Share

4. Putus

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2023-08-01 11:15:56

Setelah Bu Ratna pergi, aku dan ibu menata kembali barang dagangan yang tadi sempat kocar-kacir, kami memutuskan untuk menutup lapak lebih awal dan bergegas pulang.

Huh ...

Ku sandarkan kepalaku di sofa, ku hela nafas panjang untuk sekedar melemaskan otot yang tegang.

"MBREEEM BREM"

Baru saja ku letakkan pan**t di atas sofa, terdengar suara sepeda motor yang sudah sangat ku kenali berhenti di halaman depan, ku toleh sekilas lewat pintu yang masih terbuka. Ya, aku tahu betul siapa yang baru saja datang.

"Assalamualaikum ... tok tok tok," terdengar suara ketukan di pintu.

"Wa'alaikumsalam," jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. Aku malah mengambil remote televisi dan menyalakannya. Sedangkan ibu masih berada di belakang, meletakkan barang dagangan.

Deva bergegas masuk meski belum ku persilahkan. Dia memang begitu, menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri, dan ibuku seperti ibunya sendiri. Dia langsung duduk di sampingku dan membalikkan badanku untuk menatapnya. Hal tersebut tentu saja membuat mataku bersirobok dengan matanya.

Kami menjadi sepasang kekasih sejak tiga tahun yang lalu. Tepatnya setelah kedua orang tua kami membahas mengenai perjodohan kami waktu itu.

Kutatap lekat mata Deva, kulihat ada rasa bersalah yang teramat dari dalam sana. Malas rasanya untuk melihatnya setelah kejadian tadi.

"Mau apa kamu datang kesini?" Tanyaku.

"Ra, aku kesini untuk meminta maaf sama kamu," jawabnya.

"Maaf, maaf untuk apa?"

"Ra, maafkan atas kelakuan ibuku ya, Sayang. Pak Burhan tadi sudah menceritakan semuanya padaku. Tentang apa yang ibu lakukan padamu juga ibu di pasar, aku sudah tahu," ucapnya menjelaskan.

"Lalu, apa aku harus diam saja, Va, saat ibumu menghina dan merendahkan ibuku seperti itu? Bahkan dengan terang-terangan ibumu telah menginjak-injak harga diriku. Bagaimana jika itu terjadi padamu?" Cecarku.

"Aku nggak melarang kamu untuk marah sayang. Kamu marah itu hal yang wajar. Tapi, aku nggak mau kalau kemarahanmu itu akan merusak hubungan kita berdua. Aku nggak mau kalau nantinya kita sampai putus Ra."

"Hufth" aku menghela nafas kasar.

Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana. Bagaimana aku akan melanjutkan hubungan ini jika ibunya saja dengan terang-terangan telah menolak ku. Aku tidak yakin akan bisa melanjutkan hubungan kami hingga ke jenjang pernikahan seperti rencana semula.

"Kinara," suara lirih Deva membuyarkan lamunanku. Pria yang selama ini menemaniku dan bersamaku, menatap lekat ke arahku.

"Ah" kulepaskan genggaman tangannya dari atas tanganku. Dan aku menoleh menatap lurus ke depan. Aku yang menahan gemuruh dan laju nafas yang memburu berusaha untuk tidak memperlihatkannya di depan Deva.

"Deva, maafkan aku..... Tapi sepertinya hubungan ini tidak bisa kita lanjutkan. Aku ingin mengakhirinya cukup sampai disini. Aku tidak akan pernah akan menikah denganmu jika ibumu tak memberikan restu. Namun bagaimana keluargamu akan memberikan restu jika ibumu sendiri yang telah melarang aku untuk bersamamu. Bahkan ibumu juga bilang jika ia mampu mencarikan jodoh untukmu dengan gadis yang lebih setara dengan mu. Bukan dengan aku yang miskin dan tak berpendidikan ini," ujarku meluapkan semua kepadanya.

Sesak!!! Hanya itulah yang dapat mengungkapkan perasaan hatiku saat ini. Dadaku sungguh terasa sangat sesak sekarang ini.

"Nggak Ra, nggak semudah itu kamu putuskan hubungan kita. Aku mencintaimu dengan apa adanya Ra. Kamu nggak bisa dong memutuskan hubungan ini dengan sebelah pihak saja," ucapnya.

