Mobil brio merah yang dikemudikan dokter Yudi melaju kencang membelah aspal jalanan. Dari rumah makan Padang tempat Iza dan sang dokter makan malam tadi, menuju ke rumah Iza. Tidak ada alunan musik yang diputar dari MP3 player mobil. Hanya ada siaran radio tentang keadaan lalu lintas jalanan, dan berita aktual seputar Jawa Timur lainnya.
"Dokter Yudi banget ya, gak suka musik tapi malah dengerin berita." Iza membatin dalam hati. Sambil duduk canggung di kursi penumpang sebelah Yudi yang sedang menyetir mobillnya. Sejak duduk dan memasuki mobil brio merah itu, baik Iza maupun Yudi hanya terdiam. Keduanya sibuk dengan permainan pikiran masing-masing, terlalu sungkan untuk memulai pembicaraan. Bingung memilih topik apa yang sekiranya bisa dibahas atau dibicarakan. "Dokter Ceicillia mulai Senin depan sudah kembali bekerja." Dokter Yudi yang pertama memecahkan keheningan di antara mereka. "Ehm, beliau sudah pulang ya dari umroh?" Iza balik bertanya memastikan. Baru sadar jika sudah hampir tiga Minggu dokter Ceicillia cuti dan digantikan oleh dokter Yudi. "Sudah seminggu yang lalu." "Ohh ..." Iza bingung harus bagaimana menanggapi berita itu. Entah harus senang atau sedih, karena dengan masuknya dokter Ceicillia artinya dokter Yudi tidak akan berjaga lagi di rumah sakit tempatnya bekerja. "Besok adalah hari terakhir saya jaga." Yudi menegaskan apa yang ada di kepala Iza. Iza kembali terdiam, tidak menanggapi ucapan Yudi. Besok dirinya mendapat jatah libur, yang berarti tidak akan hadir di rumah sakit. Entah mengapa ada rasa tidak rela di dadanya jika tidak bisa bertemu lagi dengan dokter sedingin kulkas itu. 'Apa nanti kami masih bisa ketemu lagi?' Selama beberapa detakan waktu, Iza dan Yudi kembali diam membisu. Lebih memilih untuk tenggelam dalam permainan pikiran di kepala masing-masing. Hanya berita dari radio yang terdengar meramaikan suasana. "Dokter Yudi setelah ini jaga di mana?" Iza memberanikan diri untuk bertanya. Daripada memupuk rasa penasaran yang akan membuatnya sulit tidur nanti malam. "Saya?" Yudi sedikit melirik kepada gadis berhijab di sebelahnya dari kaca spion. "Saya masih bertugas di RSUD." Iza menanggapi dengan anggukan kepala, dia sudah tahu bahwa dokter Yudi adalah dokter yang bertugas di RSUD sekaligus residen spesialis paru. Kemudian kembali terjadi kebungkaman yang membuat canggung untuk bertanya atau memulai pembicaraan lagi. Iza hanya sesekali menunjukkan arah yang harus mereka tempuh untuk bisa sampai ke rumahnya. "Nanti saya turun di depan gang saja, Dok." Iza berkata kepada Yudi saat mobil brio merah yang mereka tumpangi sudah memasuki kawasan desanya. "Kenapa tidak di depan rumah saja?" Yudi balik bertanya. "Gang saya sempit, Dok." Iza mencari alasan. Padahal alasan sebenarnya dia tidak ingin menjadi bahan gosip tetangga. Karena diantarkan pulang oleh seseorang dengan membawa mobil. Yudi diam saja tidak merespons jawaban Iza., merasa tidak enak untuk menurunkan seorang gadis di depan gang. Namun dokter muda itu juga tidak memprotes karena menghormati keputusan Iza. "Nah itu gang rumah saya, Dok. Turunkan di situ saja." Iza menunjuk sebuah gang yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari tempat mereka saat ini. "Terima kasih ya, Dok. Sudah dianterin pulang, masih ditraktir makan pula." Iza melepaskan sabuk pengaman saat mobil Brio merah itu berhenti di gang. "Sama-sama." Yudi menjawab singkat. Namun kemudian dia kembali memanggil Iza yang sudah hendak membuka pintu mobil. "Eeehm, Mbak Iza ..." "Iya, Dok?" Iza mengurungkan gerakannya untuk membuka pintu. "Kalau saya masih butuh data tentang pasien TBC, boleh gak saya hubungi kamu?" Kedua pupil mata Iza melebar demi mendengar ucapan sang dokter. Namun cepat-cepat dia mengatasi kekagetan dan memberikan jawaban. "Boleh, Dok." "Terima kasih." Yudi menyunggingkan senyuman tipis yang sangat mahal. Saking jarangnya terlihat menghiasi wajahnya. 'Kirain dia mau nanya apa. Ternyata kembali lagi nanyain masalah kerjaan ... Udah deh, lebih baik jangan berharap lagi!' Iza membatin, entah mengapa sedikit kecewa dengan pertanyaan Yudi yang diluar harapan. "Saya duluan dok," Iza kembali berpamitan dan melangkah keluar dari mobil. Mobil brio merah itu pun tak lama kemudian berlalu, berputar balik kembali melaju ke arah datangnya tadi. "Cieeee, dianterin siapa tuh Mbak Iza?" sapa salah satu tetangganya yang kebetulan lewat di depan gang saat dirinya keluar dari mobil Yudi. Iza hanya memberikan senyuman indah sebagai jawaban pertanyaan kepo itu. Merasa sial karena niatan tidak menjadi pusat pembicaraan emak-emak kampung ternyata gagal total. Iza berani bertaruh bahwa tetangganya itu pasti akan langsung menyebarkan gosip tentangnya dengan heboh kepada tetangga lain yang sedang nongkrong di pos kamling. 'Kayaknya apapun yang aku lakukan bakal jadi gosip hangat deh.' Iza berjalan cepat untuk kembali ke rumahnya sendiri. *** "Za gimana hubungan kamu sama si Rio?" Sri bertanya kepada putrinya setelah sesi makan malam bersama keluarga mereka. "Ya gak gimana-gimana." Iza menjawab kalem. "Lho piye to?" Sang ibu merasa tidak puas. "Setiap hari kita selalu bertukar kabar kok bu." "Begitu saja? Gak ada acara keluar bareng?" Iza hanya menggelengkan kepala sebagai jawban. Dan Sri kembali bertanya menyelidik, "Rio gak ngajakin? Atau kamunya gak mau?" "Masa iya Iza yang nolak?" "Jadi si Rio yang gak jelas?" "Mungkin Rio masih sibuk, Bu." "Haduuuh, piye toh kalian berdua ini?" Sri yang merasa semakin gemas dengan putrinya yang terkesan tidak bersemangat dengan perjodohan yang sudah dengan susah payah dia canangkan. Sekali lagi Iza tidak memberikan jawaban, kecuali sebuah senyuman canggung. "Za, jujur sama ibu, kamu sudah punya pacar ya?" "Kok Ibu bisa bertanya begitu? Ibu kan tahu sendiri Iza gak punya pacar." Iza mengerutkan kening demi mendengar pertanyaan ibunya yang terasa tiba-tiba. "Lalu siapa itu yang bawa Brio merah?" Sri tidak puas dengan jawaban Iza. "Tadi sore kamu dianter mobil merah itu siapa? Sudah heboh lho yang ngomongin kamu punya pacar." Iza akhirnya mengerti kemana arah pembicara ibunya. Pasti gosip tentang balada Brio Merah sudah menyebar di seluruh kampung, bahkan sudah sampai ke telinga ibunya sendiri. "Mobil brio merah yang tadi mengantarkan Iza itu dokter Yudi." Iza menjelaskan kepada ibunya. "Gak mungkin lah Iza punya pacar dokter, Bu. Apalagi dokter Yudi itu calon dokter spesialis." "Beneran bukan pacarmu?" "Bener, Bu." Sri menghela napas lega mendengar jawaban Iza. Kemudian beliau lanjut berkata, "Mendingan kamu fokus sama si RIo saja yang sudah jelas. Nanti ibu akan coba ngomong sama ibunya RIo, biar anak itu yang ambil insiatif duluan karena kamunya pasif begini." "Enggih." Iza mengiayakan saran dari ibunya. "Semoga kalian berdua lekas berjodoh." "Doakan yang terbaik saja, Bu." Iza meralat doa sang ibu. "Yawes semoga sing apik-apik gawe kowe, Nduk." Sri menuruti koreksi dari putrinya. "Amiiiin," Iza pun mengamini dari lubuk hati terdalam. Dia percaya doa seorang ibu untuk anaknya tidak akan pernah gagal untuk mengetuk pintu langit dan menciptakan keajaiban.The power of emak-emak memang sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Iza pun merasakan dampak power dari ibunya sendiri terhadap hubungannya dengan RIo. Entah apa yang dikatakan sang ibu kepada ibunya Rio, kini pria itu lebih gencar untuk mencoba berhubungan agar lebih dekat lagi dengan Iza. Hampir mirip seperti serangan Agresi Militer. Setiap pagi Rio selalu mengirimkan pesan selamat lagi yang manis. Sepanjang hari pun Rio juga kerap mengirimkan pesan kepada Iza, mulai dari sekedar mengingatkan makan atau ngobrol ringan. Obrolan ringan yang sesekali dibumbui dengan modus-modus romantisme. 'Rio ini kerjanya bagian apa sih di bank? Kok kayaknya santai banget?' Iza membatin sewaktu mendapatkan sebuah pesan berupa kata-kata romatis dari RIo di siang bolong. Iza yang sudah terlalu lama hidup single tidak terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Iza sedikit risih dengan sifat Rio, apalagi jika harus seharian menjawab chatting dari pria itu. Alhasil Iza hanya menjawab seperlunya atau malah
Detik bergulir berganti menit, menit bergulir menjadi jam, jam pun berakumulasi menjadi hari. Hubungan Iza dan Rio pun telah berjalan selama beberapa minggu. Sesuai permintaan Iza, mereka berdua mencoba menjalani proses pendekatan seperti kebanyakan pasangan lainnya. Dengan kencan singkat atau sekedar bertemu untuk makan bersama dan bertukar pikiran. Seiring berjalannya waktu, Iza pun mulai terbiasa dan tidak risih lagi dengan kehadiran Rio. Rio yang selalu rajin mengirimkan pesan singkat untuknya setiap hari. Menanyakan kabar, kegiatab bahkan membicarakan hal-hal yang tidak penting. Di satu sisi Iza tahu benar bahwa Rio masih terlalu muda baginya. Sehingga kadang ada gesekan tentang cara pandang dan pola pikir mereka yang terasa berbeda. Namun di sisi lain, sifat Rio yang humble membuat Iza merasa nyaman untuk berasa bersamanya. ‘Apa gara-gara saking lamanya jomblo sampai aku jadi baperan begini?’ ‘Seharusnya aku bisa menjaga hati. Mana mungkin Rio mau sama aku kan?’ Iza kerap
"Za kamu dijemput tuh!" ujar Lia yang hari itu sedang berjaga shift pagi bersama dengan Iza. Iza mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjukkan oleh Lia. Seorang pria sedang berada di parkiran sepeda motor. Pria yang sudah beberapa kali menjemput Iza pulang dari rumah sakit, Rio. 'Ngapain Rio datang hari ini? Bukannya gak ada janjian ketemu?' Iza membatin. "Buruan disamperin sana kakangmasmu!" "Tapi kan jadwal jaga belum selesai,Mbak." Iza tidak beranjak dari posisinya. "Halah tinggal sepuluh menit lagi, pulang aja duluan. Dokter Eka juga gak akan keberatan." Lia memberi sedikit kelonggaran kepada Iza. Iza pun kembali mengamati Rio yang sedang berbicara dengan satpam rumah sakit. Dan pria itu kontan melambaikan tangan sebagai sapaan begitu menyadari Iza memandang kepada dirinya. Rio masih mengenakan setelan resmi kantoran. Tanda bahwa pria itu juga baru pulang dari bekerja. Iza pun merasa tidak enak membuatnya menunggu, padahal sudah repot-repot menjemput dirinya. "Yau
Setelah mendapatkan kata iya dari Iza, Rio pun benar-benar melakukan apa yang dia katakan. Sebagai pembuktian bahwa dia benar-benar serius akan hubungan mereka berdua., Rio membawa kedua orang tua dan keluarga dekat untuk mendatangi rumah Iza pasa sore keesokan harinya.Keluarga Rio datang dengan tiga buah mobil, membawa personil keluarga yang cukup banyak. Mereka bahkan juga membawa berbagai seserahan dan hadiah untuk Iza. Mulai dari pakaian, perhiasan bahkan sampai alat make up dan daily care. Serta tidak lupa membawa sebuah cincin pengikat hubungan Rio dan Iza.'Kok kayaknya heboh banget ya?' Iza merasa takjub dengan acara dadakan itu. Seolah Rio dan keluarganya sudah melakukan persiapan untuk lamaran itu sejak jauh-jauh hari.Di lain pihak, keluarga Iza bisa dibilang tidak siap dan kalang kabut dalam mempersiapkan segalanya untuk acara lamaran ini. Namun mereka tetap menerima kedatangan para tamu dengan lapang dada. Serta berusaha memberikan sambutan terbaik mereka."Selamat datan
Setelah acara lamaran itu, hubungan Iza dan Rio jadi semakin dekat. Keduanya kerap bertemu di sela-sela kesibukan harian serta persiapan untuk acara selanjutnya, penikahan.“Udah sampai di sini saja.” Iza beranjak turun dari boncengan motor vario milik Rio. Gadis itu juga melepaskan helm yang dipakainya dan menyerahkan kepada Rio.Pagi ini Iza sedang diantarkan oleh Rio ke sebuah hotel di ibukota kabupaten. Untuk menghadiri seminar tentang penyakit menular yang diadakan oleh dinas kesehatan kabupaten, di hall sebuah hotel berbintang lima. Iza sebagai pemegang program, mewakili rumah sakitnya untuk hadir dan memberikan laporan rutin setiap semester.“Nanti pulangnya gimana?” Rio menanyai Iza sambil meletakkan helm di cantolan motor.“Aku bisa pulang sendiri atau bareng temen.” Iza tak ingin merepotkan Rio untuk menjemputnya, karena pria itu harus bekerja.Kali ini Iza terpaksa berangkat dengan diantark
Iza : Rio, ibu nayain kapan kamu bisa ikut ke tempat perias. Kamis besok gimana? Kamu bisa, nggak?Iza mengirimkan pesan di aplikasi chatting kepada Rio atas permintaan ibunya. Sebagai orang Jawa tulen, Sri sudah heboh sendiri untuk mepersiapkan segala sesuatu. Agar acara pernikahan putrinya dapat berlangsung dengan lancar, tanpa ada halangan yang berarti. Padahal acara itu rencananya baru diadakan tiga bulan mendatang.“Gimana Rio bisa gak?” Sri menanyai sang putri.“Belum dijawab, Bu.” Iza menjawab dengan napas terhela panjang menghadapi Sri. “Sabar donk, Rio mungkin sedang sibuk di kantronya.”“Gimana bisa sabar, wis mepet Kabeh iki. Dan kita masih belum melakukan persiapan.”“Kan masih tiga bulan lagi acaranya, Bu.”“Tiga bulan itu mepet banget. Ojo serba dadakan, mengko akeh sing kelewatan.”“Terserah ibu saja deh.” Iza malas untuk melanjutkan perdebatan. Dan tidak lama kemudian ponselnya kembali berbunyi, menandakan adanya pesan
“Mari silahkan masuk, Nak Iza.” Ibu Rio mengajak Iza masuk ke dalam kamar putranya.Iza melangkah masuk lebih dalam sendirian ke dalam kamar. Sementara ibunya dan ibu Rio menunggu dirinya di daun pintu.Iza mendapati Rio yang sedang terbaring di kasurnya, sedang tertidur pulas. Iza mendekat dan mengamati wajah tunangannya itu yang terlihat pucat dan banyak berkeringat. Refleks Iza menempelkan sebelah telapak tangannya ke kening Rio, dan mendapati suhu yang panas di sana.‘Sepertinya dia sedang demam.’ Iza bergumam lirih. Jadi merasa bersalah sendiri karena sudah mencurigai Rio.Kemudian pandangan mata Iza tertuju kepada tumpukan obat yang jumlahnya banyak sekali di atas meja sebelah ranjang.‘Kamu sakit apa?’ Karena penasaran, Iza pun beralih untuk melihat obat-obatan itu. Namun langkahnya terhenti karena Nanik yang meraih tangannya.“Sebaiknya kita biarkan dia istirahat saja dulu.
