"Kau ingin melarikan diri? Apa kau sudah gila? Ini adalah sarang iblis. Ada banyak penjaga di sini dan pasti tidak mudah untuk melarikan diri. Jika kita tertangkap, entah apa yang akan terjadi pada diri kita, Shaka," bisik Mentari kali ini sedikit bersuara.
Ketakutan Mentari bukan tidak beralasan. Bila Max saja mampu membuat para tawanannya hidup serupa di neraka, maka bukan tidak mungkin dia juga akan bertindak lebih pada mereka yang berniat melarikan diri.
"Apa maksudmu? Apa kau tidak ingin pergi dari sini? Apa kau ingin disiksa setiap hari? Dijadikan wanita sewaan lalu jika kau menolak kau akan diberi cambukan lima puluh kali?" Shaka menggeleng pelan. "Tidak, Mentari, ini adalah kesempatan kita. Kita harus melarikan diri dari sini sebelum hidup kita benar-benar dibuat hancur. Ayo!"
Shaka menarik pergelangan tangan Mentari, tetapi gadis itu tetap dalam posisinya.
"Shaka, aku–"
"Kita tidak punya banyak waktu, Mentari. Cepatlah, sebelum para penjaga itu sadar bahwa aku sudah tidak ada di penjara." Lagi, Shaka menarik Mentari. Namun, gadis itu hanya bergeser satu langkah kemudian berhenti. "Ada apa lagi?"
"Gadis itu, kita harus membawanya juga. Tunggu sebentar, aku akan membangunkannya." Mentari melepaskan tangan Shaka kemudian berbalik. Akan tetapi, matanya membulat saat menyadari satu hal, gadis itu sudah tidak ada di dalam ruangannya.
"Siapa yang kau maksud?" tanya Shaka, tidak mengerti karena sejak tadi hanya Mentari yang ia temui di ruangan sempit itu.
"Tadi ... tadi ada seorang gadis di sini. Dia menangis dan memelukku. Kemana dia?" Mentari memperhatikan seluruh penjuru ruangan. Nihil, hanya dia dan bekas muntahannya yang hampir mengering.
Sakha mendekati Mentari dan kembali meraih tangannya. Gadis itu berbalik hingga pandangan mereka bertemu.
"Sudahlah. Waktu kita semakin menipis. Jika kita berhasil lolos, kita akan meminta bantuan pihak kepolisian untuk membebaskan para tawanan di rumah ini. Sekarang kita harus pergi." Shaka tak lagi menunggu respon Mentari. Ia langsung menarik tangan gadis itu ke arah pintu.
Pemuda dua puluh lima tahun itu tidak langsung keluar. Ia membuka daun pintu sedikit kemudian mengintip suasana di luar melalui celah-celah. Setelah merasa cukup aman, ia mengajak Mentari untuk mengikutinya.
Beruntung, suasana di tengah malam seperti ini tidak terlalu ketat. Hanya beberapa anak buah Max yang berlalu-lalang untuk melakukan patroli. Sementara Shaka sangat lihai dalam menghindar. Ia cepat membaca situasi sehingga akan langsung bersembunyi jika melihat bayangan seseorang yang mendekat.
Saat ini, yang pemuda itu cari adalah lift atau tangga untuk menuju lantai dasar. Perjalanannya ketika akan dibawa ke ruang penjara dan saat ia ingin menemui Mentari cukup untuk membantunya mengetahui tata letak rumah lima lantai ini.
"Bersembunyi di balik dinding, ada seseorang yang akan kemari," bisik pemuda itu pada Mentari.
Mereka merapatkan tubuh. Tangan kanan Mentari membekap mulutnya sendiri karena takut akan mengeluarkan suara dan membahayakan keberadaan mereka.
Dua pria berseragam hitam dan bertubuh jangkung melintasi mereka. Nasib baik sedang berpihak. Keduanya sibuk berbincang dan tidak menyadari kehadirannya. Mereka bisa bernapas lega.
