Kinara menatap hamparan jalan yang terlihat dari ambang jendela kamarnya. Dari balik jendela kamarnya, perempuan itu sedang asik menatap senja yang mulai terlihat merona di atas sana. Dia masih duduk diam berlama-lama di sana belakang tirai yang menutupi sebagian wajahnya. Seolah tak ingin melewatkan moment pergantian sore ke malam hari.Sudah selang dua hari sejak peristiwa pernikahan yang menghebohkan itu terjadi. Dengan bukti-bukti yang kuat, serta rekaman suara yang telah diberikan oleh Deva, Vanya akhirnya diputuskan bersalah dan terpaksa ditahan di sel sementara sambil menunggu proses hukum yang lebih lanjut.Para warga desa pun menjadi heboh dengan terkuaknya pelaku tabrak lari yang mengakibatkan Bu Wati meninggal dunia. Mereka tidak menyangka, jika menantu Bu Ratna lah pelakunya. Menantu yang di gadang-gadang oleh Bu Ratna di seantero desa.Kejadian tersebut tentu saja membuat keluarga nama Pak Rudi dan Bu Ratna ikut terseret dalam kasus tersebut. Hampir semua orang di setiap t
Arjuna mengantarkan istri dan juga sahabat dekatnya tersebut dengan menggunakan mobilnya. Mau bonceng tiga? Ya tidak mungkin pastinya.Nara benar-benar sudah diratukan oleh seorang Arjuna. Pernikahan yang awalnya terjadi karena sebuah tragedi, kini sudah berubah menjadi kebahagiaan tersendiri baginya.Arjuna pada hari ini memang sedang sangat santai, jadi ia pun mengantarkan kedua wanita yang sekarang ini berada di dalam mobilnya juga dengan santai. Terlihat Reni di jok belakang yang sedang tersenyum-senyum riang."Hari ini kamu terlihat bahagia sekali, Ren?" tanya Nara."Iya dong, sudah dua hari kamu menutup pintu untukku, dan sekarang kamu sudah mau aku ajak healing. Seneng dong aku," jawab Reni."Helang heling, healing kok ke pasar ya mana ada to, Ren?" ucap Nara kemudian.Hanya beberapa percakapan kecil mereka di dalam mobil sebelum akhirnya sampailah juga mereka di tempat healing tujuan Reni. Terlihat suasana hiruk pikuk di pasar saat mereka bertiga telah sampai di sana. Tentu sa
Bu Ratna dan juga Inah baru saja sampai ke mobil yang menunggu mereka berdua di area parkir. Wajah merah padam masih terlihat di sana. Dengan dada yang naik turun, Bu Ratna melemparkan belanjaannya ke sembarang arah."Huh, dasar anak kurang ajar! Kamu tahu nggak sih, Nah. Anak siapa itu? Pengen tak kasih pelajaran!" ucap Bu Ratna dengan sangat cepat dan nafas yang memburu karena menahan emosi yang meletup-letup."Inah nggak tahu, Bu. Tapi Ibu tenang saja, nanti Inah akan cari tahu siapa bocah tadi."Mobil yang ditumpangi oleh Bu Ratna dan Inah mulai melaju meninggalkan area parkir yang ada di pasar tersebut. Bu Ratna sampai saat ini masih melempar pandangan ke luar jendela mobil, dia masih menatap ke arah tempat di mana ia telah dipermalukan oleh Reni. Terlihat deru nafas Bu Ratna masih terus memburu dan belum teratur hingga sampai mobil yang membawanya sudah jauh meninggalkan area pasar."Pak, Pak. Ih, dimana sih Bapak ini?"Sesampainya Bu Ratna di rumah, ia yang berbadan sedikit gem
"Bapak ini kenapa sih kok jadi aneh sekali, heran. Diajak ngomong baik-baik malah marah-marah.""Awas aja kalau sampai berani macam-macam di belakangku. Tak bejek-bejek pokoknya," gerutu Bu Ratna sembari meninggalkan ruang kamar.Biar bagaimanapun, Bu Ratna masih menyimpan rasa kesal di dalam hatinya gara-gara omongan Reni. Eh, saat rasa kesalnya itu harus ia keluarkan kepada suaminya, malah sekarang dia dimarahi oleh suaminya sendiri. Namun pada saat ini ia justru mulai menaruh kecurigaan terhadap suaminya.Konon katanya, insting seorang wanita itu menjadi sangat kuat jika itu berkaitan dengan penghianatan seorang suami. Bahkan katanya, mereka dapat mengendus sekecil apapun kebohongan dari pasangannya.Meskipun dirinya hanya diam, sebenarnya di dalam hati Bu Ratna menyimpan rasa kesal yang bertumpuk. Bu Ratna akhirnya keluar juga dari dalam kamarnya untuk mengambil air minum di dapur. Ia merasa butuh minum untuk mendinginkan kembali pikirannya saat ini. Pada saat dirinya hendak perg
