‘Dep dap dep dap dep dap ....’Derap langkah kaki menggema di sepanjang lorong bangunan lantai dua. Seorang pemuda berlari, lalu jatuh tepat di depan toilet wanita lantaran tubuhnya menabrak pria tambun berpakaian rapi berwarna mocca. “Em, maaf Pak.” Pemuda tujuh belas tahun itu segera bangkit.“Ish, Sultan ... kenapa musti lari?” Pria paruh baya yang terlihat buru-buru itu membenahi letak ikat pinggangnya.Sultan nyengir.“Tapi kenapa Bapak keluar dari toilet wanita?”Salah tingkah tak bisa menjawab, pria yang dipanggil Pak Agus dan dikenal sebagai guru BK itu meninggalkan Sultan dengan mengayunkan tapak tangannya.Sepersekian detik, datang wanita cantik keluar dari ruangan yang sama dengan Agus, membenarkan posisi roknya.“Sttt ... jangan bilang siapa-siapa!”Sultan bergeming melihat tanpa kedip hingga wanita usia tiga puluhan itu hilang ke balik dinding menuruni anak tangga. “Apa yang mereka lakukan? Pak Agus dan Bu Risma ....” Sultan berpikir sejenak. “Ah bodo!”Siswa polos
Rayyan mematikan rokoknya, mendekat pada Janet. “Emangnya Lo gak jomblo?”Janet gugup karena didekati seseorang yang selama ini mengisi hatinya. berusaha tenang. “Gue jomblo karena gue terhormat, gak kayak kebanyakan cewek di sini!” Ucapnya ketus. “Udah ah, buruan ...!” Janet mendorong tubuh Rayyan menuju lantai bawah. “Lo semua! Jangan kesorean di tempat ini!” Kini tangan gadis cantik itu menunjuk pada tiga siswa geng perjaka. Mereka berdua pun meninggalkan loteng.Melihat Rayyan dan Janet hilang dari pandangan, Raka buru-buru menarik tangan Sultan pergi dari loteng dengan melihat ke sana ke mari. Disusul Udin yang merasa aneh dengan tingkah teman-temannya.Di ruang kepala sekolah, selain kepsek, ada Pak Agus, juga seorang pria dengan wajah berseri-seri yang merupakan guru baru dan baru saja tiba hari ini ke sekolah. Dari pakaiannya yang rapi, tak terlihat berbeda dengan guru lain, hanya saja di Sekolah Jingga dalam hitungan detik semua kejadian akan menyebar ke seluruh sekolah kare
Malam hari di sebuah rumah kecil, rumah dinas yang disediakan yayasan untuk guru dari luar, seorang Alif Luthfi sedang mengatur perabot sederhana yang dipersiapkan untuknya."Apa ini? Ini bukan milikku," gumamnya mengeluarkan gunting kecil dari tasnya. Menggeleng pelan, dan meletakkan begitu saja di laci meja.Meski hidup berkecukupan bersama ibu dan tiga anak dari pernikahannya dengan Amira dulu, dia terbiasa hidup mandiri dengan bekal secukupnya. Anak-anak ketiganya disekolahkan di pesantren agar kelak, bisa mengikuti jejaknya. Mengerti syariat dan terikat dengannya. Sehingga tidak sulit untuk Alif beradaptasi di kampung yang jauh, dan serba seadanya. Sekedar belanja pun ia harus menempuh belasan meter, hanya ada warung-warung kecil di sekitar rumah."Assalamualaikum." Suara di depan pintu menghentikan aktifitasnya seketika. Dua sosok tamu sudah ada di depan pintu, Ridho dan Pak Jarwo seorang warga setempat paruh baya. Lelaki yang merupakan tokoh desa itu datang mengantarkan pemud
“Lalu kenapa sampai ada rumor kuntilanak dan arwah wanita di sekolah Jingga, Pak?” Alif masih penasaran.Berbeda seperti yang terjadi di kampungnya dulu, setan yang mengganggu warga bahkan menelan korban bukan 100 persen makhluk gaib. Melainkan manusia siluman yang bersekutu dengan jin. Indah dan satu lagi kuyang yang ternyata identitasnya bisa diketahui petugas polisi bernama Sumbi, adalah bibinya Indah. Lucu sekaligus ngeri, dua orang saling terikat keluarga bersekutu dalam perbuatan maksiat dan sirik besar. Yang lebih mengerikan, rumah salah satu korban yang tak lain adalah Pak RT Konon tinggalnya di desa yang dia datangi ini. Semakin lekat di ingatan, Orang-orang menyebutnya sebagai desa Jingga sejak kelahiran anak yang lahir dari rahim orang meninggal. Anak yang tidak diterima oleh keluarganya sendiri setelah kepergian sang ayah untuk perjalanan bisnis, tapi tak juga kembali.Yah, entah apa yang terjadi pada Affan di luar negeri, dan kematian neneknya menyusul kemudian sete
