Bayu menghela nafas berat. Bagaimana dia harus menjelaskan tentang apa yang dikatakannya tadi. Sungguh, dia tidak bisa menahan diri. Sangat tidak bisa. Dia sudah geram dengan apa yang dilakukan Leo pada Moza. Dengan tenangnya, Leo memadu Moza. Leo tidak memikirkan bagaimana perasaan Moza.
"Maaf Nona. Saya tidak mengajari anda hal yang buruk. Saya hanya ingin anda mengenal diri anda sendiri. Anda itu memiliki sebongkah daging yang bernama hati. Jika hati itu merasa disakiti, maka anda tidak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidup anda. Begitu pun jika hati merasa senang. Maka hidup anda akan bahagia." Moza terdiam. Kata-kata yang diucapkan Bayu begitu mengena di hatinya. Dia membenarkan ucapan Bayu, tapi juga tidak bisa menelannya bulat-bulat. Hidup ini ada aturan dan tidak bisa selamanya mengikuti kata hati. Ada saat dimana perasaan kita adalah salah, lalu perceraian adalah salah satu halal yang dibenci oleh Allah. "Terima kasih untuk masukanmu, mas. Akan tetapi aku tidak ingin bercerai jika bisa. Aku hanya ingin menikah satu kali seumur hidupku." Bayu mengencangkan rahangnya. Balasan Moza membuatnya kehilangan kata-kata untuk beragumen. Hati Moza terlalu putih sehingga menganggap luka yang dirasakannya sebagai sesuatu yang harus disingkirkan. Padahal menurut Bayu yang harus disingkirkan adalah Leo dan Astrid. Bayu pun kemudian memilih untuk bungkam. Dia tidak mau melanjutkan argumennya yang sangat menyalahkan Leo. Dia takut Moza kian terluka. Begitupun dengan Moza. Diam Bayu juga membuatnya diam. Dia lalu kembali mengarahkan pandang ke luar jendela. Titik-titik bening berjatuhan dari atas. Rupanya hujan turun. Awalnya hanya berupa gerimis. Akan tetapi makin lama makin deras. Hujan itu tak mereda lagi ketika mobil yang dikemudikan Bayu memasukki halaman rumah yang tidak begitu besar namun terkesan mewah. Dengan setengah berlari, Bayu keluar dari pintu depan mobil dan membukakan pintu belakang untuk Moza. Tergesa Moza keluar dari mobil dan kemudian berlari ke teras. Dia tidak langsung masuk karena memandangi Bayu yang sedang menutup pintu pagar di bawah guyuran air hujan. Jas klimis yang melekat di tubuh pria itu otomatis menjadi basah. Setelah pintu pagar tertutup rapat, Bayu berlari ke teras. Matanya melebar begitu melihat Moza masih berdiri di sana agak kesulitan membuka pintu. Akhir-akhir ini, pintu memang bermasalah dan sepertinya minta diganti. "Bisa tidak Non? Sini biar saya saja yang mencoba," tawar Bayu pada Moza. Tak perlu dua kali menawarkan diri, Moza pun langsung menyingkir. Dia memberi kesempatan pada Bayu untuk mencoba membuka pintu. Tapi ternyata dengan Bayu, kunci pintu yang seret itu langsung terbuka. "Silahkan masuk, Non." Mata indah Moza melebar. "Wah, ternyata mas bisa membukanya dengan mudah." Ada binar yang menakjubkan di mata Moza, membuat Bayu tertegun. 'Andai saja dia bukan istri orang, sudah aku lahap kamu Moza,' gumam Bayu dalam hati. 