Semuanya nampak baik-baik saja ketika seorang gadis berjalan di tengah teriknya matahari. Senyum mengembang, wajah ceria, dan bibirnya yang lumayan tebal menyenandungkan lirik lagu yang sudah ada di luar kepala.
Hingga sebuah mobil Jeep hitam menepi di pinggir jalan dan menyita perhatiannya. Satu orang turun dan hal itu membuat dahinya berkerut.
Tak ada yang aneh, pria bule itu hanya menanyakan alamat dengan logat berantakan, awalnya. Namun, ketika suasana sepi, pria bertopeng ketenangan itu menunjukkan wujud aslinya.
Sebuah pistol dengan moncong yang menyasar pada kening sang gadis siap memuntahkan timah panas. Mungkin, jika sang gadis sedang bernasib sial, telunjuk si bule akan langsung mengakhiri kisahnya.
"Diam atau kami tidak segan melukaimu!" bisiknya sambil menempelkan kain bernoda bius dengan tangan lain. Wajah gadis belia yang kini memberontak itu memucat.
Alih-alih ingin melawan, gadis itu justru melemas karena efek obat yang ia terima. Ia diseret paksa, kedua kaki dan tangannya diikat, serta mata yang langsung ditutup kain hitam beraroma tak sedap. Sesaat setelah mobil melaju kencang, kesadarannya benar-benar musnah hingga sepasang mata bening miliknya tertutup rapat.
Apa dan siapa yang menculiknya, gadis itu tak tahu menahu.
Yang jelas, saat ia tenggelam dalam ketenangan semu, orang-orang yang menculiknya membawanya ke sebuah tempat. Jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota, karena mobil Jeep itu melaju di jalan setapak yang membelah hutan dalam kurun waktu yang cukup lama.
***
Namanya Mentari. Gadis asal Indonesia yang baru berusia sembilan belas tahun. Memiliki mata sebening embun, rambut indah yang akan menyatu di kegelapan malam, dan kontur wajah bulat dengan hidung minimalis.
Ia terbangun dalam keadaan mengenaskan. Kedua tangannya diikat dengan rantai yang terkait pada paku besi yang menempel di dinding berlumut.
Aroma tak sedap menguar ke segala penjuru. Membuat gadis belia itu menahan mual berkali-kali. Ruangan luas yang dibuat menyerupai penjara dengan petak-petak kurungan besi berukuran 2x3 meter itu hanya diisi oleh satu orang di setiap biliknya.
Sejak ia membuka mata setelah insiden penculikan itu, Mentari hanya diam menahan pusing. Posisinya terduduk dengan punggung bersandar pada dinding berkawan lumut.
Tak ada seorang pun yang bisa ia ajukan pertanyaan. Satu orang di bilik sebelahnya masih belum membuka mata. Mentari sadar bahwa bukan hanya dia yang menjadi korban penculikan.
"Apa mau kalian?!" Teriakan kencang yang menggema dari ujung mengalihkan perhatiannya. Fokusnya tertuju pada seorang pria yang dibawa paksa dengan mata tertutup. Ia dimasukkan ke dalam kurungan yang berhadapan dengan milik Mentari.
"Siapa kalian?! Kenapa aku diikat seperti ini?" Tubuh Mentari agak condong ke depan ketika ia melontarkan pertanyaan pada dua pria berseragam hitam dengan pistol yang menggantung di sisi tubuhnya. Masih sama seperti sebelumnya, pria-pria itu adalah warga asing dengan rambut pirang dan kulit putih sebagai ciri khas.
"Kau diam! Jangan berisik atau kami akan menamparmu!" ancam salah satunya dengan suara tak kalah tinggi. Ia kemudian membantu temannya untuk merantai tubuh pemuda dengan posisi serupa seperti Mentari.
"Lepaskan aku! Kalian siapa?!" Saat penutup matanya dibuka, pemuda itu berjengit tak terima. Ada beberapa lebam yang nampaknya sudah ia terima lebih dulu sebelum memasuki kurungan besi ini.