Aku hanya terdiam, menahan buliran air mata yang sebenarnya sudah memberontak ingin keluar dari tadi. Tapi sebisa mungkin aku tetap menahannya.

Benar apa yang Deva bilang, hubungan ini bukanlah hubungan yang hanya sesaat. Tiga tahun bersama sejak masa sekolah, dan sekarang harus berakhir dan harus saling menjauhi bukanlah suatu hal yang mudah menurutku.

"Deva, baiknya kamu pulang sekarang. Aku nggak mau nanti akan semakin timbul masalah jika ibumu mengetahui jika kamu ada di sini bersamaku. Aku sudah cukup lelah hari ini. Pulanglah, karena aku harus membantu ibu beberes," ucapku dengan berat hati.

"Tolong dong Ra, kamu jangan buru-buru mengambil keputusan seperti ini sendiri. Baiklah, baik aku akan pulang dan segera membicarakan hal ini dengan ibu. Biar bagaimana, yang menjalani hubungan ini adalah kita Ra, bukan orang tua kita. Kita sudah dewasa Ra, cobalah mengerti bahwa kita berhak untuk menentukan jalan hidup kita sendiri.

"Ceessh" tumpahlah juga tanggul pertahanan ku mendengar tutur katanya.

Deva langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku paling tahu jika lelaki di hadapanku ini paling tidak bisa melihat aku menangis.

"Mau kamu berkata apa, sekarang aku sudah tak terlalu peduli Va, terserah saja apa katamu. Bagiku hubungan kita lebih baik berakhir sampai disini. Tak ada gunanya kita memaksakan kehendak. Aku tak mau dicap sebagai wanita yang membuatmu melawan ibumu sendiri" aku berucap terisak di dalam dekap peluk Deva. Lelaki yang sudah mengisi hari-hariku selama tiga tahun terkahir ini.

Kucoba untuk melepaskan pelukannya, kuurai diriku yang berada di dalam dekapannya. Tanpa menunggunya mengeluarkan kata-kata lagi, aku segera beranjak dan sedikit berlari masuk ke dapur untuk membantu ibu.

"Bruuuk" kutabrak tubuh ibuku yang ternyata dari tadi mendengarkan percakapanku dengan Deva. Kutumpahkan semua air mataku di dalam pelukan wanita yang selama ini aku hormati. Bagiku, hubungan yang selama ini telah terjalin bersama Deva sudah berakhir....

"Ibu, maafkan Kinara Bu," lirihku. Dan ibu hanya mengusap dan membelai rambutku sebagai obat penenang.

Kudengar langkah kaki Deva mulai mendekat, aku pun mengurai pelukan ibuku dan menuju wastafel untuk mencuci beberapa gelas dan piring yang kotor.

"Bu, Deva mohon pamit dulu ya Bu," kulirik lewat ekor mataku Deva berjalan mendekati ibuku dan kemudian mencium tangannya. Entahlah, mungkin sekarang dia sedang menatapku, tapi aku terus menyibukkan diri agar dia tak mendekat.

Dan benar saja, setelah itu Deva berjalan keluar.

"Hati-hati ya nak," ucap Ibu.

Setelah mendengar deru mesin motornya di luar, kedua tanganku mencengkeram kuat pinggiran wastafel yang ada di depanku. Air mata tumpah bersama dengan air kran yang masih mengalir. Ibu datang dan mengusap punggungku dari belakang.

"Istirahatlah nak, biar ibu yang lanjutkan," titahnya. Aku yang sedang rapuh langsung berlari memasuki kamar dan melompat ke atas matras tanpa dipan.

"Brrmmm Bremmm tin," ku tajamkan pendengaranku, hingga suara laju motor itu menjauh dan semakin menghilang diantara langit yang sudah mulai berwarna senja.

"Maafkan aku Deva," lirihku dengan bulir-bulir air mata yang menjadi saksi betapa hancurnya perasaanku saat ini.

