Share

5. Jodoh Baru

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2023-08-04 07:54:35

"Eh, itu dia Deva sudah datang. Panjang umur kamu, Nak, baru juga diomongin udah langsung nongol," Ayah Deva menyambutnya dari kursi ruang tamu saat Deva mulai masuk melangkah memasuki rumah. Akan tetapi Deva hanya menanggapinya dengan senyum yang hambar.

"Sini, Nak. Duduk dulu disini," Bu Ratna melambaikan tangan kepada Deva dan lantas menyuruhnya untuk mendekat.

"Ini ada Pakdhe Samsudin loh, sama Budhe Atun. Ayo Salim dulu," Titah Bu Ratna dengan senyum yang lebar. Demi menghormati ibunya, Rafa kemudian mencium tangan pasangan suami istri itu secara bergantian.

"Klek"

Rafa sedikit melirik ke samping tempat duduk Budhe Atun. Disana duduklah seorang wanita cantik berkulit putih yang tersenyum malu-malu saat menatap Rafa.

"Hayo, inget nggak kamu nak sama Vanya? Iya, ini Vanya anaknya Pakdhe Samsudin dan budhe Atun. Kamu pasti masih ingat kan kalau dulu kalian itu sering bermain bersama?" tanya Bu Ratna.

Apa-apaan ini. Untuk sekarang ini Deva benar-benar sedang merasa sesak di dalam dadanya.

Laki-laki berusia 24 tahun itu menangkap adanya makna tersirat dari kata-kata ibunya. Sedangkan Vanya hanya bisa tertunduk dengan sedikit mengulas senyum di bibirnya.

Deva hanya mengangguk kecil tanpa menjawab pertanyaan dari ibunya, ia lantas berpamitan untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Eh, mau kemana kamu, Va? Masih ada tamu kok malah mau ditinggalin? Ya nggak sopan dong," Ucap perempuan yang rambutnya sudah mulai memutih di bagian depannya itu.

"Duduk dulu sini, temani Vanya ngobrol," sambungnya sembari menepuk-nepuk kursi kosong yang ada di sebelahnya. Suara krincing krincing terdengar saat tangannya digerakkan. Jangan heran, karena di tangannya saja ada lima gelang yang berjejer, dan juga empat cincin yang menempel. Meski para warga banyak yang menyebut Bu Ratna sebagai India nyasar, Bu Ratna seakan tak perduli dengan semua predikat itu.

Mau tidak mau, akhirnya Deva pun mengalah dan duduk disebelah ayahnya.

"Jadi ... bagaimana? Sesuai kesepakatan kita tadi ya pak Sam, bahwa Deva dan Vanya akan kita jodohkan".

"Jedeng deng deng"

"Tak"

Patah sudah hati Deva saat ini. Para orangtua itu terus saja membahas tentang rencana perjodohan antara dirinya dengan Vanya. Tentu saja hal itu membuat Deva sangat risih mendengarnya.

Dalam hatinya Deva ingin berteriak dan menolak mentah-mentah rencana perjodohan dari orangtuanya itu. Deva benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan kedua orangtuanya yang tiba-tiba berubah arah memutuskan pertunangannya dengan Kinara dan malah menjodohkannya dengan gadis lain yang bukan pilihan hatinya. Bukan kah mereka sudah sangat lama dijodohkan? Pikirnya.

"Bu, apa-apaan ini? Kenapa semuanya tiba-tiba seperti ini?" Tanyanya dengan sedikit kasar. Setelah mengatakan demikian Deva langsung beranjak ke kamarnya dan kemudian menutup pintunya dengan kasar. Ia menyugar kasar rambutnya.

"Gila.... Gilaaaa.... Ini benar-benar gilaaaa....!!!!" Ucapnya.

---

"Deva! Apa yang kamu lakukan tadi? Kamu bikin malu ayah sama ibu aja sih!" Sentak Bu Ratna yang kemudian memasuki kamar Deva dengan tatapan nyalang. Tamunya sudah pergi, dan Bu Ratna langsung bergegas masuk ke kamar Deva.

"Kenapa Bu? Ibu kan tahu kalau Deva sama Kinara itu sudah bertunangan? Ibu juga pastinya masih ingat kan jika tiga tahun lalu ibu dan ayah yang menjodohkan Deva sama Nara, hingga akhirnya kami saling mengikat janji di depan mendiang ayah Nara?" Deva berucap dengan otot tercetak jelas di lehernya dan sorot mata tajam.