Salah satu dari pria itu berjongkok. Ia menepuk wajah sang pemuda pelan, kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu siapa kami. Yang jelas, kami bukan orang sembarangan. Aku rasa, saat ini diam adalah pilihan yang tepat. Karena jika kau macam-macam, maka luka yang lebih serius dari yang kau terima beberapa saat lalu akan segera kau dapatkan."
Mentari meneguk ludahnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa menyekat. Ancaman pria itu pada sang pemuda terdengar bukan untuk gertakan semata.
"Bagaimana aku harus diam saat kalian memperlakukanku seperti hewan?! Aku tidak akan terima! Lepaskan aku, Dasar payah!"
Bugh!
Tubuh sang pemuda terhuyung ke samping saat pukulan telak ia terima di pelipisnya. Ada noda darah yang mengalir tak lama kemudian. Ia meringis, tetapi masih mampu menatap musuhnya dengan wajah berani.
Mentari sempat memejamkan mata saat peristiwa itu terjadi. Sedikit rasa takut perlahan mengurungnya bercampur amarah.
"Hei, jangan pukul dia! Kemarilah jika kau berani, lawan aku saja!" tantang Mentari mengalihkan atensi ketiganya. Satu orang hendak memberinya pelajaran, tetapi rekannya langsung menahan.
"Kalau kau ingin memberontak, maka lakukan itu pada Leader. Kita lihat, apa yang akan dia lakukan pada gadis pembangkang sepertimu," ucap pria dengan bekas luka jahitan di kepalanya. Ia lebih tenang dibanding pria yang memukul pemuda tak berdaya itu.
Mentari dan sang pemuda mengernyitkan dahinya. Mereka pikir, kemungkinan akan ada seseorang lagi yang lebih berkuasa dibanding dua pria di hadapan mereka.
"Semoga hari kalian menyenangkan. Dan semoga, Leader tak membuat kalian berhenti bernapas sebelum diterbangkan." Tak lama setelah itu, kedua pria berseragam hitam meninggalkan bilik kurungan. Ia sempat memukul si pemuda sekali lagi, tetapi kali ini menggunakan mulut pistol.
Sejenak suasana hening menyapa. Hingga Mentari memutuskan untuk membuka obrolan.
"Apa kau juga diculik oleh mereka?" tanya Mentari pada sang pemuda yang kini meringis kesakitan.
"Iya. Mereka menculikku saat aku sedang bekerja. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi sepertinya, mereka adalah sekelompok penjahat yang selama ini menculik orang-orang di kotaku." Ia menunduk sesaat. Mentari sadar bahwa luka yang diterima pemuda itu cukup parah sehingga si empunya harus merintih beberapa kali.
"Siapa namamu?"
Yang ditanya mendongak. Ada senyuman tipis yang terbit di bibirnya.
"Waktu yang buruk untuk berkenalan. Tapi, baiklah. Shaka, panggil saja begitu."
"Baiklah. Namaku Mentari. Kurasa aku lebih muda darimu, tapi aku tidak mau memanggilmu kakak."
Shaka tertawa pelan, meskipun tak lama karena berakhir dengan perih di sudut bibirnya.
"Aku tertarik denganmu. Untuk ukuran seorang gadis, kau cukup berani. Mungkin jika aku mendapat kesempatan untuk lari dari sini, aku juga akan mengajakmu.
***
Malam itu, Mentari harus rela mengakhiri mimpi indahnya saat kegaduhan terjadi di dalam penjara. Ketika kesadarannya telah terkumpul, ia baru menyadari ada seseorang yang memukul tralis besi dengan besi lainnya. Sehingga menimbulkan suara gaduh yang memekakkan telinga.
"Hei, apa kau tidak memiliki pekerjaan? Telingaku sakit karena mendengar suara itu!" pekik si gadis pemilik netra bening. Wajahnya nampak kesal karena bukannya berhenti, pria berkepala plontos di depan pintu justru semakin kuat memukulkan besi. "Kau tuli,ya?"
"Diamlah, Nak! Aku hanya ingin membangunkan semua orang karena sebentar lagi Leader akan datang ke sini."
Mentari berdecih. Sapaan yang ia dengar sepertinya tidak cocok bagi gadis seumurannya.
"Siapa yang kau panggil Nak? Umurku sudah sembilan belas tahun, aku bukan lagi anak-anak!" Mentari membantah tak terima.