'Kamu itu sungguh menawan. Sangat beruntung pria yang bisa memiliki kamu.' "Ya sudah. Kalau begitu kamu ganti baju dulu. Lihat bajumu basah kuyup. Aku akan pinjamkan milik Mas Leo ya, mas?" Bayu terhenyak dari lamunan. Dia mengedip beberapa kali. "E...apa saya tidak disuruh masuk dulu, Non?" Moza terhenyak. Leo memang menyuruh Bayu untuk menemaninya malam ini untuk menjaganya dari mara bahaya. Tapi haruskah dia berada di dalam rumah berdua dengan orang yang bukan mahramnya? Memang ada seorang pembantu di rumah ini tapi tidak menginap melainkan pulang jika sore hari tiba. Moza menggigit bibir bawahnya. "Hm...masuk ya...gimana ya..." Bayu menatap Moza yang saat ini sedang tampak kebingungan. Wajah bimbang wanita itu membuatnya gemas. Rasanya, dia ingin langsung membopong Moza dan membawanya ke atas tempat tidur. Moza secara tidak langsung telah membangkitkan jiwa kelelakiannya. Bukan tanpa alasan, selama ini begitu banyak wanita yang akan dengan sukarela naik ke atas tempat tidurnya jika dia menghendaki. Tapi seorang Moza, bahkan begitu takut hanya berada di rumah berdua dengannya. Benar-benar mengagumkan. "Nona, anda harus ingat kalau Tuan Leo sudah menitipkan anda pada saya. Jadi saya tidak akan pulang malam ini dan akan tidur di rumah ini untuk menjaga anda." Moza menghela nafas keras. Dia mencoba membuang kebimbangan yang saat ini menyerangnya. Meskipun harusnya memang tidak boleh tapi dia tidak mungkin mengabaikan amanat suaminya. Lagian keadaannya darurat. Bahaya bisa terjadi kapan saja jika dia berada di rumah sendirian. "Ah, baiklah. Tapi mas tidak boleh menginjakkan kaki di lantai dua dimana kamarku berada." Bayu mengangguk. "Baik, Nona. Saya mengerti. Jika anda merasa takut saya lancang, nona bisa mengunci pintu kamar dengan baik." "Ya, itu pasti akan aku lakukan. Ayo kita masuk." Moza melangkah masuk terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh Bayu di belakang. Moza langsung menyalakan lampu sehingga suasana langsung benderang dan setelah itu mengambil pakaian lengkap Leo yang kemudian diberikannya pada Bayu. "Mas gantilah dengan baju ini. Aku akan segera naik ke atas. Kalau mas lapar atau haus, mas bisa cari makanan di dapur." Bayu menerima baju itu. "Iya, nona. Terima kasih." Moza berbalik dan melangkah menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua. Tapi baru beberapa anak tangga terlewati, Moza berbalik badan kembali. "Mas!" Bayu menoleh ke arah Moza. "Ya nona." "Maaf, aku hanya mau menyampaikan ulang. Mas jangan naik ke lantai dua ya." Bayu mengangguk cepat. "Ya, nona. Saya mengerti. Saya berjanji tidak akan menapakkan kaki di lantai dua." Moza tersenyum tipis. Dia yakin Bayu akan menepati janjinya karena itu dia merasa lega. "Ya sudah. Mas bisa beristirahat. Selamat malam." "Malam, nona." Moza melangkahkan kakinya lagi menuju lantai dua dengan langkah santai. Dia tidak sadar kalau Bayu terus memperhatikannya dengan tatapan penuh hasrat. Meskipun begitu, Bayu tidak berniat untuk kurang ajar pada Moza. Dia sangat menghormati wanita itu. *** Ceklek. Moza keluar dari dalam kamar mandi. Tubuh dan wajahnya sudah bersih karena baru saja dibersihkan. Kulit tubuhnya yang kuning langsat dibalut piyama panjang. Sebuah handuk kecil melingkar di kepalanya karena Moza baru saja keramas. Dia merasa kepalanya butuh didinginkan agar bisa menghilangkan emosi yang membalur jiwanya. Tidak langsung ke meja rias untuk meneringkan rambut, Moza justru mengambil duduk di sofa di tepi jendela kaca kamarnya. Di luar hujan masih turun. Malah semakin malam semakin deras. Membuat Moza memeluk dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa dingin yang menguasai tubuhnya. Biasanya bila dingin seperti ini, dia