Aku dan Becka diizinkan masuk ke dalam rumah. Bahkan mobil kami disuruh masuk ke dalam agar lebih memudahkan membawa kue-kue pesanan Bu Resa yang jumlahnya tidak sedikit. "Rumahku yang kuanggap istanaku itu belum ada apa-apa ya Kak dibandingkan rumah Bu Resa." Becka kembali membuka obrolan sambil mengeluarkan kotak dus kue dari dalam bagasi mobil untuk dibawa masuk. "Apalagi aku Beck. Kamu masih pantas dibilang orang kaya, sedangkan aku hanya terlahir beruntung pernah menikah dengan orang kaya dan tinggal tetanggaan dengan kamu Beck.""Ih, Kakak. Apa-apaan sih. Yang kaya itu orang tuaku, aku pun masih numpang Kak, belum punya kerjaan dan ini ikut kerja sama Kakak buat nambah pengalaman. Lah pula kaya harta nggak ada apa-apa nya dibandingkan kaya hati. Justru Kakak itu lebih kaya dibandingkan aku. Kakak juga punya talenta, bakat masak, pintar dan itu lebih dari harta Kak," puji Becka membuatku tersanjung mendengarnya. "Kakak disini saja, biar aku yang bawa ke dalam. Tuh ada Mbak
"Maaf ya, Starla suka maksa gitu, tapi kalau misalnya Ibu yang minta, kamu mau stay, Na?" Tiba-tiba Bu Resa bertanya demikian setelah urusan transaksi pembayaran selesai kami lakukan. Aku dan dia keluar ruangan dimana kami tadi hanya berduaan saja di di sana, dan Becka menunggu di luar. "Hah? A–apa, Bu?" Aku seolah tuli saat kalimat itu terucap dari bibirnya. Hanya ingin memastikan pendengaranku tidak salah. Apa iya Bu Resa minta ku tetap tinggal? Aku melirik Becka yang ikutan terkejut sebentar lalu setelahnya melempar senyum penuh misteri ke arahku. "Iya, itu kalau kamu tidak keberatan. Kalau tidak sibuk juga. Soal pakaian, gampang. Ibu punya banyak, kamu tinggal pilih nantinya. Acaranya malam, jadi masih sempat kalau kamu mau dandan dulu dan sebagainya. Di sini saja, nggak perlu pulang, semuanya tersedia kok. Kamu juga ikut, hm …, maaf lupa, siapa namanya tadi?" Bu Resa menatap lekat Becka. Mencoba mengingat siapa Becka. "Becka, Bu. Terima kasih atas tawarannya, Bu," balas Becka
"Iya, maksudnya beliau itu kayak pengen jodohin Kakak sama anaknya. Itu … hm, ayahnya cucunya itu kan, si Starla. Iya kan namanya Starla?" "Ribet amat Beck, aku mau dijodohkan sama cucunya apa anaknya?" Sengaja memberi pertanyaan jebakan pada Becka ingin menggodanya. "Ya, itu anak beliau yang lagi ultah itu kan ayahnya Starla. Nah si anaknya itu yang mau dijodohkan sama Kakak. Betewe, Kakak pernah ketemu ya sama anaknya? Ganteng nggak? Kalau lihat wajah Bu Resa sama Starla, kayaknya ganteng deh." "Biasa saja. Kalau kamu mau deketin aja Beck.""Hah? Ih, Kakak. Kayak nggak ada laki-laki lain saja. Kecuali nggak ada laki-laki yang single baru deh kupepet ayahnya Starla."Aku hanya tersenyum tipis malas untuk menanggapi ocehan Becka. "Eh, maaf Kak. Maksudnya bukan merendahkan status Kakak ataupun ayahnya Starla, tapi–""Iya, aku ngerti kok. Santai saja. Lagian kamu benar, kalau masih ada jomblo ngapain cari yang duda ataupun janda. Kecuali jodohnya memang seperti itu. Nggak ada yang
"Oh, ada mantan ya. Pantas! Pasti sengaja bukan menabrakkan mobilnya ke bemper mobilku? Sengaja bikin masalah. Sengaja pengen cari perhatian mantan. Gitu?!"Aku mengernyitkan kening tak mengerti. Tudingan tak jelas Aurel membuatku muak. Mobil yang kunaiki itu punya Becka, bukan punyaku. Aku seperti orang yang tak punya kerjaan saja merencanakan hal seaneh itu. Sengaja merusak mobil orang hanya karena ada mobilnya Aurel di belakang kami. Hanya karena ingin mencuri perhatian Mas Surya. Parah, itu adalah pemikiran bodoh yang pernah kudengar. "Rel, cukup. Kita pergi saja. Paling Medina tak sengaja. Malu dilihat orang." Mas Surya membelaku dan aku tak menginginkannya. Itu malah menambah masalah diantara aku dan Aurel. Memang ada beberapa orang maupun pengendara yang memperhatikan kami. Untung saja kami sudah menepi ke pinggir jalan, jadi tidak begitu mengganggu lalu lintas jalan. "Eh, suka ngadi-ngadi. Sudah gila kayaknya. Kak Medina itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. Ya
