Ikuti terus cerita ini dan juga cerita lainnya. Cukup klik nama author dan selamat membaca, kalau bagus tinggalkan komentar dan Gems ya. makasih. Atau bisa ketik di pencarian judul yang ingin dibaca. 1. Istriku Minta Cerai Setelah Aku Tagih Hutangnya. 2. Kunci Brangkas Rahasia Suamiku. 3. Maaf, Aku Pantang Cerai 4. Bawa Anak Lelakimu Pulang, Bu.
Talak bab 84Rani menatap layar laptopnya. Dia sedang membaca email kiriman Wendi, saat ini Wendi dan Marco sedang pergi ke Singapura. Mencari jejak pengacara papa Sean yang kini menetap di sana. 'Mama Gita hanya bisa menempati rumah dan mendapatkan 10 persen saham. Selain itu dia tak berhak menjual atau memindah-namakan Properti keluarga. Tanpa persetujuan Sean sebagai ahli warisnya, dan Ibrahim sebagai walinya.' Rani terkejut saat membaca nama ayahnya, tertera di dokumen warisan papa Sean. 'Apa-apaan ini?'Rani tak percaya dengan isi dokumen itu. Benarkah ayahnya yang menjadi wali suaminya, lalu ada hubungan apa mereka dengan keluarga Sean. "Semua ini semakin gila. Aku tak mengerti." Rani mengacak rambutnya. Perasaannya semakin tak enak. "Sayang, sudah malam. Tidur yuk." Rani mematikan laptopnya lalu keluar menemui Sean. Sejak kejadian dua hari yang lalu, Sean mengatakan kalau urusan dengan Bianca sudah selesai. Rani juga sudah tau, kalau wanita itu akhirnya pergi. "Masih banyak tu
Talak bab 85"Sudah cukup bermainnya?" Rani tersentak. saat mendengar pertanyaan, pria yang berdiri di depannya. Makin tak percaya lagi, saat mengetahui kalau orang itu suaminya. "Sedang apa kau di sini?" Rani bertanya seperti orang bodoh. Dia bahkan tak menyadari, tatapan mata Sean yang sedang marah. Dua hari pria itu mencari, setelah ketemu hanya bertanya "Sedang apa kau di sini" tentu saja Sean menjadi murka."Berdiri." Rani terlihat bingung mendengar perintah Sean. Dengan terpaksa dia menurutinya, dia makin terkejut saat Sean memeluknya, karena terlalu erat, Rani segera menahan perut Sean agar tak menekan perutnya."Tentu saja aku ada di sini, karena mengejar istriku yang kabur dari rumah. Lain kali bicara, jangan main pergi tanpa kabar begini." Sean memarahi Rani. Tapi wanita itu hanya diam tak menjawab, diraihnya ponsel yang baru diisi daya. Kemudian mengaktifkannya, matanya terbelalak saat melihat, ratusan pesan dan panggilan, paling banyak dari Sean. "Mau kemana?" tanya Sean.
Talak bab 86"Sean, turunkan aku. Malu dilihat orang." Rani meronta dari pelukan suaminya. Dia malu di bopong seperti anak bayi begitu, meski yang melihat anak buah suaminya, tetap saja dia malu. "Tidak apa-apa, Sayang. Kau kan istriku, jadi gak masalah aku gendong begini." Rani tak bisa bicara lagi. Cengkraman tangan Sean di pinggang, membuatnya tak bisa bergerak. "Bagus, akhirnya kalian kembali." Miko berlari menghampiri mereka, lalu meraih koper kecil milik Rani."Aku hanya pergi sebentar ada urusan. Maaf, merepotkanmu, Miko." Rani bingung saat tiba-tiba Sean berhenti melangkah, lalu menatap wajahnya dengan tajam. "Kau minta maaf, karena merepotkan Miko. Sedangkan padaku, kau bahkan tak menjelaskan, kenapa kau meninggalkanku!"Rani segera menutup mulut suaminya, dengan telapak tangan. Jika dibiarkan, semua orang bisa mengetahui. Kalau Sean baru kembali setelah mengejarnya. "Diam, aku tak pernah berniat kabur. Aku tak mengatakannya, karena kau yang tak mau bicara denganku." Rani t
Talak Bab 87"Mau apa, Nyonya muda?" Rani terkejut saat bi Ani menyapanya tiba-tiba. "Ini Bi, saya mau melihat ruang kerja, Sean." Rani menunjuk ruangan terkunci di depannya. "Maaf Nyonya, tapi orang luar dilarang masuk. Itu peraturan sejak Tuan Besar masih ada." Urusan apa? Ini kan ruang kerja suaminya. 'Tuan besar yang di maksud bi Ani pasti papa Sean.' pikir Rani. "Baiklah kalau begitu."Rani meninggalkan ruang kerja, yang tak boleh dia masuki itu. Kemudian dia berjalan mendekati kamar, yang kata Sean bilang perpustakaan. Tapi dia kembali bingung, karena kamar ini juga terkunci. "Ini juga terkunci Bi? Saya mau masuk tolong bukakan," pinta Rani pelan. "Maaf Nyonya, tapi ini juga tak bisa di masuki. Oleh orang sembarangan." Deg, jantung Rani berdenyut nyeri. Kata-kata wanita ini, kenapa terdengar menyakitkan. "Maksudnya apa ya, Bi? Kalau semua tak boleh saya masuki. Buat apa suamiku membawa tinggal di sini?!" pekik Rani."Anda hanya bisa berada di ruang makan, ruang tamu, ruang kel
