Aku terkulai di pembaringan. Rasanya aku benar-benar tak percaya jatuh lagi ke dalam pelukannya. Sedang Ray masih menindihku dengan napas memburu. Badannya yang kekar penuh dengan keringat. Tak henti-hentinya dia merspatkan bibifnya ke seluruh tubuhku. Wajahku dan leherku jadi sasaran empuknya.
Aku masih tersengal ketika pelepasan untuk kesekian kalinya Bahkan dia tak membiarkanku istirahat semenitpun. Seperti orang kelaparan dan kehausan, Ray tidak membiarkanku hanya sebentar saja menghirup oksigen.
Ketika semua sudah finish, laki-laki itu meraup mukaku menciuminya bak memakan es krim. Aku sempat gelagapan mendapati dia begitu tak ingin melepaskaku. Kubiarkan dia dengan tingkahnya begitu. Aku sudah nggak kuat, capaek dan ngantuk sekali.
Entah karena aku kecapekan atau ulah Ray semalam yang keterlaluan, tidurku nyenyak sekali. Aku berjengkit saat mendengar dering telpon di ruang tamu.
"Astaga!" Aku melompat dari twmpat tidurku langsung nubruk ke
Aku hanya termangu melihat sosok kembar itu sudah tepat berada di depan pintu ruang kerja Farhan. Malah di sana ada dokter Careld dan Dattan.Dengan sungkan aku menyingsut minggir, berniat akan meninggalkan ruangan itu setelah mengangguk hormat pada Farhan. Karena memang tugasku sudah selesai. Lebih baik, kan aku pulang."Maaf, Aku pulang Farhan." ucapku lalu menuju ke arah pintu di mana mereka berdiri.Tapi barusan aku mau melewati mereka, tangan Ray menarik pinggangku dengan cepat dan erat. Spontan aku memekik, kaget. Bahkan bukan hanya aku yang kaget. Tapi Farhan seketika bereaksi. Dokter Careld menatap tajam ke arah Ray, hanya Dattan yang bergeming di tempatnya."Ray! Apa-apaan ini? Kamu menyakitinya!" seru si kembar yang satu itu."Jangan bebani dia dengan semua permintaan kamu itu, Farhan! Dia tidak ingin menikah denganmu. Bahkan sebelum kamu datang. Dua orang itu!" sambil menunjuk ke arah Dattan dan dokter Careld, "mereka sudah terlebih dahu
Rupanya Farhan tidak main-main demgan ucapannya. Karena Fero masih saja bergeming di tempatnya. Dua petugas keamanan tiba-tiba datang dan mencekal tangan Fero dengan keras. "Apa-apaan ini! Aku bisa keluar sendiri, nggak perlu panggil petungas keamanan Farhan!" Dengus Fero kesal dan marah. "Ingat Farhan, Aku akan membalasmu!" ucapnya sekali lagi dengan wajah merah padam. Sedang aku hanya terdiam, terpaku di tempatku. Atau mungkin lebih baik aku segera pergi saja dari tempat itu. Toh ini nggak ada urusannya sama aku. Badanku mulai beringsut mundur. Aku sudah nggak ingin berada di tempat itu lama-lama. Rasanya mati otak aku kalau di sana. Sudah nggak mampu aku mencerna semua pembicaraan mereka. "Move!" Deg! Panggilan itu lagi. Tapi kali ini aku terpaku. "Kamu mulsi hari ini bejerja menjadi sekertaris saya sekaligus asisten pribadi saya." Mendengar itu, aku langsung terduduk di lantai. Dokter Careld langsung menarikku
"Move, ruangan kamu nanti bersebelahan denganku, meskipun kita tidak satu ruangan tapi Aku masih mengawasimu dari kaca tembus pandang," ucap Farhan sambil menunjuk ke arah kaca yang memang benar tembus pandang menghadap ke arah ruangannya. Aku hanya membalad ucapannya dengan tersenyum kalem dan mengangguk mengerti. "Pak Farha! Anda ada rapat dengan Dinata Group. Lima menit lagi akan segera dimulai di ruang pertemuan." tiba-tiba terdengar suara yang sudah khas di telinga Farhan. Laki-laki itu menoleh dan tersdnyum ramah. "Baik, Renata. Kita akan segera ke sana. Oh, iya, ini sekertaris yang pernah kubilang padamu. Bahwa Aku akan mencari sekertaris dan asisten sendiri. Namanya Move." Aku mengangguk hormat pada wanita yang kurasa umurnya hanya bersebrangan denganku itu. Wajah sinis wanita yang bernama Renata itu tampak begitu bengis. Aku mencebik dengan hati perih. Lagi-lagi begini. Selalu saja setiap bekerja dimanapun ada saja orang yang nggak su
"Selamat datang, Tante Aliya," sapa Renata sambil mengulur halus tangannya dan mencium punggung tangan Aliya, ibunya Raya dan Farhan.Aliya hanya tersenyum lantas menjatuhkan tatapannya pada sodok di depannya. Dan orang yang ditatap dengan tajam itu adalah Aku.Aku sedikit terkejut, tapi cepat-cepat menguasai diri. Menebarkan senyum pada klien yang ikut meeting tadi. Di sampingku dari kubu Genius Grohp ada Farhan dengan tenangnya melangkah ke arah wanita separu baya itu.Di sebelahku ada kubu dari Dinata Group dan Careld Alderald Subastian.Tampak Ray dengan muka tegangnya mengawasi sstiap pergerakan mamanya dengan wanita yang bernama Renata itu. Yang desas-desusnya adalah orang yang berperan penting dalam berdirinya Genius Group. Dia adalah Owner di perusahaan Farhan.Tapi menurut Ray perempuan itu adalah perempuan yang culas sama dengan Feronika Alfarest sahabat masa kecilnya.Tak beberapa lama, orang-orang yang terdiri dari beberap