"Benarkah?" Si pria berkepala plontos itu melirik ke arah lain. "Tapi kurasa ... bukit keindahanmu tidak cocok bagi gadis sembilan belas tahun. Ukurannya terlalu kecil." Ia tertawa ringan.
Mentari yang langsung mengikuti arah pandangnya kemudian melebarkan mata. Kalau saja tangannya tidak dirantai, ia pasti akan membuat pria tanpa rambut itu menyesal.
"Dasar mesum! Pergi saja kau ke neraka!"
Bukannya merasa bersalah, pria itu justru mengeraskan tawanya. Seolah gurauan yang ia lontarkan adalah sesuatu yang sangat lucu.
Namun, tawa itu perlahan berhenti saat ia menoleh ke samping. Ada kericuhan yang terjadi selama beberapa saat.
"Dengar, bersikaplah sopan setelah ini. Sepertinya Leader sudah datang." Ia meninggalkan bilik kurungan setelah mengatakannya dengan nada serius.
Jantung Mentari seketika berdebar kencang. Diliriknya Sakha yang juga tengah menatapnya di balik tralis besi. Pria itu terlihat biasa saja, tak ada raut ketakutan sama sekali.
Bila dipikir ulang, Sakha memang sosok yang pemberani. Bahkan ia sempat melawan para penjaga meski berakhir dengan pukulan telak.
Suasana tiba-tiba hening. Pandangan Mentari dan Sakha teralihkan ketika suara gema sepatu memantul di lantai penjara. Perlahan, tetapi terdengar mengintimidasi. Semakin lama suara itu semakin keras hingga membuat siapa saja pasti akan gemetaran.
Tanpa diperintah, Mentari merapatkan tubuhnya pada dinding berlumut. Tak peduli meski pakaiannya kotor, tetapi ia perlu waspada pada seseorang yang sebentar lagi akan datang.
Benar saja, beberapa detik setelah itu, sesosok pria tinggi menjulang dengan otot-otot yang tertahan di balik kaos hitam polos, berjalan melawan sumber cahaya dengan satu tangan berada di saku celana.
Siapa sosok itu? Mentari rasa ia bukanlah pria biasa, karena auranya begitu kuat sehingga membuat siapapun yang menatapnya akan merasa terintimidasi.
Ketika sosok itu sampai di depan bilik penjara milik Mentari, degup jantung gadis belia itu semakin tak terkendali. Dadanya sesak, seolah pasokan oksigen di dalam ruangan semakin menipis karena tersedot sepenuhnya.Maxime D'alterio, begitu nama ketua dari orang-orang yang sempat menculik Mentari dan yang lainnya. Sosok pemilik mata setajam elang dan tubuh proporsional, sekaligus pria yang ahli dalam hal mengintimidasi.Mentari meneguk ludahnya berat ketika sosok menjulang itu menoleh ke arahnya. Pandangan mereka sempat bertemu. Anehnya, Mentari kesulitan mengalihkan perhatian. Matanya terkunci untuk terus menyelami netra tajam milik Max. Pria bule yang jauh lebih memikat para kaum hawa dibanding pria-pria lainnya."Tampan," gumam Mentari tanpa sadar.Namun, deheman dari seseorang di seberang, memutuskan kontak mata di antara mereka karena Max langsung mengalihkan atensinya pada Sakha."Jadi kau, pria yang sejak tadi dibicara
Enam truk dan sebuah Jeep hitam yang menjadi pemimpin berjalan konvoi ke sebuah daerah di kaki gunung. Lebatnya hutan menjadi saksi bagaimana para korban itu bergelung dalam rasa takutnya.Dua jam berlalu, semua kendaraan itu memasuki gerbang yang di baliknya berdiri rumah lima lantai. Kemegahan senantiasa menyambut. Namun, tak ada yang pernah tahu, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik kata 'megah' itu sendiri.Para korban dikeluarkan secara paksa kemudian diseret masuk. Masing-masing dari mereka diperintahkan untuk berbaris di ruang utama. Kain penutup mata dibuka dan mereka diharuskan tetap bungkam. Tak boleh bersuara apalagi melawan.Lagi, suara sepatu menggema di lantai marmer. Meskipun pesona seorang Max mampu memikat mata, tetapi kebanyakan tak ada yang bernyali besar untuk membalas tatapan tajam dari mata elang itu.Seorang pria menggeser kursi lalu membersihkannya dengan tissue. Max duduk dengan satu kaki bertumpu di atas kak
