Setelah meminta satpam mengusir pengganggu. Benjamin lantas masuk kedalam mobil. Rhea duduk dikursi sebelahnya, sembari menatap Benjamin yang mulai fokus mengemudi mobilnya. Dalam benaknya dia bertanya-tanya. “Berapa kali aku meragu?” “Dan berapa kali pria ini membuktikan bahwa tuduhan ku salah?!” “sungukah salah?” “Ah! Aku tak tau pria ini masih saja misterius.”Benjamin melirik Rhea sepintas, kemudian dia kembali menyetir. Dia melihat kerisauan di wajah istrinya. Bak mengetahui pikiran Rhea tentangnya.Melihat mobil yang dikendarai Benjamin, Lili memanggil kakaknya. “Ya! Kak Rhea aku disini.” Ucapnya bersemangat. “Lihat kakak ku datang kemari. Jadi kau berhenti mengusirku.” suruh Lili pada satpam itu. Namun, Benjamin tak mengentikan mobilnya. Dia melajukan mobilnya melewati Lili. “Hei!! Hei!! Rhea, kak… sialan!!” umpat Lili. Dan lagi-lagi satpam itu menertawakan bagaimana Lili yang besar kepala. Lili murka atas pengabaian Rhea yang bertingkah sombong. Lili menatap taja
Saat masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan. Jantung Rhea berdetak dengan kencang terlebih didalamnya tampak gelap gulita. Selingan malam itu kembali muncul. Rhea menekan ketakutannya. Lagipula pria ini tak seliar malam itu. Sekarang dia memperlakukannya cukup baik. Rhea berusaha menenangkan diri dengan keyakinannya yang mulai tumbuh meski tak sepenuhnya mempercayainya. Benjamin sadar Rhea bergidik. Tentu saja tempat yang mirip membuat Rhea mengingat awal kejadian yang tak mengenakan. Dia sadar bahwa Rhea masih butuh waktu untuk terbiasa dengannya. Benjamin lantas menekan saklar lampu. Kala lampu menyorot terang, Rhea cukup terkejut. Taburan kelopak bunga mawar merah menghiasi kasur dengan semerbak aroma wangi yang mulai tercium. Dahi Rhea berkerut, dia menatap Benjamin penuh curiga. “Pembicaraan serius atau?!” “Ayolah! Jangan pura-pura tak tahu.” Benjamin tersenyum nakal. Benjamin menurunkan Rhea keatas kasur. Rhea menatap wajah Benjamin. Kali ini dia tak memalingkan waj
Rhea menyentuh pelan tangan Benjamin. Dia masih bergidik. “Aku mau pulang.” pintanya. Jemari Benjamin yang tadinya mengepal kuat dengan urat-urat tangannya yang nampak, lantas dia merilekskan diri. Kini perhatiannya tertuju pada Rhea. Kemudian Benjamin menyentuh pipi kiri Rhea lembut. “Ya. Kita pulang.” ucapnya menenangkan.Kemudian tiga orang bawahan Benjamin menerobos masuk. Tampak didalam situasi aman terkendali, dan tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. “Urus mereka dan ganti rugi kerusakan pada hotel ini.” perintah Benjamin. “Siap Tuan.” jawab ketiga bawahannya bersamaan. Beberapa menit kemudian Benjamin dan Rhea sampai dikediamannya. Lalu pelayan Ray datang dan memberikan dua buah sapu tangan pada tuannya. Dia baru mendapatkan informasi mengenai penyerangan itu. Pelayan Ray bak tau, bahwa mereka akan membutuhkan benda bernama sapu tangan itu. Benjamin membersihkan tangannya dengan sapu tangan itu, juga wajahnya yang terkena sedikit cipratan darah. Setelahnya dia membantu