Pov Aurel"Sayang, kamu nggak bikinkan sarapan? Sebentar lagi aku harus ke kantor."Aku yang masih berada di atas tempat tidur hanya mengerjap sebentar menoleh ke asal suara lalu memejamkan mata kembali. Itu Surya, suamiku. Selalu saja menanyakan sarapannya sepagi ini. Padahal sudah tahu kalau aku masih tiduran di tempat tidur. Mana bisa dalam sekejap membuatkan sarapannya begitu saja. Aku harus bangun dulu. Mengumpulkan nyawa yang masih ngawang diantara dunia mimpi dan kenyataan. Kemudian pergi ke kamar mandi melakukan ritual pagi hari baru setelah itu bisa beraktivitas. Namun tidak harus membuatkan sarapannya juga karena aku tak terbiasa sepagi ini berada di dapur. Lagipula aku tidak mau disamakan dengan mantannya itu yang mau saja disuruh ini-itu seperti pelayan. Kami berbeda. Mungkin dia terbiasa membabu, sedang aku sudah terbiasa dilayani. "Hoam, kamu beli saja di luar, Beb. Kenapa sih harus nanyain aku? Kamu kan tahu aku malas. Aku nggak semangat bikin sarapan sepagi ini," bal
Pov Aurel"Rel, ini gimana? Kok handuk tergeletak sembarangan gini? Taruh di tempatnya!" Surya melempar handuk bekas mandi barusan ke wajahku. Kaget, jantungku berdetak lebih cepat karenanya. "Beb! Kena wajah," rutukku kesal. Kulempar balik handuk tersebut ke arahnya. "Hei! Kena aku, Rel! Kok dilempar lagi?" "Kamu aja yang taruh. Kan lebih dekat," balasku cuek. Seharusnya tak perlu main lempar-lemparan. Ngomong baik-baik kan bisa. Aku tidak suka cara Surya menyuruhku. Terlalu memerintah dan aku tak terbiasa diperlakukan begitu. " Heh …." Terdengar helaan napasnya. Tak kupedulikan. Aku asyik di depan cermin menyisir rambutku yang berantakan karena baru bangun tidur. Meski belum mandi, aku harus tetap on dan cantik. Lalu terlihat suamiku itu berlalu pergi meletakkan handukku tadi ke tempat jemuran handuk. Aku tersenyum semringah. Baguslah. Itu yang kusuka dari Surya, dia tidak bisa marah padaku. Tidak banyak komplain juga. Mungkin karena terlalu cinta. Menyesal dulu tak kukejar
Medina! Kurang ajar. Aku sengaja melarang Surya terlalu dekat dengan anaknya beberapa bulan ini untuk menghindarinya bertemu Medina. Namun apa yang terjadi? Di belakangku sepertinya mereka malah sering bertemu. Sejak kapan? karena Surya tidak cerita apapun padaku. Apa Surya mulai tak jujur? Pantes suamiku itu tidak pernah mengeluh atau galau lagi karena tidak bisa bertemu dengan anaknya seperti di awal pernikahan, ternyata ini penyebabnya. Wanita itu ternyata licik juga. Tidak sepolos penampilannya. Banyak cara dilakukannya dan inilah salah satunya. Bertemu di saat jam makan siang suamiku. Aku yakin itu ide dari wanita itu. "Rel, lihat apaan? Kok serius banget." Yolanda menegur dari dalam mobilnya karena aku terdiam cukup lama di depan pintu mobilku. Pintunya sudah terbuka dan aku belum juga masuk ke dalamnya. "Eh, nggak papa. Kamu duluan saja, Yol. Aku tidak jadi ikut. Bilangin sama mereka kalau aku ada urusan penting," tukasku memintanya pergi. Mood-ku tiba-tiba hancur. Pad
"Sayang, pulang!"Baru saja tersambung, dan di seberang sana belum memberi sapaan, aku sudah nyerocos memintanya pulang. Padahal sudah tahu kalau masih tersisa waktu dua jam lagi dari jadwal kepulangan kerjanya. Surya. Aku lagi kesal dan aku ingin meluapkannya ke dia karena dia juga punya andil membuatku marah saat ini. Kegagalan memberi 'pelajaran' pada Medina membuat amarahku tak mau reda. Jadi satu-satunya cara adalah dengan menghajar satu tersangka lainnya, yaitu suamiku. "Salam dulu, Yang. Baru ngomong. Kamu kenapa maksa aku pulang? Ini belum jamnya, dan masih ada dua jam lagi. Nanti aku langsung pulang kok, nggak bakalan kemana-mana. Kamu baik-baik saja kan? Kamu dimana? Meetingnya bagaimana, lancar?" Surya masih ramah menanggapi ocehan kemarahanku. Nada suaranya masih lembut. Kalau mengingat pertemuan tersembunyinya bersama Medina, rasanya aku akan meleleh kalau ditanya sepert itu. Sangat memperhatikan tapi nyatanya itu hanyalah topeng untuk menutupi kebohongannya. "Nggak
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t