Enam truk dan sebuah Jeep hitam yang menjadi pemimpin berjalan konvoi ke sebuah daerah di kaki gunung. Lebatnya hutan menjadi saksi bagaimana para korban itu bergelung dalam rasa takutnya.
Dua jam berlalu, semua kendaraan itu memasuki gerbang yang di baliknya berdiri rumah lima lantai. Kemegahan senantiasa menyambut. Namun, tak ada yang pernah tahu, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik kata 'megah' itu sendiri.
Para korban dikeluarkan secara paksa kemudian diseret masuk. Masing-masing dari mereka diperintahkan untuk berbaris di ruang utama. Kain penutup mata dibuka dan mereka diharuskan tetap bungkam. Tak boleh bersuara apalagi melawan.
Lagi, suara sepatu menggema di lantai marmer. Meskipun pesona seorang Max mampu memikat mata, tetapi kebanyakan tak ada yang bernyali besar untuk membalas tatapan tajam dari mata elang itu.
Seorang pria menggeser kursi lalu membersihkannya dengan tissue. Max duduk dengan satu kaki bertumpu di atas kaki lainnya di kursi tersebut. Matanya menyisir satu per satu di antara wajah lima pria dan dua puluh lima wanita yang kini menjadi tawanannya. Mata Max berhenti pada sosok Mentari.
"Pisahkan gadis angkuh itu. Dia tidak boleh dicampur dengan tawanan yang lain. Aku tidak mau pikiran mereka terkontaminasi dengan sifat pembangkangnya."
Kedua lingkar mata Mentari melebar. Seorang anak buah menghalangi langkahnya dengan senjata laras panjang ketika ingin mendekat ke arah Max, tetapi Max sendiri justru memberinya izin.
"Kau berkata seperti itu seolah-olah aku adalah virus mematikan yang wajib dibasmi. Tapi, ya, aku memang akan memengaruhi pikiran mereka agar tidak diam saja saat diperlakukan semena-mena," kata Mentari. Pupilnya menatap nyalang, tak mengenal takut sama sekali.
Max tertawa pelan. Ia menurunkan kakinya kemudian bangkit. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana lalu ia mendekati Mentari.
"Aku suka caramu berbicara. Mungkin jika kau tidak bernasib sial, kau bisa menjadi juru bicara yang baik. Tapi sekarang kau hanyalah tawananku, tugasmu bukan untuk berbicara dan melawan, melainkan-" Max bergerak memutar kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Mentari. "-menjerit di bawahku."
"Kau!" Sontak Mentari menoleh. Keningnya menabrak pelipis Max hingga mereka terhenyak karena berada dalam jarak yang sangat dekat. Bahkan, hembusan napas Mentari terasa menyapu kulit Max hingga membuatnya meremang.
"Jangan mengagumi wajah tampan dari pria yang berstatus rivalmu."
Mentari ingin membantah, tetapi urung karena berpikir Max akan membalasnya dengan kata-kata mesum yang semakin membuatnya kesal.
Jarak mereka kembali berjauhan ketika Max menarik dirinya dan menghadap para tawanan yang lain. Sikapnya yang datar dan tenang membuat seorang pria di barisan paling belakang berdecih.
"Aku hanya ingin berkata untuk mereka yang mengaku pria. Jadilah anak buahku, atau kalian akan aku jadikan penyumbang organ tubuh gratis." Kalimat Max membuat lima tawanan prianya menggeram marah. Besar keinginan mereka untuk membantah tawaran Max. Namun, lorong panjang dari senjata yang menggantung di setiap bahu para penjaga membuat mereka gentar.
"Dan, ya, untuk para gadis, kalian pasti tahu apa tugas kalian di sini." Max menjeda kalimatnya. "Kalian akan dijadwal untuk menjadi wanita sewaan. Jika sedang tidak bekerja, kalian akan menjadi pelayan di sini."
Seringai tipis mengakhiri kalimat Max karena sesaat kemudian ia melenggang pergi bersama dua orang yang ... berwajah sama. Ya, karena mereka adalah kembar identik.
