Bahkan sama sekali aku masih tak percaya, kalau ini terjadi lagi. Sebuah konspirasikah ini. Apakah memang sudah seharusnya seperti ini. Kenapa hidupku lagi-lagi di skenario orang lain? Aku ingin lepas dari semua ini, lepas dari mereka semua, tapi bagaimana caranya?
Terlalu bodoh memang aku mempercayai Farhan. Harusnya aku belajar banyak dari pengalamanku bersama Ray. Dari awal sampai detik ini aku adalah boneka mainannya. Kenapa sekarang ini terjadi lagi? Apakah Farhan berniat membalas dendam? Tapi kenapa begini caranya?
Akh! Aku sangat membenci kondisi ini. Dan ini sangat pernah melukaiku dan membuatku trauma. Haruskah Aku lari lagi? Untuk apa, kalau pada akhirnya aku kembali ke kondisi seperti ini lagi?
"Hei, kenapa di sini? Nggak mau gabung menyambut para anggota dewan? Mereka semua menanyakanmu. Menanyakan seorang yang sudah begitu brilian membuat ide proposal yang sangat bagus untuk dipresentasikan." Kalimatnya mampu kucerna tapi aku tak ada niat menjawab.<
Dengan sedikit tergesa aku melangkah pergi dari ruang pertemuan itu dan kembali ke meja kerjaku. Pikiranku masih nggak karuan, mengingat kembali rekaman cctv itu. Dimana Ray dan Farhan bersama dengan Renata membuka laptop kerjakj tanpa seizinku. Apalah mereka yang menghapus file itu. Apa tujuan mereka kali ini? Kenapa ini terulang kembali. Beberapa bulan silam jiga begitu. Hidupnya diskenario dan dikonspirasi oleh keluarga Dinata. Bahkan dampsi sekarang dia juga nggak paham kenapa dirinya yang menjadi korban mereka. Dan kenapa di tempat yang berbeda ini semua terulang lsgi. Sebenarnya ada apa dengan hidupku ini. Kenapa srlslu di permainkan orang terus, bahka selalu diskenario oleh semua orang. Sebenarnya ada apa dengan diriku. Apakah semacam terkena kutukan? "Move, kenapa meninggalkan ruang pertemuan tanpa pamit terlebih dahulu?" suara itu sudah menderu di depan meja kerjaku. "Maaf, Pak. Saya buru-buru kerjaan mendesak." jawabku tanpa menoleh ke arahn
"Ayok, akh!" ajaknya dengan tatapan sendu, membuatku semakin membulatkan mata. Namun beberapa saat kemudian mataku sudah terpejam, menikmati lumatan bibirnya yang panas. Yang membuat seakan terbang membubung tinggi meninggalkan segala kesakitan dan kekecewaan yang luar biasa dasyat kurasakan setahun terakhir ini. Bahkan ketika tubuhku melenting indah dan lidah panas Ray mengejar lentingan tubuhku aku masih belum sadar bahwa ada tugas yang masih harus dilakukan. Dan aku melupakan bahwa semua tentang aku dan hidupku adalah sebuah konspirasi dan skenario yang sudah disusun oleh mereka semua. "Akh, Ray terus--" ucapku terengah ketika dengan sigap laki-laki sejuta pesona itu memasuki milik intiku dengan ganasnya. Ray mendesah, keringat mengembun deras dari dada bidangnya, perut sixpacknya, dan lengan berototnya. Aku semakin menggila mengikuti irama ayunannya. Desahan dan rintihan terdengar silih berganti hingga akhirnya kami menjerit bersamaan, menjemput dan
Kepanikanku beberapa jam yang lalu menghantarku pada kenyataan terpahit dalam hidupku. Di ruangan itu, ruangan kematian menurutku ada dua nyawa terbaring di sana. Si kembar Farhan dan Raya Dinata. Mereka berdua bertaruh nyawa di sana. Dan lagi-lagi aku yang yang dipersalahkan dalam peristiwa ini. Kondisi Farhan sudah mulai pulih setelah alat pengisi daya jantung buatannya sudah di perbaiki oleh profesor LinHuang yang sempat nggak aktif nomornya karena ternyata sedang melakukan perjalanan luar kota. Sedang di satu pembaringan yang lain sosok Raya Dinata dalam kondisi lebih mengenaskan. Kecelakaan yang dialaminya semalam benar-benar membuat keadaannya sangat menyedihkan. Mobil yang rengsek karena menabrak pembatas jalan dan tubuh yang berlumuran darah karena terjepit badan mobil. Masih untung bisa diselamatkan. Raya Dinata, presdir dari Dinata Group mengalami kecelakaan tragis tadi malam dijalan bebas hambatan. Karena kondisi hujan lebat dan