"Huh" Deva berusaha menghela nafas untuk menetralkan degup jantungnya.

"Dengar Bu, aku sangat mencintai Kinara. Ibu tahu itu kan? Apalagi kita sudah terikat janji dengan keluarga mereka. Kenapa ibu bisa membatalkan hubungan kami secara sepihak sih Bu? Apa yang nanti akan difikirkan oleh mereka, Bu?" Ucap dan tanya Deva bersungguh-sungguh meminta jawaban.

"Heh"

Bu Ratna hanya menyunggingkan senyum kecil di atas bibirnya seolah mengejek.

"Itu dulu, Va, sekarang semuanya sudah berbeda. Lupakan janji itu, lupakan kalau kamu pernah bertunangan sama Nara, dan lupakan juga Kinara, Nak!" Ucap Bu Ratna tegas.

"Kamu lihat dong, Va. Siapa kita sekarang, dan siapa mereka? Apa pantes Va kamu menikahi seorang wanita yang tidak berpendidikan seperti dia? Apa pantes jika besan ibu adalah seorang tukang sayur?" Tanya Bu Ratna yang membuat Deva geleng-geleng kepala.

"Deva, kamu jangan naif jadi orang! Apalagi kamu itu seorang laki-laki. Ingat ya, Va. Yang menikah aja masih bisa cerai kok, ini baru juga bertunangan masih bisa putus kan?" Tandas Bu Ratna yang tidak ingin mengerti tentang perasaan anaknya.

"Sudah, Bu? Deva sedang pengen sendiri. Biarkan Deva memikirkan semuanya. Yang jelas Deva menentang perjodohan ini, karena Deva sudah terlanjur mencintai Nara dengan sangat.

****

"Eh eh, Ra Kinara!" aku mendengar suara orang memanggil dari kejauhan. Setelah kutoleh, ternyata dia adalah Reni, tetangga sebelah rumahku.

Pagi itu, lepas subuh memang aku sengaja duduk-duduk diluar untuk menghirup udara segar untuk mengisi paru-paruku yang sudah terlalu pengap. Biasanya aku akan mengantarkan ibu pergi ke pasar pagi-pagi buta untuk berdagang. Karena kejadian kemarin, hari ini kami pergi ke pasar memang agak siangan. Tak kusangka Reni juga keluar di saat hari masih gelap seperti ini.

"Ra, apa benar to kalau kamu nggak jadi nikah sama Deva?" Tanyanya penasaran. Aku masih diam dan terus memperhatikannya.

"Kemarin ibuku cerita, kalau Bu Ratna ibunya Deva ngamuk di pasar dan ngelabrak ibumu, benarkah itu, Ra?" Tanyanya. Akupun hanya menanggapinya dengan anggukan kepala.

"Eh ... Jawab dong, Ra. Jangan cuma manggut-manggut tok!" Pinta Reni dengan antusias sambil mendorong bahuku ke belakang.

"Iya, iya, sudah puas sekarang?" Jawabku pada akhirnya. Aku dan Reni adalah teman sejak kecil karena rumah kami berdua memang bersebelahan. Namun sekarang kami sangat jarang bertemu. Reni hanya pulang seminggu atau dua Minggu sekali di akhir pekan, karena ia sekarang sudah bekerja di kota.

"Weleh, yo nggak percaya ini aku. Deva kan cinta mati sama kamu, Ra. Apa dia mau jika harus jauh sama kamu?" Katanya.

"Tapi itu faktanya, Ren. kami udah putus!" Jawabku singkat, padat dan berisi.

"Eh Yo jangan dong, Ra. Kalian itu pasangan serasi seantero kecamatan. Aku emoh ah kalau kalian putus," ucapnya dengan bibir yang sedikit di monyongkan.

"Sudah ya, Ren. Aku masuk dulu" kataku pada Reni yang masih monyong. Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Aku malas jika harus meladeni Reni dengan kebawelannya. Ya, Reni hanya awalan saja, karena aku yakin setelah ini akan datang Reni Reni lainnya yang bakalan kepo dengan hubungan ku dengan Deva.

"Ya Tuhan ... Skenario apa yang sebenarnya Engkau ciptakan untukku?" Rintihku pada yang maha kuasa.

Tak lama setelah aku masuk, ibu keluar dari dalam dengan membawa beberapa barang dagangannya.

"Mau berangkat sekarang, Bu?" Tanyaku.

"Iya toh, ini aja kita udah kesiangan". Jawab Ibu.

