Bayu menghela nafas berat. Bagaimana dia harus menjelaskan tentang apa yang dikatakannya tadi. Sungguh, dia tidak bisa menahan diri. Sangat tidak bisa. Dia sudah geram dengan apa yang dilakukan Leo pada Moza. Dengan tenangnya, Leo memadu Moza. Leo tidak memikirkan bagaimana perasaan Moza.
"Maaf Nona. Saya tidak mengajari anda hal yang buruk. Saya hanya ingin anda mengenal diri anda sendiri. Anda itu memiliki sebongkah daging yang bernama hati. Jika hati itu merasa disakiti, maka anda tidak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidup anda. Begitu pun jika hati merasa senang. Maka hidup anda akan bahagia." Moza terdiam. Kata-kata yang diucapkan Bayu begitu mengena di hatinya. Dia membenarkan ucapan Bayu, tapi juga tidak bisa menelannya bulat-bulat. Hidup ini ada aturan dan tidak bisa selamanya mengikuti kata hati. Ada saat dimana perasaan kita adalah salah, lalu perceraian adalah salah satu halal yang dibenci oleh Allah. "Terima kasih untuk masukanmu, mas. Akan tetapi aku tidak ingin bercerai jika bisa. Aku hanya ingin menikah satu kali seumur hidupku." Bayu mengencangkan rahangnya. Balasan Moza membuatnya kehilangan kata-kata untuk beragumen. Hati Moza terlalu putih sehingga menganggap luka yang dirasakannya sebagai sesuatu yang harus disingkirkan. Padahal menurut Bayu yang harus disingkirkan adalah Leo dan Astrid. Bayu pun kemudian memilih untuk bungkam. Dia tidak mau melanjutkan argumennya yang sangat menyalahkan Leo. Dia takut Moza kian terluka. Begitupun dengan Moza. Diam Bayu juga membuatnya diam. Dia lalu kembali mengarahkan pandang ke luar jendela. Titik-titik bening berjatuhan dari atas. Rupanya hujan turun. Awalnya hanya berupa gerimis. Akan tetapi makin lama makin deras. Hujan itu tak mereda lagi ketika mobil yang dikemudikan Bayu memasukki halaman rumah yang tidak begitu besar namun terkesan mewah. Dengan setengah berlari, Bayu keluar dari pintu depan mobil dan membukakan pintu belakang untuk Moza. Tergesa Moza keluar dari mobil dan kemudian berlari ke teras. Dia tidak langsung masuk karena memandangi Bayu yang sedang menutup pintu pagar di bawah guyuran air hujan. Jas klimis yang melekat di tubuh pria itu otomatis menjadi basah. Setelah pintu pagar tertutup rapat, Bayu berlari ke teras. Matanya melebar begitu melihat Moza masih berdiri di sana agak kesulitan membuka pintu. Akhir-akhir ini, pintu memang bermasalah dan sepertinya minta diganti. "Bisa tidak Non? Sini biar saya saja yang mencoba," tawar Bayu pada Moza. Tak perlu dua kali menawarkan diri, Moza pun langsung menyingkir. Dia memberi kesempatan pada Bayu untuk mencoba membuka pintu. Tapi ternyata dengan Bayu, kunci pintu yang seret itu langsung terbuka. "Silahkan masuk, Non." Mata indah Moza melebar. "Wah, ternyata mas bisa membukanya dengan mudah." Ada binar yang menakjubkan di mata Moza, membuat Bayu tertegun. 'Andai saja dia bukan istri orang, sudah aku lahap kamu Moza,' gumam Bayu dalam hati. 