Tak terasa ini adalah hari terakhir Lascrea menikmati cuti. Meskipun dalam cutinya dia tetap bekerja di Island Paradise, bukan menjalani liburan seperti cuti pada umumnya. Kebetulan hari ini ada dua tamu VVIP yang reservasi. Salah satunya adalah Eleven. Kedua tamu ini memesan jadwal yang berbeda meskipun di hari yang sama, dan Eleven mendapatkan kesempatan lebih awal. Dia pun menunggu di sofa seperti biasa dan tak perlu memilih lagi, karena sudah menetapkan untuk memilih Sarah hingga kedepannya. Bukan karena sudah terpikat, hanya saja Eleven merasa khawatir jika anak-anak lain tak bisa senyambung Sarah dalam menggali topik pembicaraan. Karena pada dasarnya pria itu hanya butuh teman mengobrol karena tak tega memperbudak gadis di bawah umur. Setelah memilih Sarah untuk menjadi partnernya, Eleven pun memasuki heaven room bersama gadis manis berkepang dua tersebut. Seperti biasa, mereka terduduk di tepi kasur untuk berbincang, sekadar berkeluh kesah. Pasalnya, suasana hati Eleven sedang
Eleven merengkuh kedua tangan Sarah untuk berhenti memijitnya. Hal itu menciptakan sebuah tanda tanya bagi gadis polos berkepang dua tersebut. “Ada apa, Tuan? Apa pijitanku terlalu kasar?” Eleven menelan ludah lalu menjawab, “Tidak. Hanya saja, ada suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pijitan atau segelas teh hangat.” Sarah menautkan kedua alisnya, merasa bingung dengan ucapan Eleven saat itu. “Maksud Tuan?” Eleven menghela napas panjang lalu menuntun tangan Sarah untuk memegang ‘adik kecilnya.’ “Maafkan aku Sarah. Tapi malam ini aku tak bisa menahannya lagi.” Sekarang Sarah mulai mengerti apa maksud dan keinginan Eleven saat ini. Entah kenapa hatinya berdenyut ngilu. Pada akhirnya semuanya sama. Sarah pikir Eleven adalah sosok yang berbeda. Padahal gadis itu sudah menaruh harapan yang sangat besar dan mengagumi sosoknya meskipun belum pernah melihat wajahnya. “Kamu tidak perlu khawatir, Sarah. Aku tidak akan menyakitimu.” Eleven menatap kedua mata Sarah lek
Setelah melepas jas putihnya dan melempar secara kasar ke dalam keranjang pakaian, Arnold pun membasuh wajahnya di wastafel dan terlihat sangat lelah dengan napas yang tersenggal-senggal. Tersirat sebuah penyesalan dalam wajahnya sejak pria itu pulang dari Island Paradise. Dia pun memilih untuk mandi dan menjernihkan pikiran sebelum akhirnya bersantai di kursi goyang sudut kamar seraya menyesap sebatang rokok. Sepasang matanya terpejam, menikmati suasana malam yang sangat sunyi. Sampai akhirnya dia teringat momen pertama kali bertemu Gabby dan mengajaknya ke kamar ini. Rupanya, Arnold belum melupakan kejadian pada saat itu. Di mana dirinya dipermalukan oleh Raizel tatkala ingin melampiaskan hasratnya kepada wanita yang dia suka. Sejak saat itu, Arnold mengalami kesulitan untuk menuntaskan hasratnya karena rasa penasaran pria itu kepada Gabby tak kunjung hilang. “Gue nggak pernah dapat penolakan sejak dulu. Bisa-bisanya cewek biasa kayak dia berontak saat itu,” gumam Arnold setelah m
Di tengah kencan kedua sejoli yang tengah dimabuk cinta itu, tiba-tiba ada sebuah notifikasi pesan yang terdengar dari ponsel Gabby. Wanita itu memang tak pernah mensenyapkan ponselnya agar selalu siaga jika ada sesuatu hal yang penting. Gabby merogoh benda pipih tersebut dari tas kecilnya lalu melihat nama siapa yang tertera di pop up notifikasi. Ternyata itu George. [Aku kangen.] Gabby membuka pemberitahuan tersebut dan melihat sekilas isi dari pesan yang tertera. “Dia lagi?” Raizel sedikit mengintip, lalu memasang raut ketus. Sementara Gabby hanya tersenyum meringis. Rasanya seperti tertangkap basah karena melakukan sebuah kesalahan. “Bales aja dulu! Aku lagi berusaha belajar ikhlas buat hadapin situasi kayak gini,” ucap Raizel, membuat Gabby terkekeh. Gadis itu pun segera membalas pesan George, sesuai izin Raizel. [Aku lagi ada acara keluarga, nanti kita ketemu lagi, ya!] Belum ada lima menit, George membalas kembali. [I miss your body. Aku ke apart kamu, ya!] Gabby membe