akan meminta Leo untuk memeluknya. Tapi sekarang tidak bisa karena Leo sedang memeluk wanita lain di hotel. Hati Moza terasa sesak mengingat itu. Dia sendirian dan kedinginan di sini sementara Leo sedang menikmati syurga dunia bersama Astrid. Sebulir bening kembali mengalir dari kedua matanya. Moza kembali gagal untuk ikhlas menerima kenyataan yang ada. "Allah, sekeras inikah hatiku? Mengapa sangat sulit untukku bisa ikhlas? Hatiku kembali merasa sakit, sakit menerima kenyataan kalau Mas Leo sudah membagi cinta dan tubuhnya. Sekarang adalah malam pertama mereka. Pasti Mas Leo sedang mengecupi Astrid dan menikmati tubuh wanita itu. Aku...aku merasa ingin berteriak dan marah. Aku ingin sekali dunia tau kalau aku tidak bisa diduakan. Allah, berikan aku kekuatan dan kesabaran sehingga bisa segera menerima pernikahan kedua Mas Leo." Tubuh Moza kembali berguncang oleh tangis yang tidak bisa dia bendung. Bersambung...Sementara itu di Red's Hotel, Leo membaringkan Astrid yang berada dalam gendongannya ke atas tempat tidur sebelum akhirnya tubuhnya sendiri berada di atas tubuh wanita itu dengan tangan sebagai penyangga. Leo menatap wajah cantik Astrid dengan penuh seksama. Tapi entah mengapa dia justru melihat wajah Moza. Leo mengedipkan matanya berkali-kali untuk menghilangkan bayangan Moza itu. 'Kenapa ini? Kenapa aku melihat wajah Moza?' batinnya tidak terima. Astrid yang melihat itu, menyipitkan matanya tajam. "Kenapa sayang? Apa ada yang salah dengan wajahku?" Leo menggeleng. "Tidak. Tidak ada yang salah dengan wajahmu. Akan tetapi aneh sekali. Aku melihat wajah Moza di wajah kamu." Astrid menipiskan bibir. Apa yang diucapkan Leo barusan jelas melukainya. Bagaimana bisa saat sedang bersamanya seperti ini, Leo malah melihat wajah Moza. Jangan-jangan Leo sudah mencintai Moza melebihi cinta Leo kepadanya. "Mungkin itu karena kamu belum terbiasa denganku, Leo. Bukankah selama bertahun-tahun k
Moza terhenyak ketika tiba-tiba dia sudah berada dalam pelukan seseorang. Dari otot-otot tangan yang terpegang, Moza tahu yang menangkapnya adalah seorang laki-laki. Tapi siapa?Moza mendorong tubuh depan pria itu dengan panik. Tapi pria itu memeluknya cukup erat dan tenaganya sebagai seorang wanita tidak bisa mendorongnya. "Siapa kamu?! Lepaskan aku!" teriak Moza sembari terus mendorong tubuh pria itu, mencoba keluar dari dekapan kuat itu. Sementara Bayu, tampak tenang saja sembari terus memeluk Moza. Dia merasakan pergerakan tubuh Moza membuat hasratnya kian terpancing akibat pergesekan tubuhnya dan tubuh wanita yang kini dalam dekapannya. Dia ingin melakukan yang lebih dari ini, tapi...Dengan berat hati, Bayu lalu melepaskan tubuh Moza. Pikirannya masih waras saat ini untuk tidak berbuat nekad tanpa ada rencana di awal. Bayu sering menjebak orang hingga tak berkutik. Dan orang-orang yang berada dalam genggamannya selalu tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi saat ini, dia belum memili