Talak bab 88"Sean datang, Kak," ucap Wendi, sembari menunjuk dengan bibirnya. Rani hanya melirik, begitu juga dengan Marco. Rani menyingkirkan tas dan laptopnya, agar ada tempat untuk suaminya duduk. "Masih lama ngobrolnya?" Sean bertanya, sembari duduk di depan istrinya. Karena Marco dan Wendi duduk mengapit Rani, kedua pria itu bahkan tak bersusah-susah untuk pindah, agar memberikan tempat untuk pria itu. "Kalau begitu sampai di sini saja, Kak. Sudah malam pulanglah, istirahat. Kalau bosan, bisa kembali tinggal di apartemen. Kau bukan orang susah seperti dulu, jika tak bahagia lepaskan saja," ucapan Wendi pelan, tapi menusuk hati Sean. Dia menatap wajah istrinya, namun wanita itu pura-pura tak tau. "Ayo pulang," ajak Sean. "Duluan saja, aku masih ingin di sini," jawab Rani pelan. "Jangan kekanakan-kanakkan, Rani. Kita selesaikan masalah kita, jangan mengumbarnya di luar. Seperti wanita yang haus perhatian pria lain," ujar Sean sinis. "Bagus, kalau begitu enyahlah dari hadapanku
Talak bab 89"Kau sudah gila, Pak Gilang?!" Wendi terduduk lemas, sembari menatap Marco yang bertarung dengan Gilang. Bagaimana tidak, pria itu tau, selama seminggu ini Wendi dan Marco mencari Rani. Bukannya memberitahu keberadaannya, pria itu memilih menyembunyikannya. Yah, Rani berada di rumah Gilang, dalam perawatan tunangannya. "Kau pikir mudah menyembunyikannya. Aku terpaksa, itu juga demi janinnya. Rani harus istirahat total, karena kandungan terus bermasalah." Mendengar penjelasan Gilang. Mau tak mau Marco dan Wendi harus menahan diri, walau sebenarnya mereka masih ingin menghajar Dosen killer itu. "Sudahlah. Aku minta maaf, karena ini salahku. Kalian jangan menyalahkan Gilang lagi, kasihan dia selama satu minggu ini, dia yang merawatku." Ketiga pria itu berbaring di rerumputan. Tak peduli meski pakaian mereka kotor, saat ini mereka merasa lega karena beban mereka sudah terlepas. "Sayang!"Rani dan ketiga orang itu serempak berbalik. Mereka melihat Sean berlari mendekat, Ran
Talak bab 90"Tuan muda, mari makan dulu. Ini saya buatkan bubur ayam." Bi Ani menuangkan bubur ke dalam mangkok. Rani tak bersuara, hanya diam sembari menatap wanita itu. "Bibi tidak usah repot-repot. Di sini ada Rani, biar dia yang mengurusku," pinta Sean. Setelah melihat wajah masam Rani. "Eh, jangan. Kau tak boleh berbuat begitu, Sean. Bi Ani ini sudah lama berkerja padamu, sudah tugasnya melayani majikannya. Aku tak akan sanggup melakukannya. Jadi biarkan dia melakukan, apa yang dia inginkan." Rani tersenyum, lalu meraih tasnya dan memilih pergi. "Aku mau istirahat, Bibi bisa menjaganya atau gantian dengan Rika keponakan Bi Ani. "Rani sudah mengetahui, ternyata gadis yang tadi memeluk suaminya, adalah keponakan Bi Ani. Pantas terlihat akrab dengan Sean. "Sayang, tolong jangan pergi," pinta Sean. "Maaf Sean, tapi aku muak berada di sini. Begini saja, kau akan tinggal di sini seperti saran dokter. Bi Ani, Rika dan Margin akan menemanimu. Aku tak akan menganggu kalian lagi," ujar
Talak bab 91"Terima kasih Tuan muda. Telah mengampuni kami, sekali lagi saya minta maaf, dan tolong jaga Nyonya muda. Mungkin sudah takdir, dia menjadi istri anda Tuan." Paman Abdi menundukkan kepala, seolah memberi hormat pada Rani dan Sean."Terima kasih, Paman. Tolong jaga dirimu baik-baik, saya tak akan melupakan bantuanmu." Rani mengulurkan tangan, menjabat tangan keriput paman Abdi, lalu menciumnya. "Sama-sama Nyonya muda. Jaga kesehatan anda, jangan terlalu lelah saat bekerja."Paman Abdi menatap Rani dengan mata berkaca-kaca. Dia ingin memeluk wanita ini, tapi dia tak boleh melakukannya lagi. Rani bukan lagi sosok yang pernah dia rindukan. "Apa yang kau lakukan, Pak? Kenapa menatapnya seperti itu?" tanya bi Rani. "Kau akan sangat menyesal, Bu. Saat tau apa yang ada, di tubuh Nyonya muda," jawab paman Andi.Sembari melangkah meninggalkan mansion. "Setelah lebih dari dua puluh tahun. Kita harus meninggalkan mansion ini, hanya gara-gara kebodohanmu, Bu," sesal Paman Abdi."Ayo m