***
Di dalam ruangan sempit di lantai tiga, tubuh mungil Mentari meringkuk kedinginan. Salah satu kakinya dipasangi rantai sehingga meskipun pintu terbuka lebar, ia tidak akan bisa melarikan diri.
Ruangan yang saat ini dia tempati jauh lebih layak dari sebelumnya. Lantai yang ia pijak bukan lagi lantai semen yang sudah rusak dan banyak ditumbuhi lumut. Melainkan lantai marmer yang berharga jutaan.
Namun, apa yang disebut baik jika Mentari tetap diikat layaknya seorang tawanan? Terlebih, saat ini ia berada di negeri asing yang jauh dari tempat tinggalnya. Istilah terkurung dalam sangkar emas, sepertinya sudah cocok disematkan untuk keadaannya saat ini.
Rintihan kecil lolos dari bibir tebalnya. Ia kelaparan. Terhitung sudah lebih dari dua puluh empat jam perutnya tidak diisi dengan makanan atau minuman. Para pria berwajah bule itu tidak berperasaan sama sekali.
Wajah Mentari terdongak ketika ujung sepatu pantofel mengilap menyapa penglihatannya. Paras menawan Max kembali mengganggu. Kali ini, terlukis begitu indah saat Mentari menyaksikannya dari bawah.
"Ambil makanan ini dan cepat habiskan!" Pria itu berjongkok kemudian meletakkan sebuah piring seng yang di atasnya terdapat makanan yang ... jauh dari kata layak. Nasi putih berlendir dengan aroma tak sedap ditemani sepotong daging panggang yang pinggirnya telah berkurang. Kemungkinan, daging itu adalah makanan sisa kemarin dari para anak buahnya.
Mentari ingin muntah. Bahkan, ayam peliharaannya di rumah mungkin enggan memakan nasi basi seperti ini.
"Ini ...?"
"Makanan basi, aku tahu. Tapi bukankah seorang tawanan tidak pernah mendapatkan sesuatu yang layak? Terima saja, sebelum aku berubah pikiran dan membawanya kembali." Max menyeringai. Ia kembali bangkit kemudian menggeser piring itu dengan ujung sepatunya.
Tak ada yang tahu kapan Mentari akan kembali dipertemukan dengan makanan. Jadi, ia memutuskan untuk memakan makanan itu meskipun berulang kali harus menahan mual. Jangan tanyakan bagaimana rasanya. Karena makanan anjing jauh lebih nikmat daripada makanan basi yang masuk ke dalam tubuh Mentari.
Matanya berkaca-kaca saat Mentari menyadari, ia sedang berada di neraka. Neraka dunia. Entah sampai kapan. Karena yang jelas, saat ia sudah masuk ke dalam kurungan Max, maka terasa mustahil untuk bisa keluar darinya.
"Ini baru awal. Jangan menangis dulu. Bukankah aku sudah berjanji untuk membuatmu menderita?" Max menyeringai sebelum ia meninggalkan Mentari bersama dukanya.
***
"Cambuk dia!" perintah seorang pria berambut gondrong pada tiga anak buah berseragam hitam di depannya.
Shaka, pria yang saat ini duduk bersimpuh dengan kedua tangan yang diikat ke belakang menggeram marah. Pria itu-Jonathan-sejak tadi memberinya pilihan sulit yang membuatnya muak.
Tar!
Entah sudah berapa kali kulit sawo matangnya ditampar oleh untaian tali yang ujungnya digenggam oleh anak buah Max. Sakit? Tentu saja. Permukaan kulitnya seperti terbakar dan memerah. Namun, Sakha tetaplah Sakha. Pria keras kepala yang tegak pada pendiriannya.
"Apa kau masih ingin melawan? Cepat tentukan pilihanmu! Jadi anak buah Leader atau menyerahkan nyawamu dengan menjadi penyumbang organ tubuh gratis?" Jonathan berteriak hingga gurat-gurat di lehernya mencuat.
"Aku tidak sudi! Menentukan pilihan artinya menggali lubang kematianku sendiri!"
"Brengsek-"
"Ada apa?" Suara berat mengalihkan perhatian semua orang.
Masing-masing kepala-kecuali Sakha-menunduk hormat. Jonathan dan yang lainnya memberi jalan untuk Max serta dua orang pengawalnya, si kembar Alvin dan Alvian.
