Mentari dengan wajah kalut. Sungguh, ini diluar dugaan. Max tidak pernah berpikir bahwa Mentari bisa saja hamil karena ulahnya."Justru karena dia belum memiliki bentuk, kau harus mengambil keputusan ini, Gadis Bodoh! Kehamilanmu hanya akan membawa bencana bagi dirimu sendiri!" sarkasnya semakin sengit. Berpikir bahwa pendapatnyalah yang paling benar saat ini.Mentari termangu sambil terus menangis. Jemarinya bergerak gelisah, rasa sakit ini benar-benar men
Semuanya berubah, tidak ada kehangatan seperti yang terjadi beberapa menit lalu. Max kembali pada sikap iblisnya dan menguarkan aura yang kuat. Kakinya terus menjejak lantai marmer, membuat jaraknya dengan Mentari semakin terkikis. Apalagi kini Mentari telah tersudut pada dinding yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur."Kau yang melakukannya." Matanya yang berkilat tajam menusuk Mentari tepat pada retinanya."Bukan," jawab Mentari tegas, tanpa gemetar, karena memang bukan dia pelakunya."Kau yang memasak makanan itu dan kau memiliki banyak alasan untuk menghabisiku." Satu tangan Max terangkat, mengusap permukaan pipi Mentari yang sangat halus. Sampai gadis itu memejamkan matanya selama beberapa detik karena menerima sentuhan Max."Memang, tapi aku tidak menambahkan racun ke dalamnya.""Tapi tidak ada orang di dapur selain dirimu." Sentuhannya menurun ke area rahang Mentari."Demi Tuhan, aku tidak–arrgh!" Gadi
Bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga saat timah panas itu mengambil jalur dari lorong pistol. Di waktu yang bersamaan, sesosok tubuh manusia ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Ada lubang di belakang kepalanya yang menjadi sumber cairan kemerahan itu berasal. Sosok itu langsung meregang nyawa dengan mata terbuka, seolah tak rela kehidupannya telah direnggut paksa oleh seseorang."Andrew!" teriak rekannya yang kini melongo tak percaya setelah menyaksikan adegan berdarah itu.Dia berbalik menghadap pintu. Ada dua pria yang kini masuk, salah satunya membawa sebuah pistol yang masih berasap. Secara naluriah ia berjalan mundur dan tak sengaja menubruk tubuh Shaka yang kini memandang heran."Tu-tuan Alvin," ucapnya terbata. Kegugupan seolah menelannya hingga dahinya dibanjiri keringat dingin."Good bye," kata Alvian melambaikan tangannya lalu merebut pistol dari sang kakak. Ia mengarahkan moncongnya pada sang anak buah.
Max menyeringai tajam ketika mata elangnya melirik gadis yang sedang tertidur pulas karena efek obat bius yang sebelumnya telah ia berikan. Satu tangannya terulur untuk menarik rahang Mentari agar menoleh ke arahnya, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengendalikan kecepatan mobil yang kini melaju kencang.Untung saja pihak hotel yang merupakan rekan kerjanya memberitahu kejadian yang menimpa Mentari, sehingga ia langsung membatalkan pertemuan dengan kelompok mafia lain dan segera menyusun rencana untuk mengambil alih Mentari dari tangan polisi. Mentari sudah seperti mainan berharga, ia tidak mau mainannya dicuri, begitu pikir Max.Max menoleh sekilas saat terdengar lenguhan kecil dari bibir gadis itu. Mentari mulai sadar. Akan tetapi, ia pasti kebingungan karena meskipun telah membuka mata, hanya kegelapan yang menyambangi penglihatannya. Ya, Max selalu mengikat matanya dengan kain hitam agar gadis itu tak mengetahui past