Di keheningan malam yang benar-benar dingin ini, sebenarnya Arjuna juga tak ingin meninggalkan Kinara seorang diri di rumah. Semenjak mereka berdua menikah, inilah kali pertama bagi dirinya meninggalkan Nara di tengah malam seperti ini.Sama halnya seperti apa yang sedang di rasakan oleh Nara pada saat ini. Rasa khawatir pun sedang menyelimuti Arjuna. Tapi ia belum bisa mengatakan yang sejujurnya kepada istrinya tersebut. Pada saat ini tujuannya hanyalah satu. Ia ingin mengungkap tabir kebenaran yang sesungguhnya atas insiden yang membuat gudang penyimpanan material miliknya bisa terbakar.Dengan tatapan sayu dari dalam mobilnya, Arjuna menghembuskan nafas kasarnya, dan kemudian memantapkan hati untuk melakukan mobilnya menembus jalanan gelap yang begitu lengang. Di toleh ke jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pas saat ini sudah menunjukkan waktu 22.30 wib. Maka pantas saja jika sudah tak lagi Arjuna temukan kendaraan yang melintas selain dirinya pada malam itu.Arjuna terus
Tak ...Tak ...Tak ...Suara detak jam dinding memenuhi seluruh ruang kamar Kinara pada malam ini. Saat ini ia sedang dilanda rasa gelisah yang tak tentu arah. Dua kelopak matanya sama sekali tak dapat terpejam. Dia berbalik ke kanan dan ke kiri dengan pikiran yang penuh dengan tanda tanya.Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari pada saat ini. Sekian lama Nara menunggu tetap ia tidak mendapatkan kabar apapun dari suaminya. Sudah berjam-jam Arjuna pergi, tetapi bahkan satu pesan pun tidak ia dapatkan di dalam ponsel yang saat ini terbaring di sebelah telinganya.Kinara menjadi semakin kesal saat ia mengingat bagaimana Juna tidak memberitahunya akan pergi ke mana tadi. Setidaknya jika ia tahu ke mana perginya Juna, ia akan tahu ke mana ia harus pergi jika sampai pagi nanti suaminya belum juga kembali.Sudah puluhan kali Nara menengok dan menatap layar ponselnya. Tapi berkali-kali pula ia tak mendapatkan satupun pesan di layar ponselnya."Haduh, sebenarnya pergi ke mana dia?" isi
Tok tok tok ...Tok tok tok ..."Siapa sih, Pak? Masih pagi-pagi buta begini sudah bertamu ke rumah orang, ndak tahu waktu banget!" sentak Bu Ratna yang merasa kesal karena pagi-pagi buta sudah mendengar suara ketukan pintu di rumahnya.Dengan langkah yang gontai, Pak Rudi beranjak dari tempat tidurnya. Dia berjalan dengan berat menuju ke ruang tamu untuk membukakan pintu.Tok tok tok ... Terdengar suara pintu kembali diketuk."Iya iya iya, sabar sedikit dong." Pak Rudi merasa terganggu dan ingin segera melihat siapa tamu yang datang di saat pagi-pagi buta seperti ini.Dan betapa terkejutnya Pak Rudi ketika membuka pintu rumahnya. Di hadapannya sekarang sudah berdiri Agus dengan keringat yang sudah mengucur di pelipisnya."Pak, gawat, Pak." Agus berkata dengan raut wajah yang panik."Gawat kenapa?" tanya Pak Rudi sembari meminta Agus untuk duduk di sofa ruang tamunya.Terlihat saat ini ke
SREENNGG!!Suara air dari tirisan tempe beradu dengan minyak panas yang masih menggenang di dalam wajan penggorengan. Aroma dari rempah yang tercampur pada tempe berbalut tepung tersebut menguar memenuhi seluruh isi dapur pada saat Arjuna mulai masuk ke dalam sana.Terlihat, Kinara masih berdiri di depan kompor sembari menggoreng tempe goreng alias mendoan. Masakan andalan yang selalu di masak oleh mendiang ibunya."Heemmm ... Harumnya. Masak apa sih, bikin keroncongan. Jadi pengen cepet-cepet makan yang masak, deh." Arjuna tiba-tiba saja datang dengan melingkarkan tangannya di pinggang perempuan ayu tersebut.Kinara yang memang sedari tadi masih fokus menggoreng, tentu saja terkejut karena ia tidak menyadari akan kehadiran Arjuna di belakangnya."Astaghfirullah, Mas. Ngangetin aja loh tiba-tiba udah di belakang ..." Nara tidak jadi melanjutkan kata-katanya karena dalam hitunga detik saja Arjuna sudah mendaratkan sebuah kecupan mesra
