Perlahan, aku pun menoleh ke arah suara yang kurasa sedang memanggil namaku tadi. Ternyata Bu Fatimah saat ini sudah berdiri di belakangku. Wanita yang terlihat sangat anggun dan berwibawa itu mengenakan setelan baju kebaya berwarna coklat susu yang dihiasi manik-manik emas di sekelilingnya. Wanita yang merupakan istri dari seorang Perwira polisi itu selalu saja tampil mempesona di setiap acara apapun. Karena memang wajahnya masih begitu ayu di usianya yang sudah menginjak kepala empat."Maafkan saya ya, Ra. Maaf kalau saya merepotkan kamu dn juga Ibumu. Terimakasih yo, Nduk. Kamu sudah mau membantu disini. Ini tadi kok yang tadinya mau bantu-bantu tiba-tiba aja telepon kalau nggak bisa datang," ucap Bu Fatimah dengan senyum yang menghiasi wajahnya."Iya, Bu. Tidak apa-apa," jawabku.Setelah menyapaku sebentar, Bu Fatimah pun berlalu untuk menyambut tamu-tamu nya yang akan datang. Sedangkan aku kembali melanjutkan pekerjaan untuk menyusun makanan pada meja prasmanan.Para tamu mulai b
"Oh ... iya, Mbak. Tolong sampaikan rasa terimakasih saya kepada Bu Fatimah ya, Mbak. Karena memang hari sudah siang, tolong sampaikan juga permintaan maaf saya kepada beliau karena tidak sempat berpamitan," ucapku ramah. Bukan karena tidak sempat, namun aslinya Bu Fatimah dan Bu Ratna pada saat ini masih berbincang berdua di sana. Nggak mungkin kan aku mendekat kalau hanya untuk dijadikan bahan hinaan."Kinara!" Kutoleh ke samping ke arah suara yang memanggil namaku. Dia yang di sana berjalan mendekat ke arahku."Ra, biar aku antar kamu pulang, ya," pinta Deva. pada saat ini tentu saja aku merasa sangat terkejut mendengar Deva menawarkan diri untuk mengantarkan ku pulang. Edan ini, bener-bener udah nggak waras."Nggak usah! Aku dianter sama Pak Karto pulangnya. Tolong Kamu menyingkir lah, dan jangan deket-deket aku lagi, Va," tolak ku."Kenapa, Ra? Apa karena kamu takut sama ibu dan juga Vanya?" tanya Deva padaku."Takut? Aku itu bukannya takut sama ibu atau calon istrimu itu, Va. Aku
"Setelah Pak Budi menyelamatkan nyawa Papa dari tindakan bodohnya itu. Papa merasa sangat berhutang nyawa pada beliau, terlebih lagi keluarga kami. Bagaimana jadinya hidup kami jika pimpinan keluarga kami pergi dengan meninggalkan hutang yang begitu besar.""Pak Budi datang ke dalam keluarga kami sebagai sang dewa penyelamat. Tanpa pikir panjang, beliau langsung menawarkan bantuan kepada Papa. Beliau rela memberikan tabungannya untuk membantu Papa saya membayar hutang-hutangnya. Dengan ditemani oleh beliau, Papa melunasi hutangnya satu persatu.Beliau juga memberikan sedikit bantuan modal kepada Papa saya untuk menjalankan kembali usahanya dari sisa tabungan yang dimilikinya pada saat itu, Bu. Hingga pada akhirnya usaha ayah bisa kembali bangkit kembali dan terus berjalan sampai sekarang saya yang meneruskannya, Bu." Terang Arjuna panjang lebar.BRUGGH!!Arjuna langsung jatuh dan bersimpuh di kaki ibu sebagai tanda permintaan maaf dan juga rasa penyesalannya. Aku yang sedari tadi mende
"Bu, Nara pamit dulu ya," ucapku pada ibu yang masih berada di ruang tamu."Iya, hati-hati di jalan ya, Nduk," jawab ibu.Lalu Arjuna berdiri dari duduknya dan mencium tangan ibuku dengan takzim. Dia lantas mengekor di belakangku. Di depan sana kulihat ternyata Reni sudah menunggu di depan, tepat di samping mobil Arjuna."Budhe, Reni ikut Nara jalan-jalan Nara, ya," pamit Reni kepada ibu. memang gadis ceria itu sudah menganggap ibuku seperti ibunya sendiri. Aku yang melihat kekonyolannya hanya bisa menepuk jidat dan menggelengkan kepala.Ceklak!Arjuna kemudian membukakan pintu mobil untukku. Dia lalu mempersilahkan aku untuk duduk di kursi depan tepat di sampingnya. Sedangkan Reni duduk di kursi belakang. Mobil itu pun mulai melaju perlahan meninggalkan debu yang berterbangan."Ra, ya Allah aku lupa semalam mimpi apa. aku bener-bener nggak ngira kalau sekarang bisa merasakan jadi orang kaya, Ra. Aku bisa naik mobil mengkilat kayak gini, Ra. Kamu juga merasa kayak gitu nggak, Ra?" ta