----

Related chapters

  • Takdir Yang Membawamu   5. Jodoh Baru

    "Eh, itu dia Deva sudah datang. Panjang umur kamu, Nak, baru juga diomongin udah langsung nongol," Ayah Deva menyambutnya dari kursi ruang tamu saat Deva mulai masuk melangkah memasuki rumah. Akan tetapi Deva hanya menanggapinya dengan senyum yang hambar."Sini, Nak. Duduk dulu disini," Bu Ratna melambaikan tangan kepada Deva dan lantas menyuruhnya untuk mendekat."Ini ada Pakdhe Samsudin loh, sama Budhe Atun. Ayo Salim dulu," Titah Bu Ratna dengan senyum yang lebar. Demi menghormati ibunya, Rafa kemudian mencium tangan pasangan suami istri itu secara bergantian."Klek"Rafa sedikit melirik ke samping tempat duduk Budhe Atun. Disana duduklah seorang wanita cantik berkulit putih yang tersenyum malu-malu saat menatap Rafa."Hayo, inget nggak kamu nak sama Vanya? Iya, ini Vanya anaknya Pakdhe Samsudin dan budhe Atun. Kamu pasti masih ingat kan kalau dulu kalian itu sering bermain bersama?" tanya Bu Ratna.Apa-apaan ini. Untuk sekarang ini Deva benar-benar sedang merasa sesak di dalam dada

    Last Updated : 2023-08-04
  • Takdir Yang Membawamu   6. Perlawanan

    "Iiiih kamu nyebelin deh Ra. Besok aku balik ke kota aja lah!" Cebiknya.Ibuku hanya tersenyum saja melihat kami berdua."Nanti aja ya Ren ngobrolnya, ibu mau berangkat dulu, udah kesiangan ini," ibuku berucap dan langsung menepuk pundak ku sebagai kode untuk segera berangkat."Kenapa Reni tadi?" Tanya ibu."Kepo Bu dia, mau tahu kenapa Nara sama Deva putus," jawabku. Dan ibu pun hanya meng OH ria.Setelah sampai di pasar, aku membantu ibu untuk menata barang dagangan. Hingar bingar hiruk pikuk para manusia berlalu lalang didepan kami. Karena lapak sayur ibu berada di ujung jalan masuk pasar, tak ayal pembeli ibu kadang memang terlalu banyak yang mengantri. Mereka lebih mencari yang dekat dan strategis tidak harus jauh-jauh masuk ke dalam pasar.Saat hari mulai terang, kulihat Reni datang."Hei cantiiik," sapanya."Eh ngapain kamu sampai pasar? Nanti alergi loh," jawabku bercanda."Ini, disuruh ibu buat beli ikan, tapi nggak jago nawar. Temeni bentar ya Ra?" Pintanya."Boleh kan budhe

    Last Updated : 2023-08-04
  • Takdir Yang Membawamu   7. Luka Hati

    "Plak! Lancang sekali mulutmu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke Bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara! Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan juga bisa untuk membuktikannya, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi dan menjalar hingga ke dalam

    Last Updated : 2023-09-19
  • Takdir Yang Membawamu   8. Sebuah Nasihat

    "Plak! Lancang sekali mulutmu itu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara!Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan bisa untuk membuktikan apa yang ibu tanyakan saat ini, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu Lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi da

    Last Updated : 2023-09-25
  • Takdir Yang Membawamu   9. Permintaan Maaf

    "Aku meminta maaf atas nama ibuku ya, Ra," sebuah ucapan yang sudah kuduga akan keluar dari mulut Deva. Sedangkan Ibu hanya menyimak obrolan kami tanpa sedikit pun menyela. Aku pun kemudian hanya menganggukkan kepala menjawab pernyataan dari Deva."Ibu, Nara, jika saya tidak diberikan waktu untuk lebih banyak bertanya. Maka ijinkanlah saya bertanya di sini saja," ujarnya kemudian."Ra, benarkah apa yang kamu katakan kemarin, benarkah jika kedua orangtuaku memiliki hutang kepada almarhum bapak Budi?" Tanya Deva bersungguh-sungguh. Hal itu dapat ku lihat dari nada bicaranya yang tegas."Untuk apa kamu menanyakan hal itu, Va. Toh kami juga tidak memiliki surat hitam di atas putih seperti yang ibumu harapkan. Seharusnya kami dulu membuat surat bermaterai pada waktu bapak dan ibumu menggadaikan beberapa petak tanah milik Bapak untuk dijadikan modal kampanye Ayah kamu. Oh ya maaf, aku sudah berjanji kepada ibu untuk tidak membahas hal ini lagi," ucapku sambil melirik ke ibu yang terus menata