Shaka dan Mentari keluar dari tempat persembunyiannya ketika situasi sudah aman. Mata mereka menelisik sekitar untuk berjaga-jaga kalau ada penjaga lain yang mendadak datang.
"Dua penjaga itu datang dari arah sana. Kemungkinan, ada sebuah tangga atau lift dari arah yang sama. Ayo." Mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Namun, baru mengayunkan kaki lima langkah, Mentari mendadak berhenti. Hal itu membuat Shaka berbalik dan menatapnya heran.
"Ada apa?"
Mentari melirik Shaka sejenak kemudian berbisik, "Tunggu sebentar. Ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan." Gadis itu memisahkan diri dan berjalan ke arah lain.
"Mentari! Hei, kau mau kemana? Jangan gegabah." Pemuda itu panik. Ia menyusul rekannya sambil mengawasi keadaan sekitar.
Shaka berhenti di depan pintu lalu membulatkan matanya ketika melihat apa yang dilakukan Mentari. Gadis itu memasuki sebuah ruangan lalu tidak lama kemudian ia keluar sambil membawa sepotong kue di tangannya. Mimik wajahnya nampak berseri-seri seperti mendapat hadiah bongkahan emas.
"Apa yang kau lakukan?"
"Sesuatu yang darurat. Aku butuh amunisi untuk perutku."
"Dalam keadaan genting seperti ini?" Shaka nyaris tak percaya saat melihat gadis itu memakan kuenya dengan begitu tenang.
"Mau bagaimana lagi? Pria gila itu hanya memberiku makanan basi. Coba bayangkan. Bahkan ayamku saja enggan untuk memakan makanan seperti itu." Setelah makanannya habis, ia menjilati tangannya sendiri lalu bersendawa.
"Sudah selesai?" Mentari hanya menganggukan kepala. "Apa kita bisa pergi sekarang?"
"Sebenarnya aku butuh minum. Tapi sudahlah, tidak apa-apa. Mungkin aku bisa minum setelah keluar dari rumah ini."
"Kita bisa keluar jika kau bergerak cepat. Karena jika kita hanya berdiam di sini, aku bahkan ragu kita bisa berjalan satu langkah saja." Sakha menatap Mentari kesal kemudian berjalan meninggalkannya. Mentari yang masih ada dalam posisinya hanya memajukan bibir bawahnya.
"Kenapa dia marah? Memangnya aku salah apa?" Satu detik setelahnya ia sedikit berlari untuk menyamakan langkahnya dengan Shaka.
***
Jonathan menautkan alisnya heran ketika melihat ruangan penjara yang tidak dijaga oleh anak buah Max. Ia menoleh ke sekitar. Suasana sangat lengang. Kemana orang-orang yang biasanya bertugas?
Pria berambut gondrong itu berbalik ketika mendengar suara langkah kaki. Seorang anak buah menghampirinya dengan mata sayu. Jonathan melipat tangannya di dada kemudian menatap pria itu tajam.
"Bukankah kau yang ditugaskan untuk berjaga di ruangan ini?"
Pria itu menunduk lalu berkata, "Benar, Tuan."
"Lalu kau darimana saja? Bagaimana jika Leader tahu ada anak buah sepertimu? Mungkin kau akan langsung dipecat atau bahkan diterbangkan ke neraka."
"Ma-maaf, Tuan. Aku ... aku–"
"Sudah, hentikan. Sekarang katakan, apakah pria itu masih ada di dalam?" Jonathan mengalihkan pembicaraan karena kesal dengan suara gugup lawan bicaranya.
"Iya, Tuan. Saat aku meninggalkannya, dia sedang tertidur setelah aku memaksanya meminum pil."
"Baiklah, sekarang berikan kuncinya padaku, aku ingin melihatnya secara langsung." Jonathan mengulurkan tangannya ke arah sang anak buah.
Yang diperintah langsung meraba sisi kiri ikat pinggangnya. Namun, setelah beberapa saat ia tak kunjung memberi apa yang diminta dan raut wajahnya berubah panik. Jonathan langsung menyadari hal itu.