Sekujur tubuh Iza terasa lemas demi mendengar diagnosa penyakit yang diderita oleh Rio, HIV AIDS. Penyakit paling menakutkan dan menjadi momok utama dalam dunia medis, karena sampai saat ini belum ada obatnya. Orang yang menderita penyakit itu hanya bisa mengurangi gejala dan mengobati infeksi penyerta akibat penurunan sistem imun yang terjadi. Akan tetapi untuk penyakitnya sendiri tidak akan bisa diobati.‘Bagaimana mungkin Rio dapat menderita penyakit itu?’Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepala Iza. Masih tidak percaya dan tidak habis pikir bagaimana pria yang akan menikah dengannya tiga bulan lagi malah menderita penyakit mematikan itu. Penyakit yang tidak hanya berbahaya bagi tubuh penderitanya sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya, terutama pasangannya. Karena B20 dapat menular melalui cairan tubuh, seperti darah dan cairan-cairan lainnya.“Za … Kamu yang sabar ya …” Ragil berkata lirih kepada Iza se
Berbekal restu dari sang ibu, Iza kini tidak ragu lagi untuk memulai hubungan baru dengan dokter Yudi. Dia berniat mengutarakan perasaanya dan menanyakan jika penawaran Yudi kepadanya beberapa waktu yang lalu masih berlaku.'Tapi gimana cara bilangnya? Masa aku harua nembak duluan?' 'Eh tapi dokter Yudi kan yang sudah nembak duluan, jadi anggap saja aku cuma menjawab.' Iza pun mengajak Yudi untuk keluar sore itu, ajakan yang disambut dengan senang hati oleh yang diajak. Mungkin bagi Yudi, dengan Iza mau mengajaknya keluar terlebih dahulu saja sudah menjadi pertanda baik bagi hubungan mereka. Dan sesuai dengan perjanjian, Yudi datang menjemput Iza di rumahnya, tidak lupa berpamitan kepada kedua orang tua gadis itu.Keduanya berjalan beriringan dari parkiran mobil ke arah mall dengan sedikit canggung. Yudi berjalan mendahului sedangkan Iza mengikuti di belakangnya dengan jarak beberapa langkah. "Kita mau ke mana?" Yudi menanyai Iza setelah mereka berdiri di loby lantai satu mall."He
Iza dan Yudi menikmati sajian makan siang bersama di ruang keluarga. Saking kakunya sampai tak ada yang berkata-kata di antara mereka. Entah mengapa mereka menjadi canggung dan bingung untuk memulai pembicaraan. Keadaan rumah yang sepi, kenyataan bahwa mereka hanya berduaan semakin memperparah suasana. Keduanya hanya bisa sesekali saling melemparkan pandangan, melirik, lalu kembali berkutat dengan makanan yang ada di hadapan masing-masing. 'Aduh kenapa tadi aku menawari makan siang ya? Gimana kalau para tetangga bergunjing?' 'Baru saja gagal bertunangan malah sudah memasukkan pria lain ke dalam rumah.' Iza menyesali keputusannya yang tidak pikir panjang. Dan kalau sudah begini tidak mungkin juga untuk mengusir Yudi begitu saja. "Maaf ya Mbak Iza, saya jadi merepotkan." Yudi sepertinya dapat merasakan