'Kamu itu sungguh menawan. Sangat beruntung pria yang bisa memiliki kamu.' "Ya sudah. Kalau begitu kamu ganti baju dulu. Lihat bajumu basah kuyup. Aku akan pinjamkan milik Mas Leo ya, mas?" Bayu terhenyak dari lamunan. Dia mengedip beberapa kali. "E...apa saya tidak disuruh masuk dulu, Non?" Moza terhenyak. Leo memang menyuruh Bayu untuk menemaninya malam ini untuk menjaganya dari mara bahaya. Tapi haruskah dia berada di dalam rumah berdua dengan orang yang bukan mahramnya? Memang ada seorang pembantu di rumah ini tapi tidak menginap melainkan pulang jika sore hari tiba. Moza menggigit bibir bawahnya. "Hm...masuk ya...gimana ya..." Bayu menatap Moza yang saat ini sedang tampak kebingungan. Wajah bimbang wanita itu membuatnya gemas. Rasanya, dia ingin langsung membopong Moza dan membawanya ke atas tempat tidur. Moza secara tidak langsung telah membangkitkan jiwa kelelakiannya. Bukan tanpa alasan, selama ini begitu banyak wanita yang akan dengan sukarela naik ke atas tempat tidurnya jika dia menghendaki. Tapi seorang Moza, bahkan begitu takut hanya berada di rumah berdua dengannya. Benar-benar mengagumkan. "Nona, anda harus ingat kalau Tuan Leo sudah menitipkan anda pada saya. Jadi saya tidak akan pulang malam ini dan akan tidur di rumah ini untuk menjaga anda." Moza menghela nafas keras. Dia mencoba membuang kebimbangan yang saat ini menyerangnya. Meskipun harusnya memang tidak boleh tapi dia tidak mungkin mengabaikan amanat suaminya. Lagian keadaannya darurat. Bahaya bisa terjadi kapan saja jika dia berada di rumah sendirian. "Ah, baiklah. Tapi mas tidak boleh menginjakkan kaki di lantai dua dimana kamarku berada." Bayu mengangguk. "Baik, Nona. Saya mengerti. Jika anda merasa takut saya lancang, nona bisa mengunci pintu kamar dengan baik." "Ya, itu pasti akan aku lakukan. Ayo kita masuk." Moza melangkah masuk terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh Bayu di belakang. Moza langsung menyalakan lampu sehingga suasana langsung benderang dan setelah itu mengambil pakaian lengkap Leo yang kemudian diberikannya pada Bayu. "Mas gantilah dengan baju ini. Aku akan segera naik ke atas. Kalau mas lapar atau haus, mas bisa cari makanan di dapur." Bayu menerima baju itu. "Iya, nona. Terima kasih." Moza berbalik dan melangkah menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua. Tapi baru beberapa anak tangga terlewati, Moza berbalik badan kembali. "Mas!" Bayu menoleh ke arah Moza. "Ya nona." "Maaf, aku hanya mau menyampaikan ulang. Mas jangan naik ke lantai dua ya." Bayu mengangguk cepat. "Ya, nona. Saya mengerti. Saya berjanji tidak akan menapakkan kaki di lantai dua." Moza tersenyum tipis. Dia yakin Bayu akan menepati janjinya karena itu dia merasa lega. "Ya sudah. Mas bisa beristirahat. Selamat malam." "Malam, nona." Moza melangkahkan kakinya lagi menuju lantai dua dengan langkah santai. Dia tidak sadar kalau Bayu terus memperhatikannya dengan tatapan penuh hasrat. Meskipun begitu, Bayu tidak berniat untuk kurang ajar pada Moza. Dia sangat menghormati wanita itu. *** Ceklek. Moza keluar dari dalam kamar mandi. Tubuh dan wajahnya sudah bersih karena baru saja dibersihkan. Kulit tubuhnya yang kuning langsat dibalut piyama panjang. Sebuah handuk kecil melingkar di kepalanya karena Moza baru saja keramas. Dia merasa kepalanya butuh didinginkan agar bisa menghilangkan emosi yang membalur jiwanya. Tidak langsung ke meja rias untuk meneringkan rambut, Moza justru mengambil duduk di sofa di tepi jendela kaca kamarnya. Di luar hujan masih turun. Malah semakin malam semakin deras. Membuat Moza memeluk dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa dingin yang menguasai tubuhnya. Biasanya bila dingin seperti ini, dia akan meminta Leo untuk memeluknya. Tapi sekarang tidak bisa karena Leo sedang memeluk wanita lain di hotel. Hati Moza terasa sesak mengingat itu. Dia sendirian