"Kenapa?" Tanyaku kemudian menoleh ke arahnya setelah Arjuna mengatakan akan bahwa dirinya akan tinggal cukup lama di desa kami.Eem ... Akhirnya ada yang menyahut juga nih," sindir Reni sembari melirik ke arahku."Ah ... tobaaaat tobat. Lama lama aku bisa menjadi diabetes jika dia selalu tersenyum manis saat menatapku," batinku sesaat ketika melihat Arjuna tersenyum menatapku."Itu karena kebetulan saya sedang ada proyek kerja yang harus saya selesaikan di daerah sini. Pada saat ini, saya sedang mengerjakan proyek pengerjaan resort dan restoran yang akan berdiri di dekat batas kota," jawab Arjuna dengan mengusuk pucuk kepalaku."Lah, meleleh nanti dia Om kalau di usuk-usuk kayak gitu," ucap Reni. Refleks ku injak ujung kakinya dengan sepatu yang aku kenakan."Aaww, sakit dong, Ra," Pekiknya tertahan dengan bibir yang sedikit meringis."Ternyata kamu menyimak juga apa yang kami bicarakan, Ra." ucap laki-laki disebelahku ini.Iya, memang diam-diam aku mendengarkan obrolan mereka berdua
Aku masih saja terus terdiam dan berdiri di tempat ini seperti orang yang linglung, tersentak kaget saat Reni tiba-tiba saja menarik tanganku. Aku yakin sekali kalau sebenarnya dia sudah tidak sabar saat Arjuna mengatakan jika akan mentraktirnya makan masakan padang kesukaannya.Aku yang pada saat ini masih terbengong bengong hanya menurut saja saat Reni mengajakku berjalan memasuki mobil Arjuna yang sudah terparkir."Ah akhirnya makan juga," ucap Reni saat piring makanan yang penuh dengan lauk itu sudah tersaji di hadapannya.Pada akhirnya kami pun makan bersama di sebuah restoran Padang tak jauh dari Bank berada.***Saat Kinara dan juga Bu Wati sedang merasa seperti habis kejatuhan durian runtuh, karena kedatangan Arjuna yang tiba-tiba saja untuk membayar semua hutang-hutang orang tuanya. Hal yang sebaliknya justru sedang menimpa kepada keluarga Bu Ratna sekarang.Pada awalnya, Bu Ratna berusaha untuk mengabaikan cerita dan aduan dari Bi Inah tentang apa yang terjadi pada Bu Ratna d
Setelah Selesai dengan urusan perutnya, Arjuna mengantarkan ku dan juga Reni untuk segera pulang. Setelah menjelaskan beberapa hal kepada ibu, Arjuna kemudian berpamitan untuk pulang.[Eh, ya enggak pulang ding, karena dia hanya akan kembali ke hotel yang ada di pusat kota ini. Perlu jarak tempuh sekitar satu jam dari resort yang sekarang sedang dikelolanya]."Lah, Nak Juna mau balik ke Jakarta ini? tanya ibu."Eh, mungkin besok, Bu. Untuk sekarang saya akan pulang ke hotel terlebih dahulu, hehe," jawabnya dengan tawa renyah di akhir kalimatnya. Setelah itu, Arjuna mengatakan kepada ibu jika ia akan segera mencari rumah di daerah sini untuk mengurus project pembangunan resort dan restorannya.Setelah mobil Arjuna terlihat berlalu dari halaman rumah, laksana Gundala si manusia petir Reni langsung melesat cepat berlari dari rumahnya. Dengan sangat cekatan ia melompati tembok pembatas rumahnya yang biasa untuk kamu duduk bersama itu hanya dengan sekali lompatan saja. Tanpa toleh kiri kana
"Bagaimana ya Bu ...""Umur Nara juga sudah tua ini, mau melanjutkan kuliah juga udah nanggung, Bu. Mendingan Nara cari kerja aja," jawabku."Lah, belum genap dua puluh tiga kok yo sudah bilang tua to, Nduk. Belum tua itu. Nggak ada istilah terlambat untuk belajar. Banyak juga yang sudah berusia tiga puluh atau empat puluh tahun yang masih berkuliah. Selalu ada kesempatan jika kamu mau mengejar cita-cita," papar ibuku yang super super sabar ini. Aku kembali bungkam dan tak berani lagi berkata-kata.Sebenarnya di dlm hatiku ini, aku juga masih ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Sedari aku kecil, aku selalu berkeinginan untuk menjadi seorang dokter. Bagiku, di usia yang masih begitu kecil profesi seorang dokter adalah profesi yang keren dan ku anggap bisa menghasilkan banyak uang. Karena sekali suntik pasien saja pasti kantong langsung berbunyi klunting.Namun semua itu hanya menjadi angan semata. Karena memang keterbatasan ekonomi, aku harus memupus semua angan ku untuk bi
