Mereka semakin gencar menyerang diam-diam. yuk baca dan ikuti cerita ini beri dukungan juga dengan memberikan Gems. Sambil menunggu update bab terbaru ikuti cerita saya yang lainnya. 1. Istriku Minta Cerai Setelah Aku Tagih Hutangnya. 2. Kunci Brangkas Rahasia Suamiku. 3. Maaf, Aku Pantang Cerai 4. Bawa Anak Lelakimu Pulang, Bu.
Talak bab 67Mobil Rani baru saja keluar dari rumahnya. Ketika beberapa pengendara motor, mengejar dan memepet mobil yang dia tumpangi. Rani hanya seorang wanita, tentu merasa takut di saat seperti ini, pak Narno memintanya tenang dan memintanya menghubungi Sean. Namun Rani kecewa saat Sean menerima panggilannya. karena terdengar Bianca dan mama Sean, seperti menganggu konsentrasi suaminya. "Wendi tolong ada yang menyerang!" Tak ada pilihan lain, setelah mematikan panggilan pada Sean, Rani langsung menghubungi Wendi. "Ah!"Rani berteriak, saat melihat kaca mobilnya pecah dihantam palu besar. Mendengar teriak Rani, pak Narno jadi panik. Dia menginjak rem mendadak, tentu saja membuat para penyerang itu senang. Mereka mulai mendekati mobil dan meminta Rani keluar."Jangan keluar Bu Rani." Pak Narno semakin panik. Apalagi saat seorang pengendara motor, berhasil menarik majikannya keluar. Orang itu bahkan menampar wajah Rani, untunglah di saat genting itu seseorang datang menolong. Rani t
Talak bab 68Rani menatap layar ponselnya. Dia terdiam cukup lama, setelah membaca email yang Wendi kirim. Dia bahkan tak menyadari, kalau Sean diam-diam menatapnya. Sudah tiga hari sejak kejadian penyerangan itu, namun Rani masih kesal pada suaminya itu. "Sayang makan dulu, jangan main ponsel terus."Rani mengangkat kepala lalu menatap suaminya. Pria itu tersenyum, sembari meletakkan udang yang sudah dia kupas ke piring sang istri. "Makan yang banyak biar makin sehat."Rani tak menjawab hanya diam lalu meletakkan ponselnya. Hanya saja benda itu kembali bergetar, pertanda ada notifikasi. Saat dilirik ternyata email lagi dari Wendi. Rani meraih ponselnya dan membuka email itu, mendadak wajahnya terlihat kaku. seolah mengalami kejutan luar biasa, namun itu tak berlangsung lama. "Huh, sudah aku duga," ucap Rani pelan namun bisa Sean dengar. "Ada apa?"Mendengar pertanyaan Sean. Membuat nafsu makan Rani menurun, dia ingin berhenti makan tapi suaminya belum selesai. jadi dia memilih diam
Talak bab 69"Aku tak menyangka ayahmu bisa menyusun rencana sebagus ini. Gak heran kualitas otaknya menurun padamu, kini kau bisa mengunakan harta yang dia tinggalkan untukmu."Rani terdiam menatap tas berisi berkas-berkas kekayaan orangtuanya. Tadi dia bertemu pengacara dan notaris sang ayah, mereka muncul setelah Rani menghubungi. Membawa surat yang ayahnya buat sebelum meninggal. "Pewaris tunggal, ternyata ayah dan ibumu yatim-piatu. Sedangkan pria yang mengaku pamanmu, hanya anak angkat kakekmu, plot twist banget gak sih?"Marco tertawa dia ingat bagaimana perjuangan Rani kala itu. Hamil tapi masih melanjutkan sekolahnya, sambil kerja karena sang paman mengambil semua miliknya. Untung sekolah memberi toleransi, itu pun atas permintaan orang tua Marco sebagai donatur. Dengan syarat dia mau membantu Marco yang kala itu lumpuh karena kecelakaan. "Ayahmu pasti berpikir. Kau sendirian, jika langsung menyerahkan warisan tentu akan di kuasai paman dan juga suamimu. Sebab itu dia membe
Talak bab 70.Teriakan itu membuat Rani dan Marco terkejut. Begitu sadar Marco sudah terduduk di tanah, setelah menerima pukulan Sean. "Apa yang kau lakukan? Berhenti!"Rani mendorong tubuh Sean dan memberinya tamparan. Hanya itu satu-satunya cara, jika tidak dia bisa membunuh Marco. "Sayang, kau menamparku?" Sean menatap tak percaya pada istrinya. Rani terdiam begitu melihat, air mata menetes di pipi Sean. "Itu karena kau sudah lepas kendali!"Astaga, Rani segera membantu Marco berdiri. Kemudian dia beralih menatap Sean, kepalanya berdenyut, saat melihat tatapan suaminya yang seolah terluka. "Marco pergilah, biarkan aku bicara dengan suamiku. Satu lagi, lain kali jangan bicara sembarangan." Marco terkekeh sembari melirik Sean, lalu dia pergi meninggalkan pasangan suami-istri itu. Begitu jauh dari Rani senyumnya memudar. 'Aku tak bercanda, apa yang aku ucapkan sungguhan, Ran. Aku rela menunggu jandamu.' ujarnya dalam hati."Sudah, mau bicara atau mau ngamuk lagi? Buruan aku tunggu sam