Leo terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Sebenarnya dia belum tidur dengan kenyang karena semalam mereka bertempur hingga jam tiga pagi. Baik Leo maupun Astrid sama-sama memiliki gelora hasrat yang luar biasa sehingga mereka terus merasa tidak terpuaskan. Mereka baru puas setelah melakukan sebanyak beberapa ronde. Tapi sinar matahari pagi masuk menyusup melalui celah-celah tirai jendela dan membuat silau mata Leo sehingga silau Itulah yang membangunkan Leo. Ah, bahkan kepalanya terasa pusing. Dia masih ingin memejamkan matanya. Leo menoleh ke sebelah kiri. Astrid masih tertidur nyenyak di pangkuannya. Semalam istri keduanya ini sangat ganas. Malah lebih ganas dari dirinya. Astrid tidak cukup dua kali, dia meminta untuk yang ketiga kali atau bahkan yang keempat kali. Leo sebenarnya sudah hampir menyerah di yang ketiga tapi Astrid terus merangsangnya sehingga lagi-lagi kepunyaannya berdiri. Bagi seorang laki-laki, tentu senang jika terus diberi. Lagian, dia tidak terlalu capek karena
Robi menunduk hormat pada Bayu. "Maaf Tuan Arthur jika saya mengganggu."Melihat Robi menunduk, Bayu langsung melayangkan pandang ke sekitar. Dia takut ada yang melihatnya. Lalu pandangannya kembali pada Robi dengan tatapan kesal. "Apa-apaan kamu hormat begitu?" ucap Bayu setengah berbisik. Menurutnya, dinding pagar juga bisa mendengar. "Aku sudah bilang bukan, jangan hormat padaku di sembarang tempat!""Iya tuan, saya mengerti. Tapi setiap bertemu tuan, tetap saja saya tidak enak jika tidak bersikap hormat karena...""Sudah jangan diteruskan! Kamu mau melaporkan apa?" sela Bayu tidak sabar."Ini tuan, mengenai Pak Leo yang melakukan kecurangan di perusahaan. Saya sudah mendapatkan bukti-buktinya. Hanya kurang beberapa lagi. Kapan anda akan ke perusahaan dan memeriksa bukti-bukti itu?"Bayu terdiam. Sudah lima hari dia tidak berangkat ke perusahaan karena membantu Leo mengurus pernikahannya dengan Astrid. Sebagai orang yang menyamar menjadi supir dan assisten Leo, maka dia tidak akan
Mengetahui Leo akan pulang, Moza langsung menyiapkan makan siang buat suaminya itu. Sup yang tadi pagi dia masak dan sudah dingin, dia hangatkan lagi. Kalau Leo meminta Bayu untuk menjemputnya, itu artinya suaminya pulang sendirian. Karena kalau pulang bersama Astrid, Leo tidak akan meminta Bayu menjemput. Astrid mempunyai mobil sendiri sehingga tidak memerlukan mobil yang lain. Tapi mobil yang dimiliki wanita itu bukan mobil yang didapat dari jerih payah sendiri, melainkan mobil peninggalan orang tua yang sekarang sudah meninggal.Makan siang sudah siap di atas meja makan ketika Moza mendengar suara deru mobil memasuki halaman rumah. Moza langsung melangkah keluar menuju teras. Tepat pada saat itu, Leo keluar dari mobil. Seperti dugaannya, Leo sendirian. Dia tidak bersama Astrid. Moza pun melangkah mendekati Leo dengan senyum yang mengembang. Dengan penuh hormat, dia meraih tangan Leo dan mengecupnya.Melihat senyum itu, Leo pun merasa lega. Ternyata benar apa kata Bayu bahwa Moza ba
Leo menatap benda pipih yang disodorkan Astrid kepadanya. Sebenarnya dia tadi mendengar nama Astrid disebutkan tapi pura-pura tidak mendengar dan masih bertanya pada Moza siapa yang menelpon. "Kenapa mas bengong? Astrid yang telpon mas." Moza menegaskan jawabannya. Leo melihat ketidakberesan di wajah Moza. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Astrid kepada istri pertamanya itu?"Oh, iya." Leo mengambil ponsel dari tangan Moza dan kemudian menatap Moza lekat. "Apa boleh mas bawa ponselnya keluar?"Moza balas menatap Leo. Wanita itu merasa aneh dengan pertanyaan Leo. Membawa ponsel keluar? Adakah ada rahasia yang tidak boleh dia dengar? Bukankah Astrid sudah menjadi istri Leo sehingga hubungan mereka tidak perlu di sembunyikan?Tapi Moza tidak ingin berdebat. Dia masih syok dengan ucapan kasar Astrid tadi. "Ya, bawalah."Leo memegang bahu Moza. "Terima kasih ya." Tanpa menunggu balasan dari Moza lagi, Leo membawa ponsel Moza keluar. Di sana dia bicara setengah berbisik."Halo Astrid! Ken