Yudi mengamati layar monitor yang menampilkan laporan kasus salah satu pasien dengan penyakit paru yang sedang dia tangani. Laporan-laporan yang akan dipakainya untuk ujian penentuan gelar spesialis paru yang sedang dia perjuangkan. Yudi beralih kepada lembaran foto ronsen thorax dengan kontras hitam putih milik pasien tersebut. Mengamati dan mencocokkan apa yang dilihatnya dengan apa yang tertulis di laporan. Tentang perkembangan penyakit pasien TBC setelah dilakukan pengobatan. Cukup lama Yudi tenggelam dalam kesibukannya itu, sampai tak terasa jam kerja pun berakhir. "Aku pulang duluan ya." Yudi berpamitan kepada perawat jaga di poli paru. Kemudian dia beranjak mengambil barang pribadinya dan keluar dari gedung rumah sakit. Melajukan mobil Brio merahn membelah aspal jalanan yang terik di siang hari. Rasanya sungguh sangat melelahkan kehidupan sebagai seorang PPDS. Seharian sibuk dengan banyak pasien rawat inap yang harus dia visite hari ini. Setelah vis
Iza tertegun mendengarkan ucapan Yudi yang sama sekali tidak terduga olehnya. Seluruh logika dan akal sehat gadis itu sama sekali tidak dapat mempercayai apa yang dia dengar. Oleh karena itu, Iza pun memberanikan diri untuk berkata.“Dokter Yudi jangan becanda donk. Nanti saya bisa baper.” Iza menambahi dengan tawa ringan, seperti sedang menanggapi sebuah candaan dari temannya.Yudi mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar jawaban dari Iza. Bukannya penerimaan atau penolakan yang diberikan, malah terkesan gadis itu meragukan keseriusan dari ucapannya.Padahal Yudi adalah orang yang tidak mungkin untuk bercanda, terutama dalam hal yang menyangkut perasaan seperti ini.“Saya serius," Yudi menegaskan.Iza tetap terdiam, masih tidak akan berani berharap bahwa dokter Yudi, sang idaman wanita ini akan berkata seperti itu kepadanya.‘Dia bilang mau sama aku itu maksudnya gimana ya? Mau apa?’“Saya menyukai kamu, Mbak Iza.”
Iza mengira bahwa masalah akan selesai setelah dia memutuskan hubungn pertunangan dan membatalakan pernikahan dengan Rio. Masalahnya dengan Rio pribadi sudah selesai, dengan keluarga inti Rio juga sudah selesai. Namun dengan keluarga besar dan para tetangga satu kompleks malah timbul berbagai rumor tidak sedap. Rumor yang mengatakan dan menyalahkan Iza, yang membatalkan pernikahan dengan sepihak.“Mau cari yang gimana lagi sih Mbak Iza itu?”“Gak inget apa udah tua umurnya? Paling sebentar lagi juga sudah keriput dan tidak cantik lagi.”“Mau cari yang bagaimana lagi sih? Dilamar duda gak mau katanya ketuaan, ini dilamar perjaka masih muda juga tetap saja ditolak.”“Seleranya yang kaya raya kali, biar bisa diantar jemput pakai mobil.”“Mungkin memang gak niat buat nikah kali ya?”“Nanti kalau sudah terlambat pasti akan menyesal sendiri.”Berbagai gunjingan miring s
Setelah kesepakatan yang dibuat Iza dan Rio untuk membatalkan pernikahan mereka, Iza pun meminta kepada kedua orang tuanya untuk mengantarkan berkunjung ke rumah Rio. Untuk membahas tentang wacana pembatalan pernikahan serta mengembalikan seserahan yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Terutama untuk barang-barang berharga seperti perhiasan.Maka di sore yang cerah itu, Iza bersama kedua orang tuanya sudah duduk ruang tamu rumah Rio. Berhadapan tiga lawan tiga dengan Rio dan kedua orang tuanya. Suasana terasa begitu canggung setelah sapaan dan ramah tamah. Tidak ada yang berani untuk bersuara, meskipun mereka sudah tahu tujuan kedatangan Iza dan keluarganya."Hemmm begini, saya mohon maaf sekali sebelumnya kepada Nak Rio, Dek Soni dan Dek Nanik. Maksud kedatangan kami kali ini adalah untuk membatalkan rencana pernikahan kedua anak kita.""Lho kenapa? Gak bisa begitu lah." Nanik kontan melayangkan protesnya."Saya dengan dari Iz