Benjamin menatap Rhea intens. Wajahnya tampak bergairah penuh ide-ide nakal. Benjamin lantas mencumbu bagian perut Rhea dan sesekali menjilatinya dengan lembut.Rhea mengernyit. “Tenanglah Rhea, hari ini aku akan memuaskanmu.” ucap Benjamin.Rhea merasa aneh, hal ini sangat memalukan. Namun, dia tak membenci sentuhan-sentuhan suaminya.Rhea mengepal longgar tangannya, dia menutup malu mulutnya. "Rasanya sangat sulit menghindari bagian ini." benak Rhea. Benjamin mendekatkan wajahnya, dia kembali mencumbu mesra bibir manis Rhea. Hmph…Hmph... “Hah…hah… Ah…”Hawa panas menggelora, memenuhi dan menyumbat pikiran Rhea. Jemari Benjamin menyelinap di setiap sudut tubuh Rhea, dengan tangannya yang nakal merogoh masuk kedalam bagian sensitif Rhea. “Nggh… Ah…” Rhea menutup mulutnya yang terus saja mendesah. “Ah… Hmm… e-enak…”Nghh~Melihat reaksi Rhea, Benjamin memasukan barang miliknya kedalam Rhea.“AH, BE-BENNJ!” Rhea mengerang. Rhea membelalak, dia terkejut dengan erangannya sendir
Rhea terbangun dari tidurnya, matanya mengamati sekeliling. Hal pertama yang di cari tak lain adalah Benjamin. Rhea menyadari bahwa Benjamin sudah tak disisinya. Rhea menduga kala dia terlelap Benjamin bergegas pergi untuk mengurusi masalah yang timbul baru-baru ini. “Semalam aku mencuri waktunya. Aku tak berniat menggoda atau memancingnya.” Wajah Rhea merah merona, ingatan semalam memenuhi kepalanya.“Tidak!! tidak!! Jangan muncul dikepalaku lagi.” Rhea dengan cepat memblokir ingatan memalukan itu .Lantas Rhea beranjak dari kasurnya, dia menuju kamar mandi. Rhea menyalakan keran air mengisi bathtub, setelah bathub penuh dia masuk kedalamnya dan merendam diri.Rhea menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, wajahnya merona malu. Bagaimana tidak dia mengingat detail bagaimana Benjamin menjamahnya dan suaranya yang mengerang keras. “Huh! Itu memalukan.” Rhea menyenderkan diri, sembari mendongak menatap langit-langit kamar mandi. “Sulit melupakan hal-hal mengelora malam tadi. Bela
Awalnya Rhea berencana hanya berdiam bak burung dalam sangkar. Namun… “Aku bosan.” keluhnya. “Marie temani aku keluar. Hanya di halaman rumah.” pinta Rhea. Kebosanan yang mencekik membuatnya tak tahan. Kemudian, Rhea berkeliling disekitar halaman rumah ditemani oleh Marie. Terdapat beberapa bunga berwarna-warni indah yang tertata rapi, sangat menarik perhatiannya. Tiga menit kemudian, tampak seorang pria tertatih-tatih berjalan didekat gerbang. Satpam dengan cepat menahannya. Karena tampak mencurigakan. “Kau! Bagaimana bisa sampai kemari?!” tanya satpam itu, dia menyelidik. “Aku penasaran dengan rumah megah ini. Bagaimana orang-orang bisa membangun rumah besar.” jawab kakek itu. “Kau sudah melihatnya, maka pergilah sekarang.” Usir satpam itu. Tapi, Rhea tampak penasaran.Rhea mendekati kakek tua yang bertopi Jerami dengan kaos oblong yang koyak. “Jangan memperlakukan kakek itu dengan kasar.” ucap Rhea terdengar lembut. Satpam menatap nyonya rumah sekejap, tampak dia ingin