"Leader, pria angkuh ini tidak mau memilih. Mungkin aku harus memberinya hukuman yang lebih berat." Jonathan angkat bicara tanpa menatap Max. Karena sikap hormatnya mengharuskan ia tetap menundukkan kepala.
"Tidak usah. Biar aku yang tangani." Max mendekati Sakha. Tangan kanannya menjambak rambut pemuda itu hingga si empunya terdongak. "Arshaka Nusantara, itu namamu 'kan?"
Bibir Shaka menipis. Aura kemarahannya semakin terasa, tetapi hal itu justru membuat Max merasa geli.
"Kudengar kau dan gadis bernama Mentari itu sudah berteman sejak kalian bertemu di penjaraku, benar?"
"Bukan urusanmu!" jawab Shaka ketus.
"Okay, tidak masalah. Tapi bagaimana jika teman barumu itu menjadi temanku juga? Ah, teman tidur maksudnya." Max tertawa pelan.
Sakha tercekat. Ia ingin menyingkirkan tangan Max. Namun, cengkraman pria itu justru semakin menguat.
"Jangan pernah menyentuhnya, Brengsek! Kau akan berhadapan denganku jika sekali saja kau menyakitinya!" Shaka memberontak.
"Tepat sekali. Jika kau tidak ingin aku menyakitinya ... lagi, kau harus menentukan pilihanmu. Karena aku tidak mau memaksa seseorang untuk menjadi anak buahku. Jadi aku memberinya pilihan." Max menyeringai. "Anak buah atau penyumbang organ tubuh gratis?"
Sakha menghembuskan napas kasar. Baginya, tidak ada pilihan. Mungkin jauh di dalam hatinya lebih memilih mati daripada harus menjadi anak buah Max. Namun, keberadaan Mentari sebagai teman barunya, mengharuskan Sakha untuk tetap hidup agar bisa memberi perlindungan pada gadis itu. Tak tahu mengapa, tetapi besar keinginan Sakha untuk terus menjaga Mentari sejak pertemuan pertama mereka.
"Baiklah. Aku akan menjadi anak buahmu."
"Huweeek! Huweeek!"Rasanya sudah habis tenaga Mentari untuk memuntahkan isi perutnya yang bergejolak. Ia lemas. Makanan basi itu nyatanya memang tidak cocok dikonsumsi. Lambungnya tak menerima sekali pun ia memaksa.Sudut ruangan adalah tempat yang ia pilih. Mentari sudah tak tahan sementara tidak terdapat toilet di ruangan sempit ini. Ia sendiri enggan untuk meminta bantuan pada para penjaga. Bisa jadi, mereka justru akan menyuruhnya untuk memakan kembali muntahan yang telah keluar.Mentari terduduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding. Napasnya terengah-engah dan keningnya dipenuhi keringat. Wajah ayu yang semula berseri kini berubah pucat serupa mayat hidup. Mentari memejamkan matanya untuk mengatasi rasa pusing yang tiba-tiba menyerang.Hingga tanpa sepengetahuannya pintu ruangan terbuka bersamaan dengan seseorang yang masuk ke dalam. Kini sedikit berbeda. Langkah tegap yang biasanya mampu mengintimidasi, sekarang
"Kau ingin melarikan diri? Apa kau sudah gila? Ini adalah sarang iblis. Ada banyak penjaga di sini dan pasti tidak mudah untuk melarikan diri. Jika kita tertangkap, entah apa yang akan terjadi pada diri kita, Shaka," bisik Mentari kali ini sedikit bersuara.Ketakutan Mentari bukan tidak beralasan. Bila Max saja mampu membuat para tawanannya hidup serupa di neraka, maka bukan tidak mungkin dia juga akan bertindak lebih pada mereka yang berniat melarikan diri."Apa maksudmu? Apa kau tidak ingin pergi dari sini? Apa kau ingin disiksa setiap hari? Dijadikan wanita sewaan lalu jika kau menolak kau akan diberi cambukan lima puluh kali?" Shaka menggeleng pelan. "Tidak, Mentari, ini adalah kesempatan kita. Kita harus melarikan diri dari sini sebelum hidup kita benar-benar dibuat hancur. Ayo!"Shaka menarik pergelangan tangan Mentari, tetapi gadis itu tetap dalam posisinya."Shaka, aku–""Kita tidak punya banyak waktu, Me
Waktu kian berlalu. Tirai kegelapan yang menutupi sebagian bumi mulai tersingkap. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan perlahan membuat suasana hutan menjadi terang.Berjam-jam kedua anak manusia itu berlari tak kenal lelah. Tanpa tujuan dan buta arah. Niat mereka sudah bulat. Meskipun resiko besar tengah mengintai, mereka tetap tak menyerah.Pergelangan Mentari terasa seperti akan lepas. Kram yang ia rasakan sudah tak terhitung lamanya. Napasnya yang tak beraturan dan tenggorokan yang menyekat ia kesampingkan demi sebuah kata 'bebas' dari gelar sang Tawanan.Sreeet!Ranting pohon menggores telapak kakinya hingga menimbulkan luka yang cukup dalam. Ujung celana panjang yang Mentari kenakan juga sedikit koyak. Gadis itu berhenti dan mendesis pelan. Ia menarik Shaka agar mengetahui keadaannya."Berhenti sebentar. Kakiku ... kakiku terluka, Shaka," kata Mentari dengan napas terengah-engah.Dia dudu
Rasa lelah yang melingkupi membuat dua orang itu langsung berjalan ke arah sungai. Shaka membantu Mentari yang masih berjalan terpincang-pincang. Mereka berjongkok di pinggiran sungai kemudian meminum airnya."Cepatlah! Mereka bisa datang kapan saja." Shaka berdiri lebih awal setelah menuntaskan dahaganya. Memperhatikan keadaan sekitar yang amat sepi dan lengang."Aku ... aku lelah sekali. Tidak bisakah kita berhenti sejenak untuk beristirahat?" Ia duduk di atas batuan kering sembari meluruskan kakinya.Shaka bertolak pinggang dan berbalik. Wajahnya juga terlihat lelah. Akan tetapi, tak ada sedikit pun niatan untuk mengabulkan permintaan Mentari. Baginya, saat ini waktu terasa amat mencekik. Anak buah Max bisa datang kapan dan darimana saja."Kita baru akan beristirahat setelah kita menemukan jalan raya dan terbebas dari sini."Satu helaan napas panjang lolos dari bibir tebal Mentari. Ia mengurut kakinya yang terasa kr
Di kedalaman jurang yang dipenuhi semak belukar. Tempat yang mungkin saja menjadi sarang ternyaman para ular beracun yang tengah mencari mangsa. Di sanalah kedua anak manusia berbeda jenis kelamin itu tergeletak mengenaskan dengan beberapa luka menganga yang masih mengeluarkan darah segar.Matanya masih terpejam. Begitu damai seolah kelopak mata keduanya tidak akan terbuka lagi.Hingga Shaka yang mengawali. Netranya bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka. Terdengar desisan kecil dari bibirnya yang menandakan bahwa ia tak baik-baik saja. Luka-luka di sekujur tubuhnya pasti menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Apalagi, ada sebuah peluru yang kini masih bersarang di betisnya.Meskipun begitu, pemuda dua puluh lima tahun itu tetap berusaha bangun untuk memeriksa keadaan sekitar. Matanya terperangah ketika mendapati tubuh Mentari yang tergeletak tak jauh darinya. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Kepalanya berdarah, beberapa bagian dari pakai
Kedua insan itu mematung dengan bibir terbuka dan pupil membesar. Tubuhnya kaku mematung di tempat. Meskipun mereka masih berpegangan tangan, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa jantungnya berdebar-debar. Membuat lidah mereka terasa kelu hingga tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata pun.Secara refleks, mereka berjalan mundur. Genggaman dari tangan Shaka semakin menguat untuk menghilangkan rasa takut dalam benak Mentari. Di detik selanjutnya, pemuda dua puluh lima tahun itu menoleh dan membuat gadis di sampingnya juga melakukan hal serupa hingga pandangan mereka bertemu."Shaka, harimaunya ...," lirih Mentari nyaris menyatu dengan desisan angin.Dia meneguk ludahnya yang terasa berat dan kembali mengalihkan perhatian pada hewan besar di depan sana.Ini memang hari yang sial bagi mereka. Setelah selamat dari maut karena terjatuh dari jurang, kini mereka harus dihadapkan pada harimau besar yang sedang kelaparan. Jaraknya hanya sek