"Ada apa?"
Pria itu meneguk liurnya berat. Ia ketakutan saat melihat wajah Jonathan yang seperti akan memakannya hidup-hidup.
"Ma-maaf, Tuan, tapi sepertinya aku tidak sengaja menjatuhkan kunci itu. Aku tidak ingat dimana, tapi–"
Jonathan kembali menurunkan tangannya kemudian mencengkram kerah baju pria itu. Bibirnya menipis dan gurat-gurat di lehernya nampak menonjol. Jelas sekali bahwa pria itu sangat marah dengan apa yang terjadi.
"Bagaimana kau bisa seceroboh itu?! Bagaimana kalau–" Ucapan Jonathan terhenti ketika ia menyadari sesuatu. Perlahan tangannya mengendur lalu ia mendorong anak buah itu sedikit kasar.
Jonathan berbalik. Tangannya menyentuh kenop pintu kemudian memutarnya. Ia terhenyak dengan mata membulat ketika pintu berhasil dibuka dengan mudah. Pintu itu tidak terkunci. Jonathan merangsek masuk. Pandangannya mengedar dan tak mendapati seorang pun di ruangan itu.
"Kemana? Kemana dia? Kenapa ruangannya kosong?!" Jonathan menatap sang anak buah dengan marah. "Kau bilang dia masih ada di ruangan ini 'kan, lalu kemana dia? Kenapa tidak ada?!"
"A-ampun, Tuan, se-sepertinya pemuda itulah yang telah mengambil kuncinya tanpa sepengetahuanku. Dia ... pasti kabur dari sini." Saat ini, yang bisa dilakukan pria itu hanya menunduk takut. Para atasannya selalu terlihat menakutkan jika sedang marah.
Napas Jonathan terengah-engah. Kedua tangannya mengepal bersiap untuk meluapkan amarahnya.
"Dasar payah!"
Bugh!
Anak buah Max tersungkur ke lantai saat pukulan keras dari Jonathan mengenai sudut bibirnya. Ia segera bangkit dan mengabaikan darah yang mulai menetes.
"Bagaimana mungkin ini terjadi? Bukankah kau bilang, kau sudah memberinya pil?" Jonathan terdiam sejenak. Ia berbalik kemudian matanya memindai ke sekitar. Pandangannya berhenti pada sebuah benda kecil berwarna putih di sudut ruangan. Jonathan berjongkok kemudian meraihnya.
"Tuan, itu adalah pil tidur yang tadi aku berikan padanya."
Tangan Jonathan mengepal erat. Ia sudah kecolongan.
"Dia tidak sebodoh yang aku kira."
***
Jonathan tak berani untuk mengangkat kepalanya saat ini. Detak jantungnya akan berdebar dua kali lebih cepat ketika matanya bertubrukan dengan netra tajam Max. Sejak beberapa saat lalu, ia hanya membisu dengan tubuh kaku.
"Apa kau akan tetap berdiam di sana sampai aku menghajarmu? Katakan, ada apa kau menemuiku tengah malam seperti ini?" ucap Max di kursi kebesarannya. Di samping kanan dan kirinya, ada si kembar Alvin dan Alvian yang bersikap siaga.
Jonathan bergerak gelisah. Keringat dingin menetes di dahinya tanpa sadar. Ia meneguk liurnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa menyekat.
"Maaf, Leader, tapi aku harus menyampaikan kabar buruk ini di tengah malam." Jonathan berusaha mati-matian untuk mengeluarkan suara.
"Katakan, setelah itu aku akan punya alasan untuk menamparmu."
Jonathan menarik napas dalam-dalam kemudian berkata, "Tawanan kita, pria yang bernama Arshaka, dia–"
"Leader!" Seorang anak buah masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Wajahnya panik dan ia langsung bersimpuh di lantai. "Gadis yang kau minta untuk diletakkan di ruangan terpisah, dia berhasil melarikan diri, Leader."
Brak!
Max langsung bangun dari duduknya. Bisa dipastikan, mimik wajah yang semula datar berubah murka saat mendengar kabar dari anak buahnya.
"Kenapa ini bisa terjadi?! Memang apa tugas kalian selama ini?!" bentak Max seperti sesuatu yang memacu detak jantung semua orang.
"Maaf, Leader–"
"Leader, tawanan bernama Arshaka juga tidak ada di dalam ruangannya. Sepertinya mereka bekerja sama untuk melarikan diri dari sini." Jonathan menambahkan. Hal tersebut membuat api amarah dalam diri Max semakin berkobar.
"Brengsek! Mereka berani bermain-main denganku?! Baiklah, aku ingin lihat sejauh mana mereka bisa lari." Max kembali beralih pada orang-orang di hadapannya. "Dan untuk kalian, cari mereka sampai dapat. Aku tidak mau mereka lolos dan menyeretku ke ranah hukum."
"Baik, Leader," ucap mereka serempak.
"Tunggu sampai mereka tertangkap, aku akan memberi pelajaran yang tidak pernah mereka lupakan seumur hidup mereka."
Waktu kian berlalu. Tirai kegelapan yang menutupi sebagian bumi mulai tersingkap. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan perlahan membuat suasana hutan menjadi terang.Berjam-jam kedua anak manusia itu berlari tak kenal lelah. Tanpa tujuan dan buta arah. Niat mereka sudah bulat. Meskipun resiko besar tengah mengintai, mereka tetap tak menyerah.Pergelangan Mentari terasa seperti akan lepas. Kram yang ia rasakan sudah tak terhitung lamanya. Napasnya yang tak beraturan dan tenggorokan yang menyekat ia kesampingkan demi sebuah kata 'bebas' dari gelar sang Tawanan.Sreeet!Ranting pohon menggores telapak kakinya hingga menimbulkan luka yang cukup dalam. Ujung celana panjang yang Mentari kenakan juga sedikit koyak. Gadis itu berhenti dan mendesis pelan. Ia menarik Shaka agar mengetahui keadaannya."Berhenti sebentar. Kakiku ... kakiku terluka, Shaka," kata Mentari dengan napas terengah-engah.Dia dudu
Rasa lelah yang melingkupi membuat dua orang itu langsung berjalan ke arah sungai. Shaka membantu Mentari yang masih berjalan terpincang-pincang. Mereka berjongkok di pinggiran sungai kemudian meminum airnya."Cepatlah! Mereka bisa datang kapan saja." Shaka berdiri lebih awal setelah menuntaskan dahaganya. Memperhatikan keadaan sekitar yang amat sepi dan lengang."Aku ... aku lelah sekali. Tidak bisakah kita berhenti sejenak untuk beristirahat?" Ia duduk di atas batuan kering sembari meluruskan kakinya.Shaka bertolak pinggang dan berbalik. Wajahnya juga terlihat lelah. Akan tetapi, tak ada sedikit pun niatan untuk mengabulkan permintaan Mentari. Baginya, saat ini waktu terasa amat mencekik. Anak buah Max bisa datang kapan dan darimana saja."Kita baru akan beristirahat setelah kita menemukan jalan raya dan terbebas dari sini."Satu helaan napas panjang lolos dari bibir tebal Mentari. Ia mengurut kakinya yang terasa kr
Di kedalaman jurang yang dipenuhi semak belukar. Tempat yang mungkin saja menjadi sarang ternyaman para ular beracun yang tengah mencari mangsa. Di sanalah kedua anak manusia berbeda jenis kelamin itu tergeletak mengenaskan dengan beberapa luka menganga yang masih mengeluarkan darah segar.Matanya masih terpejam. Begitu damai seolah kelopak mata keduanya tidak akan terbuka lagi.Hingga Shaka yang mengawali. Netranya bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka. Terdengar desisan kecil dari bibirnya yang menandakan bahwa ia tak baik-baik saja. Luka-luka di sekujur tubuhnya pasti menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Apalagi, ada sebuah peluru yang kini masih bersarang di betisnya.Meskipun begitu, pemuda dua puluh lima tahun itu tetap berusaha bangun untuk memeriksa keadaan sekitar. Matanya terperangah ketika mendapati tubuh Mentari yang tergeletak tak jauh darinya. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Kepalanya berdarah, beberapa bagian dari pakai