Kekhawatiran dan rasa cemas memenuhinya. Rhea terus memikirkan kalimat kakek itu hingga malam tiba. Rhea tak tenang hingga sulit memejamkan matanya. Rhea sampai tak menyadari. Detik, dan menit terus berjalan. Hingga suara langkah kaki terdengar mendekat. Rhea berpura memejamkan matanya. "Benjamin sudah pulang." benak Rhea menebak. Karena tak mungkin orang lain masuk ke kamarnya di tengah malam. Kemudian langkah kaki Benjamin mengarah ke kamar mandi, suara air mulai terdengar. Rhea semakin gelisah. “Sebaiknya ku katakan saja mengenai perkataan kakek tadi?!” “Tidak! Aku akan memeriksa dan memastikan lebih dulu mengenai perkataan kakek itu.” benaknya. Ceklek!! Suara pintu kamar mandi terbuka. Terdengar langkah kaki Benjamin yang mengarah padanya. Rhea kembali memejamkan mata. Rhea merasa risih, dia merasakan tatapan tajam terarah padanya. “Hm! Kelopak matamu bergerak-gerak. Kau tak pandai berbohong.” tukas Benjamin. Kala mendengar kalimat Benjamin, tanpa sadar Rhea mengerutka
"Jangan malu dengan panggilan Sayang dariku!" goda Benjamin. Rhea meluruskan tangannya tepat ke arah Benjamin, dia bak meminta Benjamin untuk berhenti menggoda nya. Rhea tak ingin berakhir lagi dengan panas yang menggelora. Rhea berusaha memblokir pikiran-pikiran mesumnya. Kemudian dia berjalan lebih dulu menaiki tangga, mendahului Benjamin. Rhea tak ingin terjebak dengan situasi yang akan sulit dia hadapi nantinya. Terlebih Benjamin sangat suka menyentuh bagian-bagian sensitif nya. Rhea terus melangkah, namun dalam benaknya dia sungguh penasaran dengan ruangan itu. Dia ingin memastikan sendiri kalimat dari kakek itu. Rhea menoleh kearah ruangan itu sepintas dengan kaki yang terus melangkah menaiki anak tangga. Benjamin yang berada tepat dibelakang mengamati gerik Rhea, tatapannya tajam. Lantas Benjamin mempercepat langkahnya, dia merangkul pinggang Rhea. Dengan cepat ekspresi nya berubah lebih hangat. “Jalanmu sungguh lambat.” Ucap Benjamin menoleh kearah Rhea. “Mm, aku sedi
Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.
“Wajah tertekuk dengan dahi mengkerut tak cocok dengan mu!” tukas Benjamin. “Ha! Memang siapa yang membuatku begini?” gumam Rhea. Rhea berusaha keras terlepas dari genggaman tangan Benjamin, namun apa daya genggamannya sangat kuat.Kesal! jelas itu tergambar di wajah Rhea. Dia ingin mencaci, memarahinya, dan memukul kuat pria yang mengekangnya dengan perhatian yang membuatnya kebingungan dan sulit berkutik.Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, sudah jelas pria besar ini tak akan pernah berniat kalah darinya hal sekecil apapun itu. Dia menatap datar wajah Benjamin yang bahkan tampak santai dengan senyum yang terukir indah dibibirnya. Bak tak menyadari kekesalan diwajah istrinya atau dia pura-pura tak tahu bahwa istrinya tengah menahan amarahnya? Kesabaran ada ambang batasnya dan diperlakukan seperti orang bodoh, memilih tetap diam juga melelahkan.Rhea menghela napas, dia lelah dan tak ingin berdebat lagi. Berdebat dengan Benjamin hanya membuat tensinya naik. Senyum terpaksa Rh
Bayangan bahwa semua perkataan Benjamin akan di tepati, nyatanya janji-janjinya hanya angin lalu yang terhembus begitu saja. Bertemu dengan keluarga Benjamin? Tak pernah sekalipun itu terjadi. Ketika Rhea menanyakan perihal tersebut. Selalu saja Benjamin mengalihkan pembicaraan. Semua berlalu hingga lima bulan, dan kehamilan Rhea telah memasuki delapan bulan. Tak sekalipun kalimat Benjamin terealisasikan. Hingga Rhea lelah untuk menanyakan hal itu lagi dan memilih diam. Kehamilan 8 bulan membuat Rhea kesulitan berjalan, terlebih pergerakan bayinya menjadi lebih aktif. Rhea lebih banyak menghabiskan harinya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Meski dia bosan, namun dia merasa jauh lebih aman untuknya tetap berada di sekitar rumah. Rhea duduk di kursi taman belakang rumah. Dia menghela napas pelan sembari mengelus-elus perutnya yang membesar, sesekali terasa pergerakan bayinya yang menendang-nendang. “Sebentar lagi kau akan lahir. Itu tak terasa sekali.” Rhea tersenyum ma