Raizel mengantar Gabby menggunakan taksi walau di belakang tetap ada mobil ajudan yang melindungi. Pemuda itu memeluk Gabby dengan erat sebelum melepaskannya untuk kembali ke apartemen. “Aku bener-bener kangen banget sama kamu. Kapan semua ini berakhir biar kamu bisa pulang?” Sebelah tangannya mengelus rambut Gabby yang sudah tak lagi mengenakan rambut palsu. Dia menghirup rambutnya setelah mengecup kepala Gabby dengan lembut. Selang beberapa detik, Gabby melepaskan pelukan Raizel lalu tersenyum simpul seraya menangkup wajah tampan itu dengan kedua tangannya. “Sebentar lagi, Sayang. Sampai aku berhasil menyusup ke rumahnya dan mencari tahu segala tentang dia.” Raizel menghela napas gusar seraya mengangguk lesu. “Baiklah. Aku akan bersabar sebentar lagi.” Keduanya saling pandang dan mengukir senyum termanis mereka hingga akhirnya berpelukan untuk terakhir kali sebelum akhirnya terpisah karena Gabby harus kembali ke apartemen. Setelah memasuki kamarnya, Gabby mengempaskan tubuhny
Tak terasa sudah satu bulan lamanya Gabby menjalin hubungan dengan George. Keduanya kini semakin intens dan sering bertemu, baik di apartemen Gabby, atau sengaja mengatur kencan di luar agar tak terlalu bosan. Meskipun dalam waktu sau bulan ini Gabby belum mendapatkan perkembangan dalam tugasnya, namun tepat di hari ini Gabby bersepakat dengan Raizel untuk menyusun rencana di balik perayaan hari jadi yang ke satu bulan bersama George. Selepas kerja, George mengajak Gabby bertemu di sebuah restauran mewah yang terletak di dalam hotel bintang lima. Pria itu cukup romantis dengan memesan tempat yang sudah di hias rangkaian bunga mawar dan beberapa lilin-lilin kecil yang membentuk lambang hati. Kemudian, George menutup mata Gabby dan menuntunnya untuk berdiri di tengah-tengah lilin. Dirasa telah siap, George pun merubah posisinya yang semula berdiri di samping Gabby, kini menjadi berlutut di hadapan gadis itu sambil menyodorkan sebuah cincin dalam kotak berwarna merah. Dalam hitungan ke
“Welcome to my kingdom!” George membuka pintu rumahnya lalu menjulurkan sebelah tangan untuk mempersilakan Gabby masuk terlebih dulu. Gadis itu tersenyum manis sambil menepuk bahu George hingga akhirnya melangkah ke dalam rumah yang cukup besar untuk ditempati seorang diri itu. Pandangan Gabby menjelajah seisi ruangan, memberikan kesan takjub saat melihat rumah megah yang cukup rapi dan estetik. “Wah! Kamu tinggal sendirian di sini?” tanya Gabby dengan tatapan seolah-olah tak percaya. George hanya mengangguk sambil tersenyum simpul, lalu meraih dagu lancip Gabby hingga gadis itu mendongak. “Tapi sebentar lagi jadi berdua.” Kemudian George mendekatkan wajah, seperti ingin mendaratkan bibirnya. Gabby menghindar lalu terkekeh. “Kamu ini! Baru juga sampe udah mau nyium aja.” George ikut terkekeh seraya menggeleng pelan. “Yaudah, kalau gitu kamu mau makan lagi atau langsung ke kamar aja?” tanya George dengan tatapan mengerling. “Aku masih kenyang. Gimana kalau kita room tour dulu?
Gabby membuka laci nakas yang ada di samping kasur. Gadis itu melihat sebuah amplop cokelat, sebuah pistol glock 19, dan beberapa kunci yang menyatu dalam satu gantungan. ‘Sepertinya di sini ada salah satu kunci yang bisa dipakai untuk membuka ruangan itu.’ Gabby membatin seraya mengambil kunci-kunci tersebut dan mengamatinya dalam-dalam. Kemudian dia meletakkan kembali kuncinya untuk mengambil amplop cokelat yang entah apa isinya. Setelah Gabby buka, rupanya hanya berisi surat wasiat dan sertifikat rumah yang sama sekali tak penting baginya. Gabby pun memasukkan kembali dokumen itu ke dalam amplop lalu menata kembali di dalam nakas seperti semula. ‘Aku akan menunggu George tertidur dulu sebelum mencoba kunci-kunci ini.’ Gabby kembali merebahkan diri di kasur hingga George selesai mandi dan menghampirinya dengan anduk yang masih melingkar di pinggang. “Maaf ya, udah nunggu,” ucap George seraya mengecup kening Gabby. Gadis itu terpejam seraya tersenyum saat merasakan kecupan hang
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik