Setelah acara lamaran itu, hubungan Iza dan Rio jadi semakin dekat. Keduanya kerap bertemu di sela-sela kesibukan harian serta persiapan untuk acara selanjutnya, penikahan.
“Udah sampai di sini saja.” Iza beranjak turun dari boncengan motor vario milik Rio. Gadis itu juga melepaskan helm yang dipakainya dan menyerahkan kepada Rio.
Pagi ini Iza sedang diantarkan oleh Rio ke sebuah hotel di ibukota kabupaten. Untuk menghadiri seminar tentang penyakit menular yang diadakan oleh dinas kesehatan kabupaten, di hall sebuah hotel berbintang lima. Iza sebagai pemegang program, mewakili rumah sakitnya untuk hadir dan memberikan laporan rutin setiap semester.
“Nanti pulangnya gimana?” Rio menanyai Iza sambil meletakkan helm di cantolan motor.
“Aku bisa pulang sendiri atau bareng temen.” Iza tak ingin merepotkan Rio untuk menjemputnya, karena pria itu harus bekerja.
Kali ini Iza terpaksa berangkat dengan diantark
Iza : Rio, ibu nayain kapan kamu bisa ikut ke tempat perias. Kamis besok gimana? Kamu bisa, nggak?Iza mengirimkan pesan di aplikasi chatting kepada Rio atas permintaan ibunya. Sebagai orang Jawa tulen, Sri sudah heboh sendiri untuk mepersiapkan segala sesuatu. Agar acara pernikahan putrinya dapat berlangsung dengan lancar, tanpa ada halangan yang berarti. Padahal acara itu rencananya baru diadakan tiga bulan mendatang.“Gimana Rio bisa gak?” Sri menanyai sang putri.“Belum dijawab, Bu.” Iza menjawab dengan napas terhela panjang menghadapi Sri. “Sabar donk, Rio mungkin sedang sibuk di kantronya.”“Gimana bisa sabar, wis mepet Kabeh iki. Dan kita masih belum melakukan persiapan.”“Kan masih tiga bulan lagi acaranya, Bu.”“Tiga bulan itu mepet banget. Ojo serba dadakan, mengko akeh sing kelewatan.”“Terserah ibu saja deh.” Iza malas untuk melanjutkan perdebatan. Dan tidak lama kemudian ponselnya kembali berbunyi, menandakan adanya pesan
“Mari silahkan masuk, Nak Iza.” Ibu Rio mengajak Iza masuk ke dalam kamar putranya.Iza melangkah masuk lebih dalam sendirian ke dalam kamar. Sementara ibunya dan ibu Rio menunggu dirinya di daun pintu.Iza mendapati Rio yang sedang terbaring di kasurnya, sedang tertidur pulas. Iza mendekat dan mengamati wajah tunangannya itu yang terlihat pucat dan banyak berkeringat. Refleks Iza menempelkan sebelah telapak tangannya ke kening Rio, dan mendapati suhu yang panas di sana.‘Sepertinya dia sedang demam.’ Iza bergumam lirih. Jadi merasa bersalah sendiri karena sudah mencurigai Rio.Kemudian pandangan mata Iza tertuju kepada tumpukan obat yang jumlahnya banyak sekali di atas meja sebelah ranjang.‘Kamu sakit apa?’ Karena penasaran, Iza pun beralih untuk melihat obat-obatan itu. Namun langkahnya terhenti karena Nanik yang meraih tangannya.“Sebaiknya kita biarkan dia istirahat saja dulu.
Sekujur tubuh Iza terasa lemas demi mendengar diagnosa penyakit yang diderita oleh Rio, HIV AIDS. Penyakit paling menakutkan dan menjadi momok utama dalam dunia medis, karena sampai saat ini belum ada obatnya. Orang yang menderita penyakit itu hanya bisa mengurangi gejala dan mengobati infeksi penyerta akibat penurunan sistem imun yang terjadi. Akan tetapi untuk penyakitnya sendiri tidak akan bisa diobati.‘Bagaimana mungkin Rio dapat menderita penyakit itu?’Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepala Iza. Masih tidak percaya dan tidak habis pikir bagaimana pria yang akan menikah dengannya tiga bulan lagi malah menderita penyakit mematikan itu. Penyakit yang tidak hanya berbahaya bagi tubuh penderitanya sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya, terutama pasangannya. Karena B20 dapat menular melalui cairan tubuh, seperti darah dan cairan-cairan lainnya.“Za … Kamu yang sabar ya …” Ragil berkata lirih kepada Iza se
Setelah pulang dari rumah Ragil, Iza langsung mengurung diri di dalam kamarnya. Dia bahkan tidak menyapa saat melewati bapak dan ibunya yang sedang duduk di ruang tengah sambil menonton TV. Tak ingin kedua orang tuanya itu khawatir jika mengetahui wajah dan suaranya yang sedang kacau karena terlalu banyak menangis sepanjang sore tadi.“Lho Iza kenopo toh, Buk?” Yono bertanya kepada sang istri. Merasa janggal dengan sikap putrinya malam ini.“Mboten ngertos, Pak. Tadi siang Iza sama Ibu mampir ke rumah Rio untuk ngomongin undangan dan persiapan lainnya. Lhakok tibake si bocahe malah sakit. Mungkin Iza sedih dan khawatir sama Rio.” Sri menjelaskan kepada suaminya.“Rio sakit? Sakit opo?” Yono juga merasa tidak tenang mendengar kabar itu.“Demam, katanya abis kehujanan. Sama apa tadi katanya, radang paru-paru, kebanyakan ngerokok paling yo, Pak?”“Owalah, penyakite arek enom lek ngerokok kui. Angel wes.” Yono mengangguk mengerti dengan penjelasan sang
“Za, kamu jadinya mau mengundang berapa orang untuk acara akad dan resepsi pernikahan nanti?" Sri menanyai Iza, saat mereka sedang duduk bersama pada suatu sore.“Belum tahu, Bu.” Iza menjawab sambil berkonsentrasi menonton TV.“Lho kok belum tau? Ndang dihitung toh, Nduk!”“Acaranya kan masih lama, Bu."“Masih lama piye? Iki wes kurang dua bulan setengah. Sudah mepet buat bikin undangan dan nyebarnya.” Sri mengomel kesal kepada Iza yang terlalu santai dan menggampangkan.“Pak, undangan untuk rekan njenengan pinten?” Sri beralih menanyai sang suami yang ikut bersantai bersama mereka.“Sekarep wes, Bu. Seratus wes cukup koyoke.” Yono menjawab sekenanya, males menghitung. Paling yang akan dia undang hanya rekan satu sekolahan SD tempatnya mengajar, dan beberapa rekan guru lainnya yang cukup akrab.“Yowes, seratus yo? Mengko keluarga besar, tetangga kampung, da
“Ya karena pasien B20 yang dibicarakan oleh Iza adalah pasien Dokter Yudi.” Ragil yang kali ini membantu menjawab sambil tersenyum kecil kepada sang dokter.“Serius?” Yudi masih tidak percaya. Namun pandangan mata serius dari Iza dan Ragil sekaligus, membuatnya sadar bahwa kedua wanita berhijab itu tidak sedang bercanda.Yudi pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebelum bertaya, “Pasien yang mana sih?”“Rio Dewantoro.” Iza menyebutkan nama lengkap Rio.“Sebentar …” Yudi beranjak dari posisinya, kemudian kembali lagi tak lama kemudian dengan membawa sebuah laptop. Kemudian dokter muda itu kembali duduk dan berkutat dengan tombol-tombol di laptopnya.‘Sepertinya dokter Yudi akan mengakses rekam medis online milik Rio.’ Iza membatin lega dalam hati.Yudi membaca beberapa saat rekam medis online di laptopnya. Kemudian menghela napas panjang sebelum berkata,
“Jangan mengada-ada kamu, Iza! Rio itu kelihatan sangat sehat dan bugar, mana mungkin dia sakit?” Sri memilih mode denial. Untuk menolak mempercayai apa yang dikatakan oleh putrinya.“Pasti kamu mencari-cari alasan biar bisa batalin pernikahan kan?”“Astghfirullah, Ibu … Mana mungkin Iza berbohong soal penyakit mengerikan seperti ini?”Iza dapat mengerti kekecewaan ibunya, namun juga tidak terima jika dituduh mengarang cerita untuk membatalkan pernikahannya dengan Rio.“Aku tahu kalau Ibu dan Bapak tidak akan percaya begitu saja dengan ucapan Iza. Oleh karena ini, aku membawa dokter Yudi. Dokter yang merawat Rio di RSUD.”Iza pun mejelaskan alasan kehadiran Yudi di rumah mereka saat ini.Semua pandangan mata kini kontan beralih kepada dokter Yudi, yang sejak tadi hanya terdiam tanpa suara. Memperhatikan pembicaraan memilukan antara seorang anak perempuan dan kedua orang tuanya.
Iza memang sudah mantap memutuskan untuk membatalkan pernikahannya. Kedua orang tuanya juga sudah setuju dan memberikan restu baginya untuk melakukan hal itu. Namun ternyata sampai beberapa hari setelah kedatangan dokter Yudi ke rumahnya, Iza masih belum juga berani menemui Rio.Memang terkesan klise dan kekanakan, namun Iza merasa tidak tega dan sedih untuk memutuskan hubungannya dengan Rio dengan jalan seperti ini. Bukan karena adanya masalah dalam hubungan mereka berdua, melainkan karena suatu sebab eksternal yang sangat tidak terduga.‘Apa aku sudah jatuh cinta kepadanya?’ Iza bermonolog dalam hatinya sendiri.'Tidak, ini bukanlah cinta. Karena kami juga hanya kenal sebentar saja … Ini hanyalah rasa iba dan empati semata."Iza mencoba mengenali perasaanya sendiri kepada Rio saat ini. Hubungan selama beberapa minggu setelah mengenal pria itu memang cukup manis dan berkesan baginya.Rio memperlakukan dirinya d
Berbekal restu dari sang ibu, Iza kini tidak ragu lagi untuk memulai hubungan baru dengan dokter Yudi. Dia berniat mengutarakan perasaanya dan menanyakan jika penawaran Yudi kepadanya beberapa waktu yang lalu masih berlaku.'Tapi gimana cara bilangnya? Masa aku harua nembak duluan?' 'Eh tapi dokter Yudi kan yang sudah nembak duluan, jadi anggap saja aku cuma menjawab.' Iza pun mengajak Yudi untuk keluar sore itu, ajakan yang disambut dengan senang hati oleh yang diajak. Mungkin bagi Yudi, dengan Iza mau mengajaknya keluar terlebih dahulu saja sudah menjadi pertanda baik bagi hubungan mereka. Dan sesuai dengan perjanjian, Yudi datang menjemput Iza di rumahnya, tidak lupa berpamitan kepada kedua orang tua gadis itu.Keduanya berjalan beriringan dari parkiran mobil ke arah mall dengan sedikit canggung. Yudi berjalan mendahului sedangkan Iza mengikuti di belakangnya dengan jarak beberapa langkah. "Kita mau ke mana?" Yudi menanyai Iza setelah mereka berdiri di loby lantai satu mall."He
Iza dan Yudi menikmati sajian makan siang bersama di ruang keluarga. Saking kakunya sampai tak ada yang berkata-kata di antara mereka. Entah mengapa mereka menjadi canggung dan bingung untuk memulai pembicaraan. Keadaan rumah yang sepi, kenyataan bahwa mereka hanya berduaan semakin memperparah suasana. Keduanya hanya bisa sesekali saling melemparkan pandangan, melirik, lalu kembali berkutat dengan makanan yang ada di hadapan masing-masing. 'Aduh kenapa tadi aku menawari makan siang ya? Gimana kalau para tetangga bergunjing?' 'Baru saja gagal bertunangan malah sudah memasukkan pria lain ke dalam rumah.' Iza menyesali keputusannya yang tidak pikir panjang. Dan kalau sudah begini tidak mungkin juga untuk mengusir Yudi begitu saja. "Maaf ya Mbak Iza, saya jadi merepotkan." Yudi sepertinya dapat merasakan
Yudi mengamati layar monitor yang menampilkan laporan kasus salah satu pasien dengan penyakit paru yang sedang dia tangani. Laporan-laporan yang akan dipakainya untuk ujian penentuan gelar spesialis paru yang sedang dia perjuangkan. Yudi beralih kepada lembaran foto ronsen thorax dengan kontras hitam putih milik pasien tersebut. Mengamati dan mencocokkan apa yang dilihatnya dengan apa yang tertulis di laporan. Tentang perkembangan penyakit pasien TBC setelah dilakukan pengobatan. Cukup lama Yudi tenggelam dalam kesibukannya itu, sampai tak terasa jam kerja pun berakhir. "Aku pulang duluan ya." Yudi berpamitan kepada perawat jaga di poli paru. Kemudian dia beranjak mengambil barang pribadinya dan keluar dari gedung rumah sakit. Melajukan mobil Brio merahn membelah aspal jalanan yang terik di siang hari. Rasanya sungguh sangat melelahkan kehidupan sebagai seorang PPDS. Seharian sibuk dengan banyak pasien rawat inap yang harus dia visite hari ini. Setelah vis
Iza tertegun mendengarkan ucapan Yudi yang sama sekali tidak terduga olehnya. Seluruh logika dan akal sehat gadis itu sama sekali tidak dapat mempercayai apa yang dia dengar. Oleh karena itu, Iza pun memberanikan diri untuk berkata.“Dokter Yudi jangan becanda donk. Nanti saya bisa baper.” Iza menambahi dengan tawa ringan, seperti sedang menanggapi sebuah candaan dari temannya.Yudi mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar jawaban dari Iza. Bukannya penerimaan atau penolakan yang diberikan, malah terkesan gadis itu meragukan keseriusan dari ucapannya.Padahal Yudi adalah orang yang tidak mungkin untuk bercanda, terutama dalam hal yang menyangkut perasaan seperti ini.“Saya serius," Yudi menegaskan.Iza tetap terdiam, masih tidak akan berani berharap bahwa dokter Yudi, sang idaman wanita ini akan berkata seperti itu kepadanya.‘Dia bilang mau sama aku itu maksudnya gimana ya? Mau apa?’“Saya menyukai kamu, Mbak Iza.”
Iza mengira bahwa masalah akan selesai setelah dia memutuskan hubungn pertunangan dan membatalakan pernikahan dengan Rio. Masalahnya dengan Rio pribadi sudah selesai, dengan keluarga inti Rio juga sudah selesai. Namun dengan keluarga besar dan para tetangga satu kompleks malah timbul berbagai rumor tidak sedap. Rumor yang mengatakan dan menyalahkan Iza, yang membatalkan pernikahan dengan sepihak.“Mau cari yang gimana lagi sih Mbak Iza itu?”“Gak inget apa udah tua umurnya? Paling sebentar lagi juga sudah keriput dan tidak cantik lagi.”“Mau cari yang bagaimana lagi sih? Dilamar duda gak mau katanya ketuaan, ini dilamar perjaka masih muda juga tetap saja ditolak.”“Seleranya yang kaya raya kali, biar bisa diantar jemput pakai mobil.”“Mungkin memang gak niat buat nikah kali ya?”“Nanti kalau sudah terlambat pasti akan menyesal sendiri.”Berbagai gunjingan miring s
Setelah kesepakatan yang dibuat Iza dan Rio untuk membatalkan pernikahan mereka, Iza pun meminta kepada kedua orang tuanya untuk mengantarkan berkunjung ke rumah Rio. Untuk membahas tentang wacana pembatalan pernikahan serta mengembalikan seserahan yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Terutama untuk barang-barang berharga seperti perhiasan.Maka di sore yang cerah itu, Iza bersama kedua orang tuanya sudah duduk ruang tamu rumah Rio. Berhadapan tiga lawan tiga dengan Rio dan kedua orang tuanya. Suasana terasa begitu canggung setelah sapaan dan ramah tamah. Tidak ada yang berani untuk bersuara, meskipun mereka sudah tahu tujuan kedatangan Iza dan keluarganya."Hemmm begini, saya mohon maaf sekali sebelumnya kepada Nak Rio, Dek Soni dan Dek Nanik. Maksud kedatangan kami kali ini adalah untuk membatalkan rencana pernikahan kedua anak kita.""Lho kenapa? Gak bisa begitu lah." Nanik kontan melayangkan protesnya."Saya dengan dari Iz