    Last Updated : 2023-09-27
  • Takdir Yang Membawamu   10. Hari Melelahkan

    Hari terus saja berganti dan waktu pun terus bergulir. Aku mencoba melupakan beberapa sesak di dada yang semakin hari semakin hilang. Hingga pada akhirnya tiba juga saat dimana aku dan juga ibu harus menyibukkan diri dan bergulat dengan asap dapur. Pada hari ini sudah dipastikan jika aku dan ibu akan sangat sibuk mempersiapkan pesanan catering untuk acara hajatan Bu Fatimah esok hari.Bu Fatimah sendiri memesan makanan dengan banyak ragam dan aneka menu. Dengan hanya mengandalkan dua tenaga milikku dan juga ibu sepertinya tidak akan cukup untuk menyelesaikan semua pesanan pada esok hari.Bu Fatimah adalah salah seorang yang dianggap orang kaya di wilayah tempat tinggal kami. Suaminya adalah seorang perwira polisi berpangkat. Meskipun ini hanyalah acara hajatan untuk khitanan anaknya, namun pasangan suami-istri Pak Supriyono dan Bu Fatimah menginginkan acara itu digelar secara meriah. Bu Fatimah sendiri memesan sebanyak 3 ratus lima puluh porsi makanan kepada ibu.Bu Fatimah juga memin

    Last Updated : 2023-09-27
  • Takdir Yang Membawamu   11. Lelah Diri Lelah Hati

    Perlahan, aku pun menoleh ke arah suara yang kurasa sedang memanggil namaku tadi. Ternyata Bu Fatimah saat ini sudah berdiri di belakangku. Wanita yang terlihat sangat anggun dan berwibawa itu mengenakan setelan baju kebaya berwarna coklat susu yang dihiasi manik-manik emas di sekelilingnya. Wanita yang merupakan istri dari seorang Perwira polisi itu selalu saja tampil mempesona di setiap acara apapun. Karena memang wajahnya masih begitu ayu di usianya yang sudah menginjak kepala empat."Maafkan saya ya, Ra. Maaf kalau saya merepotkan kamu dn juga Ibumu. Terimakasih yo, Nduk. Kamu sudah mau membantu disini. Ini tadi kok yang tadinya mau bantu-bantu tiba-tiba aja telepon kalau nggak bisa datang," ucap Bu Fatimah dengan senyum yang menghiasi wajahnya."Iya, Bu. Tidak apa-apa," jawabku.Setelah menyapaku sebentar, Bu Fatimah pun berlalu untuk menyambut tamu-tamu nya yang akan datang. Sedangkan aku kembali melanjutkan pekerjaan untuk menyusun makanan pada meja prasmanan.Para tamu mulai b

    Last Updated : 2023-09-28
  • Takdir Yang Membawamu   12. Siapakah Dia?

    "Oh ... iya, Mbak. Tolong sampaikan rasa terimakasih saya kepada Bu Fatimah ya, Mbak. Karena memang hari sudah siang, tolong sampaikan juga permintaan maaf saya kepada beliau karena tidak sempat berpamitan," ucapku ramah. Bukan karena tidak sempat, namun aslinya Bu Fatimah dan Bu Ratna pada saat ini masih berbincang berdua di sana. Nggak mungkin kan aku mendekat kalau hanya untuk dijadikan bahan hinaan."Kinara!" Kutoleh ke samping ke arah suara yang memanggil namaku. Dia yang di sana berjalan mendekat ke arahku."Ra, biar aku antar kamu pulang, ya," pinta Deva. pada saat ini tentu saja aku merasa sangat terkejut mendengar Deva menawarkan diri untuk mengantarkan ku pulang. Edan ini, bener-bener udah nggak waras."Nggak usah! Aku dianter sama Pak Karto pulangnya. Tolong Kamu menyingkir lah, dan jangan deket-deket aku lagi, Va," tolak ku."Kenapa, Ra? Apa karena kamu takut sama ibu dan juga Vanya?" tanya Deva padaku."Takut? Aku itu bukannya takut sama ibu atau calon istrimu itu, Va. Aku

