Salah satu alasan kenapa Roy suka basket adalah kegilaannya saat dia mendengar decit sepatunya sendiri di lapangan basket. Atau mendengar suara supporter. Dua hal yang membuat dirinya terasa lebih hidup. Roy mengedipkan sebelah mata pada jajaran tim cheerleaders yang ada di sudut lapangan. Setengah menggoda mereka niatnya. Dan cewek-cewek yang diketua Natalie itu langsung berteriak kegirangan. Ah, andai saja Aya juga ada di salah satu jajaran supporters, malam ini pasti sempurna banget buatnya.
“Wow, cewek lo tumben dateng,” Brian menepuk bahu Roy saat mereka break di tengah pertandingan. Roy mengguyur sebotol air ke wajahnya. Benar kata Aya tadi sore. Pertandingannya malam ini menguras tenaganya banget.
“Mana ada. Dia paling lagi lemburan proposal.” Roy berkata seperti itu, tapi mau tidak mau matanya menelisir bangku supporter juga. Kali aja yang dibilang Brian bener. Tapi seperti yang ia duga, dia tidak menemukan sosok itu di manapun.
“Trus itu siapa?” Brian menunjuk arah lain yang dilihat Roy. Seorang gadis yang melambai dengan lightstick pink di tangan. Dia melambaikan tangan begitu matanya menangkap rona melongo Roy.
Aya?! Benera Aya?!
Gadis itu terkikik riang. Dilambaikan tangannya lagi sambil berteriak. Roy memang tidak bisa mendengar apa yang ia teriakkan. Yang dia lakukan hanya membalas lambaian itu sambil tersenyum lebar. Hanya satu yang Roy pikirkan. Kenapa cewek itu malah duduk di bangku supporter lawan sihhhh?!!
***
Natalie menahan lengan Roy saat cowok itu terburu membereskan barangnya. Dia tahu bukan karena kekalahan Penabur Pelita melawan Regina Pacis yang membuatnya menahan gejolak emosinya sekarang.
"Lo nggak mau kumpul sama lain?"
Roy menggeleng. "Gue mau ketemu seseorang." Dia menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum sumringah.
Natalie mendengus. Benar kan, bukan karena kekalahannya Regina Pacis. Dia tidak mungkin masih bisa se-sumringah ini dengan skor 80-60 dari Regina Pacis. Itu sih kalah telak namanya.
"Siapa?" Natalie memutar bola matanya. Dia mencoba mengingat cewek mana lagi yang sedang di pe-de-ka-te-in laki buaya ini.
"Aya-lah, siapa lagi coba!" Roy menegak sebotol air mineralnya sampai tandas. Dia mengabaikan muka cengoh Natalie yang menatapnya tak percaya.
"Lo seriusan sama dia?"
Roy mengangguk yakin. Disampirkan jaketnya di bahu Natalie dan menepuk rambutnya. "Sorry, gue nggak bisa nganter lo. Pulang naik taksi aja dan pakai celana olahraga lo."
Natalie menggigit ujung bibirnya. Ditatap punggung yang telah berlalu itu dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.
***
“Aku nggak dapet tempat, Roy,” Aya memberi alasan saat ditanya kenapa bisa duduk di bangku supporter lawan. Menutupi tingkah bodohnya karena kebingungan membedakan mana teman-teman SMAnya dan mana anak-anak Regina Pacis. Masalahnya ini kali pertama Aya lihat pertandingan basket di luar sekolahnya.
Roy mengulum senyum. Ditahan tawanya mati-matian, tapi akhirnya meledak juga tawanya.
“Aku serius, Royyy!”
“Iya. Iya. Aku percaya kok!” Roy mengacak rambut Aya sambil berusaha menghentikan tawanya. Rasa kecewa karena kalah dari Regina Pacis tiba-tiba menguap entah ke mana. Apalagi saat melihat Aya yang tersenyum begitu mereka keluar lapangan. Gadis itu menyambut mereka dengan seplastik pir dan apel yang ia beli.
“Katanya nggak bisa dateng?” Roy membukakan pintu mobilnya buat Aya. Biasanya tiap habis tanding, dia dan teman-temannya akan mampir ke kafe sebentar sebelum pulang. Sekedar mencari minum atau melepas lelah. Tapi kali ini dia mengusir teman-temannya yang mau nebeng, termasuk Natalie. And this nite just me and her!