Talak bab 71"Sayang, bisa tidak berhenti tertawa. Lihat, Miko sampai nangis begitu." Sean menunjuk ke arah Miko yang terduduk di lantai, tertawa sembari memegangi perutnya. Itu karena dia tau cerita Rani tadi pagi, bisa-bisanya istri Sean itu membujuk suaminya seperti anak kecil. "Nasi menangis karena tidak dihabiskan, parahnya lagi, Sean menurutimu, Ran."Kembali Miko tertawa dia membayangkan wajah Sean. Pria yang bertahun-tahun memasang wajah dingin itu, bisa tunduk pada sang istri. "Bisa diam tidak? Kalau tidak, keluar!" teriakan Sean membuat Rani dan Miko terkejut, tapi hanya sebentar. Setelah itu Miko kembali tertawa, sembari berlari keluar sebelum Sean kehilangan kesabarannya. "Sudah cukup, Sayang. Ayo berhenti kalau tidak ...." Rani menutup mulutnya, lalu melangkah menghindari suaminya. Dia tau apa arti kata-kata barusan, ancaman itu tak main-main."Ok, aku berhenti." Rani mengangkat kedua tangannya. Sebagai tanda menyerah. Sean tertawa lalu kembali ke kursinya. "Bagus, istri
Talak Di Hari Kematian Putriku bab 71"Sean." Suara Rani tercekat di tenggorokan. Setelah melihat bagaimana rupa suaminya, yang duduk di depan ruang IGD. Menunggui mamanya yang jatuh tadi.Pria itu terlihat resah, di sampingnya Bianca menggenggam erat telapak tangannya. Perlahan dia melangkah mendekat, namun tak berani bersuara. "Kak Rani!"Suara Wendi membuat semua orang berpaling, termasuk Sean. Rani tersenyum sembari mendekati suaminya, Bianca melepaskan tangan Sean dan membiarkan wanita itu memeluk sang suami. "Tetaplah di sini bersamaku."Rani menganggukkan kepala, lalu mengaitkan jari mereka berdua. menggenggamnya erat, mengantikan mantan kekasih suaminya. Wendi juga duduk di samping Sean, sehingga membuat Bianca tak punya tempat di sisi suami Rani. "Aku bawakan air, minumlah sedikit."Rani mengulurkan air mineral. Agar Sean mau minum, setelah itu dia diam tak bersuara lagi. "Sean!"Kembali mereka menoleh, begitu mendengar suara Stella. Dokter sekaligus sahabat mama Sean, wanita
Talak bab 72"Mas sudah pulang, mau makan atau mandi dulu?" Rani bertanya saat melihat Sean. Melangkah masuk membawa makanan, dari restoran cepat saji. Pertanyaan yang menurut "bodoh". Sedangkan dia tau, kalau Sean baru saja pulang makan malam bersama mamanya. Sudah dua hari mertuanya keluar dari rumah sakit, sejak itu pula dia meminta Sean, untuk menemaninya makan di luar. Alasannya karena tak selera makan di rumah. Dia juga tak mau Rani ikut, setiap dia makan dengan anaknya, walau keberatan Sean tak bisa berbuat apa-apa. Rani juga bilang tak keberatan, makanya Sean menurutinya. Tentu dengan syarat, begitu benar-benar sembuh, Sean tak bisa setiap hari menemani mamanya lagi. "Aku mandi dulu, tunggu sebentar karena aku juga lapar."Rani terkejut mendengar ucapan suaminya. Bukankah dia pergi makan bersama mamanya, kenapa masih bilang "lapar"?" Rani tak mau ambil pusing lagi. Dia segera menyiapkan makanan di meja, agar suaminya bisa segera makan. "Wah, banyak sekali makanan hari ini?"
Talak bab 73"Sudah jam berapa ini?" Rani bertanya karena melihat Sean, sudah keluar dari kamar mandi. "Sudah pagi, cepat bangun." Rani memijit keningnya. Kepalanya pusing, karena semalaman tak bisa tidur lagi, tentu setelah melihat suaminya tidur di ruang kerjanya. "Sebentar, kepalaku masih pusing." Rani merentangkan tangannya. Dia terdiam sembari melirik Sean. Biasanya pria ini akan menaikinya, dan memegang kedua tangannya di atas kepala. Tapi sekarang dia hanya melirik sebentar, lalu menuju lemari mengambil pakaian. "Perubahan yang menyakitkan," gumamnya lirih. Entah Sean dengar atau tidak."Aku siapkan sarapan atau mau makan di luar?" Bukan tanpa alasan Rani bertanya, karena saat ini Sean terlihat sudah berpakaian rapi. "Tentu saja, sarapan di rumah." Sean menjawab pelan, tatapan matanya seolah heran dengan pertanyaan istrinya."Aku akan membuat nasi goreng, tapi kalau kau terburu-buru. Kita bisa sarapan pakai roti." Rani berjalan meninggalkan suaminya. Lalu mendongakkan kepala,