Kedua insan itu mematung dengan bibir terbuka dan pupil membesar. Tubuhnya kaku mematung di tempat. Meskipun mereka masih berpegangan tangan, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa jantungnya berdebar-debar. Membuat lidah mereka terasa kelu hingga tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata pun.Secara refleks, mereka berjalan mundur. Genggaman dari tangan Shaka semakin menguat untuk menghilangkan rasa takut dalam benak Mentari. Di detik selanjutnya, pemuda dua puluh lima tahun itu menoleh dan membuat gadis di sampingnya juga melakukan hal serupa hingga pandangan mereka bertemu."Shaka, harimaunya ...," lirih Mentari nyaris menyatu dengan desisan angin.Dia meneguk ludahnya yang terasa berat dan kembali mengalihkan perhatian pada hewan besar di depan sana.Ini memang hari yang sial bagi mereka. Setelah selamat dari maut karena terjatuh dari jurang, kini mereka harus dihadapkan pada harimau besar yang sedang kelaparan. Jaraknya hanya sek
Mentari membuka matanya secara perlahan-lahan. Menyesuaikan cahaya sekitar yang terasa menusuk retinanya. Pusing yang teramat sangat tiba-tiba mendera hingga gadis itu kembali memejamkan mata sembari mendesis.Saat merasa lebih baik, Mentari baru sadar akan suasana sekitar. Pandangannya langsung jatuh pada pria yang duduk dengan jarak lima meter di hadapannya. Terlihat sangat angkuh karena ia menaruh salah satu kaki di atas kaki yang lain. Asap mengepul dari rokok yang tersemat di antara jemarinya. Seolah menunjukkan bahwa dialah yang paling berkuasa di sana.Mentari berdecih. Pandangannya bergulir hingga sampai pada kondisinya saat ini. Terduduk di sebuah kursi kayu dengan kedua tangan terikat ke belakang. Tidak ada siapapun selain mereka berdua. Padahal ruangan yang saat ini dia tempati adalah aula yang cukup besar. Hatinya bertanya-tanya. Kemana Shaka dibawa pergi?"Apa kau mencari temanmu itu?" Max buka suara membuat asap keluar dari mulut dan hi
"Arrrgh ...!" Teriakan Shaka bersahutan dengan suara Mentari yang menjerit keras. Bersamaan dengan terputusnya kaki kanan Shaka saat benda tajam itu menghantam lututnya.Darah menyembur keluar seperti kran air yang dinyalakan dengan volume paling tinggi. Mengenai wajah Mentari yang kini pucat pasi dengan tubuh membeku. Namun, itu tak berlangsung lama. Di detik berikutnya kesadarannya hilang hingga kepalanya tertunduk ke bawah. Peristiwa yang baru saja ia lihat, pasti akan menjadi kenangan paling buruk saat ia membuka mata nantinya.Di saat yang sama, Shaka limbung lalu terjatuh ke lantai sambil merintih kesakitan. Tubuhnya bergerak kesana-kemari menahan perih maha dahsyat. Ia tak menyangka hukuman yang diberikan Max akan seperti ini. Bila boleh memilih, ia lebih meminta kematian daripada dibuat cacat.Penderitaan Shaka semakin menyakitkan ketika suara tawa terdengar memekakkan telinga. Max memutari tubuh pem