Aya mengusap rambutnya. “Ehm… awalnya sih iya. Tapi nggak tahu juga kenapa tiba-tiba aku ingin kasih kejutan ke kamu.”Wajah Roy memerah. Sialnya dia tidak bisa menutupi polahnya yang mendadak salting. “Kejutan?”
Pipi Aya memerah malu mengingat kebodohannya. “Iya. Tapi gagal kayaknya. Hehehe.”
Sekolah memang belum benar-benar sepi. Apalagi lantai dua yang isinya anak-anak kelas tiga doang. Mereka masih wira-wiri di lorong sekolah. Sekedar melepas stress dengan hotspot sekolah yang lumayan jos atau asyik les gratisan sama anak-anak berotak top macam Aya.“Masih seminggu kok. Pasti kita bisa,” Aya menyemati kawan-kawannya yang udah mulai over dosis pada soal di depan mereka.Icha nyaris menangis ngeliat soal yang ia baca. “Aku nyerah, Ay. Peace deh.” Dilemparnya buku matematika di depannya ngasal. Reza malah lebih parah. Dia sudah mulai berguling di lantai kelas. Nggak peduli kalau petugas piket hari ini lupa nyapuin lantai kelas. Hadeh…desperaldo banget nih hidup jadi anak kelas akhir.“Gimana kalau buat ulangan minggu depan, aku pinjem otakmu aja, Ay….” Ocha mengangkat kepalanya yang sejak dari jam terakhir tadi udah mau lepas rasanya. Efek terlalu banyak ngerjain ulangan-tugas-try out.“Eh, Aya, enak ya punya otak top cer kayak kamu. Nggak belajar aja udah badai cetar memb
"Ngapain elu di sini?" Adit yang baru balik dari kantin menepuk punggung Roy yang ikut selonjoran di kelasnya. Begitu sudut matanya menangkap bayangan Aya yang dikerubung temen sekelasnya dia baru mengerti. "Nungguin, Aya."Yaelah, dasar bucin! Ngapain juga musti nangkring di sini. Kayak nggak ada tempat lain buat pacaran aja. Adit mendengus. Dan apaan tadi? Nungguin?! Emang Aya bocah lima tahun yang bakal ilang kalau nggak dipantengin gitu?!"Kudu banget nungguin di sini?" Adit membereskan tasnya. Mendingan dia balik aja. Entah kenapa dia jadi bad mood melihat dua makhluk ini. Meski secara mata telanjang mereka tidak berdua. Jelas-jelas ada dua puluhan anak yang masih nongkrong di kelas."Aya yang nyuruh gue di sini.""Hah?!"Sudahlah! Bukan urusan Adit mereka mau di mana. Siang ini rencananya dia mau futsalan di lapangan sekolah barengan anak OSIS lainnya. Rencana sih. Tapi entah kenapa dia mendadak bad mood dan pingin b
Anak-anak baru selalu punya waktu untuk sekedar kepo satu sama lain. Maklum sih, mereka belum mengenal yang namanya tugas. Sama seperti Adel yang betah gendon di sekolah sambil ngobrol gaje dan kenalan dengan teman-teman barunya.Adel mulai mengalihkan pandangannya ke lapangan bawah, tempat dia dan teman-temannya pernah dijemur sampai garing. Dan kini, tempat di mana dia bisa melihat Adit yang lagi main futsal bareng anak-anak OSIS . Ditatapnya cowok itu lama. Ya ampun Kak Adit itu cakep banget ya, baik lagi.Khayalan Adel melayang. Kalau aja dia nembak Kak Adit gimana ya. Kalau mereka bisa jadian pasti hidup Adel bakalan sempurna banget. Kyaaaa!!“Yah, Del…Del… kita masih anak baru lho. Masa’ ya mau nyolot gitu aja sama kakak tingkat. Anak kelas tiga lagi!” Itu komentar Nata saat Adel curhat. Mana kuat anak itu nggak curhat. Entar kalau sampai rumah, Adel pasti bakal nyurhatin kegalauannya itu pada semua o
