Perkataan anakku soal Maya masih terngiang di telingaku, apa benar dia serendah itu, kini aku menjadi semakin paranoid.'Aaah ... Kenapa sekarang aku jadi mencurigai Maya, padahal aku masih ingat bagaimana beraninya dia menyelamatkanku dari seorang penodong, dia mengorbankan tangannya terluka cukup dalam terkena sabetan pisau sang penodong.'#Flashback OnSiang itu aku baru saja mengambil uang di ATM, aku merasa ada pengendara motor yang mengikutiku.Karena aku takut aku lajukan mobilku dengan kecepatan tinggi, aku pikir motor yang mengikutiku itu sudah jauh tertinggal.Aku tengok ke belakang, tak ada siapapun orang mencurigakan di belakangku, akupun mengusap dada, karena lega. 'Syukurlah mereka sudah tidak ada.' Hatiku sedikit lega.Aku berniat ke restoran yang biasa aku datangi untuk makan siang, kulihat parkirannya begitu sesak. 'Penuh amat, ini pas jam makan siang sih!' Aku putuskan untuk parkir di tempat lain, jaraknya cukup jauh, yah gak apalah, hanya berjarak sedikit menuju r
Aku memperhatikan map coklat yang diberikan Maya tadi sore. Satu persatu berkasnya aku keluarkan."Maya Vanisha, Aaaaah ... Nama yang cukup keren untuk seorang gadis yang berasal dari kampung." Aku baca CV nya, umurnya baru akan menginjak dua puluh satu tahun ini.Aku tidak menyangka dia baru berumur dua puluh tapi sudah lulus D3 bahkan sudah pernah bekerja.Ternyata dia orang yang sangat pintar dalam akademik, dia lulus SMA dengan umur yang sangat muda, 16 tahun. "Waaaw ... hebat sekali di balik penampilannya yang sederhana dan sopan itu ternyata dia adalah orang yang sangat pintar, nilai akademisnya sangat amazing." Aku menatap kagum pada nilai-nilainya yang nyaris sempurna.Lalu aku beralih pada ijazah D3nya, nilai IPKnya sangat tinggi mendekati 4. Aku semakin salut pada Maya, gak pernah aku sangka penampilannya sederhana, sikapnya yang biasa saja, tidak menyombongkan diri soal latar belakang pendidikannya, ternyata dia itu termasuk anak yang cerdas.Aku lihat lagi dari pengalaman
Aku masih belum terima Maya akan menggantikan Jihan, sekretaris Mas Firman yang sudah bekerja selama 4 tahun harus digantikan oleh Maya."Paaa ... apa Papa yakin, mau memberikan pekerjaan itu pada Maya?" aku masih berusaha untuk merubah keputusan Mas Firman."Memangnya kenapa, Ma?" tanyanya heran, aku masih membahas urusan Maya yang akan menggantikan posisi Jihan."Mamah gak yakin aja, soalnya dia kan belum berpengalaman jadi sekretaris, Pa.""Papa yakin kok dia bisa Ma, apalagi nilai akademiknya sangat menunjang, meskipun dia belum pernah kerja sebagai sekretaris, Papa yakin dia bisa cepat belajar, Ma!" Mas Firman sepertinya memang sudah yakin sama Maya, aku sudah tidak dapat mempengaruhinya lagi."Ya sudah kalau Papa sudah yakin, Mama juga cuma bisa ikut aja sama keputusan Papa." Aku hanya bisa pasrah saja."Maa ... Kalau mulai besok mulai kerja, gak apa-apa kan?" "Apaaa ... besok? Kan Jihan cutinya akhir bulan ini kan? Masih lama Pa, kan masih bisa minggu depan, atau minggu depann
