"Saya tidak keberatan dengan wacana untuk mempererat hubungan silaturahmi antara kedua keluarga ini. Akan tetapi Iza dan Rio kan baru saja berkenalan."
"Jadi saya rasa akan lebih baik jika mereka bisa lebih saling mengenal, satu sama lainnya lebih baik lagi." Yono memberikan jawaban yang netral.
Iza menghela napas lega mendengar ucapan sang ayah. Tidak seperti Sri, Yono memang lebih adem dan tidak pernah terang-terangan memaksa Iza untuk cepat-cepat menikah. Beliau lebih memahami bahwa urusan jodoh dan rejeki murni terletak di tangan Tuhan.
"Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan segala sesuatu semau kita. Biarkan anak-anak sendiri yang nanti membuat keputusan untuk kehidupan mereka. Karena semua akan berpengaruh pada masa depan mereka sendiri."
"Saya percaya bahwa Iza dan Rio sudah sama-sama dewasa. Jadi mereka dapat mempertanggung jawabkan keputusan masing-masing." Yono menekankan ucapannya. Untuk memberi kebebasan sepenuhnya kepada Iza dan Rio.
"Benar sekali Mas Yono. Saya juga sangat setuju dengan pemikiran itu. Tidak boleh ada unsur paksaan dalam hubungan dua orang manusia. Harus ada keikhlasan dan penerimaan dari kedua belah pihak." Soni dengan bijaksana juga menyetujui dan menghargai keputusan Yono.
Terjadi kebisuan selama beberapa saat setelah pembicaraan yang terasa berat itu. Sampai Sri, sebagai nyonya rumah kembali menawarkan beberapa menu makanan di meja. "Lho kok makanannya masih utuh? Ayo dicicipin semuanya hidangan ala kadarnya dari kami."
"Monggo-monggo! Silahkan!" Yono ikut menawarkan, bahkan juga menyodorkan sepiring ayam panggang ke arah tamunya.
Pada akhirnya kedua keluarga itu pun melanjutkan makan malam mereka. Suasana terasa hangat tanpa adanya topik yang terlalu berat lagi. Hanya ada obrolan santai yang sesekali dilanyangkan. Barulah setelah makan malam, Iza dan Rio diberi kesempatan untuk mengobrol berduaan di ruang tamu. Sementara para orang tua mereka melanjutkan ramah tamah di ruang makan sambil menonton Televisi.
"Kalau boleh tahu usia kamu berapa?" Iza bertanya to the point kepada pria yang duduk di hadapannya.
"Ehhm ... Aku tahun ini dua puluh enam tahun." Rio menjawab dengan senyuman manis yang menampakkan lesung di salah satu pipinya.
'Astaga! Dua puluh enam tahun? Itu artinya dia lebih muda tujuh tahun dariku?' Iza semakin tidak tenang mengetahui selisih usianya dengan Rio yang terlalu jauh. Dia memang sudah mengira bahwa usia Rio lebih mudah darinya, tapi tidak menyangka kalau sejauh itu.
'Masa aku harus nikah sama brondong?'
"Kenapa, Mbak?" Rio balik bertanya, dapat menangkap perubahan rona wajah Iza.
"Nggak kok. Kamu masih muda, kenapa mau saja dijodohkan begini sama orang tua?" Lagi-lagi Iza bertanya dengan tanpa tedeng aling-aling.
"Hahaha, masih muda? Teman sebayaku sudah banyak yang nikah dan punya anak, Mbak."
"Tapi yang belum nikah juga banyak kan? Yang masih sibuk mengejar karir?"
"Ehmm iya juga sih ..."
Iza dapat menangkap kebingungan dari nada bicara Rio. Dia pun memanfaatkan kesempatan itu untuk berkata, "Kalau begitu sebaiknya kamu mencari perempuan yang sama mudanya dengan kamu."
"Sama mudanya? Mbak Iza kan juga masih muda?" Rio malah tertawa mendengar ucapan gadis berhijab pink di hadapannya.
Iza menghela napas panjang mendengan jawaban Rio. Mungkin kedua orang tua pria itu tidak memberi tahukan bahwa akan dijodohkan dengan seorang 'perawan tua'.
"Aku sudah tua. Usiaku bahkan tujuh tahun di atas kamu." Iza membuat pernyataan tegas.