Mentari membuka matanya secara perlahan-lahan. Menyesuaikan cahaya sekitar yang terasa menusuk retinanya. Pusing yang teramat sangat tiba-tiba mendera hingga gadis itu kembali memejamkan mata sembari mendesis.Saat merasa lebih baik, Mentari baru sadar akan suasana sekitar. Pandangannya langsung jatuh pada pria yang duduk dengan jarak lima meter di hadapannya. Terlihat sangat angkuh karena ia menaruh salah satu kaki di atas kaki yang lain. Asap mengepul dari rokok yang tersemat di antara jemarinya. Seolah menunjukkan bahwa dialah yang paling berkuasa di sana.Mentari berdecih. Pandangannya bergulir hingga sampai pada kondisinya saat ini. Terduduk di sebuah kursi kayu dengan kedua tangan terikat ke belakang. Tidak ada siapapun selain mereka berdua. Padahal ruangan yang saat ini dia tempati adalah aula yang cukup besar. Hatinya bertanya-tanya. Kemana Shaka dibawa pergi?"Apa kau mencari temanmu itu?" Max buka suara membuat asap keluar dari mulut dan hi
"Arrrgh ...!" Teriakan Shaka bersahutan dengan suara Mentari yang menjerit keras. Bersamaan dengan terputusnya kaki kanan Shaka saat benda tajam itu menghantam lututnya.Darah menyembur keluar seperti kran air yang dinyalakan dengan volume paling tinggi. Mengenai wajah Mentari yang kini pucat pasi dengan tubuh membeku. Namun, itu tak berlangsung lama. Di detik berikutnya kesadarannya hilang hingga kepalanya tertunduk ke bawah. Peristiwa yang baru saja ia lihat, pasti akan menjadi kenangan paling buruk saat ia membuka mata nantinya.Di saat yang sama, Shaka limbung lalu terjatuh ke lantai sambil merintih kesakitan. Tubuhnya bergerak kesana-kemari menahan perih maha dahsyat. Ia tak menyangka hukuman yang diberikan Max akan seperti ini. Bila boleh memilih, ia lebih meminta kematian daripada dibuat cacat.Penderitaan Shaka semakin menyakitkan ketika suara tawa terdengar memekakkan telinga. Max memutari tubuh pem
Wanita bergaun ketat dengan bagian dada yang terbuka itu melengkungkan sudut bibirnya saat berpapasan dengan seorang pria. Tatapan nakalnya mulai berkelana, menjelajahi paras tampan serta tubuh ideal pria di hadapannya hingga tak ada yang terlewat satu inchi pun. Wanita itu sudah seperti jalang murahan yang menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menarik perhatian lawan jenis."Ehm, Nyonya Tamara, apa kau melihat Leader? Sejak tadi aku mencarinya tapi tidak kunjung kutemukan. Aku—"Wanita itu menyela, "Ya, aku melihatnya. Dia sedang berada di bawah dan sibuk bekerja bersama Alvin dan Alvian." "Kalau begitu aku juga akan ke bawah."Tamara menghalangi jalan pria itu dan menaikkan gaunnya, menciptakan situasi yang semakin panas karena ia mulai terbakar gairah. Tanpa ragu, Tamara berjalan mendekat lalu mengalungkan kedua tangan di leher sang pria. Tubuh pria itu menjadi kaku seketika hingga sesuatu terasa bangun di bawah sana. Jonathan berusaha menyingkirkan tangan Tamara, tetapi wanita
Kamar Max dan Mentari tiba-tiba menjadi ruang pertemuan dadakan. Tamara bersama putranya memaksa ingin menemui Max. Tingkahnya yang seperti perempuan murahan sebenarnya membuat Mentari muak. Ia ingin mengusirnya jika saja ia tidak membutuhkan penjelasan darinya.Lama terdiam, Mentari akhirnya bersuara dengan nada lirih. "Tolong jelaskan padaku. Dia–""Aku istrinya, apa kurang jelas?" Tamara tersenyum kemenangan, lalu mendekati Max dan bergelayut manja di lengannya. "Kami sudah menikah sejak lama, bahkan kami juga sudah memiliki seorang putra. Itu dia, namanya Peter D'alterio. Cobalah lihat dia, dia sangat mirip dengan ayahnya." Tamara menunjuk putranya lalu kembali kembali memeluk Max.Tidak ada penolakan sama sekali dari pria itu, seolah ia membenarkan apa yang dikatakan Tamara. Keduanya memamerkan kemesraan tanpa memandang bayangan Mentari yang nyaris ambruk saat melihat kebersamaan mereka.Saat pandangan Mentari jatuh pada sosok Peter