Aku lantas membantu ibu membawakan beberapa barang yang dijinjingnya dan membawanya ke motor. Motor peninggalan almarhum Bapak. Diluar sana Reni masih menatapku dan hendak mendekatiku. Langsung saja kuulurkan tanganku, kelima jari tangan kananku sudah tegak sempurna menghadap ke atas untuk menghadangnya.

"Yang kepo dilarang mendekat!" Ucapku sambil merenges ke arahnya.

-----

Related chapters

  • Takdir Yang Membawamu   6. Perlawanan

    "Iiiih kamu nyebelin deh Ra. Besok aku balik ke kota aja lah!" Cebiknya.Ibuku hanya tersenyum saja melihat kami berdua."Nanti aja ya Ren ngobrolnya, ibu mau berangkat dulu, udah kesiangan ini," ibuku berucap dan langsung menepuk pundak ku sebagai kode untuk segera berangkat."Kenapa Reni tadi?" Tanya ibu."Kepo Bu dia, mau tahu kenapa Nara sama Deva putus," jawabku. Dan ibu pun hanya meng OH ria.Setelah sampai di pasar, aku membantu ibu untuk menata barang dagangan. Hingar bingar hiruk pikuk para manusia berlalu lalang didepan kami. Karena lapak sayur ibu berada di ujung jalan masuk pasar, tak ayal pembeli ibu kadang memang terlalu banyak yang mengantri. Mereka lebih mencari yang dekat dan strategis tidak harus jauh-jauh masuk ke dalam pasar.Saat hari mulai terang, kulihat Reni datang."Hei cantiiik," sapanya."Eh ngapain kamu sampai pasar? Nanti alergi loh," jawabku bercanda."Ini, disuruh ibu buat beli ikan, tapi nggak jago nawar. Temeni bentar ya Ra?" Pintanya."Boleh kan budhe

    Last Updated : 2023-08-04
  • Takdir Yang Membawamu   7. Luka Hati

    "Plak! Lancang sekali mulutmu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke Bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara! Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan juga bisa untuk membuktikannya, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi dan menjalar hingga ke dalam

    Last Updated : 2023-09-19
  • Takdir Yang Membawamu   8. Sebuah Nasihat

    "Plak! Lancang sekali mulutmu itu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara!Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan bisa untuk membuktikan apa yang ibu tanyakan saat ini, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu Lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi da

    Last Updated : 2023-09-25
  • Takdir Yang Membawamu   9. Permintaan Maaf

    "Aku meminta maaf atas nama ibuku ya, Ra," sebuah ucapan yang sudah kuduga akan keluar dari mulut Deva. Sedangkan Ibu hanya menyimak obrolan kami tanpa sedikit pun menyela. Aku pun kemudian hanya menganggukkan kepala menjawab pernyataan dari Deva."Ibu, Nara, jika saya tidak diberikan waktu untuk lebih banyak bertanya. Maka ijinkanlah saya bertanya di sini saja," ujarnya kemudian."Ra, benarkah apa yang kamu katakan kemarin, benarkah jika kedua orangtuaku memiliki hutang kepada almarhum bapak Budi?" Tanya Deva bersungguh-sungguh. Hal itu dapat ku lihat dari nada bicaranya yang tegas."Untuk apa kamu menanyakan hal itu, Va. Toh kami juga tidak memiliki surat hitam di atas putih seperti yang ibumu harapkan. Seharusnya kami dulu membuat surat bermaterai pada waktu bapak dan ibumu menggadaikan beberapa petak tanah milik Bapak untuk dijadikan modal kampanye Ayah kamu. Oh ya maaf, aku sudah berjanji kepada ibu untuk tidak membahas hal ini lagi," ucapku sambil melirik ke ibu yang terus menata

    Last Updated : 2023-09-27
  • Takdir Yang Membawamu   10. Hari Melelahkan

    Hari terus saja berganti dan waktu pun terus bergulir. Aku mencoba melupakan beberapa sesak di dada yang semakin hari semakin hilang. Hingga pada akhirnya tiba juga saat dimana aku dan juga ibu harus menyibukkan diri dan bergulat dengan asap dapur. Pada hari ini sudah dipastikan jika aku dan ibu akan sangat sibuk mempersiapkan pesanan catering untuk acara hajatan Bu Fatimah esok hari.Bu Fatimah sendiri memesan makanan dengan banyak ragam dan aneka menu. Dengan hanya mengandalkan dua tenaga milikku dan juga ibu sepertinya tidak akan cukup untuk menyelesaikan semua pesanan pada esok hari.Bu Fatimah adalah salah seorang yang dianggap orang kaya di wilayah tempat tinggal kami. Suaminya adalah seorang perwira polisi berpangkat. Meskipun ini hanyalah acara hajatan untuk khitanan anaknya, namun pasangan suami-istri Pak Supriyono dan Bu Fatimah menginginkan acara itu digelar secara meriah. Bu Fatimah sendiri memesan sebanyak 3 ratus lima puluh porsi makanan kepada ibu.Bu Fatimah juga memin