Pagi itu Maya telah bersiap dengan setelan kerjanya, aku merasa heran, kenapa dia masih bersiap ke kantor, apa Mas Firman lupa memberitahunya."Pak, saya sudah siap!" katanya begitu bertemu dengan Mas Firman di meja makan."Papa, gak bilang?""Heee .... aku lupa." Aku kesal ternyata Mas Firman lupa mengatakannya."Maaf yah, May. Untuk hari ini kamu gak usah ke kantor dulu, kamu bantuin Ibu dulu yah, hari ini ada arisan.""Terus gimana kerjaan kantor, Pak?" Maya seolah mempedulikan kerjaan di kantor padahal aku tahu sebenarnya dia malas membantuku."Kamu tenang saja, kan masih ada Jihan dia masih seminggu lagi kerja di kantor sebelum cuti.""Oh begitu yah, Pak. Ya udah kalau begitu saya mau ke kamar dulu ganti baju." Maya terlihat kecewa, dia harus membatalkan niatnya untuk bekerja, aku bisa melihat dari ekspresinya.*****"Maya, gak apa-apa yah, hari ini kamu bantu saya dulu. Soalnya saya nanti akan kerepotan," ucapku sambil menyiapkan beberapa kotak kue yang baru saja aku beli."Iya
Setelah menempuh kurang lebih dua jam perjalanan, aku pun tiba di rumah orang tuaku. "Assalamualaikum ... Bundaaa ... Ayaaah ...!" ucapku begitu sampai di depan pintu rumah yang cukup megah dengan didominasi warna putih itu, rumah yang pernah aku tinggali hingga puluhan tahun lamanya, hingga akhirnya orang tuaku melepasku setelah aku menikah dengan Mas Firman."Waalaikumsalam ... Litaa ...!" Bundaku membuka pintu dan langsung memelukku, pelukannya terasa hangat sama seperti dulu, padahal aku sudah sering ke sini kalau aku mengecek rumah makan ayam gorengku, tapi tetap saja aku merasa senang Bunda menyambutku dengan pelukan hangat seperti ini."Kok tumben baru ke sini, biasanya awal bulan?" tanya Bunda seraya mengurai pelukannya."Maaf Bunda, aku sibuk di Jakarta. Baru kali ini aku bisa ke sini, Ayaaah ... mana Bunda?" ucapku sambil celingukan mencari keberadaan ayah."Ayah lagi diajak jalan sama adik kamu, gak tahu ke mana!" jawab Bunda."Azra lagi di sini, Bun?" tanyaku antusias, ad
Hari kedua di Bandung...Aku tuntaskan tugasku hari ini, setelah aku cek restoran dan aku kukuhkan Zahra sebagai manager pada semua pegawaiku di cabang dua di kota Bandung ini, aku kembali ke rumah orangtuaku."Kak Lita, mau pulang kapan?" tanya Azra."Tadinya mau selasa, tapi kayaknya besok juga mau pulang, kamu kapan?""Aku malam ini juga mau pulang, kan besok aku kerja Kak."'Apa aku malam ini juga yah?' gumamku."Kenapa diem, jangan-jangan Kak Lita juga mau malam ini pulangnya?" tanya Azra, seperti tahu isi pikiranku."Hehehe ..!" Lalu tiba-tiba suara ponselku berbunyi, 'Akhirnya Mas Firman nelepon.'"Haaaai ... Sayang, aku kangen nih, kamu pulang kapan?" tanyanya sambil memperlihatkan wajahnya yang sedih."Besok Mas, beneran kangen? Terus kenapa kemarin gak nelepon?" Aku berpura-pura kesal."Aku kemarin lembur, pulangnya larut. Kalau aku nelepon takut ganggu kamu.""Lembur? Terus Tita sama siapa? Kan Bi Inah cuma sampai magrib?" tanyaku cemas."Sama Maya, dia kemarin sengaja gak
Aku perhatikan terus video itu, Maya tidak lama berada di kamar mungkin hanya sekitar lima menitan, dia keluar membawa gelas yang telah kosong."Aaaah ... Syukurlah, ternyata Maya hanya mengantarkan segelas susu buat Tita!" aku sedikit lega, hanya saja masih ada kejanggalan saat barusan dia keluar dari kamar anakku sepagi ini.Aku tutup lagi, laptop itu. Karena aku hanya penasaran saja pada saat Mas Firman melakukan video call kemarin malam saja.Sebaiknya aku segera keluar dari ruangan ini, agar Mas Firman tidak curiga.Aku segera ke kamar menyiapkan baju kerja untuk suamiku."Sayang, kapan pulang?" tanya Mas Firman yang baru masuk kamar."Barusan.""Tumben pagian pulangnya, kamu udah kangen yah sama suamimu yang ganteng-ganteng ini?" goda suamiku."Pede amat, Paaah ...!""Hahaha ... Aku mandi dulu yah!" Mas Firman tertawa sambil membuka bajunya menyisakan celana boxernya, kemudian melangkah ke kamar mandi."Paaah ... aku mau nanya sesuatu sama Papah, tapi Papah harus jawab jujur?"