“Eh…”“Eh…”Hal yang paling membingungkan adalah kebetulan. Kebetulan saat bertemu dengan seseorang, kebetulan saat dipertemukan dengan seseorang atau kebetulan saat menemukan seorang.Adit berdehem, dia merapikan levis coklatnya begitu menyadari siapa sosok yang berdiri di depannya. Seperti yang Adit liat tiap harinya, gadis itu memakai jins model cutbray, blazer biru dan tas selempang coklat yang sering ia bawa ke mana-mana. Plus rambut sepunggung yang diikat ala kadarnya. Model gembel sejati dah, kalau menurut Adit.“Kamu ngapain di sini, Dit?”“Makanlah! Masa nyangkul.”Aya terbahak. Dia mengikuti langkah panjang Adit menuju kursi pojokan, tempat ke mana Adit mengarah. Kebetulan yang aneh. Kenapa ya dia harus bertemu dengan Adit tepat di malam senin dan di tempat makan. Gas poll hari minggu sebelum menyambut senin pagi besok.Sial! Ngapain cewek ini ngikutin g
Alis Aya terangkat. Dia harus punya jawaban khusus untuk membungkam Adit. Atau cowok ini akan terus ngelantur ke mana-mana nggak jelas seperti itu. Lagipula hujan di luar juga sudah mereda. This time for home.“Yang jelas, aku nggak akan nunggu Roy seperti Qais menunggu Laila, atau Zaenal yang menunggu Hayati. Aku akan menanti seperti Yulaikha menanti Yusuf atau Hawa yang menanti Adam. Aku akan menantinya tanpa membuang percuma waktukku dan tanpa menyakiti diriku sendiri atau menyakitinya.”Tawa Aya meledak melihat wajah bengong Adit. Padahal ia cuma asal nyeplos aja barusan. Diberesi tasnya cepat. Dia sudah ngobrol terlalu banyak dengan Adit malam ini. Lagipula sebentar lagi jam sebelas malam, jalan ke rumahnya pasti sudah sepi. Ehm, by the way, lama juga sih aku nggak ngobrol kayak gini dengan Adit.“Apa ya yang aku dapetin, Dit?”“Eh?”Aya sengaja menstarter motornya di samp
“Kak Roy ya?” Senyum Adel terkembang menyambut Roy lalu mempersilahkan dia duduk di bale-bale depan. “Kayaknya Mbak Aya lagi sholat deh, aku panggilin bentar ya…”Roy sudah melongo garing saking shocknya. “Kamu?!!”“Iya. Kakak masih inget aku kan? Aku adik pandunya Kakak pas ospek.” Adel tertawa. “Kebetulan ya.”“Lho kamu tinggal di sini?” Roy memastikan kalau dia nggak salah masuk rumah orang. Atau jangan-jangan…“Aku adiknya Mbak Aya.”What?! Sumpeh demi apa?! Ini kebetulan macam apa. “Adeknya? Adik kandung?”Adel mesem. “Bisa dibilang gitu.”Roy tidak mempermasalahkan ketika Adel mulai menyinggung lagi soal ospek sebulan lalu. Dengan tampang trace-nya dia menatap cewek di depannya tanpa berkedip. Hey, what the ghost! Dia nggak peduli kalau cewek ini pernah jadi adik pandunya atau apalah tadi namanya. Yang ada di pikiran cuma gimana bisa mantan gebetannya jadi adik ceweknya sekarang. Well, well…ini kebetulan atau …aneh… Dan lagi, mereka nggak ada mirip-miripnya sama sekali gini?