94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd
Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees
Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng
Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur
90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad
Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya
Usai acara makan bersama, Bu Laras meminta kepada Anggun dan juga Juwita untuk mengantarkan tamunya beristirahat."Kamar untuk Mbak Reni dan Bu Imah yang ada di sini, ya," ucap Juwita ramah sembari membukakan pintu ruang kamar tamu yang memang telah disiapkan dari jauh hari untuk mereka. Nuansa kamar dengan dominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu itu pun segera tampak di ruangan yang cukup luas tersebut.Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang berukuran besar yang cukup untuk mereka berdua. Ada sebuah pendingin ruangan di sana, almari pakaian, serta TV layar datar yang berukuran besar sebagai hiburan agar kamu mereka tidak merasa bosan di dalam kamar. Di dalam ruang kamar itu juga sudah dilengkapi dengan kamar mandi, agar mereka tidak perlu keluar masuk kamar hanya untuk menyelesaikan urusan pribadi."Masya Allah bagus sekali kamarnya, Dek Juita. Kamar hotel aja dengan kalah lho sama kamar yang ada di sini." Reni terkagum-kagum memandang ke sekeliling penjuru kamar yang akan d
"Selamat datang di keluarga kami, Nak. Kami harus menunggu waktu yang sangat lama hanya untuk melihat Juna pulang dengan membawa bidadarinya untuk diperkenalkan kepada kami," ucap Bu Hasan dengan kedua mata yang dipenuhi binar-binar bahagia.Bu Hasan merasa sangat bahagia untuk saat ini, karena anak sulungnya yang begitu ia banggakan sudah resmi memiliki istri. Bu Laras, nama aslinya. Tapi orang-orang lebih sering memanggilnya dengan nama Bu Hasan.Terlihat Kinara pun mengulum senyumnya. Ketegangan yang dirasakan begitu menyiksa dirinya di sepanjang perjalanan, perlahan-lahan mulai terkikis dan tergerus oleh sikap hangat dari wanita berusia sekitar lima puluh tahun dan itu. Namun di usianya yang bahkan sudah lebih dari separuh abad, sama sekali tidak membuat kecantikan alaminya memudar."Masya Allah, Nak. Kamu sungguh cantik sekali. Dan lebih cantik daripada foto-foto yang Juna kirimkan kepada kami." Pak Hasan pun maju ke depan dan ikut menimpali perkataan istrinya. Demikian pula deng
Kinara sengaja tidak ingin memperlihatkan air matanya yang luruh di hadapan Arjuna. Ia tidak ingin jika suaminya tersebut nanti menilainya terlalu konyol karena hendak pergi ke sebuah tempat yang bernama Ibukota tersebut.Sebenarnya ini bukan hanya tentang perjalan yang akan dilewatinya saat ini, bukan pula tentang Ibukota negara yang akan mereka datangi. Namun, perasaan itu datang karena ia baru pertama kali ini meninggalkan kampung halamannya.Ini semua adalah tentang kampung halaman dan semua kenangannya. Tentang desa yang berada di sebuah lereng bukit yang menjadi tempat Kinara dilahirkan dan juga dibesarkan. Tempat di mana dirinya mendapatkan semua kasih sayang dari kedua orang tuanya.Di perjalanan yang ia tempuh pada saat ini, Kinara membayangkan wajah sang ibu yang pada saat ini menari-nari di pelupuk matanya. Dan juga melihat sang ayah dari luar jendela sedang mengukir senyum melihat ke arahnya. Kedua wajah dari orang yang berarti baginya itu kini memenuhi relung hatinya. Waj