"Huweeek! Huweeek!"Rasanya sudah habis tenaga Mentari untuk memuntahkan isi perutnya yang bergejolak. Ia lemas. Makanan basi itu nyatanya memang tidak cocok dikonsumsi. Lambungnya tak menerima sekali pun ia memaksa.Sudut ruangan adalah tempat yang ia pilih. Mentari sudah tak tahan sementara tidak terdapat toilet di ruangan sempit ini. Ia sendiri enggan untuk meminta bantuan pada para penjaga. Bisa jadi, mereka justru akan menyuruhnya untuk memakan kembali muntahan yang telah keluar.Mentari terduduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding. Napasnya terengah-engah dan keningnya dipenuhi keringat. Wajah ayu yang semula berseri kini berubah pucat serupa mayat hidup. Mentari memejamkan matanya untuk mengatasi rasa pusing yang tiba-tiba menyerang.Hingga tanpa sepengetahuannya pintu ruangan terbuka bersamaan dengan seseorang yang masuk ke dalam. Kini sedikit berbeda. Langkah tegap yang biasanya mampu mengintimidasi, sekarang
"Kau ingin melarikan diri? Apa kau sudah gila? Ini adalah sarang iblis. Ada banyak penjaga di sini dan pasti tidak mudah untuk melarikan diri. Jika kita tertangkap, entah apa yang akan terjadi pada diri kita, Shaka," bisik Mentari kali ini sedikit bersuara.Ketakutan Mentari bukan tidak beralasan. Bila Max saja mampu membuat para tawanannya hidup serupa di neraka, maka bukan tidak mungkin dia juga akan bertindak lebih pada mereka yang berniat melarikan diri."Apa maksudmu? Apa kau tidak ingin pergi dari sini? Apa kau ingin disiksa setiap hari? Dijadikan wanita sewaan lalu jika kau menolak kau akan diberi cambukan lima puluh kali?" Shaka menggeleng pelan. "Tidak, Mentari, ini adalah kesempatan kita. Kita harus melarikan diri dari sini sebelum hidup kita benar-benar dibuat hancur. Ayo!"Shaka menarik pergelangan tangan Mentari, tetapi gadis itu tetap dalam posisinya."Shaka, aku–""Kita tidak punya banyak waktu, Me
Waktu kian berlalu. Tirai kegelapan yang menutupi sebagian bumi mulai tersingkap. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan perlahan membuat suasana hutan menjadi terang.Berjam-jam kedua anak manusia itu berlari tak kenal lelah. Tanpa tujuan dan buta arah. Niat mereka sudah bulat. Meskipun resiko besar tengah mengintai, mereka tetap tak menyerah.Pergelangan Mentari terasa seperti akan lepas. Kram yang ia rasakan sudah tak terhitung lamanya. Napasnya yang tak beraturan dan tenggorokan yang menyekat ia kesampingkan demi sebuah kata 'bebas' dari gelar sang Tawanan.Sreeet!Ranting pohon menggores telapak kakinya hingga menimbulkan luka yang cukup dalam. Ujung celana panjang yang Mentari kenakan juga sedikit koyak. Gadis itu berhenti dan mendesis pelan. Ia menarik Shaka agar mengetahui keadaannya."Berhenti sebentar. Kakiku ... kakiku terluka, Shaka," kata Mentari dengan napas terengah-engah.Dia dudu
Rasa lelah yang melingkupi membuat dua orang itu langsung berjalan ke arah sungai. Shaka membantu Mentari yang masih berjalan terpincang-pincang. Mereka berjongkok di pinggiran sungai kemudian meminum airnya."Cepatlah! Mereka bisa datang kapan saja." Shaka berdiri lebih awal setelah menuntaskan dahaganya. Memperhatikan keadaan sekitar yang amat sepi dan lengang."Aku ... aku lelah sekali. Tidak bisakah kita berhenti sejenak untuk beristirahat?" Ia duduk di atas batuan kering sembari meluruskan kakinya.Shaka bertolak pinggang dan berbalik. Wajahnya juga terlihat lelah. Akan tetapi, tak ada sedikit pun niatan untuk mengabulkan permintaan Mentari. Baginya, saat ini waktu terasa amat mencekik. Anak buah Max bisa datang kapan dan darimana saja."Kita baru akan beristirahat setelah kita menemukan jalan raya dan terbebas dari sini."Satu helaan napas panjang lolos dari bibir tebal Mentari. Ia mengurut kakinya yang terasa kr
