Langkahku pasti menuju ruang tamu di mana ada sosok wanita yang kubenci akhir-akhir ini berada. Namun keningku mengernyit ketika sampai di sana mendapati wanita tersebut datang kemari membawa sebuah koper di sampingnya. Heran, apakah wanita ini mau pergi jauh dan maksud kedatangannya kemari ingin pamitan pada Mas Surya? Kalau memang demikian, aku takkan sungkan membangunkan suamiku itu untuk menemui sahabatnya tersebut saat ini juga. "Surya mana?" Wanita di hadapan ini tanpa basa-basi dulu menanyakan keberadaan suamiku dengan kepala celingukan mencari sosok tersebut di belakangku. "Tidur," jawabku singkat dengan melipat kedua tangan di dada. Masih dalam keadaan berdiri menatap tajam wanita di hadapanku. "Hm, bangunkan! Aku harus bicara padanya."Mataku membulat sempurna mendengar ucapannya yang terdengar mengesalkan. Harusnya sematkan kata tolong di depan kalimatnya agar aku tak merasa sedang diperintah. Lagipula belum tentu aku mau menuruti inginnya meskipun kata itu diucapkan
"Kamu nggak papa?" Mas Surya menghampiri Aurel, bertanya khawatir. "Nggak papa Ya. Nggak ada yang lecet kok, cuma jatuh aja." Aurel tersenyum seringai ke arahku saat mengatakannya. Membuatku yakin dia sengaja mencari perhatian Mas Surya dan mengkambinghitamkan aku disini. Mas Surya lalu mengajak Aurel duduk di kursi ruang tamu. Aku ikut duduk di kursi seberangnya. "Bi, ambilkan air minum untuk Aurel," titah Mas Surya pada Bi Jum. Namun langkah Bi Jum tertahan. Tangannya kupegang erat mencegahnya pergi. "Nggak usah Bi, dia nggak haus. Tadi juga mau pergi," tandasku menatap tajam wanita di hadapanku ini. "Na, kamu …."Mas Surya berdecak kesal, tampak menahan amarahnya. Namun aku tak peduli. "Nggak papa, Ya. Benar kok, aku memang nggak haus." Aurel sangat pandai bermain peran. Di hadapan suamiku itu dia seolah terzalimi dengan muka sendunya."Kamu mau kemana Rel? Kenapa tidak menghubungiku?" "Sudah, tapi nggak diangkat. Kamu tidur kayaknya." Aurel bersungut manja. "Oh, iya ka
"Mas Surya," gumamku lirih. Suaraku sampai bergetar menyebut nama lelaki tersebut. Gambar yang kulihat ini berupa foto seorang laki-laki yang sedang tidur di sebuah ranjang dengan kasur bersprei putih. Dia mirip suamiku. Harapku cuma mirip, tapi hati mengatakan tidak, itu beneran memang dia. Mas Surya. Di foto itu ia hanya sendiri, tapi di foto yang kedua yang dikirim tampaklah seorang wanita yang sedang foto selfie bersandar pada dinding kaca besar, tersenyum semringah dengan latar belakang pemandangan gedung-gedung tinggi dibelakangnya. Hal ini mungkin memperjelas dimana foto tersebut diambil. Mungkin hotel atau apartemen. Yang pasti tempat itu gedung tinggi bertingkat. "Aurel!" pekikku setelah tahu dialah yang mengirimkan foto tersebut. Foto kedua yang menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut. Wanita yang sebelumnya mengemis ingin menginap di rumah kami. Apa maksud wanita ini mengirim pesan seperti itu? Apa dia mau menunjukkan wujud aslinya sebagai seorang pelakor? Meminjam
"Bu Medina? Ibu ngapain di sini?" Aku menoleh sebentar ke arah Bi Jum yang datang ke dapur menghampiriku yang sedang memasak. "Masak. Tolong Bi, ambilkan satu piring di almari. Buat menaruh ini," titahku dengan menyorot ke hasil masakanku di pagi buta ini. Setelah solat subuh aku menuju dapur untuk membuat sarapan pagi. "I–iya, Bu." Meski kebingungan, Bi Jum tetap menurut. Ia bergegas mengambilkan apa yang kuminta. "Maaf, Bu. Kenapa Ibu bereskan semua? Masak juga. Terus kerjaan Bibi apa, Bu? Apa Ibu mau memecat Bibi?" Tampak hati-hati Bi Jum bertanya. Aku tersenyum menanggapinya. Tidak mungkin aku memecatnya karena Bi Jum tidak membuat kesalahan apapun. Mungkin belum dan kuharap tidak pernah. Apa yang kulakukan hanyalah pelampiasan atas kemarahan pada seseorang yang tidak bisa kuluapkan langsung ke orang yang bersangkutan. "Nggak Bi, nggak papa. Saya lagi pengen aja membersihkan rumah sendiri. Biasanya juga begitu. Mungkin karena terbiasa jadi lupa ternyata sudah ada Bibi," ja