    Last Updated : 2023-09-27
  • Takdir Yang Membawamu   11. Lelah Diri Lelah Hati

    Perlahan, aku pun menoleh ke arah suara yang kurasa sedang memanggil namaku tadi. Ternyata Bu Fatimah saat ini sudah berdiri di belakangku. Wanita yang terlihat sangat anggun dan berwibawa itu mengenakan setelan baju kebaya berwarna coklat susu yang dihiasi manik-manik emas di sekelilingnya. Wanita yang merupakan istri dari seorang Perwira polisi itu selalu saja tampil mempesona di setiap acara apapun. Karena memang wajahnya masih begitu ayu di usianya yang sudah menginjak kepala empat."Maafkan saya ya, Ra. Maaf kalau saya merepotkan kamu dn juga Ibumu. Terimakasih yo, Nduk. Kamu sudah mau membantu disini. Ini tadi kok yang tadinya mau bantu-bantu tiba-tiba aja telepon kalau nggak bisa datang," ucap Bu Fatimah dengan senyum yang menghiasi wajahnya."Iya, Bu. Tidak apa-apa," jawabku.Setelah menyapaku sebentar, Bu Fatimah pun berlalu untuk menyambut tamu-tamu nya yang akan datang. Sedangkan aku kembali melanjutkan pekerjaan untuk menyusun makanan pada meja prasmanan.Para tamu mulai b

    Last Updated : 2023-09-28
  • Takdir Yang Membawamu   12. Siapakah Dia?

    "Oh ... iya, Mbak. Tolong sampaikan rasa terimakasih saya kepada Bu Fatimah ya, Mbak. Karena memang hari sudah siang, tolong sampaikan juga permintaan maaf saya kepada beliau karena tidak sempat berpamitan," ucapku ramah. Bukan karena tidak sempat, namun aslinya Bu Fatimah dan Bu Ratna pada saat ini masih berbincang berdua di sana. Nggak mungkin kan aku mendekat kalau hanya untuk dijadikan bahan hinaan."Kinara!" Kutoleh ke samping ke arah suara yang memanggil namaku. Dia yang di sana berjalan mendekat ke arahku."Ra, biar aku antar kamu pulang, ya," pinta Deva. pada saat ini tentu saja aku merasa sangat terkejut mendengar Deva menawarkan diri untuk mengantarkan ku pulang. Edan ini, bener-bener udah nggak waras."Nggak usah! Aku dianter sama Pak Karto pulangnya. Tolong Kamu menyingkir lah, dan jangan deket-deket aku lagi, Va," tolak ku."Kenapa, Ra? Apa karena kamu takut sama ibu dan juga Vanya?" tanya Deva padaku."Takut? Aku itu bukannya takut sama ibu atau calon istrimu itu, Va. Aku

    Last Updated : 2023-09-29
  • Takdir Yang Membawamu   13. Dialah Sang Penyelamat

    "Setelah Pak Budi menyelamatkan nyawa Papa dari tindakan bodohnya itu. Papa merasa sangat berhutang nyawa pada beliau, terlebih lagi keluarga kami. Bagaimana jadinya hidup kami jika pimpinan keluarga kami pergi dengan meninggalkan hutang yang begitu besar.""Pak Budi datang ke dalam keluarga kami sebagai sang dewa penyelamat. Tanpa pikir panjang, beliau langsung menawarkan bantuan kepada Papa. Beliau rela memberikan tabungannya untuk membantu Papa saya membayar hutang-hutangnya. Dengan ditemani oleh beliau, Papa melunasi hutangnya satu persatu.Beliau juga memberikan sedikit bantuan modal kepada Papa saya untuk menjalankan kembali usahanya dari sisa tabungan yang dimilikinya pada saat itu, Bu. Hingga pada akhirnya usaha ayah bisa kembali bangkit kembali dan terus berjalan sampai sekarang saya yang meneruskannya, Bu." Terang Arjuna panjang lebar.BRUGGH!!Arjuna langsung jatuh dan bersimpuh di kaki ibu sebagai tanda permintaan maaf dan juga rasa penyesalannya. Aku yang sedari tadi mende