“Bagaimana, aku sudah wangi bukan?!” Benjamin tersenyum nakal. Rhea menarik dirinya sedikit menjauh. “Ya, kau sudah wangi.” jawabnya. “Tak perlu sampai mencumbu ku, dari jauh aku bisa mencium bau sabun dari mu.” uap Rhea sembari mendorong pelan Benjamin menjauh darinya. “Ah! Kau perlu merasakan langsung diriku yang sudah wangi ini.” goda Benjamin, dia menunduk menatap Rhea yang terlihat kesal padanya. Rhea bangkit dari duduknya. Dia tampak menghindari situasi yang jelas akan terarah kemana. “Ben sangat berbahaya jika menuruti godaan nya. Mengapa dia bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk kecil. Otot-otot dadanya sangat menarik perhatianku.” benak Rhea. Dia berdiri didekat jendela, menghindari Benjamin dengan wajah merona merah. Meski Rhea terkesan menolak dan menghindar, nyatanya pikirannya tengah kacau dan tertuju pada dada bidang Benjamin. “Pikiran mesum apa ini.” Rhea berusaha memblokir pikirannya yang terus tertuju pada Ben. Dia bahkan memukul
Sepanjang hari Rhea termenung dikursi dengan menatap kearah luar jendela, menatap langit, cuaca yang berubah-ubah, lalu lalang burung yang berterbangan, dan pesawat yang melintas beberapa kali.Semua itu adalah upayanya mengalihkan pikirannya.“Apa yang tengah kau lakukan?!” Rhea tersentak lantas menoleh, disebelahnya dia mendapati Benjamin. Dia bahkan tak menyadari kapan tepatnya kedatangannya. “Ini untukmu.” Benjamin memberikan buket bunga pada Rhea. Benjamin memberikannya begitu saja dengan wajah datarnya. Dia terlihat kaku.Mata Rhea membulat dengan ragu-ragu dia menyentuh buket bunga itu. “Kebetulan sekali aku menyukai mawar merah.” benak Rhea. “Ini sangat indah.” puji Rhea. “Aku senang kau menyukainya.” tukas Benjamin lantas menatap lekat wajah istrinya. “Mengapa tiba-tiba bunga?!” tanya Rhea penasaran. “Tak ada alasan.” jawab Benjamin.“Mm, biasanya bunga di berikan pada hari spesial. Mungkin ulang tahun, anniversary, Valentine, ya hari semacam itu. Aku tak tengah beru
Setengah hari berlalu dan Rhea lebih banyak berdiam dikamarnya. Setelah mengetahui bahwa yang kakek itu katakana bohong. Rhea merasa bodoh, percaya dengan ucapan dari orang asing. Rhea lebih banyak merebahkan diri diatas kasur dengan mata terpejam, namun tak mampu tertidur. Itu adalah bentuk kekhawatiran dan stres berlebihan tanpa dia sadari. Kemudian Rhea bangkit dari kasurnya, dia duduk di kursi dan mulai membaca buku yang sebelumnya telah dia minta ambilkan pada pelayan Ina. Rhea ingin mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya frustasi, terlebih tentang Benjamin. Sedetik kemudian air mata Rhea menetes begitu saja. “Bohong jika aku tak khawatir, bohong jika aku tak takut.” Rhea menyeka air matanya dan berusaha menenangkan diri. Lalu pembahasan mengenai Vantoni yang masih belum menemukan titik temu membuat kekesalan dalam diri Benjamin kian memuncak. Ditambah dengan Rhea yang semakin penasaran dan bergerak untuk mencari tau tentangnya. "Saat ini aku masih bisa menyembunyi