dan kedinginan di sini sementara Leo sedang menikmati syurga dunia bersama Astrid. Sebulir bening kembali mengalir dari kedua matanya. Moza kembali gagal untuk ikhlas menerima kenyataan yang ada. "Allah, sekeras inikah hatiku? Mengapa sangat sulit untukku bisa ikhlas? Hatiku kembali merasa sakit, sakit menerima kenyataan kalau Mas Leo sudah membagi cinta dan tubuhnya. Sekarang adalah malam pertama mereka. Pasti Mas Leo sedang mengecupi Astrid dan menikmati tubuh wanita itu. Aku...aku merasa ingin berteriak dan marah. Aku ingin sekali dunia tau kalau aku tidak bisa diduakan. Allah, berikan aku kekuatan dan kesabaran sehingga bisa segera menerima pernikahan kedua Mas Leo." Tubuh Moza kembali berguncang oleh tangis yang tidak bisa dia bendung. Bersambung...Sementara itu di Red's Hotel, Leo membaringkan Astrid yang berada dalam gendongannya ke atas tempat tidur sebelum akhirnya tubuhnya sendiri berada di atas tubuh wanita itu dengan tangan sebagai penyangga. Leo menatap wajah cantik Astrid dengan penuh seksama. Tapi entah mengapa dia justru melihat wajah Moza. Leo mengedipkan matanya berkali-kali untuk menghilangkan bayangan Moza itu. 'Kenapa ini? Kenapa aku melihat wajah Moza?' batinnya tidak terima. Astrid yang melihat itu, menyipitkan matanya tajam. "Kenapa sayang? Apa ada yang salah dengan wajahku?" Leo menggeleng. "Tidak. Tidak ada yang salah dengan wajahmu. Akan tetapi aneh sekali. Aku melihat wajah Moza di wajah kamu." Astrid menipiskan bibir. Apa yang diucapkan Leo barusan jelas melukainya. Bagaimana bisa saat sedang bersamanya seperti ini, Leo malah melihat wajah Moza. Jangan-jangan Leo sudah mencintai Moza melebihi cinta Leo kepadanya. "Mungkin itu karena kamu belum terbiasa denganku, Leo. Bukankah selama bertahun-tahun k
Moza terhenyak ketika tiba-tiba dia sudah berada dalam pelukan seseorang. Dari otot-otot tangan yang terpegang, Moza tahu yang menangkapnya adalah seorang laki-laki. Tapi siapa?Moza mendorong tubuh depan pria itu dengan panik. Tapi pria itu memeluknya cukup erat dan tenaganya sebagai seorang wanita tidak bisa mendorongnya. "Siapa kamu?! Lepaskan aku!" teriak Moza sembari terus mendorong tubuh pria itu, mencoba keluar dari dekapan kuat itu. Sementara Bayu, tampak tenang saja sembari terus memeluk Moza. Dia merasakan pergerakan tubuh Moza membuat hasratnya kian terpancing akibat pergesekan tubuhnya dan tubuh wanita yang kini dalam dekapannya. Dia ingin melakukan yang lebih dari ini, tapi...Dengan berat hati, Bayu lalu melepaskan tubuh Moza. Pikirannya masih waras saat ini untuk tidak berbuat nekad tanpa ada rencana di awal. Bayu sering menjebak orang hingga tak berkutik. Dan orang-orang yang berada dalam genggamannya selalu tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi saat ini, dia belum memili
Leo terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Sebenarnya dia belum tidur dengan kenyang karena semalam mereka bertempur hingga jam tiga pagi. Baik Leo maupun Astrid sama-sama memiliki gelora hasrat yang luar biasa sehingga mereka terus merasa tidak terpuaskan. Mereka baru puas setelah melakukan sebanyak beberapa ronde. Tapi sinar matahari pagi masuk menyusup melalui celah-celah tirai jendela dan membuat silau mata Leo sehingga silau Itulah yang membangunkan Leo. Ah, bahkan kepalanya terasa pusing. Dia masih ingin memejamkan matanya. Leo menoleh ke sebelah kiri. Astrid masih tertidur nyenyak di pangkuannya. Semalam istri keduanya ini sangat ganas. Malah lebih ganas dari dirinya. Astrid tidak cukup dua kali, dia meminta untuk yang ketiga kali atau bahkan yang keempat kali. Leo sebenarnya sudah hampir menyerah di yang ketiga tapi Astrid terus merangsangnya sehingga lagi-lagi kepunyaannya berdiri. Bagi seorang laki-laki, tentu senang jika terus diberi. Lagian, dia tidak terlalu capek karena