Arthur adalah pria berusia 32 tahun. Kelebihannya selain mempunyai wajah yang tampan dan tubuh yang athetis, dia juga kaya raya. Namun dengan kelebihannya sekarang ini, sangat disayangkan dia masih sendiri.Beberapa kali Arthur menjalin kasih dengan seorang wanita. Tapi tak ada yang membuatnya ingin membawa kekasihnya itu ke pelaminan. Pasalnya, para kekasihnya terlalu gampangan. Sekali ditawarkan naik ke atas tempat tidur, mereka langsung mau. Sama sekali tidak menjaga harga dirinya sebagai seorang wanita.Selain itu, mereka juga matrelialistis. Matanya langsung ijo melihat barang-barang mewah seperti berlian, mobil, tas, pakaian, dan lainnya.Hal yang berbeda terlihat dari seorang Moza. Wanita itu sangat menjaga diri dari sentuhan pria lain selain suaminya. Wanita itu juga tampak sederhana dengan pakaian sopan yang dikenakannya. Tak ada berlian di tubuhnya. Wanita itu juga hanya punya satu dua tas bagus. Itu pun yang harganya standar. Arthur tahu betul bagaimana Moza menolak setiap
Moza Bella adalah wanita cantik yang kini berusia 25 tahun. Ketika menikah dengan Leo, dia masih berusia 20 tahun. Sebelum menikah, banyak pria yang berusaha mendekatinya. Tapi Moza tertarik dengan pria yang bernama Arif. Arif adalah kakak tingkat ketika dia masih kuliah.Arif sendiri juga merasakan hal yang sama pada Moza. Keduanya terlibat dalam sebuah organisasi keislaman. Mereka sering mengobrol dan saling tahu menyukai satu sama lain. Akan tetapi, tak ada yang mengungkapkan isi hati di antara keduanya. Cinta memang begitu. Meski tidak dilafadzkan dengan kata-kata, pandangan mata saja sudah mencerita semua isi hati.Tepat seminggu setelah Moza bertunangan dengan Leo, Arif datang pada Moza. Dia mengatakan bahwa dirinya ingin melamar Moza. Pada saat itu, Moza seperti menyesalkan takdirnya. Dia sangat menyukai Arif, tapi sayang dia sudah dijodohkan dengan Leo. Dia berandai-andai jika tidak ada perjodohan di antara dirinya dan Leo, pasti dia akan dengan senang hati menerima lamaran Ar
"Maksud kamu apa sih?" tanya Haris dengan tatapan penuh selidik. Arthur tersenyum geli. Dia merasa lucu dengan drama ini. Dia lalu mencondongkan wajahnya pada Haris. "Paman mau tau apa yang sebenarnya sudah terjadi?"Haris tidak bereaksi. "Oke, lihat apa yang aku lakukan ya?"Dengan angkuhnya, Arthur mendekati tempat pembaringan Rebeca. Dia lalu duduk di samping Rebeca dekat kepala wanita itu. Dia menatap wajah Rebeca yang tampak lesu tidak berdaya."Oma," Arthur mulai berbisik di dekat telinga Rebeca. Tapi suaranya bisa di dengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu. "Kenapa Oma tidak bangun saja? Memangnya Oma tidak pegal berpura-pura sakit?"Deg.Saat itu juga, jantung Rebeca berdegup kencang. Apa maksud dari ucapan Arthur? Mungkinkah pria itu sudah mengetahui kepura-puraannya?"Sudahlah, Oma. Aku sudah tau kok kalau Oma itu sehat walafiat. Dan sakit Oma ini hanyalah sandiwara saja agar aku mengikuti keinginan Oma untuk menikah dengan Isyana."Melihat itu, Haris geram.
