Dari kejauhan Udin terlihat berlari ke arah mereka.“Yaan ... Yan ... ada yang mati!” Udin tersengal-sengal.Semua melihat ke arah Udin.“Siapa?!” Suara itu nyaris serempak meski dengan intonasi yang berbeda.“Mak Odah. Mamak kantin.”Mereka semua berlari ke kantin.Mata Rayyan dan semua orang yang ada di tempat itu melebar sempurna. Terkejut. Apa yang sebenarnya terjadi? kenapa ada kematian di sekolah lagi? Kepala mereka dipenuhi tanya. Padahal, sudah lama Sekolah Jingga aman dan tak ada kejadian aneh -aneh. Apalagi merenggut korban begini. ini benar -benar ada yang tidak beres.***Dii tempat lain ....“Mana hantunya? Lain kali kalau kalian macam-macam lagi ngerjain guru. Langsung bapak depak!” Agus mengomel menuruni tangga loteng, setelah berlarian dengan Raka dan Sultan, karena dua anak itu mengadu melihat hantu.“Iya Pak. Tadi bener ada kok. Kami lihat berdua. Ya kan Ka?”“I, iya Pak!” jawab Raka.Agus tak mau membuang waktu dan mencari tahu sendiri. Lelaki yang memiliki jabata
"Tolong jangan menyentuh saya," pinta Dhira kepada pria yang jadi atasannya di sekolah. Siapa yang menyangka, kalau kepela sekolah yang notabene seorang pria bisa semudah itu menyentuh bahunya. Mungkin, ini hal biasa untuk guru lain seperti bibirnya -Risma. Tapi jelas tidak untuk Dhira yang menjaga benar -benar kehormatannya. Ini pelecehan bagi gadis ayu itu. "Ah, ya, maaf." Kepala sekolah jadi tak nyaman. Setelah menarik tangannya, pria itu memundurkan kakinya dan menggaruk kepala tak gatal. Melihat kondisi Jingga, Dhira pun lalu memutuskan memutuskan pulang tanpa menunggu kedatangan kedua orangtuanya."Bunda, takut," rengek Jingga yang membuat Dhira kemudian mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Jingga. "Ehm, biar saya antar pulang kalau tak keberatan." Kepala sekolah menawarkan diri. Dia bersikap layaknya seorang atasan yang peduli ke pada bawahannya. Dhira menoleh, mendengar tawaran pria itu. Lalu menatap ke arah Jingga yang memang tampak tidak sedang baik -baik saja. Lant
Dhira terus berlari. Mencari keberadaan Jingga seperti yang pria bernama Ridho tadi sebutkan setelah melihat CCTV. Ia berharap benar bahwa gadis kecil itu ada di sana. Bukan tempat lain yang tak terpikirkan oleh perempuan cantik itu."Jingga kamu ngapain di sana Nak? Bagaimana jika terjadi sesuatu? Bunda sudah janji pada ibumu. Maafkan aku Siti." Hati Dhira terus bicara. Lorong bangunan terasa sangat panjang. Padahal di atas sana masih ada lorong lagi hingga sampai ke loteng. Kenapa bisa Jingga memiliki keberanian sebesar itu untuk datang ke sana? Apa gadis kecil itu pikir bahwa Dhira ada di loteng? Itu kenapa dia nekad ke sana.Teringat wajah Siti, tetangga, teman bermain dan juga teman sekolahnya. Siti gadis baik, itu kenapa Dhira memilih sahabat dekat sepertinya. Namun, takdir berkata lain. Selalu berprasangka baik ternyata tak selalu berbuah manis. Apalagi jika berbaik sangka disatukan dengan nafsu yang banyak remaja menyebutnya "cinta". Itulah yang Siti alami."Wah, adeknya suda
Mobil kepala sekolah terus bergerak cepat meninggalkan bangunan sekolah di mana Alif, Ridho dan Dhira berada. Ia tak mau terlihat apalagi tertangkap. Namun, ia akhirnya merasa lega, karena ternyata tidak ada yang mengikuti mobil yang dikemudikannya. "Katakan anak kecil, apa yang kamu lakukan hari itu di loteng?" Kepsek bicara sambil mengemudi. Dia ingat bagaimana Jingga ada di atas loteng, ketika melihat CCTV di laptop. Tidak ada yang melihat kecuali dirinya sendiri. "Aku cuma mutus tali itu, supaya kakak cantik tidak kesakitan." Jingga bicara polos, tidak ada sorot takut sedikitpun pada orang di sebelahnya."Maksudmu Janet?" tanyanya. Jawaban Jingga sungguh mengejutkan. Jingga diam menatap kosong. Tak tahu harus bicara apa ke pada orang dewasa yang tidak ia mengerti maksudnya menanyakan itu. "Jawab!" bentak kepala sekolah tak sabar. Namun, meski begitu, Jingga tak juga menjawab dan seolah menikmati posisi diamnya. _________Sementara itu yang terjadi di sekolah....."Apa yang t