Di kedalaman jurang yang dipenuhi semak belukar. Tempat yang mungkin saja menjadi sarang ternyaman para ular beracun yang tengah mencari mangsa. Di sanalah kedua anak manusia berbeda jenis kelamin itu tergeletak mengenaskan dengan beberapa luka menganga yang masih mengeluarkan darah segar.Matanya masih terpejam. Begitu damai seolah kelopak mata keduanya tidak akan terbuka lagi.Hingga Shaka yang mengawali. Netranya bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka. Terdengar desisan kecil dari bibirnya yang menandakan bahwa ia tak baik-baik saja. Luka-luka di sekujur tubuhnya pasti menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Apalagi, ada sebuah peluru yang kini masih bersarang di betisnya.Meskipun begitu, pemuda dua puluh lima tahun itu tetap berusaha bangun untuk memeriksa keadaan sekitar. Matanya terperangah ketika mendapati tubuh Mentari yang tergeletak tak jauh darinya. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Kepalanya berdarah, beberapa bagian dari pakai
Kedua insan itu mematung dengan bibir terbuka dan pupil membesar. Tubuhnya kaku mematung di tempat. Meskipun mereka masih berpegangan tangan, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa jantungnya berdebar-debar. Membuat lidah mereka terasa kelu hingga tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata pun.Secara refleks, mereka berjalan mundur. Genggaman dari tangan Shaka semakin menguat untuk menghilangkan rasa takut dalam benak Mentari. Di detik selanjutnya, pemuda dua puluh lima tahun itu menoleh dan membuat gadis di sampingnya juga melakukan hal serupa hingga pandangan mereka bertemu."Shaka, harimaunya ...," lirih Mentari nyaris menyatu dengan desisan angin.Dia meneguk ludahnya yang terasa berat dan kembali mengalihkan perhatian pada hewan besar di depan sana.Ini memang hari yang sial bagi mereka. Setelah selamat dari maut karena terjatuh dari jurang, kini mereka harus dihadapkan pada harimau besar yang sedang kelaparan. Jaraknya hanya sek
Wanita bergaun ketat dengan bagian dada yang terbuka itu melengkungkan sudut bibirnya saat berpapasan dengan seorang pria. Tatapan nakalnya mulai berkelana, menjelajahi paras tampan serta tubuh ideal pria di hadapannya hingga tak ada yang terlewat satu inchi pun. Wanita itu sudah seperti jalang murahan yang menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menarik perhatian lawan jenis."Ehm, Nyonya Tamara, apa kau melihat Leader? Sejak tadi aku mencarinya tapi tidak kunjung kutemukan. Aku—"Wanita itu menyela, "Ya, aku melihatnya. Dia sedang berada di bawah dan sibuk bekerja bersama Alvin dan Alvian." "Kalau begitu aku juga akan ke bawah."Tamara menghalangi jalan pria itu dan menaikkan gaunnya, menciptakan situasi yang semakin panas karena ia mulai terbakar gairah. Tanpa ragu, Tamara berjalan mendekat lalu mengalungkan kedua tangan di leher sang pria. Tubuh pria itu menjadi kaku seketika hingga sesuatu terasa bangun di bawah sana. Jonathan berusaha menyingkirkan tangan Tamara, tetapi wanita