    Last Updated : 2023-09-29

Latest chapter

  • Takdir Yang Membawamu   94. Pulang Kampung

    94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd

  • Takdir Yang Membawamu   93. Tanda Merah

    Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees

  • Takdir Yang Membawamu   92. Malam Pertama

    Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng

  • Takdir Yang Membawamu   91. Pesta Pernikahan

    Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur

  • Takdir Yang Membawamu   90. Es Krim Kopi

    90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad

  • Takdir Yang Membawamu   89. Pergi ke Butik

    Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya

  • Takdir Yang Membawamu   88. Berdebar-Debar

    Usai acara makan bersama, Bu Laras meminta kepada Anggun dan juga Juwita untuk mengantarkan tamunya beristirahat."Kamar untuk Mbak Reni dan Bu Imah yang ada di sini, ya," ucap Juwita ramah sembari membukakan pintu ruang kamar tamu yang memang telah disiapkan dari jauh hari untuk mereka. Nuansa kamar dengan dominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu itu pun segera tampak di ruangan yang cukup luas tersebut.Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang berukuran besar yang cukup untuk mereka berdua. Ada sebuah pendingin ruangan di sana, almari pakaian, serta TV layar datar yang berukuran besar sebagai hiburan agar kamu mereka tidak merasa bosan di dalam kamar. Di dalam ruang kamar itu juga sudah dilengkapi dengan kamar mandi, agar mereka tidak perlu keluar masuk kamar hanya untuk menyelesaikan urusan pribadi."Masya Allah bagus sekali kamarnya, Dek Juita. Kamar hotel aja dengan kalah lho sama kamar yang ada di sini." Reni terkagum-kagum memandang ke sekeliling penjuru kamar yang akan d

  • Takdir Yang Membawamu   87. Jamuan Keluarga

    "Selamat datang di keluarga kami, Nak. Kami harus menunggu waktu yang sangat lama hanya untuk melihat Juna pulang dengan membawa bidadarinya untuk diperkenalkan kepada kami," ucap Bu Hasan dengan kedua mata yang dipenuhi binar-binar bahagia.Bu Hasan merasa sangat bahagia untuk saat ini, karena anak sulungnya yang begitu ia banggakan sudah resmi memiliki istri. Bu Laras, nama aslinya. Tapi orang-orang lebih sering memanggilnya dengan nama Bu Hasan.Terlihat Kinara pun mengulum senyumnya. Ketegangan yang dirasakan begitu menyiksa dirinya di sepanjang perjalanan, perlahan-lahan mulai terkikis dan tergerus oleh sikap hangat dari wanita berusia sekitar lima puluh tahun dan itu. Namun di usianya yang bahkan sudah lebih dari separuh abad, sama sekali tidak membuat kecantikan alaminya memudar."Masya Allah, Nak. Kamu sungguh cantik sekali. Dan lebih cantik daripada foto-foto yang Juna kirimkan kepada kami." Pak Hasan pun maju ke depan dan ikut menimpali perkataan istrinya. Demikian pula deng

  • Takdir Yang Membawamu   86. Kota Jakarta

    Kinara sengaja tidak ingin memperlihatkan air matanya yang luruh di hadapan Arjuna. Ia tidak ingin jika suaminya tersebut nanti menilainya terlalu konyol karena hendak pergi ke sebuah tempat yang bernama Ibukota tersebut.Sebenarnya ini bukan hanya tentang perjalan yang akan dilewatinya saat ini, bukan pula tentang Ibukota negara yang akan mereka datangi. Namun, perasaan itu datang karena ia baru pertama kali ini meninggalkan kampung halamannya.Ini semua adalah tentang kampung halaman dan semua kenangannya. Tentang desa yang berada di sebuah lereng bukit yang menjadi tempat Kinara dilahirkan dan juga dibesarkan. Tempat di mana dirinya mendapatkan semua kasih sayang dari kedua orang tuanya.Di perjalanan yang ia tempuh pada saat ini, Kinara membayangkan wajah sang ibu yang pada saat ini menari-nari di pelupuk matanya. Dan juga melihat sang ayah dari luar jendela sedang mengukir senyum melihat ke arahnya. Kedua wajah dari orang yang berarti baginya itu kini memenuhi relung hatinya. Waj

DMCA.com Protection Status