Sampai di rumah, Aku terus memikirkan penuturan anakku, aku masih merasa kaget, shock dan juga masih merasa setengah tak percaya.Tita dengan jelas melihat perempuan itu berbuat semaunya pada Mas Firman saat dia sedang tertidur, sayangnya aku belum bisa membuktikannya, kalaupun aku menanyakannya pada suamiku maupun Maya."Aaaaarrrgggh ....!" Aku kesal dan kecewa dengan Maya, aku sudah mengganggapnya seperti pahlawan yang sudah menyelamatkanku, aku memberinya pekerjaan dan mengajaknya tinggal di sini sebagai balasan karena dia telah menolongku, tapiii ... kenapa dia malah seperti ini, seperti pagar makan tanaman, apa dia berusaha mengambil apa yang bukan miliknya, bagaimana kalau Mas Firman juga menyukainya, aku harus bagaimana.Aku hanya bisa memijat pelipisku yang terasa berdenyut, kepalaku terlalu pusing memikirkan ini semua.Aku mengambil ponselku dan menghubungi seseorang. "Pak Iwan, besok tolong ke sini. saya ingin menambahkan beberapa kamera CCTV di rumah saya!""Iya Bu, saya ak
Firlita POVSebulan kemudian ... Aku tak pernah bertemu dengan Pak Willy sesuai kesepakatan. Dia memenuhi janjinya tak menggangguku hingga aku siap menerimanya lagi.Hari ini aku dipanggil oleh HRD, entah apa salahku. Padahal kinerjaku bagus kata managerku."Maaf Nona Firlita, mulai hari ini Nona dipindahkan ke bagian lain," kata Manager HRD."Saya salah apa Pak?" tanyaku, padahal aku sudah mulai nyaman di divisi ini."Nona tidak salah apa-apa, hanya saja Nona lebih dibutuhkan di bagian lain. Silahkan bawa surat ini, dan Nona pergi ke lantai 10"Lantai 10? Bukankah itu lantai khusus ruangan direktur dan direksi yah."Iya selamat yah Nona, Nona terpilih menjadi sekretaris Direktur kami yang baru."Sekretaris Direktur? Beneran ini ... Bahkan aku tidak menguasai pekerjaan sekretaris.Ya sudahlah, dari pada aku tidak bekerja. Aku terima saja."Iya terima kasih Pak, saya tidak menyangka akan dipilih menjadi sekretaris Direktur." Entah aku harus senang, ataukah bimbang ... aku tidak perna
"Apaaa ... Om Firman ini adalah ..." Belum sempat Fayra selesai dengan ucapannya, Tante Mayra langsung memotongnya, "Iya, dia ayah kandung kamu, Fayra. orang yang selalu kamu tanyakan kini sudah ada di depan kamu!"What! Pak Firman ayahnya Fayra. Waw, waw ... ini jadi makin seru!Kami semua tampak terkejut, Papa Mama pun sama, hanya Firlita saja yang tampak biasa, apa dia sudah tahu yah."Aku baru tahu kemarin!" bisiknya, seolah tahu kalau aku mau menanyakannya."Oh.""Ayaaah ....!!" Fayra langsung memeluk Pak Firman dengan mata berkaca-kaca."Pantas saja aku merasa nyaman bila dekat Om, rupanya memang ada chemistry ayah dan anak di antara kita.""Aku sangat merindukanmu, Ayah! Sejak kecil aku hanya mengetahui namamu saja, wajahmu sjaa aku tidak pernah tahu, ayah! Aku hanya ingin disayang seperti anak-anak lain yang memiliki ayah," Fayra menangis sesenggukan di pelukan Pak Firman."Maafkan aku Nak, ayahmu ini bahkan tidak pernah tahu keberadaan kamu, Mamamu menyembunyikannya dari ayah