Akhirnya setelah dipikirkan dan setelah meminta pendapat Amelia, Moza ikut pulang bersama Arthur meski hatinya masih berkecamuk. Tapi dia memberi penegasan kapada suaminya itu bahwa di rumah nanti, dia ingin berpisah kamar dulu seperti yang pernah dia lakukan sampai tiga hari sesuai dengan kesepakan mereka. Arthur setuju dan akan secepatnya menyelesaikan masalah ini tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Kamu tenang saja, ya. Masalah ini pasti akan selesai dengan baik. Aku butuh dukungan kamu untuk sabar dan jangan lagi melarikan diri. Kamu boleh marah padaku. Marah saja. Tapi jangan lagi melarikan diri. Aku sedang mencari jalan yang terbaik," ucap Athur sembari menggenggam tangan Moza. Moza mengangguk. "Iya, mas. Tapi waktu itu ketika aku marah dan tidak mau dikecup sama mas, mas balik marah sama aku dan langsung memaksaku."Glek.Arthur menelan salivanya. "Oh, kalau yang waktu itu sih aku sedang khilaf. Aku syok karena tiba-tiba kamu menolak.""Tapi tetap saja namanya mas tidak te
"Aku lelah hidup seperti ini, Mel. Mengapa masalahku selalu ada orang ketiga? Mas Arthur memang berkata bahwa dia tidak akan menduakan aku dan lebih memilih diriku daripada keluarganya. Akan tetapi aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku tidak mau dia berdosa mengabaikan keinginan almarhum kakek dan oma-nya. Gara-gara kehadiranku, oma-nya sampai sakit. Aku sepertinya jadi beban keluarganya."Amelia menghela nafas panjang. "Aku bingung mau memberi solusi apa, Moz. Aku merasa pendapat kalian berdua sama-sama benar. Kamu yang tidak nyaman di posisi ini lalu merasa lelah dan Mas Arthur yang lebih memilih kamu daripada keluarganya. Dia tidak mau dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia cinta.""Iya, bagaimana kalau oma-nya meninggal gara-gara ini? Aku merasa serba salah. Aku sudah capek dengan yang terjadi. Karena itu, aku merasa ingin menyerah saja. Aku tidak apa-apa kok hidup tanpa Mas Arthur.""Yakin kamu bisa hidup tanpa dia? Kamu itu sedang hamil anak dia. Jadi tentu saja kamu me
Di ruangannya Arthur tampak gelisah. Apa yang terjadi semalam membuatnya tidak lagi fokus dengan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan saat ini. Rasanya pikirannya yang ruwet ini tidak bisa di ajak untuk bekerja. Roby yang sejak tadi ada bersama Arthur, sejak tadi memperhatikan atasannya tersebut. Dia ikut prihatin dengan masalah pelik yang menimpa Arthur. Dia ingin membantu jika memang memiliki cara yang tepat. Tiba-tiba saja, dia berfikir tentang sesuatu. Ini memang bukan untuk menyelesaikan masalah. Tapi ini adalah sesuatu yang membuat masalah menjadi jelas dan Arthur bisa mengambil keputusan dengan baik."Tuan." Panggilan itu cukup mengejutkan Arthur. Pria itu langsung menoleh pada Roby. "Ya, ada apa?""Ada yang ingin saya sampaikan.""Sampaikanlah saja."Roby mendekati Arthur dan membisiki sesuatu. Arthur angguk-angguk. Dia tampak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Roby."Bagus itu. Aku setuju jika kamu mau melakukan itu. Aku akan mendukungnya. Kerjakan sekarang juga dan
"Kamu keterlaluan Ar! Bisa-bisanya kamu menolak keinginan terakhir Oma! Kamu debat keinginan oma dan kakek kamu sendiri hanya demi seorang wanita! Kami ini keluargamu! Harusnya kamu mendengarkan keinginan kami juga! Lihat, Yana kamu buat tersinggung! Dan sekarang Oma jadi tidak sadarkan diri gara-gara kamu! Puas kamu!"Kalimat penuh amarah Haris terus berdengung di telinganya. Dia tidak menyangka kalau gara-gara penolakannya, Rebeca akhirnya tidak sadarkan diri. Semua keluarga sekarang menyalahkan dirinya. Mereka menganggap bahwa dirinya terlalu keras karena mempertahankan pendapatnya untuk tidak menyakiti istrinya dengan menikah lagi tapi menganggap tak punya hati kepada oma-nya sendiri.Akhirnya karena perdebatan itu, Rebeca pingsan dan akhirnya tidak sadarkan diri."Tuan masih memikirkan kejadian di rumah sakit tadi?" tanya Roby yang sejak tadi memperhatikan Arthur dari kaca tengah mobil."Ya, tentu saja aku memikirkannya. Kamu tau bukan kalau aku tidak mungkin mengingkari janjiku
Arthur mengalihkan pandangan dari layar tipisnya ke Candra yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Setiap kali melihat orang-orang Rebeca, hatinya langsung merasa tidak enak. "Maaf tuan saya mengganggu," ucap Candra setelah mengangguk hormat. Arthur menatap tajam pada Candra. "Ada perlu apa kamu datang kemari? Apa kamu dapat perintah dari Oma untuk membujukku bertunangan dengan Isyana?""Tidak tuan. Saya tidak datang untuk itu.""Lalu?""Saya datang untuk memberi kabar yang kurang baik kepada anda."Kening Arthur mengerut. "Memangnya kabar apa?"Candra menunduk seolah sedih. "Nyonya...nyonya Rebeca drop. Dia sekarang terbaring di rumah sakit. Dia ingin bertemu dengan cucu-cucunya. Karena itu saya datang kesini tuan. Saya harap secepatnya anda mengunjungi Nyonya Rebeca. Karena walaupun anda tidak menyukainya, dia tetaplah nenek anda yang harus anda hargai dan hormati. Apalagi saat ini keadaan Nyonya sangat memprihatikan."Arthur terdiam. Selama ini setahunya Rebeca memang kerap drop.