"Bu." Suara memanggilku disertai ketukan pintu berbunyi bersamaan di depan pintu kamar. "Ya, tunggu!" sahutku meyakini kalau yang barusan memanggil adalah Bi Jum. Segera aku bangun dan menggendong Malik menuju arah pintu. Alisku terangkat dan saling bertaut menanyakan apa maksud Bi Jum memanggil. "Anu, Bu. Itu Bapak." Tampak hati-hati Bi Jum menjawab, tapi tak jelas apa maksudnya. "Bapak? Suami Saya, Bi? Memangnya Mas Surya kenapa?" tanyaku bingung. "Anu, Bu. Bapak minta dibuatkan kopi, tapi katanya minta Ibu yang bikinkan."Kerutan di keningku mengendur mendengar perkataan Bibi. "Oh, itu. Gampang Bi. Suami saya itu suka kopi hitam dengan taburan sedikit kayu manis diatasnya, terus–" Mencoba menjelaskan tapi disela Bi Jum. "Anu Bu, katanya Ibu saja yang bikinkan. Jangan Bibi. Rasanya pasti beda. Tadi Bibi sudah mau coba tapi dilarang Bapak."Aku mendesah berat. Laki-laki itu, apa lagi maunya? "Ya sudah, biar Saya, Bi. Ada lagi yang mau disampaikan?" Bi Jum menggeleng da
"Aurel, silakan bicara. Waktu dan tempat dipersilahkan," ujarku meminta Aurel bicara setelah Mas Surya duduk. Lelaki tersebut ternyata memilih duduk di sofa yang sama denganku, di sebelahku. Kukira ia akan duduk di sofa yang sama dengan diduduki Aurel. Wajahnya masih diliputi kebingungan. "Heh, aku tak tahu kalau kamu bisa selicik ini Na. Seharusnya aku sadari itu sejak awal kamu ubah pertemuan kita," ucap Aurel dengan sinisnya. Aku tersenyum tipis menanggapi kekesalannya. Licik darimana? Aku hanya menghadirkan sumber dari dua sisi. Kalau sisi satu mengaku begini, maka kita dapat menanyakan langsung ke sisi kedua apakah yang dikatakannya itu benar atau salah. Padahal yang pantas dikatakan licik itu adalah dia. Bersembunyi dibalik kata sahabat nyatanya sekarang mengaku ada sesuatu dengan suamiku. "Ini apa Rel? Apa yang ingin kamu katakan? Kenapa di sini? Kamu bilang sakit makanya tidak masuk kerja, tapi sekarang apa ini?" Pertanyaan berturut Mas Surya lemparkan pada Aurel. Sepert
"Karena itulah aku meminta Surya untuk melepaskanmu, Na. Selama ini dia tersiksa mencoba mencintaimu–""Rel, sudah hentikan!" Mas Surya menyela. "Kenapa harus dihentikan? Lanjutkan Rel, aku mau tahu semuanya. Tersiksa kenapa? Apa pikirmu Mas, aku tak tersiksa mencintai orang yang tidak pernah mencintaiku?""Medina, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku sudah berusaha mencintaimu tapi–" "Tapi tidak bisa. Iya kan? Kenapa? Karena kamu mencintai Aurel, begitu?" jawabku mulai gemas mendengar jawabannya yang begitu lamban. "Aku pernah dengar kalimat yang bilang cinta itu akan hadir karena terbiasa bersama. Apa selama bersamaku kamu tidak pernah mempunyai rasa itu, Mas?" lanjutku lagi. Kali ini nada bicaraku tak bisa dikontrol. Suara getarannya keluar karena aku mencoba sekuat tenaga menahan air mata yang ingin merembes keluar dari kedua sudut mataku. "Itu karena sebenarnya Surya itu sangat mencintaiku, Na. Mengertilah karena Surya itu sudah mencintaiku sejak dulu. Kamu pas
"Bu, maaf kalau Bibi lancang. Meskipun Bibi tidak dengar, tapi Bibi tahu kalau rumah tangga Bu Medina sama Pak Surya sedang bermasalah." Bi Jum datang memberikan secangkir teh ke atas meja, ke hadapanku. Setelah berhasil menidur siangkan Malik, aku pergi ke dapur. Berniat ingin makan siang meski sebenarnya tidak bernafsu makan. Aku makan hanya untuk mengisi tenaga. Hati boleh sakit, tapi badan jangan. Kalau aku sakit, bagaimana dengan Malik? "Kalau Bibi boleh ngasih saran, jangan berpisah Bu. Bu Medina harus pertahankan rumah tangga Ibu. Yang harusnya tahu diri itu si itu, anu … Aurel, iya Aurel. Tega sekali perempuan itu masuk ke rumah tangga Ibu dan merebut Pak Surya. Emang dasar kegatelan tuh perempuan. Dari awal ketemu, Bibi sudah bisa tebak perempuan seperti apa dia itu. Katanya teman tapi kok nusuk dadi belakang? Cantikkan juga Bu Medina, dia menang karena makeup saja, Bu. Coba nggak dandan, biasa saja, nggak jauh beda sama Bibi." Mendengar ucapan Bibi barusan cukup membuatk
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t