William POVAku memilih untuk menghampiri dulu Firlita di kantor, sedangkan Papa pergi menuju kantor Pak Firman. Kita ingin semuanya clear hari ini juga, agar hidupku lebih tenang tidak terus-menerus diganggu oleh model sialan itu.Aku menuju ruangan divisi keuangan. Aku tahu ke napa dia sampai minta pindah ke sini. Pasti untuk menghindari bertemu denganku.'Itu dia, wanitaku ... sudah satu bulan lebih kamu menghindariku, aku sangat merindukannya.' Sosok perempuan cantik dengan senyum mempesona sosok gadis impianku itu tengah berjalan menuju ruangannya aku pun mengendap-endap di belakangnya.Begitu tiba di dekatnya. Aku langsung tarik tangannya."Hei apa-apaan ini Pak!" protesnya kesal, berusaha menepis tanganku, tapi tenaganya kalah kuat."Ikut saja denganku!" Aku terus menarik tangannya hingga ke depan mobil."Saya tidak mau Pa. Saya mau kerja, baru juga dua hari saya kerja. Jangan buat nama saya jelek di divisi yang baru ini dong!" bentaknya, dia menepis tanganku lagi kali ini deng
"Ayo cepat, Willy. Kita hampir terlambat!" ujarku pada William yang tengah menyetir menuju restoran yang telah ditentukan menjadi tempat pertemuan dengan orang yang telah menghubungi mereka kemarin."Sabaaar ... Pa. Ini macet banget." Willy pun kesal karena jalanan hari ini kebetulan sedang macet-macetan kami sampai terjebak di tengah-tengah.Kenapa sih, macet ini gak tahu waktu, kita lagi buru-buru ini malah macet. Aku hanya bisa berkeluh kesah karena mobil hanya maju sedikit demi sedikit.Mudah-mudahan dia mau menunggu kita. Ini sudah hampir pukul 10.00."Ini gara-gara kamu susah banget dibangunin!" makiku, karena kesal William tadi bangun jam 9.00."Maafin aku Pa, semalam aku gak bisa tidur. Aku baru tidur subuh tadi, Pa.""Kamu, Wil!" Percuma juga marahin anak itu, dia memang terkadang susah tidur mungkin memikirkan kehidupan percintaannya yang berantakan."Udah Pa, udah. Tuh mobil di depan udah maju," timpal istriku menenangkanku yang tengah kesal."Maju Wil, cepetan tuh ada jala
"Fiir ...! Firlitaaa .. !" Suara itu mengagetkanku, sudah lama aku merindukan dia memanggilku begitu."Iya Pak." Aku masih berusaha menghormatinya sebagai atasanku."Masuklah ke ruanganku. Aku ingin bicara denganmu.""Ma-maaf Pak, sebaiknya kita bicara saja di sini.""Ayolah Fir, sampai kapan kamu akan menghindariku!" Pak Willy mencekal tanganku.Dia seperti tahu saja kalau selama ini aku memang berusaha untuk menghindarinya.Aku celingukan takut ada yang lihat. "Udah masuk saja, gak usah takut gak ada siapa-siapa ini!" Pak Willy menarik tanganku menuju ruanganku."Masuk!" Pak memaksaku masuk dan mengunci pintu."Gak usah dikunci Pak! Disangka orang kita lagi ngapain lagi!" protesku sambil hendak memutar kunci yang masih menempel di lubang kunci."Fiiiir ... jangan bikin aku terus menderita, Fir ... aku putus dari kamu saja bikin hidup aku terpuruk, apalagi melihat kedekatan kamu sama laki-laki itu saja membuatku tambah tersiksa." Sebegitunyakah yang dia rasakan, bukannya seharusnya d
Firman POVMalam ini aku baru pulang dari kantor, entah kenapa setelah aku bertemu Mayra tadi siang perasaanku tidak enak.Baru masuk ke rumah aura rumah terasa sangat berbeda. Kulihat istriku hanya duduk di sofa tanpa menyambutku."Waalaikumsalam." Dia menjawab salamku dengan ekspresi datar."Sayaaang... ada apa sih, aku pulang kok cemberut?" godaku sambil mencolek pipinya yang mulus."Gak usah colek-colek segala!" ketus Arlita."Idih galak amat sih, Neng," jawabku sambil bercanda."Udah gak usah bercanda, duduk!" Arlita tampak serius, sikapnya begitu dingin. Ada apa dengan istriku ini kenapa mukanya gak ada manis-manisnya hari ini. Apa aku sudah berbuat salah yah."Pa, Mama sekarang minta Papa jujur! Kenapa Papa gak mau mempertimbangkan permintaan William untuk bersanding sama putri kita, padahal Mama yakin dia sungguh-sungguh mencintai anak kita?" Ini kenapa tiba-tiba Arlita menanyakan hal ini lagi yah? Aneh sekali."Jawab Pa, kenapa diem?""Bukannya Mama sudah tahu alasannya, k