"Ananda Leonardo Wijaya bin Malik Wijaya saya nikahkan engkau dengan putri saya Astrid Kumala Sari bin Ismail Perdana dengan seperangkat perhiasan lengkap dibayar tunai!" "Saya terima nikahnya dan kawinnya Astrid Kumala Sari binti Ismail Perdana dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!" "Bagaimana saksi? Sah?" "Sah." "Sah." Lafadz hamdalah berkumandang ke seluruh ruang pesta yang kemudian di susul dengan doa barokah untuk kedua mempelai yang dipimpin oleh sang penghulu. Semua wajah yang ada di ruangan itu terlihat bahagia dan berseri-seri. Kecuali satu orang wanita berhijab yang duduk di belakang mempelai pria bersebelahan dengan Susan, ibu dari mempelai pria. Pasalnya, wanita itu adalah istri dari Leo sang mempelai pengantin pria. Moza, itulah namanya. Sungguh sakit hatinya menyaksikan pernikahan suaminya sendiri. Hatinya seperti tercabik-cabik hingga tak berbentuk lagi. Dia juga seperti ingin menjerit menguarkan rasa sakitnya. Tapi semua dia tahan sehingga yang keluar dari sep
Astrid mengurai pelukannya. Dia tersenyum manis pada Moza meski dalam hati merasa penuh kemenangan.'Malam ini kamu akan menangis, Moza. Karena Leo akan tidur denganku dan akan kubuat dia selalu tidur denganku. Dulu aku yang terluka dan sekarang kau yang akan terluka,' ucap hati Astrid.Moza pun membalas senyum Astrid dengan perasaan berkecamuk. Tapi dia ingin terlihat menerima kehadiran madunya itu dalam kehidupan pernikahannya.Setelah sungkem-sungkeman, acara langsung dilanjutkan dengan acara resepsi. Tamu undangan tidak begitu banyak, tapi juga tidak begitu sedikit. Sedang-sedang saja. Susan dan Malik hanya mengundang orang-orang yang sangat dikenalnya saja mengingat ini bukanlah pernikahan pertama Leo.Acara resepsi digelar sampai malam tiba dengan segala riuh rentaknya dan gelak tawa tamu undangan, memojokkan Moza yang duduk di meja VIP di ballroom Red Hotel itu sembari memandang sedih ke pelaminan. Dia berusaha untuk ikhlas dan menerima Moza sebagai madunya. Tapi kenapa hatinya
Acara resepsi pernikahan Leo dan Astrid pun selesai. Para tamu undangan sudah meninggalkan ruangan pesta sejak beberapa menit yang lalu. Kini yang masih tinggal dalam ruangan itu adalah keluarga dekat Leo dan Astrid, tentunya juga dengan kedua mempelai.Sementara itu, Moza tampak bingung di kursi VIPnya. Bayu masih berada di sampingnya tanpa mau beranjak meninggalkan meja VIP sejak mendekati. Selama ini, Moza selalu tidur satu kamar dan satu tidur dengan Leo. Jadi dia merasa aneh jika harus pulang sendiri meninggalkan Leo di hotel ini bersama Astrid.Seperti membaca kebingungan Moza, Leo mendekati istri pertamanya itu dengan diikuti Astrid di samping. Astrid terus saja memeluk tangan Leo seolah tidak ingin melepaskannya. Itu sengaja dilakukannya terutama di depan Moza agar istri pertama Leo itu menjadi cemburu."Moza..." sapa Leo setelah berada di dekat Moza.Moza menoleh. "Ya mas.""Kamu pulang saja, ya.""Tapi bagaimana dengan mas?""Tentu saja aku tidak pulang. Malam ini 'kan malam