Rio tertegun untuk sesaat setelah mendengar ucapan Iza. Kedua matanya melebar dan mulutnya sedikit terbuka. Butuh beberapa detik sebelum tersadar dan mulai memindai gadis di hadapannya dari ujung kepala sampai kaki.
Gadis yang mengenakan gamis berwarna nude dipadukan jilbab berwarna pink itu memiliki perawakan tubuh yang kecil dan langsing. Wajahnya bersih dan enak untuk dilihat, bahkan segar dan energik, tidak seperti wanita tiga puluhan yang biasanya terkesan lebih dewasa.
"Beneran tiga puluh tiga?" Rio kembali bertanya memastikan dalam bentuk gumam tidak percaya.
Iza hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Kok gak kelihatan ya, Mbak Iza masih cantik kayak berusia dua puluhan?" Rio kembali menimpali.
"Tapi umur tidak bisa bohong. Walaupun aku terlihat muda tapi tetap saja aku jauh lebih tua dari kamu. Anggap saja kamu masih duduk di bangku TK dan aku sudah SMP. Sejauh itu selisihnya ..."
Iza berhenti sejenak untuk mengamati perubahan mimik wajah Rio. Mungkin dengan mengetahui kenyataan ini, pria itu akan mundur teratur dan tidak mau meneruskan perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka ini. Namun ternyata apa yang diperkirakan Iza salah. Bukannya terlihat kecewa atau ingin menyerah, Rio malah menyunggingkan senyum simpul di bibirnya.
"Terus kenapa?"
"Haaah? Kok malah kenapa? Apa kamu mau dijodohkan dengan perawan tua?" Iza menelan ludah beberapa kali saat mengucapkan kata sepahit sembilu itu, 'perawan tua'.
"Tidak masalah. Yang penting aku suka." Rio menjawab dengan mantap. "Dan aku sekarang jadi semakin penasaran sama kamu. Aku suka dengan gadis yang sudah berani berkata jujur."
Iza mengerutkan kening demi mendengar ucapan Rio dan membatin. 'Dasar anak muda, dia pasti tidak banyak berpikir. Hanya menuruti hawa nafsu semata.'
"Sebelum semuanya menjadi semakin jauh, sebaiknya kita akhiri saja wacana perjodohan aneh ini."
Iza mencoba untuk bernegosiasi dengan Rio. Karena jika dirinya yang meminta membatalkan, pasti akan dikira pilih-pilih lagi. oleh ibunya Berbeda dengan jika Rio yang melakukan hal itu, dengan memakai dalih usia atau apapun juga.
'Karena laki-laki menang dalam memilih. Sedangkan perempuan menang dalam menolak.'
"Kok begitu? Kita bahkan belum mencoba untuk saling mengenal satu sama lain." Rio menolak mentah-mentah usulan Iza.
"Kasih aku kesempatan dulu, Mbak. Siapa tahu nanti kita bisa menemukan kecocokan?"
Iza terdiam tanpa memberikan jawaban. Hanya menilai penampilan pria bertubuh kekar di hadapannya. Masih merasa tidak tenang dan curiga. Bagiamana pria muda berusia dua puluh enam tahun mau untuk dijodohkan dengan dirinya? Padahal dia memiliki wajah yang lumayan, tubuh atletis dan pekerjaan yang cukup keren.
'Bukankah dengan semua itu dia gampang untuk mendapatkan banyak wanita?'
"Aku suka sama kamu, Mbak." Rio mencoba untuk meyakinkan Iza. Perkataan yang membuat gadis itu semakin mengerutkan kening heran.
'Bagaimana dia bisa mengatakan suka semudah itu? Apakah dia pria buaya?'
"Dan satu lagi kamu adalah wanita pilihan ibu dan bapakku. Jadi sudah dipastikan kalau kamu adalah wanita yang baik." Rio mencoba untuk memberi alasan yang masuk akal.
"Paling tidak kalau sama kamu, restu sudah dikatongi kan? Gak perlu usaha lagi." Pria itu mengakhiri ucapannya dengan sebuah kekehan kecil.