Dimas –suami Risma—tengah sibuk di kamarnya, mencari sesuatu. Terdengar ketukan pintu, tak ada yang membuka.Ketukan kedua, belum ada yang membuka. Dengan malas Dimas bangkit, keluar kamar. “Oii, pada kemana sih? Risma! Jingga!” Menengok ruang tengah dan arah dapur, benar-benar tak ada orang. Merasa terlalu lama tak ada yang membuka, tamu itu menggedor.“Iya, iya!” Meminta si tamu sabar. “Siapa sih? Malam-malam begini, mana hujan, gak ada sopan-sopannya.” Dimas merutuk kesal.Saat dibuka, seorang wanita memakai gamis putih kumal dengan kerudung sedada, membelakangi pintunya.“Siapa ya?” Dimas mengerutkan dahinya. Wanita itu menghadap kearah Dimas, mata Dimas melebar tak percaya.“Ka -ka -kamu? Sa -sarah?”Disela takut, dipandanginya sosok itu dari atas hingga ujung gamis bawahnya. Wajah pucat, tatapannya kosong. Hanya ada seraut kebencian dan dendam di sana. Semakin pandangannya ke bawah, bongkahan darah menyembul dari balik gamis bawah tamu tak diundang itu. Kini seluruh pakaia
Dari kejauhan Udin terlihat berlari ke arah mereka.“Yaan ... Yan ... ada yang mati!” Udin tersengal-sengal.Semua melihat ke arah Udin.“Siapa?!” Suara itu nyaris serempak meski dengan intonasi yang berbeda.“Mak Odah. Mamak kantin.”Mereka semua berlari ke kantin.Mata Rayyan dan semua orang yang ada di tempat itu melebar sempurna. Terkejut. Apa yang sebenarnya terjadi? kenapa ada kematian di sekolah lagi? Kepala mereka dipenuhi tanya. Padahal, sudah lama Sekolah Jingga aman dan tak ada kejadian aneh -aneh. Apalagi merenggut korban begini. ini benar -benar ada yang tidak beres.***Dii tempat lain ....“Mana hantunya? Lain kali kalau kalian macam-macam lagi ngerjain guru. Langsung bapak depak!” Agus mengomel menuruni tangga loteng, setelah berlarian dengan Raka dan Sultan, karena dua anak itu mengadu melihat hantu.“Iya Pak. Tadi bener ada kok. Kami lihat berdua. Ya kan Ka?”“I, iya Pak!” jawab Raka.Agus tak mau membuang waktu dan mencari tahu sendiri. Lelaki yang memiliki jabata
"Tolong jangan menyentuh saya," pinta Dhira kepada pria yang jadi atasannya di sekolah. Siapa yang menyangka, kalau kepela sekolah yang notabene seorang pria bisa semudah itu menyentuh bahunya. Mungkin, ini hal biasa untuk guru lain seperti bibirnya -Risma. Tapi jelas tidak untuk Dhira yang menjaga benar -benar kehormatannya. Ini pelecehan bagi gadis ayu itu. "Ah, ya, maaf." Kepala sekolah jadi tak nyaman. Setelah menarik tangannya, pria itu memundurkan kakinya dan menggaruk kepala tak gatal. Melihat kondisi Jingga, Dhira pun lalu memutuskan memutuskan pulang tanpa menunggu kedatangan kedua orangtuanya."Bunda, takut," rengek Jingga yang membuat Dhira kemudian mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Jingga. "Ehm, biar saya antar pulang kalau tak keberatan." Kepala sekolah menawarkan diri. Dia bersikap layaknya seorang atasan yang peduli ke pada bawahannya. Dhira menoleh, mendengar tawaran pria itu. Lalu menatap ke arah Jingga yang memang tampak tidak sedang baik -baik saja. Lant
Dhira terus berlari. Mencari keberadaan Jingga seperti yang pria bernama Ridho tadi sebutkan setelah melihat CCTV. Ia berharap benar bahwa gadis kecil itu ada di sana. Bukan tempat lain yang tak terpikirkan oleh perempuan cantik itu."Jingga kamu ngapain di sana Nak? Bagaimana jika terjadi sesuatu? Bunda sudah janji pada ibumu. Maafkan aku Siti." Hati Dhira terus bicara. Lorong bangunan terasa sangat panjang. Padahal di atas sana masih ada lorong lagi hingga sampai ke loteng. Kenapa bisa Jingga memiliki keberanian sebesar itu untuk datang ke sana? Apa gadis kecil itu pikir bahwa Dhira ada di loteng? Itu kenapa dia nekad ke sana.Teringat wajah Siti, tetangga, teman bermain dan juga teman sekolahnya. Siti gadis baik, itu kenapa Dhira memilih sahabat dekat sepertinya. Namun, takdir berkata lain. Selalu berprasangka baik ternyata tak selalu berbuah manis. Apalagi jika berbaik sangka disatukan dengan nafsu yang banyak remaja menyebutnya "cinta". Itulah yang Siti alami."Wah, adeknya suda