“Jika mau dilanjutkan, jadwal pernikahan kita sudah cukup dekat. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengurus dokumen-dokumen pernikahan di KUA. Dan aku sudah ke sana untuk meminta formulir itu.” Iza menjelaskan alasannya memberikan dokumen itu kepada Rio.“Tapi kenapa harus ada persyaratan sedetail ini?" Rio bertanya kepada Iza setelah memeriksa semua formulir yang disodorkan oleh gadis itu kepadanya.“Itu semua formulir yang aku dapatkan dari pak Mudin Desaku.” Iza menjawab dengan tenang. Dia berusaha menyembunyikan segala gejok di dalam jiwanya, bertekad untuk membuat Rio mau mengakui tentang keadaan penyakitnya."Bukankah biasanya hanya dibutuhkan beberapa dokumen untuk pembuatan buku nikah?” Rio tetap memprotes.“Jangan salah. Selain dokumen, untuk calon mempelai wanita diharuskan vaksin tetanus. Kedua calon mempelai juga disarankan untuk mengikuti kelas pra nikah yang diadakan oleh KUA atau puskesmas setem
Iza memang sudah mantap memutuskan untuk membatalkan pernikahannya. Kedua orang tuanya juga sudah setuju dan memberikan restu baginya untuk melakukan hal itu. Namun ternyata sampai beberapa hari setelah kedatangan dokter Yudi ke rumahnya, Iza masih belum juga berani menemui Rio.Memang terkesan klise dan kekanakan, namun Iza merasa tidak tega dan sedih untuk memutuskan hubungannya dengan Rio dengan jalan seperti ini. Bukan karena adanya masalah dalam hubungan mereka berdua, melainkan karena suatu sebab eksternal yang sangat tidak terduga.‘Apa aku sudah jatuh cinta kepadanya?’ Iza bermonolog dalam hatinya sendiri.'Tidak, ini bukanlah cinta. Karena kami juga hanya kenal sebentar saja … Ini hanyalah rasa iba dan empati semata."Iza mencoba mengenali perasaanya sendiri kepada Rio saat ini. Hubungan selama beberapa minggu setelah mengenal pria itu memang cukup manis dan berkesan baginya.Rio memperlakukan dirinya d
“Jangan mengada-ada kamu, Iza! Rio itu kelihatan sangat sehat dan bugar, mana mungkin dia sakit?” Sri memilih mode denial. Untuk menolak mempercayai apa yang dikatakan oleh putrinya.“Pasti kamu mencari-cari alasan biar bisa batalin pernikahan kan?”“Astghfirullah, Ibu … Mana mungkin Iza berbohong soal penyakit mengerikan seperti ini?”Iza dapat mengerti kekecewaan ibunya, namun juga tidak terima jika dituduh mengarang cerita untuk membatalkan pernikahannya dengan Rio.“Aku tahu kalau Ibu dan Bapak tidak akan percaya begitu saja dengan ucapan Iza. Oleh karena ini, aku membawa dokter Yudi. Dokter yang merawat Rio di RSUD.”Iza pun mejelaskan alasan kehadiran Yudi di rumah mereka saat ini.Semua pandangan mata kini kontan beralih kepada dokter Yudi, yang sejak tadi hanya terdiam tanpa suara. Memperhatikan pembicaraan memilukan antara seorang anak perempuan dan kedua orang tuanya.