Iza masih merasa tidak tenang dengan alasan yang dikemukakan Rio. Alasan yang terdengar manis, namun Iza yang sudah kenyang dengan pahitnya dunia tentu tidak akan tegoda. Otaknya yang rasional tidak dapat menerima hal-hal yang diluar logika seperti ini.
"Begini saja deh ..." Rio mengalihkan pandangan untuk dapat langsung berhadapan dan menatap mata Iza. Seolah ingin menunjukkan tekad dan keseriusannya. "Bagaimana kalau kita jalani dulu? Mungkin kita bisa pacaran dulu? Kalau cocok lanjut, kalau nggak kita bisa mengakhiri hubungan ini?"
"Tapi tidak akan segampang itu." Iza tidak ingin memupuk harapan-harapan palsu. Dia sudah lelah dengan semua keadaan ini. Yang dia inginkan hanyalah seorang pria yang serius untuk berkomitmen dengannya. Bukan hanya untuk sekedar berpacaran.
"Kita tidak akan tahu sebelum mencoba. Kasih aku kesempatan ya, Mbak Iza ..." Rio mencoba meraih tangan Iza, namu gadis itu mengelaknya.
"Maaf kita bukan muhrim."
"Maaf ... Tapi aku serius dengan ucapanku, Mbak. Dan akan aku buktikan sama kamu agar kamu percaya."
"Ya sudah, terserah kamu aja." Iza pun akhirnya mencoba untuk menerima keadaan. Dan Rio langsung terlihat sumringah mendengar keputusan itu.
"Makasih, Mbak Iza!" Ujar Rio sambil memberikan love sign dengan menautkan jemari jempol dan telunjuknya.
Iza mengerutkan dahi melihat tingkah pria itu. 'Dasar bocah penebar pesona. Entah berapa banyak wanita yang sudah jatuh dalam rayuan manisnya?'
"Dokter Yudi itu idaman banyak wanita waktu jaman mahasiswa dulu, Mbak. Orangnya kan cool banget, selalu bikin penasaran siapa saja yang dekat dengannya." Ucapan dokter Eka terngiang di kepala Iza. Eka juga sedikit bercerita kepada Iza tentang Yudi yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun yang lalu. Kedua dokter itu memang belajar di kampus yang sama waktu masa pendidikan dokter. Selanjutnya tak perlu waktu bagi Iza untuk membuktikan kebenaran dari perkataan dokter Eka. Selama seminggu menggantikan shift jaga dokter Ceicillia, dokter Yudi tidak banyak bergaul dengan para perawat atau pegawai rumah sakit lain. Dia hanya berbicara seperlunya saja, saat pelayanan pasien atau memberikan advice tindakan kepada para tenaga medis lainnya.'Dia benar-benar orang yang diam-diam menghanyutkan.' Iza membatin sambil menatap dari jauh sang dokter. Yudi yang sedang duduk di kursi dokter jaga. Dia berkutat dengan buku tebal tentang kedokteran yang selalu dibawanya dan dibaca saat ada waktu luang
Mobil brio merah yang dikemudikan dokter Yudi melaju kencang membelah aspal jalanan. Dari rumah makan Padang tempat Iza dan sang dokter makan malam tadi, menuju ke rumah Iza. Tidak ada alunan musik yang diputar dari MP3 player mobil. Hanya ada siaran radio tentang keadaan lalu lintas jalanan, dan berita aktual seputar Jawa Timur lainnya. "Dokter Yudi banget ya, gak suka musik tapi malah dengerin berita." Iza membatin dalam hati. Sambil duduk canggung di kursi penumpang sebelah Yudi yang sedang menyetir mobillnya. Sejak duduk dan memasuki mobil brio merah itu, baik Iza maupun Yudi hanya terdiam. Keduanya sibuk dengan permainan pikiran masing-masing, terlalu sungkan untuk memulai pembicaraan. Bingung memilih topik apa yang sekiranya bisa dibahas atau dibicarakan. "Dokter Ceicillia mulai Senin depan sudah kembali bekerja." Dokter Yudi yang pertama memecahkan keheningan di antara mereka. "Ehm, beliau sudah pulang ya dari umroh?" Iza balik bertanya memastikan. Baru sadar jika sudah ham
The power of emak-emak memang sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Iza pun merasakan dampak power dari ibunya sendiri terhadap hubungannya dengan RIo. Entah apa yang dikatakan sang ibu kepada ibunya Rio, kini pria itu lebih gencar untuk mencoba berhubungan agar lebih dekat lagi dengan Iza. Hampir mirip seperti serangan Agresi Militer. Setiap pagi Rio selalu mengirimkan pesan selamat lagi yang manis. Sepanjang hari pun Rio juga kerap mengirimkan pesan kepada Iza, mulai dari sekedar mengingatkan makan atau ngobrol ringan. Obrolan ringan yang sesekali dibumbui dengan modus-modus romantisme. 'Rio ini kerjanya bagian apa sih di bank? Kok kayaknya santai banget?' Iza membatin sewaktu mendapatkan sebuah pesan berupa kata-kata romatis dari RIo di siang bolong. Iza yang sudah terlalu lama hidup single tidak terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Iza sedikit risih dengan sifat Rio, apalagi jika harus seharian menjawab chatting dari pria itu. Alhasil Iza hanya menjawab seperlunya atau malah
Detik bergulir berganti menit, menit bergulir menjadi jam, jam pun berakumulasi menjadi hari. Hubungan Iza dan Rio pun telah berjalan selama beberapa minggu. Sesuai permintaan Iza, mereka berdua mencoba menjalani proses pendekatan seperti kebanyakan pasangan lainnya. Dengan kencan singkat atau sekedar bertemu untuk makan bersama dan bertukar pikiran. Seiring berjalannya waktu, Iza pun mulai terbiasa dan tidak risih lagi dengan kehadiran Rio. Rio yang selalu rajin mengirimkan pesan singkat untuknya setiap hari. Menanyakan kabar, kegiatab bahkan membicarakan hal-hal yang tidak penting. Di satu sisi Iza tahu benar bahwa Rio masih terlalu muda baginya. Sehingga kadang ada gesekan tentang cara pandang dan pola pikir mereka yang terasa berbeda. Namun di sisi lain, sifat Rio yang humble membuat Iza merasa nyaman untuk berasa bersamanya. ‘Apa gara-gara saking lamanya jomblo sampai aku jadi baperan begini?’ ‘Seharusnya aku bisa menjaga hati. Mana mungkin Rio mau sama aku kan?’ Iza kerap
"Za kamu dijemput tuh!" ujar Lia yang hari itu sedang berjaga shift pagi bersama dengan Iza. Iza mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjukkan oleh Lia. Seorang pria sedang berada di parkiran sepeda motor. Pria yang sudah beberapa kali menjemput Iza pulang dari rumah sakit, Rio. 'Ngapain Rio datang hari ini? Bukannya gak ada janjian ketemu?' Iza membatin. "Buruan disamperin sana kakangmasmu!" "Tapi kan jadwal jaga belum selesai,Mbak." Iza tidak beranjak dari posisinya. "Halah tinggal sepuluh menit lagi, pulang aja duluan. Dokter Eka juga gak akan keberatan." Lia memberi sedikit kelonggaran kepada Iza. Iza pun kembali mengamati Rio yang sedang berbicara dengan satpam rumah sakit. Dan pria itu kontan melambaikan tangan sebagai sapaan begitu menyadari Iza memandang kepada dirinya. Rio masih mengenakan setelan resmi kantoran. Tanda bahwa pria itu juga baru pulang dari bekerja. Iza pun merasa tidak enak membuatnya menunggu, padahal sudah repot-repot menjemput dirinya. "Yau
Setelah mendapatkan kata iya dari Iza, Rio pun benar-benar melakukan apa yang dia katakan. Sebagai pembuktian bahwa dia benar-benar serius akan hubungan mereka berdua., Rio membawa kedua orang tua dan keluarga dekat untuk mendatangi rumah Iza pasa sore keesokan harinya.Keluarga Rio datang dengan tiga buah mobil, membawa personil keluarga yang cukup banyak. Mereka bahkan juga membawa berbagai seserahan dan hadiah untuk Iza. Mulai dari pakaian, perhiasan bahkan sampai alat make up dan daily care. Serta tidak lupa membawa sebuah cincin pengikat hubungan Rio dan Iza.'Kok kayaknya heboh banget ya?' Iza merasa takjub dengan acara dadakan itu. Seolah Rio dan keluarganya sudah melakukan persiapan untuk lamaran itu sejak jauh-jauh hari.Di lain pihak, keluarga Iza bisa dibilang tidak siap dan kalang kabut dalam mempersiapkan segalanya untuk acara lamaran ini. Namun mereka tetap menerima kedatangan para tamu dengan lapang dada. Serta berusaha memberikan sambutan terbaik mereka."Selamat datan
Setelah acara lamaran itu, hubungan Iza dan Rio jadi semakin dekat. Keduanya kerap bertemu di sela-sela kesibukan harian serta persiapan untuk acara selanjutnya, penikahan.“Udah sampai di sini saja.” Iza beranjak turun dari boncengan motor vario milik Rio. Gadis itu juga melepaskan helm yang dipakainya dan menyerahkan kepada Rio.Pagi ini Iza sedang diantarkan oleh Rio ke sebuah hotel di ibukota kabupaten. Untuk menghadiri seminar tentang penyakit menular yang diadakan oleh dinas kesehatan kabupaten, di hall sebuah hotel berbintang lima. Iza sebagai pemegang program, mewakili rumah sakitnya untuk hadir dan memberikan laporan rutin setiap semester.“Nanti pulangnya gimana?” Rio menanyai Iza sambil meletakkan helm di cantolan motor.“Aku bisa pulang sendiri atau bareng temen.” Iza tak ingin merepotkan Rio untuk menjemputnya, karena pria itu harus bekerja.Kali ini Iza terpaksa berangkat dengan diantark
Iza : Rio, ibu nayain kapan kamu bisa ikut ke tempat perias. Kamis besok gimana? Kamu bisa, nggak?Iza mengirimkan pesan di aplikasi chatting kepada Rio atas permintaan ibunya. Sebagai orang Jawa tulen, Sri sudah heboh sendiri untuk mepersiapkan segala sesuatu. Agar acara pernikahan putrinya dapat berlangsung dengan lancar, tanpa ada halangan yang berarti. Padahal acara itu rencananya baru diadakan tiga bulan mendatang.“Gimana Rio bisa gak?” Sri menanyai sang putri.“Belum dijawab, Bu.” Iza menjawab dengan napas terhela panjang menghadapi Sri. “Sabar donk, Rio mungkin sedang sibuk di kantronya.”“Gimana bisa sabar, wis mepet Kabeh iki. Dan kita masih belum melakukan persiapan.”“Kan masih tiga bulan lagi acaranya, Bu.”“Tiga bulan itu mepet banget. Ojo serba dadakan, mengko akeh sing kelewatan.”“Terserah ibu saja deh.” Iza malas untuk melanjutkan perdebatan. Dan tidak lama kemudian ponselnya kembali berbunyi, menandakan adanya pesan
Berbekal restu dari sang ibu, Iza kini tidak ragu lagi untuk memulai hubungan baru dengan dokter Yudi. Dia berniat mengutarakan perasaanya dan menanyakan jika penawaran Yudi kepadanya beberapa waktu yang lalu masih berlaku.'Tapi gimana cara bilangnya? Masa aku harua nembak duluan?' 'Eh tapi dokter Yudi kan yang sudah nembak duluan, jadi anggap saja aku cuma menjawab.' Iza pun mengajak Yudi untuk keluar sore itu, ajakan yang disambut dengan senang hati oleh yang diajak. Mungkin bagi Yudi, dengan Iza mau mengajaknya keluar terlebih dahulu saja sudah menjadi pertanda baik bagi hubungan mereka. Dan sesuai dengan perjanjian, Yudi datang menjemput Iza di rumahnya, tidak lupa berpamitan kepada kedua orang tua gadis itu.Keduanya berjalan beriringan dari parkiran mobil ke arah mall dengan sedikit canggung. Yudi berjalan mendahului sedangkan Iza mengikuti di belakangnya dengan jarak beberapa langkah. "Kita mau ke mana?" Yudi menanyai Iza setelah mereka berdiri di loby lantai satu mall."He
Iza dan Yudi menikmati sajian makan siang bersama di ruang keluarga. Saking kakunya sampai tak ada yang berkata-kata di antara mereka. Entah mengapa mereka menjadi canggung dan bingung untuk memulai pembicaraan. Keadaan rumah yang sepi, kenyataan bahwa mereka hanya berduaan semakin memperparah suasana. Keduanya hanya bisa sesekali saling melemparkan pandangan, melirik, lalu kembali berkutat dengan makanan yang ada di hadapan masing-masing. 'Aduh kenapa tadi aku menawari makan siang ya? Gimana kalau para tetangga bergunjing?' 'Baru saja gagal bertunangan malah sudah memasukkan pria lain ke dalam rumah.' Iza menyesali keputusannya yang tidak pikir panjang. Dan kalau sudah begini tidak mungkin juga untuk mengusir Yudi begitu saja. "Maaf ya Mbak Iza, saya jadi merepotkan." Yudi sepertinya dapat merasakan
Yudi mengamati layar monitor yang menampilkan laporan kasus salah satu pasien dengan penyakit paru yang sedang dia tangani. Laporan-laporan yang akan dipakainya untuk ujian penentuan gelar spesialis paru yang sedang dia perjuangkan. Yudi beralih kepada lembaran foto ronsen thorax dengan kontras hitam putih milik pasien tersebut. Mengamati dan mencocokkan apa yang dilihatnya dengan apa yang tertulis di laporan. Tentang perkembangan penyakit pasien TBC setelah dilakukan pengobatan. Cukup lama Yudi tenggelam dalam kesibukannya itu, sampai tak terasa jam kerja pun berakhir. "Aku pulang duluan ya." Yudi berpamitan kepada perawat jaga di poli paru. Kemudian dia beranjak mengambil barang pribadinya dan keluar dari gedung rumah sakit. Melajukan mobil Brio merahn membelah aspal jalanan yang terik di siang hari. Rasanya sungguh sangat melelahkan kehidupan sebagai seorang PPDS. Seharian sibuk dengan banyak pasien rawat inap yang harus dia visite hari ini. Setelah vis
Iza tertegun mendengarkan ucapan Yudi yang sama sekali tidak terduga olehnya. Seluruh logika dan akal sehat gadis itu sama sekali tidak dapat mempercayai apa yang dia dengar. Oleh karena itu, Iza pun memberanikan diri untuk berkata.“Dokter Yudi jangan becanda donk. Nanti saya bisa baper.” Iza menambahi dengan tawa ringan, seperti sedang menanggapi sebuah candaan dari temannya.Yudi mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar jawaban dari Iza. Bukannya penerimaan atau penolakan yang diberikan, malah terkesan gadis itu meragukan keseriusan dari ucapannya.Padahal Yudi adalah orang yang tidak mungkin untuk bercanda, terutama dalam hal yang menyangkut perasaan seperti ini.“Saya serius," Yudi menegaskan.Iza tetap terdiam, masih tidak akan berani berharap bahwa dokter Yudi, sang idaman wanita ini akan berkata seperti itu kepadanya.‘Dia bilang mau sama aku itu maksudnya gimana ya? Mau apa?’“Saya menyukai kamu, Mbak Iza.”
Iza mengira bahwa masalah akan selesai setelah dia memutuskan hubungn pertunangan dan membatalakan pernikahan dengan Rio. Masalahnya dengan Rio pribadi sudah selesai, dengan keluarga inti Rio juga sudah selesai. Namun dengan keluarga besar dan para tetangga satu kompleks malah timbul berbagai rumor tidak sedap. Rumor yang mengatakan dan menyalahkan Iza, yang membatalkan pernikahan dengan sepihak.“Mau cari yang gimana lagi sih Mbak Iza itu?”“Gak inget apa udah tua umurnya? Paling sebentar lagi juga sudah keriput dan tidak cantik lagi.”“Mau cari yang bagaimana lagi sih? Dilamar duda gak mau katanya ketuaan, ini dilamar perjaka masih muda juga tetap saja ditolak.”“Seleranya yang kaya raya kali, biar bisa diantar jemput pakai mobil.”“Mungkin memang gak niat buat nikah kali ya?”“Nanti kalau sudah terlambat pasti akan menyesal sendiri.”Berbagai gunjingan miring s
Setelah kesepakatan yang dibuat Iza dan Rio untuk membatalkan pernikahan mereka, Iza pun meminta kepada kedua orang tuanya untuk mengantarkan berkunjung ke rumah Rio. Untuk membahas tentang wacana pembatalan pernikahan serta mengembalikan seserahan yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Terutama untuk barang-barang berharga seperti perhiasan.Maka di sore yang cerah itu, Iza bersama kedua orang tuanya sudah duduk ruang tamu rumah Rio. Berhadapan tiga lawan tiga dengan Rio dan kedua orang tuanya. Suasana terasa begitu canggung setelah sapaan dan ramah tamah. Tidak ada yang berani untuk bersuara, meskipun mereka sudah tahu tujuan kedatangan Iza dan keluarganya."Hemmm begini, saya mohon maaf sekali sebelumnya kepada Nak Rio, Dek Soni dan Dek Nanik. Maksud kedatangan kami kali ini adalah untuk membatalkan rencana pernikahan kedua anak kita.""Lho kenapa? Gak bisa begitu lah." Nanik kontan melayangkan protesnya."Saya dengan dari Iz
“Jika mau dilanjutkan, jadwal pernikahan kita sudah cukup dekat. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengurus dokumen-dokumen pernikahan di KUA. Dan aku sudah ke sana untuk meminta formulir itu.” Iza menjelaskan alasannya memberikan dokumen itu kepada Rio.“Tapi kenapa harus ada persyaratan sedetail ini?" Rio bertanya kepada Iza setelah memeriksa semua formulir yang disodorkan oleh gadis itu kepadanya.“Itu semua formulir yang aku dapatkan dari pak Mudin Desaku.” Iza menjawab dengan tenang. Dia berusaha menyembunyikan segala gejok di dalam jiwanya, bertekad untuk membuat Rio mau mengakui tentang keadaan penyakitnya."Bukankah biasanya hanya dibutuhkan beberapa dokumen untuk pembuatan buku nikah?” Rio tetap memprotes.“Jangan salah. Selain dokumen, untuk calon mempelai wanita diharuskan vaksin tetanus. Kedua calon mempelai juga disarankan untuk mengikuti kelas pra nikah yang diadakan oleh KUA atau puskesmas setem
Iza memang sudah mantap memutuskan untuk membatalkan pernikahannya. Kedua orang tuanya juga sudah setuju dan memberikan restu baginya untuk melakukan hal itu. Namun ternyata sampai beberapa hari setelah kedatangan dokter Yudi ke rumahnya, Iza masih belum juga berani menemui Rio.Memang terkesan klise dan kekanakan, namun Iza merasa tidak tega dan sedih untuk memutuskan hubungannya dengan Rio dengan jalan seperti ini. Bukan karena adanya masalah dalam hubungan mereka berdua, melainkan karena suatu sebab eksternal yang sangat tidak terduga.‘Apa aku sudah jatuh cinta kepadanya?’ Iza bermonolog dalam hatinya sendiri.'Tidak, ini bukanlah cinta. Karena kami juga hanya kenal sebentar saja … Ini hanyalah rasa iba dan empati semata."Iza mencoba mengenali perasaanya sendiri kepada Rio saat ini. Hubungan selama beberapa minggu setelah mengenal pria itu memang cukup manis dan berkesan baginya.Rio memperlakukan dirinya d
“Jangan mengada-ada kamu, Iza! Rio itu kelihatan sangat sehat dan bugar, mana mungkin dia sakit?” Sri memilih mode denial. Untuk menolak mempercayai apa yang dikatakan oleh putrinya.“Pasti kamu mencari-cari alasan biar bisa batalin pernikahan kan?”“Astghfirullah, Ibu … Mana mungkin Iza berbohong soal penyakit mengerikan seperti ini?”Iza dapat mengerti kekecewaan ibunya, namun juga tidak terima jika dituduh mengarang cerita untuk membatalkan pernikahannya dengan Rio.“Aku tahu kalau Ibu dan Bapak tidak akan percaya begitu saja dengan ucapan Iza. Oleh karena ini, aku membawa dokter Yudi. Dokter yang merawat Rio di RSUD.”Iza pun mejelaskan alasan kehadiran Yudi di rumah mereka saat ini.Semua pandangan mata kini kontan beralih kepada dokter Yudi, yang sejak tadi hanya terdiam tanpa suara. Memperhatikan pembicaraan memilukan antara seorang anak perempuan dan kedua orang tuanya.