Arshaka Nusantara, pria itu sudah sadar beberapa menit yang lalu. Akan tetapi, kondisinya tak jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tetap merintih kesakitan karena kaki yang kini diperban tidak disuntik obat bius oleh dokter yang menangani. Tentu saja, ini adalah perintah Max. Pria itu sengaja membuat Shaka menderita dengan kondisinya.Pemuda itu melirik ke arah pintu ketika langkah kaki seseorang mengalihkan pikirannya. Mimik wajah penuh penderitaan kini berganti dengan ekspresi datar saat netranya menangkap sosok Max yang kini berdiri di depan pintu setelah benda itu terbuka.Max melangkah dengan kedua tangan berada di dalam saku celana. Ia baru bersuara ketika sudah sampai di sisi ranjang Shaka."Bagaimana keadaanmu? Kuharap ... tidak jauh lebih baik." Dilanjutkan dengan kekehan ringan saat pandangannya menyapu kaki kanan Shaka yang kini hanya tinggal setengah dan berbalut perban. Bermaksud untuk mengejeknya. "Kakimu–""Dimana Men
"Leader, aku memiliki kabar buruk." Alvin berujar setelah masuk ke dalam ruang kerja Max. Kini pria itu sedang menundukkan kepalanya dengan kedua tangan berada di depan perut."Katakan!" Max tak mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.Terlihat sedikit ragu, akhirnya Alvin memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ada di benaknya. "Maaf, Leader, empat pria yang semula sudah bersedia menjadi anak buah kita mengubah keputusannya. Mereka justru memberontak dan lebih memilih untuk menjadi penyumbang organ tubuh gratis daripada harus mengabdi padamu."Gerakan tangan Max yang semula sedang mengetik sesuatu mendadak terhenti. Meskipun wajahnya masih terlihat datar, tetapi rahangnya mengeras dan auranya berubah mencekam. Secara refleks Alvin mundur beberapa langkah ketika menyadari perubahan dalam diri Max."Wujudkan keinginan mereka!" Suara berat yang mengalun penuh kemarahan membuat satu-satunya orang yang berada di dalam ruangan itu meremang.
Wanita bergaun ketat dengan bagian dada yang terbuka itu melengkungkan sudut bibirnya saat berpapasan dengan seorang pria. Tatapan nakalnya mulai berkelana, menjelajahi paras tampan serta tubuh ideal pria di hadapannya hingga tak ada yang terlewat satu inchi pun. Wanita itu sudah seperti jalang murahan yang menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menarik perhatian lawan jenis."Ehm, Nyonya Tamara, apa kau melihat Leader? Sejak tadi aku mencarinya tapi tidak kunjung kutemukan. Aku—"Wanita itu menyela, "Ya, aku melihatnya. Dia sedang berada di bawah dan sibuk bekerja bersama Alvin dan Alvian." "Kalau begitu aku juga akan ke bawah."Tamara menghalangi jalan pria itu dan menaikkan gaunnya, menciptakan situasi yang semakin panas karena ia mulai terbakar gairah. Tanpa ragu, Tamara berjalan mendekat lalu mengalungkan kedua tangan di leher sang pria. Tubuh pria itu menjadi kaku seketika hingga sesuatu terasa bangun di bawah sana. Jonathan berusaha menyingkirkan tangan Tamara, tetapi wanita
Kamar Max dan Mentari tiba-tiba menjadi ruang pertemuan dadakan. Tamara bersama putranya memaksa ingin menemui Max. Tingkahnya yang seperti perempuan murahan sebenarnya membuat Mentari muak. Ia ingin mengusirnya jika saja ia tidak membutuhkan penjelasan darinya.Lama terdiam, Mentari akhirnya bersuara dengan nada lirih. "Tolong jelaskan padaku. Dia–""Aku istrinya, apa kurang jelas?" Tamara tersenyum kemenangan, lalu mendekati Max dan bergelayut manja di lengannya. "Kami sudah menikah sejak lama, bahkan kami juga sudah memiliki seorang putra. Itu dia, namanya Peter D'alterio. Cobalah lihat dia, dia sangat mirip dengan ayahnya." Tamara menunjuk putranya lalu kembali kembali memeluk Max.Tidak ada penolakan sama sekali dari pria itu, seolah ia membenarkan apa yang dikatakan Tamara. Keduanya memamerkan kemesraan tanpa memandang bayangan Mentari yang nyaris ambruk saat melihat kebersamaan mereka.Saat pandangan Mentari jatuh pada sosok Peter
Alvin merasa jengkel dengan situasi ini. Sejak dulu, ia selalu malas berhubungan dengan wanita apalagi mereka yang keras kepala. Lalu lihatlah sekarang, ia justru harus menggantikan Leader-nya menemui wanita yang sudah lama menghilang. Jangankan bersimpati, menghirup udara dari ruangan yang sama saja ia sudah kesal setengah mati."Apa maumu?" tanya Alvin tanpa basa-basi. Setelah datang ke apartemen ini sejak lima menit lalu, yang menjadi lawan bicaranya justru diam membisu.Wanita itu berdecak. Meluruskan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu hak tinggi berwarna merah ke atas sofa. Ia berbaring di sana, seperti seorang jalang yang sedang merayu pria hidung belang. Namun, semua tingkah lakunya sama sekali tak menarik perhatian Alvin. Ia tetap berwajah datar, bahkan meski wanita itu melucuti pakaiannya sekali pun."Kau masih kaku seperti dulu. Apa Leader-mu itu tidak pernah mengajarimu cara menyenangkan wanita?" ujarnya dengan nada menggoda, kemud
Tangan Mentari yang gemetar perlahan menyentuh kulit wajah Max yang pias. Ia meringis karena merasakan hawa panas yang tak biasa. Suhu tubuh Max tinggi dan sepertinya ia mengalami demam. Semua itu semakin diperparah ketika Mentari tak sengaja menghirup aroma napasnya, bau alkohol yang menyengat begitu ketara. Apakah pria itu mabuk berat saat kondisinya sekarat? Huh, mati baru tahu rasa!Dengan sedikit kesusahan Mentari menuntun tubuh besar Max ke dalam kamar lalu menjatuhkannya ke atas ranjang. Tubuh pria itu langsung ambruk layaknya kulit tak bertulang. Mentari sedikit tertawa menyaksikannya. Andai Max sadar ia memperlakukannya seperti ini, pria itu pasti tak segan memberinya hukuman.Dalam keadaan mata yang tertutup, secara tak sengaja Max bergumam pelan. Entah apa yang ia bicarakan di tengah kondisinya yang tak berdaya seperti ini, Mentari sama sekali tak mengerti. Gadis itu mengangkat bahu dan mengabaikannya. Namun, ia ingin melakukan sesuatu saat Max sedang
Max mengayunkan kaki jenjangnya ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak berisi botol minuman keras. Kemudian duduk pada sofa panjang berwarna abu-abu di dekat jendela dan menaikkan kakinya ke atas meja lalu terpejam. Pikirannya sedang penat, kepalanya seperti diikat pada paku besi berukuran besar.Lima menit setelah itu, ia baru membuka mata. Menghubungi Alvin yang sedang menyelesaikan permasalahan jual beli senjata api untuk menyusul ke ruangan tersebut menggunakan ponselnya. Hingga tak lama, sosok yang ia tunggu menampakkan batang hidungnya dari balik pintu. Alvin lalu berdiri di hadapan pria itu."Temani aku minum," ucap Max yang langsung mendapat anggukan dari Alvin.Pria itu mengambil sebotol Cocktails beserta dua gelas kosong dan meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di sofa lainnya lalu menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas."Kapan wanita itu akan datang?" tanya Max setelah menenggak minumannya hingga tersisa