    Last Updated : 2023-09-30

Latest chapter

  • Takdir Yang Membawamu   94. Pulang Kampung

    94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd

  • Takdir Yang Membawamu   93. Tanda Merah

    Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees

  • Takdir Yang Membawamu   92. Malam Pertama

    Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng

  • Takdir Yang Membawamu   91. Pesta Pernikahan

    Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur

  • Takdir Yang Membawamu   90. Es Krim Kopi

    90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad

  • Takdir Yang Membawamu   89. Pergi ke Butik

    Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya

  • Takdir Yang Membawamu   88. Berdebar-Debar

    Usai acara makan bersama, Bu Laras meminta kepada Anggun dan juga Juwita untuk mengantarkan tamunya beristirahat."Kamar untuk Mbak Reni dan Bu Imah yang ada di sini, ya," ucap Juwita ramah sembari membukakan pintu ruang kamar tamu yang memang telah disiapkan dari jauh hari untuk mereka. Nuansa kamar dengan dominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu itu pun segera tampak di ruangan yang cukup luas tersebut.Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang berukuran besar yang cukup untuk mereka berdua. Ada sebuah pendingin ruangan di sana, almari pakaian, serta TV layar datar yang berukuran besar sebagai hiburan agar kamu mereka tidak merasa bosan di dalam kamar. Di dalam ruang kamar itu juga sudah dilengkapi dengan kamar mandi, agar mereka tidak perlu keluar masuk kamar hanya untuk menyelesaikan urusan pribadi."Masya Allah bagus sekali kamarnya, Dek Juita. Kamar hotel aja dengan kalah lho sama kamar yang ada di sini." Reni terkagum-kagum memandang ke sekeliling penjuru kamar yang akan d

  • Takdir Yang Membawamu   87. Jamuan Keluarga

    "Selamat datang di keluarga kami, Nak. Kami harus menunggu waktu yang sangat lama hanya untuk melihat Juna pulang dengan membawa bidadarinya untuk diperkenalkan kepada kami," ucap Bu Hasan dengan kedua mata yang dipenuhi binar-binar bahagia.Bu Hasan merasa sangat bahagia untuk saat ini, karena anak sulungnya yang begitu ia banggakan sudah resmi memiliki istri. Bu Laras, nama aslinya. Tapi orang-orang lebih sering memanggilnya dengan nama Bu Hasan.Terlihat Kinara pun mengulum senyumnya. Ketegangan yang dirasakan begitu menyiksa dirinya di sepanjang perjalanan, perlahan-lahan mulai terkikis dan tergerus oleh sikap hangat dari wanita berusia sekitar lima puluh tahun dan itu. Namun di usianya yang bahkan sudah lebih dari separuh abad, sama sekali tidak membuat kecantikan alaminya memudar."Masya Allah, Nak. Kamu sungguh cantik sekali. Dan lebih cantik daripada foto-foto yang Juna kirimkan kepada kami." Pak Hasan pun maju ke depan dan ikut menimpali perkataan istrinya. Demikian pula deng

  • Takdir Yang Membawamu   86. Kota Jakarta

    Kinara sengaja tidak ingin memperlihatkan air matanya yang luruh di hadapan Arjuna. Ia tidak ingin jika suaminya tersebut nanti menilainya terlalu konyol karena hendak pergi ke sebuah tempat yang bernama Ibukota tersebut.Sebenarnya ini bukan hanya tentang perjalan yang akan dilewatinya saat ini, bukan pula tentang Ibukota negara yang akan mereka datangi. Namun, perasaan itu datang karena ia baru pertama kali ini meninggalkan kampung halamannya.Ini semua adalah tentang kampung halaman dan semua kenangannya. Tentang desa yang berada di sebuah lereng bukit yang menjadi tempat Kinara dilahirkan dan juga dibesarkan. Tempat di mana dirinya mendapatkan semua kasih sayang dari kedua orang tuanya.Di perjalanan yang ia tempuh pada saat ini, Kinara membayangkan wajah sang ibu yang pada saat ini menari-nari di pelupuk matanya. Dan juga melihat sang ayah dari luar jendela sedang mengukir senyum melihat ke arahnya. Kedua wajah dari orang yang berarti baginya itu kini memenuhi relung hatinya. Waj

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status