Pov Aurel"Sayang, kamu nggak bikinkan sarapan? Sebentar lagi aku harus ke kantor."Aku yang masih berada di atas tempat tidur hanya mengerjap sebentar menoleh ke asal suara lalu memejamkan mata kembali. Itu Surya, suamiku. Selalu saja menanyakan sarapannya sepagi ini. Padahal sudah tahu kalau aku masih tiduran di tempat tidur. Mana bisa dalam sekejap membuatkan sarapannya begitu saja. Aku harus bangun dulu. Mengumpulkan nyawa yang masih ngawang diantara dunia mimpi dan kenyataan. Kemudian pergi ke kamar mandi melakukan ritual pagi hari baru setelah itu bisa beraktivitas. Namun tidak harus membuatkan sarapannya juga karena aku tak terbiasa sepagi ini berada di dapur. Lagipula aku tidak mau disamakan dengan mantannya itu yang mau saja disuruh ini-itu seperti pelayan. Kami berbeda. Mungkin dia terbiasa membabu, sedang aku sudah terbiasa dilayani. "Hoam, kamu beli saja di luar, Beb. Kenapa sih harus nanyain aku? Kamu kan tahu aku malas. Aku nggak semangat bikin sarapan sepagi ini," bal
Pov Aurel"Rel, ini gimana? Kok handuk tergeletak sembarangan gini? Taruh di tempatnya!" Surya melempar handuk bekas mandi barusan ke wajahku. Kaget, jantungku berdetak lebih cepat karenanya. "Beb! Kena wajah," rutukku kesal. Kulempar balik handuk tersebut ke arahnya. "Hei! Kena aku, Rel! Kok dilempar lagi?" "Kamu aja yang taruh. Kan lebih dekat," balasku cuek. Seharusnya tak perlu main lempar-lemparan. Ngomong baik-baik kan bisa. Aku tidak suka cara Surya menyuruhku. Terlalu memerintah dan aku tak terbiasa diperlakukan begitu. " Heh …." Terdengar helaan napasnya. Tak kupedulikan. Aku asyik di depan cermin menyisir rambutku yang berantakan karena baru bangun tidur. Meski belum mandi, aku harus tetap on dan cantik. Lalu terlihat suamiku itu berlalu pergi meletakkan handukku tadi ke tempat jemuran handuk. Aku tersenyum semringah. Baguslah. Itu yang kusuka dari Surya, dia tidak bisa marah padaku. Tidak banyak komplain juga. Mungkin karena terlalu cinta. Menyesal dulu tak kukejar
Medina! Kurang ajar. Aku sengaja melarang Surya terlalu dekat dengan anaknya beberapa bulan ini untuk menghindarinya bertemu Medina. Namun apa yang terjadi? Di belakangku sepertinya mereka malah sering bertemu. Sejak kapan? karena Surya tidak cerita apapun padaku. Apa Surya mulai tak jujur? Pantes suamiku itu tidak pernah mengeluh atau galau lagi karena tidak bisa bertemu dengan anaknya seperti di awal pernikahan, ternyata ini penyebabnya. Wanita itu ternyata licik juga. Tidak sepolos penampilannya. Banyak cara dilakukannya dan inilah salah satunya. Bertemu di saat jam makan siang suamiku. Aku yakin itu ide dari wanita itu. "Rel, lihat apaan? Kok serius banget." Yolanda menegur dari dalam mobilnya karena aku terdiam cukup lama di depan pintu mobilku. Pintunya sudah terbuka dan aku belum juga masuk ke dalamnya. "Eh, nggak papa. Kamu duluan saja, Yol. Aku tidak jadi ikut. Bilangin sama mereka kalau aku ada urusan penting," tukasku memintanya pergi. Mood-ku tiba-tiba hancur. Pad
"Sayang, pulang!"Baru saja tersambung, dan di seberang sana belum memberi sapaan, aku sudah nyerocos memintanya pulang. Padahal sudah tahu kalau masih tersisa waktu dua jam lagi dari jadwal kepulangan kerjanya. Surya. Aku lagi kesal dan aku ingin meluapkannya ke dia karena dia juga punya andil membuatku marah saat ini. Kegagalan memberi 'pelajaran' pada Medina membuat amarahku tak mau reda. Jadi satu-satunya cara adalah dengan menghajar satu tersangka lainnya, yaitu suamiku. "Salam dulu, Yang. Baru ngomong. Kamu kenapa maksa aku pulang? Ini belum jamnya, dan masih ada dua jam lagi. Nanti aku langsung pulang kok, nggak bakalan kemana-mana. Kamu baik-baik saja kan? Kamu dimana? Meetingnya bagaimana, lancar?" Surya masih ramah menanggapi ocehan kemarahanku. Nada suaranya masih lembut. Kalau mengingat pertemuan tersembunyinya bersama Medina, rasanya aku akan meleleh kalau ditanya sepert itu. Sangat memperhatikan tapi nyatanya itu hanyalah topeng untuk menutupi kebohongannya. "Nggak