Aku menyipitkan mata melihat kedekatan mamanya Ray dan Farhan itu. Jujur dalam hatiku merasakan hak yang tidak wahar. Ada perasaan yabg aneh dan sulit aku ungkapkan. "Rencana apalagi yang akan dilakukan mamanya Ray? Sebenarnya salah aku ini apa, sampai wanita separu baya sangat membenciku? Satu kesalahanku mencintai putranya yang bernama Raya Dinata. Yang ternyata punya saudara kembar bernama Farhan Dinata dan Farhan inilah orang yang pertama kali mencintaiku tapi terjadi sekelumit kisah yang luar biasa banget rumitnya untuk diceritakan. "Hei, Move!" panggilan itu menyentakkanku dari lamunan dan membuatku gugup seketika. "Pak-kk Farhan," jawabku tergagap sambil menatap wajahnya yang tersenyum simpul. "Kenapa jadi memanggilku dengan sebutan pak?" tanyanya mengerling lucu. "Ya, haruskan. Ini kantor, tidak enak kalau manggil pakai nama. Nggak etis." jawabku sambil membalas senyumnya. "Sudah waktunya makan siang, Move, Aku ng
Hatiku berdebar kencang. Seolah ditabuh bertalu-talu ketika mendengar namaku disebut oleh Farhan. "Ya Tuhan! Pasti Aku di suruh menyerahkan file itu," batinku tak berhenti bicara. Kulihat Renata tersenyum penuh kemenangan. Sebenarnya ada apa sich? Apa benar file yang sudah kusimpan di dokumen itu ada yang sengaja menghapus. Ada pikiran buruk aku tentang Renata. Tapi aku belum yakin itu. Mungkin harus mencari buktinya dulu. "Move," kembali namaku disebut dan dipanggil. Kali ini bukan hanya Farhan yang menoleh ke arahku. Raya Dinata dan bahkan hampir semua yang hadir di situ menatapku. Termasuk Renata. Kulihat senyum sinis penuh kemenangan itu mengembang terus di bibirnya menyaksikan kepanikan di raut mukaku. Aku melangkah maju ke panggung dengan ragu. "Ya Tuhan ...! Apa yang harus Aku bilang--?" Kembali hatiku bertanya dalam ketakutan. Bahkan aku hanya menunduk ketika sudah berada di atas panggung, tepatnya di sisi Farhan. "Mari kita lihat pere
Bahkan sama sekali aku masih tak percaya, kalau ini terjadi lagi. Sebuah konspirasikah ini. Apakah memang sudah seharusnya seperti ini. Kenapa hidupku lagi-lagi di skenario orang lain? Aku ingin lepas dari semua ini, lepas dari mereka semua, tapi bagaimana caranya?Terlalu bodoh memang aku mempercayai Farhan. Harusnya aku belajar banyak dari pengalamanku bersama Ray. Dari awal sampai detik ini aku adalah boneka mainannya. Kenapa sekarang ini terjadi lagi? Apakah Farhan berniat membalas dendam? Tapi kenapa begini caranya?Akh! Aku sangat membenci kondisi ini. Dan ini sangat pernah melukaiku dan membuatku trauma. Haruskah Aku lari lagi? Untuk apa, kalau pada akhirnya aku kembali ke kondisi seperti ini lagi?"Hei, kenapa di sini? Nggak mau gabung menyambut para anggota dewan? Mereka semua menanyakanmu. Menanyakan seorang yang sudah begitu brilian membuat ide proposal yang sangat bagus untuk dipresentasikan." Kalimatnya mampu kucerna tapi aku tak ada niat menjawab.
Dengan sedikit tergesa aku melangkah pergi dari ruang pertemuan itu dan kembali ke meja kerjaku. Pikiranku masih nggak karuan, mengingat kembali rekaman cctv itu. Dimana Ray dan Farhan bersama dengan Renata membuka laptop kerjakj tanpa seizinku. Apalah mereka yang menghapus file itu. Apa tujuan mereka kali ini? Kenapa ini terulang kembali. Beberapa bulan silam jiga begitu. Hidupnya diskenario dan dikonspirasi oleh keluarga Dinata. Bahkan dampsi sekarang dia juga nggak paham kenapa dirinya yang menjadi korban mereka. Dan kenapa di tempat yang berbeda ini semua terulang lsgi. Sebenarnya ada apa dengan hidupku ini. Kenapa srlslu di permainkan orang terus, bahka selalu diskenario oleh semua orang. Sebenarnya ada apa dengan diriku. Apakah semacam terkena kutukan? "Move, kenapa meninggalkan ruang pertemuan tanpa pamit terlebih dahulu?" suara itu sudah menderu di depan meja kerjaku. "Maaf, Pak. Saya buru-buru kerjaan mendesak." jawabku tanpa menoleh ke arahn