"A-apa maksudmu?" tanya Mentari dengan suara yang semakin serak. Ia menangis dalam diam beberapa detik setelah mengetahui kabar ini. Ia terlalu syok, bahkan bingung harus bagaimana mengartikan perasannya."Apa kau tuli? Lenyapkan dia sebelum dia tumbuh semakin besar dan–""Tidak!" potongnya. "Apa kau sudah gila? Kau berniat untuk melenyapkan janin yang bahkan belum memiliki bentuk?" Ia menatap Max tak percaya.Max menarik tubuhnya lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berbalik memunggungi Mentari dengan wajah kalut. Sungguh, ini diluar dugaan. Max tidak pernah berpikir bahwa Mentari bisa saja hamil karena ulahnya."Justru karena dia belum memiliki bentuk, kau harus mengambil keputusan ini, Gadis Bodoh! Kehamilanmu hanya akan membawa bencana bagi dirimu sendiri!" sarkasnya semakin sengit. Berpikir bahwa pendapatnyalah yang paling benar saat ini.Mentari termangu sambil terus menangis. Jemarinya bergerak gelisah, rasa sakit ini benar-benar men
Semuanya berubah, tidak ada kehangatan seperti yang terjadi beberapa menit lalu. Max kembali pada sikap iblisnya dan menguarkan aura yang kuat. Kakinya terus menjejak lantai marmer, membuat jaraknya dengan Mentari semakin terkikis. Apalagi kini Mentari telah tersudut pada dinding yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur."Kau yang melakukannya." Matanya yang berkilat tajam menusuk Mentari tepat pada retinanya."Bukan," jawab Mentari tegas, tanpa gemetar, karena memang bukan dia pelakunya."Kau yang memasak makanan itu dan kau memiliki banyak alasan untuk menghabisiku." Satu tangan Max terangkat, mengusap permukaan pipi Mentari yang sangat halus. Sampai gadis itu memejamkan matanya selama beberapa detik karena menerima sentuhan Max."Memang, tapi aku tidak menambahkan racun ke dalamnya.""Tapi tidak ada orang di dapur selain dirimu." Sentuhannya menurun ke area rahang Mentari."Demi Tuhan, aku tidak–arrgh!" Gadi
Bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga saat timah panas itu mengambil jalur dari lorong pistol. Di waktu yang bersamaan, sesosok tubuh manusia ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Ada lubang di belakang kepalanya yang menjadi sumber cairan kemerahan itu berasal. Sosok itu langsung meregang nyawa dengan mata terbuka, seolah tak rela kehidupannya telah direnggut paksa oleh seseorang."Andrew!" teriak rekannya yang kini melongo tak percaya setelah menyaksikan adegan berdarah itu.Dia berbalik menghadap pintu. Ada dua pria yang kini masuk, salah satunya membawa sebuah pistol yang masih berasap. Secara naluriah ia berjalan mundur dan tak sengaja menubruk tubuh Shaka yang kini memandang heran."Tu-tuan Alvin," ucapnya terbata. Kegugupan seolah menelannya hingga dahinya dibanjiri keringat dingin."Good bye," kata Alvian melambaikan tangannya lalu merebut pistol dari sang kakak. Ia mengarahkan moncongnya pada sang anak buah.
Max menyeringai tajam ketika mata elangnya melirik gadis yang sedang tertidur pulas karena efek obat bius yang sebelumnya telah ia berikan. Satu tangannya terulur untuk menarik rahang Mentari agar menoleh ke arahnya, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengendalikan kecepatan mobil yang kini melaju kencang.Untung saja pihak hotel yang merupakan rekan kerjanya memberitahu kejadian yang menimpa Mentari, sehingga ia langsung membatalkan pertemuan dengan kelompok mafia lain dan segera menyusun rencana untuk mengambil alih Mentari dari tangan polisi. Mentari sudah seperti mainan berharga, ia tidak mau mainannya dicuri, begitu pikir Max.Max menoleh sekilas saat terdengar lenguhan kecil dari bibir gadis itu. Mentari mulai sadar. Akan tetapi, ia pasti kebingungan karena meskipun telah membuka mata, hanya kegelapan yang menyambangi penglihatannya. Ya, Max selalu mengikat matanya dengan kain hitam agar gadis itu tak mengetahui past