"Tolong! Tolong copet!"Aku berbalik ke asal suara. Sayup terdengar teriakan minta tolong disertai kata copet, netraku terfokus pada laki-laki bertopi hitam yang berlari sambil mendekap tas wanita di tangannya. Ia berlari ke arahku. Ku tengok kanan kiri, keadaan sepi. Tidak tampak siapapun di jalan sepi ini. Merasa tidak ada yang bisa membantu, rasa kemanusiaan terpanggil untuk menolong, segera aku turun dari motor metic-ku untuk mencekal langkah laki-laki itu dengan menghantamkan keras tas yang kubawa ke arahnya. Bruk! Laki-laki itu jatuh. Kuraih tas di tangannya, tapi tidak berhasil karena dipegangnya erat. Padahal posisinya sangat berbahaya karena orang-orang mulai berdatangan menghampiri kami. Dia bisa saja pergi melarikan diri, tapi nyatanya dia lebih memilih diam dengan mempertahankan tas di tangannya. Aneh. Sepertinya tas itu lebih berharga dibandingkan nyawanya. "Copet!""Ini copetnya, ayo tangkap!" "Gebukin!""Bakar!" Astaga, mendengar orang-orang berteriak dengan berba
Bu Resa menggeleng. "Tadi naik mobil, tapi mogok di jalan sana. Ibu pikir tinggal masuk komplek kan sampai ke rumah kamu, tapi nggak nyangka sesepi ini.""Mungkin sibuk kerja Bu. Biasanya juga nggak sepi begini," ujarku menyanggahnya. "Ibu jadi mau ke rumah?" Bu Resa mengangguk mengiakan. "Ya sudah, naik motor bisa, Bu? Soalnya Saya pake motor," tunjukku ke motor matic yang terparkir tidak jauh dari tempatku berdiri. Bu Resa mengangguk. "Bisa kok, tinggal duduk manis doang di belakang." Sejak pertemuan itu, Bu Resa jadi lebih sering berkunjung ke rumahku. Entah karena pesan kue ataupun sekedar mampir sebentar. Katanya senang bisa kumpul denganku dan yang lainnya di rumah ini. Rame, menghilangkan rasa sepinya sendiri di rumah. Kadang sendiri ataupun pergi bersama Starla. Malik sekarang jadi ada temannya saat Starla ikut berkunjung ke rumah ini. "Kak, di depan ada yang cari Bu Resa. Katanya anaknya mau jemput pulang." Tika tiba-tiba datang memberitahukan. Aku menoleh ke arah Bu
"Sepertinya Bu Resa pengen ngejodohin anaknya sama Kakak deh." Becka bersuara membuka obrolan setelah kepulangan keluarga Bu Resa. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. "Iya Kak, benar banget. Kentara banget kelihatan kalau Neneknya Starla itu pengen ngedekatin Kak Medina sama anaknya. Buktinya beliau sering banget muji anak sendiri di hadapan Kakak," timpal Tika ikut mendukung perkataan Becka. Kali ini kegiatan tanganku membungkus kue terhenti, netraku menatap Tika dan Becka secara bergantian. "Nah, kan sepemikiran. Terima aja Kak, Pak Satria itu ganteng loh, mana kaya juga. Mantan kakak yang istrinya nyebelin itu kalah, nggak sebanding deh, lewat." Becka masih mengompori membujukku setuju dengan pemikirannya. Aku diam tanpa suara, hanya menggeleng-gelengkan kepala karena sudah terbiasa dijodoh-jodohkan mereka. Dulu dengan Pak Ricky, langganan kue kami yang merupakan guru di salah satu sekolah menengah atas negeri. Lalu ada Bumi, laki-laki humoris yang suka mampir dengan alas
"Tutup pintunya. Mama takut ada telinga yang ikut mendengar." Aku yang baru melangkah masuk kamar dikejutkan dengan perintah darinya. Cukup kaget mendengarnya, tapi tetap kuturuti maunya. Pintu kamar kututup sesuai keinginannya. "Sini duduk, Mama mau bicara penting," lanjutnya kemudian. Lagi titahnya kuikuti karena bagiku dia tetap orang yang harus dihormati meskipun status hubungan kami telah berubah. "Ada apa Ma, kenapa harus bicara seperti ini?" tanyaku bingung. Kurasa wajar bertanya dengan sikapnya barusan. Pembicaraan seperti apa yang membuatnya memintaku berada di kamar ini. Terlalu rahasia. "Sejak kapan kamu dekat dengan ibu itu?""Ibu? Ibu yang mana, Ma?" Aku memastikan, takut salah orang. Pertanyaan Mama Lila tak jelas karena hanya menyebutkan kata ibu. Apakah yang dimaksudnya itu Ibu Resa? Kalau dekat memangnya kenapa, apa itu penting untuknya? "Ya itu, yang sering ke sini karena kesepian. Aneh, mainnya kok ke sini. Memangnya rumahmu ini pasar? Lagian ya Na, sejujurny
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t