Jujur deh, ini memang bukan kali pertama Aya ke tempat ‘ginian’. Semacam Light Café, Liquid, Bosche dan tongkrongn se-genknya. Sebuah komunitas highlight dan tempat hura-hura di Yogyakarta. Bukan kali pertama, bahkan setiap akhir pekan Aya nongkrong di salah satu bar di ujung Kaliurang. Tapi sampai detik ini pun, Aya tidak pernah bisa terbiasa dengan dentuman musik, bau rokok dan yang jelas bau alkohol di semua sudut ruangan. Tempat yang selalu membuatnya gelisah.Kali ini Aya duduk di pojokan. Sendirian. Entah ke mana Roy. Terakhir kali dilihatnya cowok itu sedang menggandeng tangan seorang cewek cantik dengan mini dress satun di salah satu sudut ruangan.“Hey, sendiri nih?”Aya berjengit kaget. Spontan saja dia menggeser duduknya. Desahannya keluar. Disebelahnya sudah duduk cowok jangkung dengan mata sipit. Brian. Cowok kelas sebelah yang juga kawan mainnya Roy.“Eee..iya sih…” Aya kebingungan mau ngomong apa. Matanya mulai berputar mencari sosok yang dia kenal. Roy!!! Awas kal
Roy membuang kunci mobilnya asal. Dibanting tubuhnya ke kasur tanpa berniat menyalakan lampu kamarnya. Gelap. Dengan sedikit gerimis di luar. Ah, Oktober… sebentar lagi musim hujan datang. Matanya liar menatap langit-langit kamarnya yang bisu.“Kamu… kesepian di rumah? Nggak ada orang di rumah?”“Hah?! Kok kamu bisa ngomong kayak gitu?”“Ya…feeling aja sih. Kalau aku nih ya, malem-malem gini paling nyaman ya di rumah. Nonton TV apa youtuban, yang penting sama keluargaku atau sekedar makan. Bukan clubbing kayak gini sih.”Busyett!! Dasar cewek rumahan. Roy menggeliat meregangkan tubuhnya. Remang dia bisa melihat fotonya dan Papa yang digantung di dinding kamar. Mama tidak ada di sana. Orang tuanya bercerai saat Roy masih 8 tahun. Kabar terakhir yang ia tahu tentang ibunya adalah ketika wanita itu sudah memiliki keluarga baru luar negeri. Dan Roy tidak mau tahu lagi kabar wanita itu.Buat apa? Dia sudah cukup bahagia dengan Papa di sini. Meski sibuk berkerja siang-malam, dia tahu kal
Sejak kemarin, Adit jadi sering menghilang ke masjid atau perpustakaan tiap istirahat. Sendirian. Dia bahkan balik lagi seperti dulu saat dia marah ke Aya. Datang setiap mepet bel masuk dan langsung melesat pulang begitu bel pulang. Udah merasa bebas banget sejak kepengursan lepas dari dia. Dia juga makin serius baca buku. Dia bahkan menolak saat diajak main futsal bareng. Alasannya sih nggak masuk akal banget. “Gue mau belajar!” What the hell?!! Sumpah, konyol banget!! Sejak kapan Adit belajar. Otak manusia itu kan kayak windows 10 yang nyimpen semua hal yang dia lihat, processor RAM 8GB, dengan memori 5 tera. Jadi mustahil banget Adit bilang kalau dia mau belajar. “Lo kenapa lagi sih?” Reza menyambangi perpustakan begitu melihat cowok itu tengah bergumul dengan buku…koreksi…komik ding. “Hah? Gue kenapa? Nggak kenapa-napa kok.” Padahal kemarin Reza sudah melihat Aya dan Adit baik-baik aja. Mereka udah
“Kenapa mawar putih?” Aya bersandar di bodi depan mobil Roy. Roy mengajaknya ke Merapi sepulang sekolah. Menikmati angin sore di titik pendakian gunung di Yogyakarta itu. Semburat kekuningan yang menampar pipi Aya membuat wajah bersih gadis itu kelihatan bercahaya. Ya gimana ya, mau ngajak cewek ini dugem keknya juga Aya yang bakal kabur duluan.“Itu tandanya aku respect padamu. Masa’ nggak tau?”“Respect?”Roy mengangguk. Dia mengambil tempat di samping Aya. Melemparkan pandangannya pada sawah yang mulai menghijau di depannya. Beberapa bagian masih disemai malah. Meninggalkan kesan permadani hijau di lumpur coklat. “Mawar merah itu tanda cinta, mawar putih itu tanda penghormatan. Aku salut sama kamu, Ay. Semuanya yang ada dalam diri kamu itu aku suka. Tentang betapa baik, polos dan supelnya dirimu. Aku suka semuanya. Sampai di titik aku sadar betapa beruntungnya aku jadi cowok kamu. T