Alvin merasa jengkel dengan situasi ini. Sejak dulu, ia selalu malas berhubungan dengan wanita apalagi mereka yang keras kepala. Lalu lihatlah sekarang, ia justru harus menggantikan Leader-nya menemui wanita yang sudah lama menghilang. Jangankan bersimpati, menghirup udara dari ruangan yang sama saja ia sudah kesal setengah mati."Apa maumu?" tanya Alvin tanpa basa-basi. Setelah datang ke apartemen ini sejak lima menit lalu, yang menjadi lawan bicaranya justru diam membisu.Wanita itu berdecak. Meluruskan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu hak tinggi berwarna merah ke atas sofa. Ia berbaring di sana, seperti seorang jalang yang sedang merayu pria hidung belang. Namun, semua tingkah lakunya sama sekali tak menarik perhatian Alvin. Ia tetap berwajah datar, bahkan meski wanita itu melucuti pakaiannya sekali pun."Kau masih kaku seperti dulu. Apa Leader-mu itu tidak pernah mengajarimu cara menyenangkan wanita?" ujarnya dengan nada menggoda, kemud
Tangan Mentari yang gemetar perlahan menyentuh kulit wajah Max yang pias. Ia meringis karena merasakan hawa panas yang tak biasa. Suhu tubuh Max tinggi dan sepertinya ia mengalami demam. Semua itu semakin diperparah ketika Mentari tak sengaja menghirup aroma napasnya, bau alkohol yang menyengat begitu ketara. Apakah pria itu mabuk berat saat kondisinya sekarat? Huh, mati baru tahu rasa!Dengan sedikit kesusahan Mentari menuntun tubuh besar Max ke dalam kamar lalu menjatuhkannya ke atas ranjang. Tubuh pria itu langsung ambruk layaknya kulit tak bertulang. Mentari sedikit tertawa menyaksikannya. Andai Max sadar ia memperlakukannya seperti ini, pria itu pasti tak segan memberinya hukuman.Dalam keadaan mata yang tertutup, secara tak sengaja Max bergumam pelan. Entah apa yang ia bicarakan di tengah kondisinya yang tak berdaya seperti ini, Mentari sama sekali tak mengerti. Gadis itu mengangkat bahu dan mengabaikannya. Namun, ia ingin melakukan sesuatu saat Max sedang
Max mengayunkan kaki jenjangnya ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak berisi botol minuman keras. Kemudian duduk pada sofa panjang berwarna abu-abu di dekat jendela dan menaikkan kakinya ke atas meja lalu terpejam. Pikirannya sedang penat, kepalanya seperti diikat pada paku besi berukuran besar.Lima menit setelah itu, ia baru membuka mata. Menghubungi Alvin yang sedang menyelesaikan permasalahan jual beli senjata api untuk menyusul ke ruangan tersebut menggunakan ponselnya. Hingga tak lama, sosok yang ia tunggu menampakkan batang hidungnya dari balik pintu. Alvin lalu berdiri di hadapan pria itu."Temani aku minum," ucap Max yang langsung mendapat anggukan dari Alvin.Pria itu mengambil sebotol Cocktails beserta dua gelas kosong dan meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di sofa lainnya lalu menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas."Kapan wanita itu akan datang?" tanya Max setelah menenggak minumannya hingga tersisa