Hening, kini hanya Alif yang terjaga, Dhira tertidur begitu tak ada lagi percakapan antara keduanya.Mobil yang ustaz Musa itu kemudikan terus bergerak. Sesekali ia melihat dan mengawasi orang yang duduk di kursi belakang. Mengawasi dan berharap tidak terjadi apa pun lahi ke pada mereka. Kusa besi itu, akhirnya berbelok menuju desa Jingga. Terus melaju membelah gelapnya malam di sepanjang jalan. Begitu tepat di depan sekolah tiba-tiba mata Jingga terbuka lebar, lalu dengan cepat mengambil posisi duduk. Untuk memperhatikan bangunan sekolah yang terkenal angker. 'Tapi ... nyatanya, selama aku ada di sekolah itu, tak melihat apa pun atau terjadi hal -hal menyeramkan. Ah, kecuali kejadian mengerikan yang menimpa Dhira yang dilakukan oleh Kepsek. Ckck. Kenapa ada pemimpin mesum begitu?' Alif bicara sendiri dalam hati. Tak lama, ia kemudian menyadari ada yang bergerak di kursi belakang, Alif pun melirik ke kaca di atasnya Alif mengernyitkan dahi, merasa heran pada sosok Jingga. Apa yang
Di kantor polisi, Alif mendengar semua ulasan polisi tentang kasus Janet, Mak Odah dan Risma. Yang kesemuanya saling berkaitan. "Sejauh ini, polisi mencurigai kepsek Rayhan dan Anda. Hanya saja, karena kepsek terbaring koma polisi lebih fokus pada Anda."Polisi memperlihatkan sebuah salinan, juga menunujuk ke laptop di di depannya. Alif pun kontan memperhatikan itu. Ia juga harus mencari celah untuk membela diri. "Lihat, satu jam sebelum ditemukan. Gadis ini ada bersama Anda meninggalkan kantor. Lalu, guru bernama Risma ini memperhatikan seseorang. Yang jika kita lihat dari CCTV yang ini, adalah Anda tengah menuju ruangan di seberang kantor administrasi," sambung petugas itu lagi. Alif masih memperhatikan dengan seksama. Barang kali menemukan sesuatu yang menjadi petunjuk siapa pelakunya sebenarnya. Karena sudah bisa dipastikan bukan dia pelakunya. Lalu untuk apa namanya dibawa -bawa? Sungguh lucu para petugas ini."Tolong jawab dengan lugas dan tidak berbelit-belit." Polisi member
Di rumah sakit, dua orang polisi dari tim inafis berdiri melihat kepsek yang belum juga sadarkan diri."Bagaimana ini? Dia belum sadar juga.""Apa kita geledah saja rumahnya?" ucap seorang polisi pada rekannya."Tentu saja. Semua itu legal meski tanpa izinnya."Tak lama dua polisi itu meninggalkan ruangan.Sepi.Kepsek membuka mata. Membuka oksigenasi yang menutup mulut dan hidungnya. "Jika saja hari itu Janet tak terbunuh di tangan wanita itu, dan jika saja Jingga tak bermain-main memotong tali yang mengikat leher mayat Janet tentu semua tidak serumit ini sekarang. Aku terpaksa membunuh wanita itu karena mulutnya. Semua ini gara-gara Jingga! Belum lagi tentang Alif. Sial, sampai kapan aku harus berpura-pura koma?"Pria itu menerawang, menyisakan dendam pada gadis kecil bernama Jingga, memikirkan cara terbaik menyingkirkan anak itu dari sekolah Jingga. Juga pada Alif, seseorang yang sepertinya punya misi dan mengetahui banyak kebusukannya di sekolah tempatnya mencari makan .***Sep
Seorang pria berpakaian putih memeriksa kondisi kepsek, mengendorkan oksigenasi dan memasang alat lain sekedarnya saja. Untuk menutupi kecurigaan orang lain yang datang ke ruang pasien tersebut."Untunglah aku mengenalmu di sini. Setelah selesai, aku akan membayar dengan harga setimpal."Tenaga medis yang membantunya tersenyum."Semua sudah aman. Istirahatlah dengan tenang." Ia pun lalu pergi meninggalkan kepsek seorang diri.Dalam sunyi, hanya bunyi-bunyi alat di sekitar tubuhnya. Sendiri kepsek terus berpikir membuat alibi baru."Saat ada yang dilukai dan dalam bahaya, Jingga selalu ada di tempat kejadian. Aku yakin kali ini dia akan ke sana. Dan siapa lagi yang akan menemani kecuali Dhira. Semua belum terlambat, masih banyak jalan mendapatkan wanita itu." Ia mendesah berkali-kali, jenuh karena terus bertahan dengan pura-pura tak berdaya. Meraih ponsel jadul yang sengaja diletakkan dibawah bantal, kepsek menghubungi seseorang."Ya. Benar sekali. Sepertinya Jingga terikat dengan