Rhea mendorong dada Benjamin. “Tidak. Aku tak ingin kau menyentuhku malam ini.” “Apa yang kau pikirkan itu hanya kecupan selamat malam.” Jelas Benjamin sembari tertawa. “Aku tak akan tertipu.” Rhea tak percaya, sering kali Benjamin berkata demikian, namun berbeda dengan tindakannya. “Sungguh?!” goda Benjamin. Rhea menjauh dari Benjamin. Dia bahkan membelakangginya. Keresahan memenuhinya dan engan menyambut sentuhan-sentuhan Benjamin. Tak ada protes atau kata-kata tajam dari Benjamin. Benjamin malah memeluk Rhea dari belakang, lantas memejamkan matanya, beberapa menit dia telah tertidur dengan pulas. Rhea tak menduga bahwa malam ini Benjamin sungguh tak melakukan hal-hal mesum seperti yang di pikirannya. Wajah Rhea merona malu, rupanya sungguh hanya dia yang memikirkan itu. Kemudian dia ikut tertidur dengan pulas. Dia akan memastikan ruangan itu esok harinya. Pagi harinya Benjamin telah bersiap. Dia menatap Rhea yang masih tertidur pulas. Dia mendekati Rhea, lantas berkat
"Jangan malu dengan panggilan Sayang dariku!" goda Benjamin. Rhea meluruskan tangannya tepat ke arah Benjamin, dia bak meminta Benjamin untuk berhenti menggoda nya. Rhea tak ingin berakhir lagi dengan panas yang menggelora. Rhea berusaha memblokir pikiran-pikiran mesumnya. Kemudian dia berjalan lebih dulu menaiki tangga, mendahului Benjamin. Rhea tak ingin terjebak dengan situasi yang akan sulit dia hadapi nantinya. Terlebih Benjamin sangat suka menyentuh bagian-bagian sensitif nya. Rhea terus melangkah, namun dalam benaknya dia sungguh penasaran dengan ruangan itu. Dia ingin memastikan sendiri kalimat dari kakek itu. Rhea menoleh kearah ruangan itu sepintas dengan kaki yang terus melangkah menaiki anak tangga. Benjamin yang berada tepat dibelakang mengamati gerik Rhea, tatapannya tajam. Lantas Benjamin mempercepat langkahnya, dia merangkul pinggang Rhea. Dengan cepat ekspresi nya berubah lebih hangat. “Jalanmu sungguh lambat.” Ucap Benjamin menoleh kearah Rhea. “Mm, aku sedi
Kekhawatiran dan rasa cemas memenuhinya. Rhea terus memikirkan kalimat kakek itu hingga malam tiba. Rhea tak tenang hingga sulit memejamkan matanya. Rhea sampai tak menyadari. Detik, dan menit terus berjalan. Hingga suara langkah kaki terdengar mendekat. Rhea berpura memejamkan matanya. "Benjamin sudah pulang." benak Rhea menebak. Karena tak mungkin orang lain masuk ke kamarnya di tengah malam. Kemudian langkah kaki Benjamin mengarah ke kamar mandi, suara air mulai terdengar. Rhea semakin gelisah. “Sebaiknya ku katakan saja mengenai perkataan kakek tadi?!” “Tidak! Aku akan memeriksa dan memastikan lebih dulu mengenai perkataan kakek itu.” benaknya. Ceklek!! Suara pintu kamar mandi terbuka. Terdengar langkah kaki Benjamin yang mengarah padanya. Rhea kembali memejamkan mata. Rhea merasa risih, dia merasakan tatapan tajam terarah padanya. “Hm! Kelopak matamu bergerak-gerak. Kau tak pandai berbohong.” tukas Benjamin. Kala mendengar kalimat Benjamin, tanpa sadar Rhea mengerutka