“Jika mau dilanjutkan, jadwal pernikahan kita sudah cukup dekat. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengurus dokumen-dokumen pernikahan di KUA. Dan aku sudah ke sana untuk meminta formulir itu.” Iza menjelaskan alasannya memberikan dokumen itu kepada Rio.“Tapi kenapa harus ada persyaratan sedetail ini?" Rio bertanya kepada Iza setelah memeriksa semua formulir yang disodorkan oleh gadis itu kepadanya.“Itu semua formulir yang aku dapatkan dari pak Mudin Desaku.” Iza menjawab dengan tenang. Dia berusaha menyembunyikan segala gejok di dalam jiwanya, bertekad untuk membuat Rio mau mengakui tentang keadaan penyakitnya."Bukankah biasanya hanya dibutuhkan beberapa dokumen untuk pembuatan buku nikah?” Rio tetap memprotes.“Jangan salah. Selain dokumen, untuk calon mempelai wanita diharuskan vaksin tetanus. Kedua calon mempelai juga disarankan untuk mengikuti kelas pra nikah yang diadakan oleh KUA atau puskesmas setem
Iza memang sudah mantap memutuskan untuk membatalkan pernikahannya. Kedua orang tuanya juga sudah setuju dan memberikan restu baginya untuk melakukan hal itu. Namun ternyata sampai beberapa hari setelah kedatangan dokter Yudi ke rumahnya, Iza masih belum juga berani menemui Rio.Memang terkesan klise dan kekanakan, namun Iza merasa tidak tega dan sedih untuk memutuskan hubungannya dengan Rio dengan jalan seperti ini. Bukan karena adanya masalah dalam hubungan mereka berdua, melainkan karena suatu sebab eksternal yang sangat tidak terduga.‘Apa aku sudah jatuh cinta kepadanya?’ Iza bermonolog dalam hatinya sendiri.'Tidak, ini bukanlah cinta. Karena kami juga hanya kenal sebentar saja … Ini hanyalah rasa iba dan empati semata."Iza mencoba mengenali perasaanya sendiri kepada Rio saat ini. Hubungan selama beberapa minggu setelah mengenal pria itu memang cukup manis dan berkesan baginya.Rio memperlakukan dirinya d
“Jangan mengada-ada kamu, Iza! Rio itu kelihatan sangat sehat dan bugar, mana mungkin dia sakit?” Sri memilih mode denial. Untuk menolak mempercayai apa yang dikatakan oleh putrinya.“Pasti kamu mencari-cari alasan biar bisa batalin pernikahan kan?”“Astghfirullah, Ibu … Mana mungkin Iza berbohong soal penyakit mengerikan seperti ini?”Iza dapat mengerti kekecewaan ibunya, namun juga tidak terima jika dituduh mengarang cerita untuk membatalkan pernikahannya dengan Rio.“Aku tahu kalau Ibu dan Bapak tidak akan percaya begitu saja dengan ucapan Iza. Oleh karena ini, aku membawa dokter Yudi. Dokter yang merawat Rio di RSUD.”Iza pun mejelaskan alasan kehadiran Yudi di rumah mereka saat ini.Semua pandangan mata kini kontan beralih kepada dokter Yudi, yang sejak tadi hanya terdiam tanpa suara. Memperhatikan pembicaraan memilukan antara seorang anak perempuan dan kedua orang tuanya.