Seperti biasa, Moza akan membersihkan dirinya sebelum tidur. Begitu pun dengan malam ini. Kebiasaan itu sudah dia terapkan sejak remaja. Moza tidak suka dengan make up tebal tapi membersihkan diri adalah kewajiban baginya.Setelah membersihkan diri dan menggosok gigi, Moza keluar dari dalam kamar mandi. Tak langsung naik ke atas tempay tidur, wanita itu melakukan perawatan wajah sebelum tidur yang rutin dia lakukan. Perawatannya simpen kok. Hanya meneteskan beberapa tetes serum ke kulit wajahnya. Sudah itu saja. Menurutnya, serum baik untuk menjaga kesehatan kulit wajah agar tetap sehat dan kenyal. Setelah perawatan wajahnya yang simpel itu selesai, Moza mematikan lampu kamar dan hanya membiarkan lampu tidur untuk tetap menyala. Tidur dalam keadaan gelap membuat tidur lebih nyenyak dan berkualitas. Paginya, biasanya tubuhnya akan terasa fit dan semangat pergi bekerja.Usai kamar agak gelap dan hanya remang-remang saja, Moza naik ke atas tempat tidur. Dia membaringkan tubuhnya di atas
Pagi ini Moza senang sekali karena bisa ke perusahaan lagi. Dia sengaja berangkat pagi dan tidak pamitan pada Arthur karena takut dilarang oleh suaminya itu. Jadi daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik dia pergi sendiri menggunakan taksi. Sehari Moza tidak bekerja saja, Aditya merasa ada yang kurang. Dia kehilangan orang yang bisa dia ganggu. Akhirnya, ketika melihat Moza berangkat, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bercengkrama dengan wanita itu. Dia bercerita mengenai masa kecilnya yang dikejar-kejar induk ayam lantaran mengganggu anak-anaknya. Karena merasa ceritanya sangata lucu, Moza pun tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua tidak sadar kalau Arthur sudah berdiri di dekat mereka."Ehem! Ehem!" Arthur berdehem kencang sekali. Jelas sekali itu adalah deheman yang dibuat-buat dan bukan karena batuk. Mereka berdua langsung menoleh dan terkesiap begitu tahu kalau Arthur telah berdiri di dekat mereka. Wajah pria itu tampak tidak senang.Tawa Moza dan
Mendengar Arthur menyetujui dirinya untuk pisah kamar, Moza langsung berdiri dan menyodorkan tangan kanannya pada Arthur. "Kalau begitu mana kuncinya?"Alis Arthur terangkat ke atas. "Semangat sekali sih untuk pisah kamar sama aku.""Aku mau cepat makan, mas. Aku lapar.""Lalu apa hubungannya makan dengan kunci kamar?""Aku tidak mau makan kalau mas belum beri kunci kamar tamu. Aku takut mas mengingkari janji mas untuk meminjamkan kamar kalau aku makan duluan."Arthur tersenyum. Pria itu langsung berdiri. "Kalau aku mengingkari janji aku, ya sudah. Tidur di kamar ini saja. Begitu saja kok repot.""Oh, oke. Kalau begitu aku tidak akan makan. Biar saja aku dan anakku sama-sama kelaparan."Arthur menipiskan bibir. Sepertinya bayi dalam perut dijadikan senjata bagi Moza untuk mengancamnya. Dasar."Ya, sudah. Aku ambil kunci dulu."Arthur beranjak dari duduknya dan langsung keluar kamar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah kunci. Kedatangan Arthur sudah ditunggu-tunggu ol