Fayra POV"Kamu senang kan bisa bertunangan dengan pria yang kamu cintai?" tanya Mama."Tentu saja, Ma. Akhirnya aku bisa miliki dia," jawabku dengan senyuman yang lebar."Pertahankan dia Fay, jangan kayak Mama. Mama dulu terlalu mementingkan ego Mama untuk menjadi model yang terkenal. Hingga Mama kehilangan Papa kamu. Dia memilih menikah dengan wanita lain." Mama terlihat begitu sedih, mungkin itu penyesalan yang tak berujung dalam hidupnya, kehilangan cinta sejatinya.Aku tidak boleh seperti Mama, aku harus bertahan demi cintaku pada Pak Willy."Maaf Ma, aku dari dulu ingin sekali menanyakan hal ini? Apaaa... Papaku masih ada? Kenapa Mama selalu menyembunyikannya dariku?"Mungkin ini saatnya aku mendesak Mama untuk memberitahu secara mendetail soal Papaku."Maaf Fay, belum saatnya kamu tahu. Suatu hari nanti pasti Mama akan kasih tahun kamu, Fay.""Mama selalu begitu, kenapa sih Ma?" Mama tetap tak mau bilang soal Papa. Sampai hari ini hanya namanya saja yang aku tahu."Kamu kan uda
Sial banget hidupku, kenapa harus kenal sama gadis itu, padahal dari awal pun aku tidak tertarik sedikit pun sama dia. Aku harus menemui Papanya Firlita siapa tahu dia bisa membujuk Papaku untuk membatalkan pertunangan ini."Pak Firmaaaan .... Saya mohon tolong saya, saya benar-benar tidak ada hubungan apa-apa sama gadis itu. Saya hanya mencintai putri Pak Firman." Aku mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, entah Pak Firman akan melihat kesungguhanku ini."Saya tidak yakin setelah saya mendengar ucapan gadis itu!" Pak Firman tampaknya sudah terlanjur percaya dengan ucapan gadis itu."Pak, saya sangat yakin kalau saya ini dijebak, tolong izinkan saya tetap bersama Firlita? Dan tolong bilang sama Papa saya untuk Menolak pertunangan saya dengan Fayra, Pak.""Maafkan aku Willy, aku belum seratus persen percaya sama kamu." Aku tahu ini bakalan sulit, tapi demi Firlita Aku harus terus membujuknya."Tante Arlita, saya sungguh-sungguh sama Firlita... tolong bantu saya. Saya tahu, kalau saya
Flashback on"Pak Willy tolong saya, saya disekap oleh seseorang di sebuah apartement!!" Suara Fayra terdengar panik di ujung telepon."Ka-kamu di mana Fay?" tanyaku ikut panik."Saya ada di apartement Berlian lantai 7 kamar 52, cepat Pak! Saya takut ini!"Tok! Tok! Tok !! "Wei, cepaaaat.... kalau gak saya akan mendobrak pintu kamar mandi itu!"Terdengar suara laki-laki yang berteriak sambil menggedor pintu dengan keras."Udah yah Pak, kayaknya mereka udah curiga! Pak Willy harus cepat, saya takut Paaak...!" katanya sambil berbisik dan terdengar begitu gugup.Tut! Dia mematikan sambungan telepon.Aduh, gimana ini? Aku harus menolongnya, tapii... bagaimana dengan pertunanganku.Aku melihat ke arah jam tanganku, masih ada Waktu sekitar dua jam.Aku pun bergegas makin cepat pergi, makin cepat beres urusannya dan aku bisa pergi ke pertunanganku."Lho Willy, kamu mau ke mana? Kok malah pergi acara pertunangan kamu sebentar lagi?" tanya Papa saat melihatku hendak pergi."Ada urusan sangat