Kalau boleh milih, Aya ingin sembunyi saja seharian ini dari Roy. Tingkah cowok itu udah kelewatan abnormal. Contohnya saat istirahat pertama ini. Aya mendapatkan satu buket mawar putih dari Cahya.“Dari Roy,” itu kata Cahya saat menyadari wajah cengoh Aya.Langsung saja anak sekelas gempar. “Sejak kapan Roy jadi seromantis itu, woy?”“Ay, sini, deh!” Adit memanggilnya dari pinggir pagar pembatas lantai dua. Dia menunjuk pada Roy dan cs-annya yang tengah melambai dari lantai bawah. Membawakan buket bunga merah dan boneka berbentuk love.Muka Aya memerah malu. Sumpah!! Cowok itu kenapa??? Digigit ujung bibirnya ketakutan. Seumur-umur dia kenal Roy, belum pernah dia ngeliat Roy memperlakukan cewek—koreksi: mantan ceweknya—seperti apa yang dia lakukan ke Aya barusan.“Lo nyantet cowok lo sendiri?” Adit nyaris terbahak melihat tingkah Roy. Tuh, orang kesambet apa
“Lo serius ngomong barusan?” Cahya memastikan lagi tingkah Roy yang aneh. Belum pernah dia ngeliat Roy bela-belain nongkrong di parkiran sekolah dari jam 6 pagi. Mantengin parkiran mortor dan harap-harap cemas kalau ceweknya bakal datang pagi.Roy mengangguk tegas. “Gue ngerasa bersalah banget sama Aya. Selama ini gue sering main dibelakang dia. Mulai sekarang gue mau serius. Bantuin gue ngurusin cewek-cewek gue yang lain ya?”PLAK!!“Shittt!! Aduhhh!! Sakit tau!!” Roy menggerang saat tangan Cahya menamparnya. Berani bener cowok ini nampar gue!! “Lo pasti kesantet, Roy!”Roy menghela napas. Dia tertawa sejurus kemudian.“… Mbak Aya itu mengorbankan semuanya, Kak. Waktu main, waktu hangout cuma buat kerja parttime. Mulai dari jualan pukis, jualan pulsa, ngajar les, sampe sesekali terima orderan desain dari beberapa orang…”“Buat
“Udah, jangan diliatin terus. Entar lama-lama suka lho,” Papa menowel pinggang Adit subuh tadi, saat mengantar ke stasiun. Dia menggoda Adit yang menatap Aya berlari ke sana kemari seperti kelinci hanya untuk mencetak kode booking tiket yang mereka punya. Dasar cewek rempong!“Sama dia?!! Itu nggak akan terjadi, Pa!!” Adit melengos keki.“Apanya yang nggak mungkin. Cowok hanya butuh waktu 8 detik untuk menyukai seseorang, Dit.”“Pokoknya nggak mungkin aku suka sama dia. Dia itu udah punya cowok, Pa. Dan sekalipun dia nggak punya cowok, aku udah ilfeel sama cewek freak kayak dia.”Kata-kata yang Adit ucapkan tadi pagi, seperti menguap begitu mereka berdua mulai duduk di dalam kereta. Adit menggaruk kepalanya setengah gelisah ketika duduk di depan kursi Aya. Padahal tiket bisnis yang dibelikan Papanya seharusnya membuatnya lebih nyaman dibanding saat berangkat kemarin. Tapi entah kenapa dia justru makin nggak nyaman dengan duduk tepat di depan Aya seperti ini. Padahal gadis itu sudah p
“Kenapa? Ada yang salah sama wajahku ya?” tanya Aya polos begitu sadar kalau cowok di depannya menatapnya lama. Adit bahkan nggak bereaksi saat Aya mengulurkan gula-gula kapas padanya.Hembusan napas Adit keluar. “Jangan ngomong kayak gitu ke gue. Terserah lo mau ngomong ke siapapun, tapi jangan ke gue!!”“Why?” “Karena lo nggak tahu, di mana titik ketika kata-kata lo membuat gue….” Adit melengos. Nyebelin banget sih nih anak.“Membuat kamu….?” Bisa menatap lo lebih dari seorang temen.“Udahlah!! Lupain!!!” Adit menyambar gula-gula dari tangan Aya. Dihela napasnya dalam-dalam. Gue positif gilaaa! “Nyobain Kora-kora yuk! Let’s break our adrenalin!”Aya tersenyum sumringah. “Serius?!!”Apa ya…Adit juga nggak tahu kenapa dia punya ide untuk jalan-jalan—jalan-jalan dalam arti yang sebenarnya—sebagai bentuk permintaan maafnya kemarin. Dia nggak minat sebenarnya, apalagi cuma berdua dengan Aya. Salah-salah dikira mereka lagi pacaran pula. Tapi ide jalan-jalan itu lebih baik ketimbang cu
“Aaaaaaaaaaaaaaaa.”Aya memuaskan teriakannya saat roller coaster yang ia naiki berada di titik tertinggi Dufan. Disebelahnya Adit tengah menahan mual dan napasnya secara bersamaan.Tadi pagi, Adit nyamperin Aya di apartemen sebelah dengan tampilan rapi. Dengan polo yang dilapis kemeja dan jins abu-abu gelap. Rambutnya bahkan di gel licin. Dia menyerahkan plastik berisi sarapan dan baju. “Dari bokap gue. Abis ini keluar yuk. Kita masih punya waktu seharian di Jakarta kan?” “Ke mana?” “Terserah. Ke manapun asal nggak nganggur di rumah.” Aya mengiyakan saja saat akhirnya Adit memutuskan untuk menyambangi Dufan. Main aja sih. Sekalian menjajal semua wahana di taman bermain cukup terkenal di Jakarta itu. Tentu saja Papa Adit yang mensubsidi. Katanya sebagai permintaan maaf pada Adit karena harus meninggalkannya demi meeting.Dalam hati kecil Adit, dia memang berniat mengajak Aya keluar jalan-jalan. Dengan atau tanpa subsidi Papanya, Adit bakal mengajak cewek itu hangout. Itung-itung
Sabtu, sebenarnya hanya diisi dengan kegaitan ekstrakulikuler sampai tengah hari. Tapi memang semua siswa SMA PP wajib masuk tanpa kecuali.“Aya nggak masuk?!” Roy langsung dongkol begitu tidak menemukan Aya sepulang sekolah. Ditatap ponselnya sekali lagi. Kok cewek itu nggak ngasih tahu apa-apa kalau dia nggak masuk? pesan yang dari pagi dia kirim pun nggak dibaca sama sekali. Dia kenapa sih?!!“Tapi dia ngasih tahu kalian gitu nggak, kenapa nggak masuk?”Icha yang lagi ngobrol sambil main kartu dengan Reza menggeleng cepat. “Aku chat juga nggak dibales. PMS mungkin. Aya kan kalau mau dapet biasanya pake acara tepar di rumah.”“Ngomong-ngomong, Adit juga nggak masuk lho. Dia udah ngilang dari semalem,” Reza memberi tahu.Roy cuma nyinyir menanggapi. Dia mah nggak ambil pusing soal Adit. Mau cowok itu tewas diterkam harimau juga Roy nggak bakal peduli. “Paling dia nyari wangsit biar bisa n
Meski malam, udara Jakarta tidak pernah kurang dari 32 derajat Celcius. Panas, pengap dan gerah banget. Nggak ada bedanya antara malam dan siang. Itulah alasan kenapa Adit dan dua adiknya nggak mau hidup di Jakarta meski ayah mereka kerja di kota megapolitan itu. Meski begitu, Mama dan Wisnu yang paling sering ke Jakarta buat nengokin Papa kalau laki-laki itu nggak bisa pulang.Cowok itu kini mematung di balkon mungil apartemen ayahnya. Berdiri dengan secangkir caffe latte tanpa krim di tangan. Hasil delivery yang dipesan ayahnya bersama dengan sekotak pizza tadi. Sebenarnya Adit berniat tidur setelah mandi, secara tubuhnya sudah berontak menyuruhnya merebahkan diri. Tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Apalagi duduk di sebelah Papanya membuat Adit ingin mengobrol banyak dengan laki-laki itu. Menceritakan perjalanan penuh adrenalin dari Yogja dan Jakarta bareng Aya, termasuk kelelahannya mendengarkan kisah hidup Aya yang menurutnya benar-benar dramatis. Rasan