"A-apa maksudmu?" tanya Mentari dengan suara yang semakin serak. Ia menangis dalam diam beberapa detik setelah mengetahui kabar ini. Ia terlalu syok, bahkan bingung harus bagaimana mengartikan perasannya."Apa kau tuli? Lenyapkan dia sebelum dia tumbuh semakin besar dan–""Tidak!" potongnya. "Apa kau sudah gila? Kau berniat untuk melenyapkan janin yang bahkan belum memiliki bentuk?" Ia menatap Max tak percaya.Max menarik tubuhnya lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berbalik memunggungi Mentari dengan wajah kalut. Sungguh, ini diluar dugaan. Max tidak pernah berpikir bahwa Mentari bisa saja hamil karena ulahnya."Justru karena dia belum memiliki bentuk, kau harus mengambil keputusan ini, Gadis Bodoh! Kehamilanmu hanya akan membawa bencana bagi dirimu sendiri!" sarkasnya semakin sengit. Berpikir bahwa pendapatnyalah yang paling benar saat ini.Mentari termangu sambil terus menangis. Jemarinya bergerak gelisah, rasa sakit ini benar-benar men
Semuanya berubah, tidak ada kehangatan seperti yang terjadi beberapa menit lalu. Max kembali pada sikap iblisnya dan menguarkan aura yang kuat. Kakinya terus menjejak lantai marmer, membuat jaraknya dengan Mentari semakin terkikis. Apalagi kini Mentari telah tersudut pada dinding yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur."Kau yang melakukannya." Matanya yang berkilat tajam menusuk Mentari tepat pada retinanya."Bukan," jawab Mentari tegas, tanpa gemetar, karena memang bukan dia pelakunya."Kau yang memasak makanan itu dan kau memiliki banyak alasan untuk menghabisiku." Satu tangan Max terangkat, mengusap permukaan pipi Mentari yang sangat halus. Sampai gadis itu memejamkan matanya selama beberapa detik karena menerima sentuhan Max."Memang, tapi aku tidak menambahkan racun ke dalamnya.""Tapi tidak ada orang di dapur selain dirimu." Sentuhannya menurun ke area rahang Mentari."Demi Tuhan, aku tidak–arrgh!" Gadi
Bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga saat timah panas itu mengambil jalur dari lorong pistol. Di waktu yang bersamaan, sesosok tubuh manusia ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Ada lubang di belakang kepalanya yang menjadi sumber cairan kemerahan itu berasal. Sosok itu langsung meregang nyawa dengan mata terbuka, seolah tak rela kehidupannya telah direnggut paksa oleh seseorang."Andrew!" teriak rekannya yang kini melongo tak percaya setelah menyaksikan adegan berdarah itu.Dia berbalik menghadap pintu. Ada dua pria yang kini masuk, salah satunya membawa sebuah pistol yang masih berasap. Secara naluriah ia berjalan mundur dan tak sengaja menubruk tubuh Shaka yang kini memandang heran."Tu-tuan Alvin," ucapnya terbata. Kegugupan seolah menelannya hingga dahinya dibanjiri keringat dingin."Good bye," kata Alvian melambaikan tangannya lalu merebut pistol dari sang kakak. Ia mengarahkan moncongnya pada sang anak buah.
Max menyeringai tajam ketika mata elangnya melirik gadis yang sedang tertidur pulas karena efek obat bius yang sebelumnya telah ia berikan. Satu tangannya terulur untuk menarik rahang Mentari agar menoleh ke arahnya, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengendalikan kecepatan mobil yang kini melaju kencang.Untung saja pihak hotel yang merupakan rekan kerjanya memberitahu kejadian yang menimpa Mentari, sehingga ia langsung membatalkan pertemuan dengan kelompok mafia lain dan segera menyusun rencana untuk mengambil alih Mentari dari tangan polisi. Mentari sudah seperti mainan berharga, ia tidak mau mainannya dicuri, begitu pikir Max.Max menoleh sekilas saat terdengar lenguhan kecil dari bibir gadis itu. Mentari mulai sadar. Akan tetapi, ia pasti kebingungan karena meskipun telah membuka mata, hanya kegelapan yang menyambangi penglihatannya. Ya, Max selalu mengikat matanya dengan kain hitam agar gadis itu tak mengetahui past