"Raya, oh!" Suara ratapan itu milik tante Aliya. Ada apakah? Tadi aku tinggal baik-baik saja. Kenapa semua jadi seperti ini. Ada apa di dalam sana? Aku menatap ruangan yang sangat menyesakkan itu. Ruanhan yang tiba-tiba menghitam dan ada beberapa orang berpakaian putih-putih sedang mendorong tempat tidur pasien yang sudah tertutup kain kafan. Pecah sudah air maya keluarga Ray. Mamanya meratap histeris sedang sang papa terduduk lemas. Sosok Farhan sama sekali tidak kelihatan. Aku masih bergeming dan hanya terpaku melihat kondisi inj. Masih bingung. Sebenarnya ada apa ini? Siapa yang meninggal? Ray-kah? Oh Tuhan! Jantungku seperti tertusuk pisau yang sangat tajam. Beberapa menit yang lalu aku masih melihatnya tertidur dan meninggalkannya dalam keadaan baik-baik saja. Kenapa sekarang seperti ini? Hatiku luruh, air mataku sudah tidak bisa ku tahan lagi. Aku menghambur mengejar tempat tidur pasien yang didorong para perawat itu. Tak kupedulikan
Ruang praktek dokter umum itu sebenarnya tidak begitu rame. Bahkan bisa dibilang sepi. Tapi aku sudah menunggu hampir 1 jam di luar tunggu tak ada kunjung keluar mamanya si Ray. Aku mulai berpikir mungkin beliau nggak mau bertemu denganku. Apapun itu alasannya. Aku mulai merasa sadar diri. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan wanita yang masih cantik itu meski diumur hampir kepala 5. Mungkin benar sebesar apapun usahaku untuk dapat diterima di keluarga Dinata itu hanya sebuah angan-angan belaka. Baru saja aku beranjak meninggalkan ruang tunggu dokter umum, ada tangan yang sudah menggapai lenganku membuatku tersentak sesaat. "Dokter Careld," suaraku tercekat. "Apa kamu sedang sedih, Move?" tanyanya datar berjalan di sisiku tanpa menoleh. Aku hanya terus menatap ke depan dan menatap lurus ke depan. "Kamu nggak mau kembali kepadaku, ke tempat ini?" tanyanya lagi. Kali ini sambil menoleh ke arahku menatapku dalam dan luruh. Tatapan itu masih
Salivaku benar-benar kering kerontang untuk kutelan. Ada sesak yang sedari tadi menjalar di dadaku. Kubiarkan angan-anganku terbang jauh meninggalkan ragaku. Beberapa saat lalu Farhan masih bersamaku namun kini dia harus kembali ke apartemennya untuk istirahat. Sedang aku masih menaikkan adrenalin dengan berkhayal ke dunia lain. Aku tersentak saat menyadari adanya gerakan halus sudah menjalar di pangkal lenganku. "Hei," kutatap wajah itu dengan sendu. "Ada apa?" tanyanya sambil mengusap punggung tanganku dengan lembut. Lalu ku gelengkan kepala pelan. "Kamu tampak sedih, apa mama menyakitimu lagi?" lagi-lagi aku menggeleng. "Lalu-- Huft! Kuhembuskan napas yang sangat sesak itu. "Terus apa?" Pertanyaan itu di berikan dengan tatapan mengharap. Aku kembali menghembuskan napas berat. Kitatao wajah Ray dalam-dalam sebelum aku memulai untuk bicara. "Apa kamu sudah mulai menganggap Farhan ada dalam keluargamu?" Ray agak terkejut mendenga
Setelah membuka pintu apartemen Farhan, aku bergeming, terpaku dan membisu. Bukan sengaja mau mendiamkan tamu tapi alu seakan terhipnotis oleh kehadiran orang itu. "Om, Tante, silakan. Keadaan Farhan membuat saya yakut. Saya sudah menelpon ambulans," ucapku dambil menunduk. "Apa Farhan kenapa-napa?" Tante Alliya malah balik bertanya. "Lho memamg Renata tidak menelpon Tante, tidak memberitahu kalau Farhan jantungnya anfal." "Apa?!" Perempuan itu langsung menyelusup ke kamar Farhan, namun nggak ditemukannya sosok itu. Tante Alliya mengangkat kedua alisnya. "Farhan di kamar saya, Tante," "Hah!" Aku tercekat melihat reaksi mamanya Ray. Nggak menyangka kalau wanita paru baya itu akan sekaget itu. "Tapi, kami nggak ngapa-ngapain kok, Tante. Malah Farhan sedang sakit, kita butuh ambulans," ucapku menjelaskan semua, takutnya terjadi sesuatu. "Sakit? Ambulans?" Wanita itu semakin menautkan kedua alisnya. Lho, meman
"Fero, jangan ngelebihi batas," ucapku tajam sambil menatapnya. Agak kaget Fero melihat perubahan sikapku.Wanita itu Feronika Alfarest bersikap sarkas terhadapku padahal beberapa bulan yang lalu dia sudah sedikit bisa berubah lebih baik. Tapi beberapa bulan terakhir ini dia juga berubah lebih anarkis.Mungkin benar yang dikatakan dokter Careld, bahwa ada kelainan psikis yang tidak pernah Feronika sadari."Sekarang sudah banyak perubahan, ya. Kamu mulai liar, Move," aku menggeram mendengar ucapan Feronika. Ingin rasanya aku robek mulut jeleknya itu. Tapi aku masih tahu batas."Fero, akan lebih baik kalau kamu bergabumg dengan mereka daripada kamu disini menghabiskan waktu dan mengganggu, Aku," kali ini aku mengikis ketakutan yang selalu menghantui aku. Dan benar, kulihat Feronika menatapku dengan tajam sebelum meninggalkan aku sendiri.Aku menghela napas dalam-dalam melihat petempuan itu meninggallan aku sendiri. Ada keganabgan yang tiba-tba
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo