Dari atas pelaminan, Bu Ratna menatap kaget pada pasangan laki-laki dan juga wanita yang baru saja tiba di sana. Ia merasa sangat dongkol dan kemudian menghentikan langkah kaki Deva yang akan turun ke sana untuk menemui Nara."Bapak yang mengundang mereka?" tanya Bu Ratna pada pak Rudi dengan mata yang melotot."Loh loh loh, endak kok, Bu. Siapa juga yang mau ngundang mereka berdua?" jawab pak Runi yang juga sedang merasa kebingungan karena Kinara dan Arjuna bisa sampai di acara pernikahan anaknya."Dasar memang dia wanita ndak tahu malu dan ndak kenal tata krama. Berani-beraninya dia datang kemari padahal kita tidak mengundangnya. Heran Ibu, sebenarnya apa maunya sih anak ini?" Bu Ratna berbisik bisik pada suaminya, takut jika kemarahannya nanti akan di dengar oleh sang besan yang kaya raya itu."Kamu mau duduk dulu atau langsung mau menyalami mereka dan pulang, Ra? Atau kita makan dulu? Biar aku yang ambilkan," tanya Arjuna lagi."Mas, apa kamu yakin kalau aku masih bisa makan di da
Kinara yang terus memandangi Vanya yang masih tersentak kaget sudah tak bisa menahan lagi gelora keingintahuannya yang sudah membara. Nara pun memundurkan langkahnya dari hadapan Bu Ratna, dan kemudian berjalan menuju ke hadapan Vanya pada saat ini. Genggaman tangan Kinara pun kini terlepas dari lengan kekar seorang Arjuna."Jawab sekali lagi, Vanya. Benarkah kalau benda ini adalah milikmu?" Nara kembali bertanya kepada Vanya dengan tatapan mata yang menghunus tajam, setajam silet. Jika saja hanya dengan sebuah tatapan mata bisa membunuh, mungkin pada saat ini tubuh Vanya sudah terkapar dan bersimbah darah."I-iya, be-benar. Katakan sekarang, darimana kamu bisa mendapatkan kalung berlian ini?" tanya Vanya seolah memberikan sebuah tuduhan kepada Nara. Dia mencoba untuk membalik fakta demi menutup rasa takutnya yang pada saat ini mulai muncul.Deva yang pada saat ini berdiri tepat di antara kedua wanita itu pun kemudian mencoba bertanya kepada Nara."Ada apa ini, Ra? Apakah ada sesuatu
Vanya membelalakkan matanya lebar saat Nara berbalik menantang untuk melaporkan dirinya ke kantor polisi. Kedua tangan Vanya sudah terasa dingin, tubuhnya seolah membeku. Dia tak ingin jika nantinya dia harus berakhir dan mendekam di balik jeruji besi. Apalagi hari ini seharusnya menjadi hari yang paling bahagia untuknya.Vanya pun langsung menoleh dan memicingkan mata saat menatap lekat kepada Bu Ratna."Aduh, kenapa juga sih wanita tua itu harus keceplosan?!" batin Vanya yang menyalahkan Bu Ratna.Hari pernikahan yang seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi mereka langsung berganti menjadi sebuah musibah yang besar. Acara yang baru saja dimulai itu, terpaksa harus selesai lebih cepat dari jadwal aslinya.Saat semua orang yang ada di sana masih terdiam, Nara masih terus bersikeras meminta agar masalah ini segera di usut dan ditangani oleh pihak kepolisian. Sebagai seorang suami, dan juga sebagai orang yang mengetahui bagaimana hari-hari yang harus dialami oleh Arumi dengan p
vanya masih terus menerus berbicara bahwa bukan dialah yang telah menabrak Bu Wati.."Aku tidak pernah merasa menabrak siapapun, Va. Aku tidak melakukan hal apapun. Apalagi kalau yang tabrak adalah ibu dari wanita itu." Vanya berusaha menyakinkan Deva dengan nada yang sedikit pelan."Lalu, apa jawaban yang akan kamu berikan tentang apa yang tadi dikatakan oleh ibuku?" tanya Deva kemudian.Deva mencoba menanyakan tentang apa yang dikatakan oleh Bu Ratna mengenai sisa darah yang tertempel di bumper depan mobilnya."Aku baru ingat, anak bengkel juga pernah mengatakan kepadaku jika kamu pernah membawa mobilmu ke bengkel untuk mengganti bumper depan. Apa kamu masih bisa mengelak dengan semua bukti dan saksi itu? Sekarang, bicaralah yang jujur, supaya aku juga bisa mencari cara untuk membantu kamu," ucap Deva berbisik pelan di telinga Vanya.Vanya mulai ketakutan setelah mendengar penuturan dari Deva barusan. Ia tak mengira jika para pekerja di bengkel Deva pun juga bisa menjadi saksi atas
Pagi baru saja datang. Bahkan mentari pun masih enggan untuk menampakkan sinarnya. Di pagi hari yang masih tertutup kabut yang begitu pekat itu membuat hawa di sekitar Gunung Ungaran terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kondisi di sekitar lereng gunung yang lembab, membuat udara di sekitarnya menjadi lebih dingin.Usai Arjuna dan Kinara selesai salat Subuh pada pagi hari itu, mereka kemudian berjalan-jalan untuk mencari udara segar. Arjuna pada saat itu mengenakan jaket yang sangat tebal, sedangkan Nara yang sudah terbiasa dengan udara gunung, hanya mengenakan sweater yang tidak terlalu tebal berwarna ungu yang dia miliki sebagai hadiah dari ibunya.Pada pagi hari itu dinginnya udara tidak membuat mereka mengurungkan niatnya untuk berjalan-jalan. Pasangan pengantin baru itu pergi menuju ke air terjun kecil yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Saat mereka berdua tiba di sana, terlihat beberapa tenda-tenda camping yang didirikan oleh para wisatawan. Di sinilah Juna me
Kinara menatap hamparan jalan yang terlihat dari ambang jendela kamarnya. Dari balik jendela kamarnya, perempuan itu sedang asik menatap senja yang mulai terlihat merona di atas sana. Dia masih duduk diam berlama-lama di sana belakang tirai yang menutupi sebagian wajahnya. Seolah tak ingin melewatkan moment pergantian sore ke malam hari.Sudah selang dua hari sejak peristiwa pernikahan yang menghebohkan itu terjadi. Dengan bukti-bukti yang kuat, serta rekaman suara yang telah diberikan oleh Deva, Vanya akhirnya diputuskan bersalah dan terpaksa ditahan di sel sementara sambil menunggu proses hukum yang lebih lanjut.Para warga desa pun menjadi heboh dengan terkuaknya pelaku tabrak lari yang mengakibatkan Bu Wati meninggal dunia. Mereka tidak menyangka, jika menantu Bu Ratna lah pelakunya. Menantu yang di gadang-gadang oleh Bu Ratna di seantero desa.Kejadian tersebut tentu saja membuat keluarga nama Pak Rudi dan Bu Ratna ikut terseret dalam kasus tersebut. Hampir semua orang di setiap t
Arjuna mengantarkan istri dan juga sahabat dekatnya tersebut dengan menggunakan mobilnya. Mau bonceng tiga? Ya tidak mungkin pastinya.Nara benar-benar sudah diratukan oleh seorang Arjuna. Pernikahan yang awalnya terjadi karena sebuah tragedi, kini sudah berubah menjadi kebahagiaan tersendiri baginya.Arjuna pada hari ini memang sedang sangat santai, jadi ia pun mengantarkan kedua wanita yang sekarang ini berada di dalam mobilnya juga dengan santai. Terlihat Reni di jok belakang yang sedang tersenyum-senyum riang."Hari ini kamu terlihat bahagia sekali, Ren?" tanya Nara."Iya dong, sudah dua hari kamu menutup pintu untukku, dan sekarang kamu sudah mau aku ajak healing. Seneng dong aku," jawab Reni."Helang heling, healing kok ke pasar ya mana ada to, Ren?" ucap Nara kemudian.Hanya beberapa percakapan kecil mereka di dalam mobil sebelum akhirnya sampailah juga mereka di tempat healing tujuan Reni. Terlihat suasana hiruk pikuk di pasar saat mereka bertiga telah sampai di sana. Tentu sa
Bu Ratna dan juga Inah baru saja sampai ke mobil yang menunggu mereka berdua di area parkir. Wajah merah padam masih terlihat di sana. Dengan dada yang naik turun, Bu Ratna melemparkan belanjaannya ke sembarang arah."Huh, dasar anak kurang ajar! Kamu tahu nggak sih, Nah. Anak siapa itu? Pengen tak kasih pelajaran!" ucap Bu Ratna dengan sangat cepat dan nafas yang memburu karena menahan emosi yang meletup-letup."Inah nggak tahu, Bu. Tapi Ibu tenang saja, nanti Inah akan cari tahu siapa bocah tadi."Mobil yang ditumpangi oleh Bu Ratna dan Inah mulai melaju meninggalkan area parkir yang ada di pasar tersebut. Bu Ratna sampai saat ini masih melempar pandangan ke luar jendela mobil, dia masih menatap ke arah tempat di mana ia telah dipermalukan oleh Reni. Terlihat deru nafas Bu Ratna masih terus memburu dan belum teratur hingga sampai mobil yang membawanya sudah jauh meninggalkan area pasar."Pak, Pak. Ih, dimana sih Bapak ini?"Sesampainya Bu Ratna di rumah, ia yang berbadan sedikit gem
94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd
Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees
Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng
Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur
90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad
Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya
Usai acara makan bersama, Bu Laras meminta kepada Anggun dan juga Juwita untuk mengantarkan tamunya beristirahat."Kamar untuk Mbak Reni dan Bu Imah yang ada di sini, ya," ucap Juwita ramah sembari membukakan pintu ruang kamar tamu yang memang telah disiapkan dari jauh hari untuk mereka. Nuansa kamar dengan dominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu itu pun segera tampak di ruangan yang cukup luas tersebut.Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang berukuran besar yang cukup untuk mereka berdua. Ada sebuah pendingin ruangan di sana, almari pakaian, serta TV layar datar yang berukuran besar sebagai hiburan agar kamu mereka tidak merasa bosan di dalam kamar. Di dalam ruang kamar itu juga sudah dilengkapi dengan kamar mandi, agar mereka tidak perlu keluar masuk kamar hanya untuk menyelesaikan urusan pribadi."Masya Allah bagus sekali kamarnya, Dek Juita. Kamar hotel aja dengan kalah lho sama kamar yang ada di sini." Reni terkagum-kagum memandang ke sekeliling penjuru kamar yang akan d
"Selamat datang di keluarga kami, Nak. Kami harus menunggu waktu yang sangat lama hanya untuk melihat Juna pulang dengan membawa bidadarinya untuk diperkenalkan kepada kami," ucap Bu Hasan dengan kedua mata yang dipenuhi binar-binar bahagia.Bu Hasan merasa sangat bahagia untuk saat ini, karena anak sulungnya yang begitu ia banggakan sudah resmi memiliki istri. Bu Laras, nama aslinya. Tapi orang-orang lebih sering memanggilnya dengan nama Bu Hasan.Terlihat Kinara pun mengulum senyumnya. Ketegangan yang dirasakan begitu menyiksa dirinya di sepanjang perjalanan, perlahan-lahan mulai terkikis dan tergerus oleh sikap hangat dari wanita berusia sekitar lima puluh tahun dan itu. Namun di usianya yang bahkan sudah lebih dari separuh abad, sama sekali tidak membuat kecantikan alaminya memudar."Masya Allah, Nak. Kamu sungguh cantik sekali. Dan lebih cantik daripada foto-foto yang Juna kirimkan kepada kami." Pak Hasan pun maju ke depan dan ikut menimpali perkataan istrinya. Demikian pula deng
Kinara sengaja tidak ingin memperlihatkan air matanya yang luruh di hadapan Arjuna. Ia tidak ingin jika suaminya tersebut nanti menilainya terlalu konyol karena hendak pergi ke sebuah tempat yang bernama Ibukota tersebut.Sebenarnya ini bukan hanya tentang perjalan yang akan dilewatinya saat ini, bukan pula tentang Ibukota negara yang akan mereka datangi. Namun, perasaan itu datang karena ia baru pertama kali ini meninggalkan kampung halamannya.Ini semua adalah tentang kampung halaman dan semua kenangannya. Tentang desa yang berada di sebuah lereng bukit yang menjadi tempat Kinara dilahirkan dan juga dibesarkan. Tempat di mana dirinya mendapatkan semua kasih sayang dari kedua orang tuanya.Di perjalanan yang ia tempuh pada saat ini, Kinara membayangkan wajah sang ibu yang pada saat ini menari-nari di pelupuk matanya. Dan juga melihat sang ayah dari luar jendela sedang mengukir senyum melihat ke arahnya. Kedua wajah dari orang yang berarti baginya itu kini memenuhi relung hatinya. Waj