Kamar Max dan Mentari tiba-tiba menjadi ruang pertemuan dadakan. Tamara bersama putranya memaksa ingin menemui Max. Tingkahnya yang seperti perempuan murahan sebenarnya membuat Mentari muak. Ia ingin mengusirnya jika saja ia tidak membutuhkan penjelasan darinya.Lama terdiam, Mentari akhirnya bersuara dengan nada lirih. "Tolong jelaskan padaku. Dia–""Aku istrinya, apa kurang jelas?" Tamara tersenyum kemenangan, lalu mendekati Max dan bergelayut manja di lengannya. "Kami sudah menikah sejak lama, bahkan kami juga sudah memiliki seorang putra. Itu dia, namanya Peter D'alterio. Cobalah lihat dia, dia sangat mirip dengan ayahnya." Tamara menunjuk putranya lalu kembali kembali memeluk Max.Tidak ada penolakan sama sekali dari pria itu, seolah ia membenarkan apa yang dikatakan Tamara. Keduanya memamerkan kemesraan tanpa memandang bayangan Mentari yang nyaris ambruk saat melihat kebersamaan mereka.Saat pandangan Mentari jatuh pada sosok Peter
Alvin merasa jengkel dengan situasi ini. Sejak dulu, ia selalu malas berhubungan dengan wanita apalagi mereka yang keras kepala. Lalu lihatlah sekarang, ia justru harus menggantikan Leader-nya menemui wanita yang sudah lama menghilang. Jangankan bersimpati, menghirup udara dari ruangan yang sama saja ia sudah kesal setengah mati."Apa maumu?" tanya Alvin tanpa basa-basi. Setelah datang ke apartemen ini sejak lima menit lalu, yang menjadi lawan bicaranya justru diam membisu.Wanita itu berdecak. Meluruskan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu hak tinggi berwarna merah ke atas sofa. Ia berbaring di sana, seperti seorang jalang yang sedang merayu pria hidung belang. Namun, semua tingkah lakunya sama sekali tak menarik perhatian Alvin. Ia tetap berwajah datar, bahkan meski wanita itu melucuti pakaiannya sekali pun."Kau masih kaku seperti dulu. Apa Leader-mu itu tidak pernah mengajarimu cara menyenangkan wanita?" ujarnya dengan nada menggoda, kemud
Tangan Mentari yang gemetar perlahan menyentuh kulit wajah Max yang pias. Ia meringis karena merasakan hawa panas yang tak biasa. Suhu tubuh Max tinggi dan sepertinya ia mengalami demam. Semua itu semakin diperparah ketika Mentari tak sengaja menghirup aroma napasnya, bau alkohol yang menyengat begitu ketara. Apakah pria itu mabuk berat saat kondisinya sekarat? Huh, mati baru tahu rasa!Dengan sedikit kesusahan Mentari menuntun tubuh besar Max ke dalam kamar lalu menjatuhkannya ke atas ranjang. Tubuh pria itu langsung ambruk layaknya kulit tak bertulang. Mentari sedikit tertawa menyaksikannya. Andai Max sadar ia memperlakukannya seperti ini, pria itu pasti tak segan memberinya hukuman.Dalam keadaan mata yang tertutup, secara tak sengaja Max bergumam pelan. Entah apa yang ia bicarakan di tengah kondisinya yang tak berdaya seperti ini, Mentari sama sekali tak mengerti. Gadis itu mengangkat bahu dan mengabaikannya. Namun, ia ingin melakukan sesuatu saat Max sedang
Max mengayunkan kaki jenjangnya ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak berisi botol minuman keras. Kemudian duduk pada sofa panjang berwarna abu-abu di dekat jendela dan menaikkan kakinya ke atas meja lalu terpejam. Pikirannya sedang penat, kepalanya seperti diikat pada paku besi berukuran besar.Lima menit setelah itu, ia baru membuka mata. Menghubungi Alvin yang sedang menyelesaikan permasalahan jual beli senjata api untuk menyusul ke ruangan tersebut menggunakan ponselnya. Hingga tak lama, sosok yang ia tunggu menampakkan batang hidungnya dari balik pintu. Alvin lalu berdiri di hadapan pria itu."Temani aku minum," ucap Max yang langsung mendapat anggukan dari Alvin.Pria itu mengambil sebotol Cocktails beserta dua gelas kosong dan meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di sofa lainnya lalu menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas."Kapan wanita itu akan datang?" tanya Max setelah menenggak minumannya hingga tersisa
"A-apa maksudmu?" tanya Mentari dengan suara yang semakin serak. Ia menangis dalam diam beberapa detik setelah mengetahui kabar ini. Ia terlalu syok, bahkan bingung harus bagaimana mengartikan perasannya."Apa kau tuli? Lenyapkan dia sebelum dia tumbuh semakin besar dan–""Tidak!" potongnya. "Apa kau sudah gila? Kau berniat untuk melenyapkan janin yang bahkan belum memiliki bentuk?" Ia menatap Max tak percaya.Max menarik tubuhnya lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berbalik memunggungi Mentari dengan wajah kalut. Sungguh, ini diluar dugaan. Max tidak pernah berpikir bahwa Mentari bisa saja hamil karena ulahnya."Justru karena dia belum memiliki bentuk, kau harus mengambil keputusan ini, Gadis Bodoh! Kehamilanmu hanya akan membawa bencana bagi dirimu sendiri!" sarkasnya semakin sengit. Berpikir bahwa pendapatnyalah yang paling benar saat ini.Mentari termangu sambil terus menangis. Jemarinya bergerak gelisah, rasa sakit ini benar-benar men
Semuanya berubah, tidak ada kehangatan seperti yang terjadi beberapa menit lalu. Max kembali pada sikap iblisnya dan menguarkan aura yang kuat. Kakinya terus menjejak lantai marmer, membuat jaraknya dengan Mentari semakin terkikis. Apalagi kini Mentari telah tersudut pada dinding yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur."Kau yang melakukannya." Matanya yang berkilat tajam menusuk Mentari tepat pada retinanya."Bukan," jawab Mentari tegas, tanpa gemetar, karena memang bukan dia pelakunya."Kau yang memasak makanan itu dan kau memiliki banyak alasan untuk menghabisiku." Satu tangan Max terangkat, mengusap permukaan pipi Mentari yang sangat halus. Sampai gadis itu memejamkan matanya selama beberapa detik karena menerima sentuhan Max."Memang, tapi aku tidak menambahkan racun ke dalamnya.""Tapi tidak ada orang di dapur selain dirimu." Sentuhannya menurun ke area rahang Mentari."Demi Tuhan, aku tidak–arrgh!" Gadi
Bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga saat timah panas itu mengambil jalur dari lorong pistol. Di waktu yang bersamaan, sesosok tubuh manusia ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Ada lubang di belakang kepalanya yang menjadi sumber cairan kemerahan itu berasal. Sosok itu langsung meregang nyawa dengan mata terbuka, seolah tak rela kehidupannya telah direnggut paksa oleh seseorang."Andrew!" teriak rekannya yang kini melongo tak percaya setelah menyaksikan adegan berdarah itu.Dia berbalik menghadap pintu. Ada dua pria yang kini masuk, salah satunya membawa sebuah pistol yang masih berasap. Secara naluriah ia berjalan mundur dan tak sengaja menubruk tubuh Shaka yang kini memandang heran."Tu-tuan Alvin," ucapnya terbata. Kegugupan seolah menelannya hingga dahinya dibanjiri keringat dingin."Good bye," kata Alvian melambaikan tangannya lalu merebut pistol dari sang kakak. Ia mengarahkan moncongnya pada sang anak buah.
Max menyeringai tajam ketika mata elangnya melirik gadis yang sedang tertidur pulas karena efek obat bius yang sebelumnya telah ia berikan. Satu tangannya terulur untuk menarik rahang Mentari agar menoleh ke arahnya, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengendalikan kecepatan mobil yang kini melaju kencang.Untung saja pihak hotel yang merupakan rekan kerjanya memberitahu kejadian yang menimpa Mentari, sehingga ia langsung membatalkan pertemuan dengan kelompok mafia lain dan segera menyusun rencana untuk mengambil alih Mentari dari tangan polisi. Mentari sudah seperti mainan berharga, ia tidak mau mainannya dicuri, begitu pikir Max.Max menoleh sekilas saat terdengar lenguhan kecil dari bibir gadis itu. Mentari mulai sadar. Akan tetapi, ia pasti kebingungan karena meskipun telah membuka mata, hanya kegelapan yang menyambangi penglihatannya. Ya, Max selalu mengikat matanya dengan kain hitam agar gadis itu tak mengetahui past