94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd
Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees
Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng
Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur
90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad
Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya
Usai acara makan bersama, Bu Laras meminta kepada Anggun dan juga Juwita untuk mengantarkan tamunya beristirahat."Kamar untuk Mbak Reni dan Bu Imah yang ada di sini, ya," ucap Juwita ramah sembari membukakan pintu ruang kamar tamu yang memang telah disiapkan dari jauh hari untuk mereka. Nuansa kamar dengan dominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu itu pun segera tampak di ruangan yang cukup luas tersebut.Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang berukuran besar yang cukup untuk mereka berdua. Ada sebuah pendingin ruangan di sana, almari pakaian, serta TV layar datar yang berukuran besar sebagai hiburan agar kamu mereka tidak merasa bosan di dalam kamar. Di dalam ruang kamar itu juga sudah dilengkapi dengan kamar mandi, agar mereka tidak perlu keluar masuk kamar hanya untuk menyelesaikan urusan pribadi."Masya Allah bagus sekali kamarnya, Dek Juita. Kamar hotel aja dengan kalah lho sama kamar yang ada di sini." Reni terkagum-kagum memandang ke sekeliling penjuru kamar yang akan d
"Selamat datang di keluarga kami, Nak. Kami harus menunggu waktu yang sangat lama hanya untuk melihat Juna pulang dengan membawa bidadarinya untuk diperkenalkan kepada kami," ucap Bu Hasan dengan kedua mata yang dipenuhi binar-binar bahagia.Bu Hasan merasa sangat bahagia untuk saat ini, karena anak sulungnya yang begitu ia banggakan sudah resmi memiliki istri. Bu Laras, nama aslinya. Tapi orang-orang lebih sering memanggilnya dengan nama Bu Hasan.Terlihat Kinara pun mengulum senyumnya. Ketegangan yang dirasakan begitu menyiksa dirinya di sepanjang perjalanan, perlahan-lahan mulai terkikis dan tergerus oleh sikap hangat dari wanita berusia sekitar lima puluh tahun dan itu. Namun di usianya yang bahkan sudah lebih dari separuh abad, sama sekali tidak membuat kecantikan alaminya memudar."Masya Allah, Nak. Kamu sungguh cantik sekali. Dan lebih cantik daripada foto-foto yang Juna kirimkan kepada kami." Pak Hasan pun maju ke depan dan ikut menimpali perkataan istrinya. Demikian pula deng
Kinara sengaja tidak ingin memperlihatkan air matanya yang luruh di hadapan Arjuna. Ia tidak ingin jika suaminya tersebut nanti menilainya terlalu konyol karena hendak pergi ke sebuah tempat yang bernama Ibukota tersebut.Sebenarnya ini bukan hanya tentang perjalan yang akan dilewatinya saat ini, bukan pula tentang Ibukota negara yang akan mereka datangi. Namun, perasaan itu datang karena ia baru pertama kali ini meninggalkan kampung halamannya.Ini semua adalah tentang kampung halaman dan semua kenangannya. Tentang desa yang berada di sebuah lereng bukit yang menjadi tempat Kinara dilahirkan dan juga dibesarkan. Tempat di mana dirinya mendapatkan semua kasih sayang dari kedua orang tuanya.Di perjalanan yang ia tempuh pada saat ini, Kinara membayangkan wajah sang ibu yang pada saat ini menari-nari di pelupuk matanya. Dan juga melihat sang ayah dari luar jendela sedang mengukir senyum melihat ke arahnya. Kedua wajah dari orang yang berarti baginya itu kini memenuhi relung hatinya. Waj