"Ananda Leonardo Wijaya bin Malik Wijaya saya nikahkan engkau dengan putri saya Astrid Kumala Sari bin Ismail Perdana dengan seperangkat perhiasan lengkap dibayar tunai!"
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Astrid Kumala Sari binti Ismail Perdana dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!" "Bagaimana saksi? Sah?" "Sah." "Sah." Lafadz hamdalah berkumandang ke seluruh ruang pesta yang kemudian di susul dengan doa barokah untuk kedua mempelai yang dipimpin oleh sang penghulu. Semua wajah yang ada di ruangan itu terlihat bahagia dan berseri-seri. Kecuali satu orang wanita berhijab yang duduk di belakang mempelai pria bersebelahan dengan Susan, ibu dari mempelai pria. Pasalnya, wanita itu adalah istri dari Leo sang mempelai pengantin pria. Moza, itulah namanya. Sungguh sakit hatinya menyaksikan pernikahan suaminya sendiri. Hatinya seperti tercabik-cabik hingga tak berbentuk lagi. Dia juga seperti ingin menjerit menguarkan rasa sakitnya. Tapi semua dia tahan sehingga yang keluar dari sepasang mata indah beningnya adalah buliran air yang mengalir tak terbendung dan hanya diseka dengan sebuah tisu kering yang nyatanya sudah basah. Kenapa demikian? Mengapa pernikahan suaminya terjadi jika dia tidak ikhlas? Jawabannya karena Ter-pak-sa. Moza terpaksa mengikhlaskan Leo menikahi Astrid yang merupakan mantan pacar suaminya di masa lalu itu karena perihal anak. Mertua Moza memaksa Moza untuk mengikhlaskan pernikahan kedua Leo terjadi karena Moza tidak kunjung hamil meskipun sudah 5 tahun menjadi istri Leo dan mertuanya itu sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Mertua Moza juga menduga, Moza mandul meski kata dokter spesialis kandungan, rahim Moza baik-baik saja. Entahlah, Susan dan Malik enggan mencari tahu lebih banyak tentang kesehatan reproduksi Leo karena menganggap putranya tersebut sehat. Dari awal, Moza tidak setuju dengan pernikahan ini. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika semua orang bagai tidak mendengar isi hatinya. Dia sendiri telah kehilangan tempat bergantung karena di dunia ini dia hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya sudah meninggal dan dia adalah anak tunggal. Dulu pernikahan Moza dengan Leo pun dihadapinya dengan airmata. Pasalnya, Leo bukanlah pria yang dicintai Moza. Leo adalah putra dari sahabat kedua orangtua Moza. Sebelum kedua orangtua Moza meninggal, kedua pasangan orangtua itu sudah menetapkan perjodohan antara Moza dan Leo. Moza yang sudah mencintai pria lain, terpaksa dengan berat hati melepas pria itu dan menikahi Leo meski menurut Moza pria yang dicintainya adalah pria terbaik karena baik dan Sholeh. Tak hanya Moza yang sedih dengan pernikahan mereka, Leo pun begitu. Leo terpaksa meninggalkan Astrid demi menuruti keinginan kedua orangtuanya. Hari demi hari berlalu. Tak mudah bagi Moza dan Leo untuk menumbuhkan cinta di antara mereka berdua. Hingga akhirnya di tahun kedua pernikahan mereka, benih-benih cinta itu mulai tumbuh dan mereka mulai menerima takdir. Meskipun mereka sudah sama-sama menerima takdir, cinta Leo pada Astrid masih ada sehingga ketika kedua orangtuanya menawarkan pernikahan kedua pada Leo dengan mantannya itu dengan alasan anak, pria itu tidak menolak sama sekali dan mengabaikan perasaan Moza. Setelah bacaan doa barokah selesai, Leo dan Astrid duduk berhadapan satu sama lain. Leo memakaikan semua perhiasan yang dijadikan mahar kepada istri keduanya tersebut. Wajah Astrid tampak berseri-seri. Sudah bisa dipastikan meski lima tahun berlalu, gadis itu masih sangat mencintai Leo. Acara pemasangan mahar kemudian di akhiri dengan kecupan mesra Leo di kening Astrid, membuat tangis Moza kian menderas. 'Ya Allah, ternyata begini rasanya ketika melihat suami sendiri mengecup wanita lain. Rasanya hatiku ini hancur lebur, Allah. Kenapa? Kenapa? Kenapa meskipun sudah berusaha, aku masih belum bisa ikhlas sepenuhnya? Apakah aku bukan wanita yang Sholehah?' gumam Moza dalam hati dengan airmata yang terus mengalir. 'Aku mohon kepada-Mu, Allah. Berikan keikhlasan dalam hatiku. Aku mohon. Jadikan aku wanita yang kuat dan sabar.' Leo menjauhkan bibirnya dari kening Astrid dengan mata berkaca-kaca. Dulu momen seperti ini sangat diimpikannya. Momen menikahi seorang Astrid. Tapi perjodohan yang sudah ditentukan kedua orangtuanya memupuskan impiannya itu. Namun, dia puas. Karena meski terlambat, Astrid bisa dimilikinya juga. Leo berbalik. Dengan diikuti Astrid, pria itu lalu sungkeman kepada kedua orangtuanya. Pertama kali dia sungkem kepada Malik ayahnya. Leo tampak memeluk haru sang ayah seolah berterima kasih karena telah mengembalikan Astrid ke dalam hidupnya. Yang kedua, Leo sungkem pada Susan, ibunya. Dia peluk penuh kasih wanita yang melahirkannya itu dengan meneteskan dua bulir airmata. Namun, wajah Leo langsung berubah iba ketika dia menghampiri Moza. Dia melihat wajah wanita yang sudah menemaninya selama lima tahun itu basah dengan airmata. Make up yang sudah membalut wajah cantik istrinya tersebut, tampak sedikit acak-acakan. Leo tahu Moza sangat terluka dengan pernikahannya. Namun, dia juga tidak bisa menolak keinginan kedua orangtuanya menikah lagi karena selain masalah anak yang belum hadir, dia masih mencintai Astrid. Astrid adalah wanita yang sampai detik ini tak bisa enyah dari hatinya. "Moza..." panggil Leo lirih. Moza menoleh dan menatap wajah Leo dengan tatapan sendu. Hati kecilnya sangat ingin menampar wajah Leo. Tapi dia tahan sekuat tenaga hingga jemarinya terkepal sangat kuat. Dia ingat kalau agamanya membolehkan pria menikahi beberapa wanita jika memiliki kemampuan. Dan Leo adalah seorang manager sebuah perusahaan ternama di kota ini. Jadi, bisa dipastikan Leo adalah pria yang mampu untuk beristri lebih dari satu. 'Sabar Moza...sabar...' ucap hati kecilnya menguatkan. Moza pun memaksakan diri menyunggingkan senyum meski hanya kecil. "Ya..." jawab Moza lirih. Bruuk! Leo memeluk Moza erat. Tangisnya pecah. Dia merasa menjadi orang yang paling berdosa pada Moza karena telah menduakan cinta istrinya itu. Meskipun di awal pernikahan tidak ada cinta, tapi lima tahun hidup bersama membuat Leo bisa menilai siapa Moza. Moza adalah wanita Sholehah yang rajin beribadah, menjaga kesucian diri, dan melayani suami dengan sangat baik. Leo juga mengakui, Moza adalah wanita yang langka. Jarang sekali ada wanita seperti Moza. Tapi justru itulah yang membuat Leo merasa bahagia. Dia mempunyai dua istri yang diinginkannya. Satunya adalah wanita Sholehah dan satunya adalah wanita yang dia cintai. Dia juga yakin, Moza adalah wanita yang kuat yang secepatnya akan menerima Astrid sebagai madunya. "Moza maafkan aku... Maafkan aku, Moza. Aku berjanji akan berusaha menjadi suami yang adil bagi kalian berdua," ucap Leo sembari memeluk Moza erat. Moza sendiri diam mematung. Dia tidak tau harus membalas ucapan Leo dengan kalimat seperti apa. Hatinya terlalu sakit untuk berpura-pura bahagia. "Ya..." Akhirnya hanya itu balasan dari Moza. Leo pun mengakhiri pelukannya dan mendaratkan beberapa kecupan singkat di pipi Moza untuk menghibur hati istrinya tersebut. Setelahnya dia menoleh pada Astrid dan menyuruh wanita yang baru dinikahinya itu mendekati Moza. Astrid menurut. Dengan entengnya dia memeluk Moza. "Mbak, terimalah aku sebagai madumu ya, mbak. Sama-sama kita melayani Mas Leo." Moza menelan salivanya. Pahit sekali rasanya. Jika dia tidak bisa menguasai amarah, sudah didorongnya tubuh Astrid kuat-kuat. Tapi tentu itu tidak akan dia lakukan. Lagi-lagi dia harus sabar menerima kenyataan bahwa Astrid sekarang adalah istri dari suaminya juga. Dia harus bisa menyayangi Astrid seperti adik sendiri meski nyatanya usia Astrid lebih tua dari Moza. Usia Astrid sama dengan usia Leo karena mereka pacaran dari SMA. Astrid lebih tua lima tahun darinya. Tapi karena dia adalah istri pertama Leo, tentu Astrid harus memanggilnya mbak. Mencoba untuk menerima kenyataan, Moza membalas pelukan Astrid. Tapi dia tidak tahu fikiran jahat yang ada di benak madunya itu. 'Lihat saja Moza. Aku akan membalaskan dendamku padamu karena dulu kau telah merampas Leo dariku,' ucap Astrid dalam hati. Bersambung...Astrid mengurai pelukannya. Dia tersenyum manis pada Moza meski dalam hati merasa penuh kemenangan.'Malam ini kamu akan menangis, Moza. Karena Leo akan tidur denganku dan akan kubuat dia selalu tidur denganku. Dulu aku yang terluka dan sekarang kau yang akan terluka,' ucap hati Astrid.Moza pun membalas senyum Astrid dengan perasaan berkecamuk. Tapi dia ingin terlihat menerima kehadiran madunya itu dalam kehidupan pernikahannya.Setelah sungkem-sungkeman, acara langsung dilanjutkan dengan acara resepsi. Tamu undangan tidak begitu banyak, tapi juga tidak begitu sedikit. Sedang-sedang saja. Susan dan Malik hanya mengundang orang-orang yang sangat dikenalnya saja mengingat ini bukanlah pernikahan pertama Leo.Acara resepsi digelar sampai malam tiba dengan segala riuh rentaknya dan gelak tawa tamu undangan, memojokkan Moza yang duduk di meja VIP di ballroom Red Hotel itu sembari memandang sedih ke pelaminan. Dia berusaha untuk ikhlas dan menerima Moza sebagai madunya. Tapi kenapa hatinya
Acara resepsi pernikahan Leo dan Astrid pun selesai. Para tamu undangan sudah meninggalkan ruangan pesta sejak beberapa menit yang lalu. Kini yang masih tinggal dalam ruangan itu adalah keluarga dekat Leo dan Astrid, tentunya juga dengan kedua mempelai.Sementara itu, Moza tampak bingung di kursi VIPnya. Bayu masih berada di sampingnya tanpa mau beranjak meninggalkan meja VIP sejak mendekati. Selama ini, Moza selalu tidur satu kamar dan satu tidur dengan Leo. Jadi dia merasa aneh jika harus pulang sendiri meninggalkan Leo di hotel ini bersama Astrid.Seperti membaca kebingungan Moza, Leo mendekati istri pertamanya itu dengan diikuti Astrid di samping. Astrid terus saja memeluk tangan Leo seolah tidak ingin melepaskannya. Itu sengaja dilakukannya terutama di depan Moza agar istri pertama Leo itu menjadi cemburu."Moza..." sapa Leo setelah berada di dekat Moza.Moza menoleh. "Ya mas.""Kamu pulang saja, ya.""Tapi bagaimana dengan mas?""Tentu saja aku tidak pulang. Malam ini 'kan malam
Bayu menghela nafas berat. Bagaimana dia harus menjelaskan tentang apa yang dikatakannya tadi. Sungguh, dia tidak bisa menahan diri. Sangat tidak bisa. Dia sudah geram dengan apa yang dilakukan Leo pada Moza. Dengan tenangnya, Leo memadu Moza. Leo tidak memikirkan bagaimana perasaan Moza."Maaf Nona. Saya tidak mengajari anda hal yang buruk. Saya hanya ingin anda mengenal diri anda sendiri. Anda itu memiliki sebongkah daging yang bernama hati. Jika hati itu merasa disakiti, maka anda tidak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidup anda. Begitu pun jika hati merasa senang. Maka hidup anda akan bahagia."Moza terdiam. Kata-kata yang diucapkan Bayu begitu mengena di hatinya. Dia membenarkan ucapan Bayu, tapi juga tidak bisa menelannya bulat-bulat. Hidup ini ada aturan dan tidak bisa selamanya mengikuti kata hati. Ada saat dimana perasaan kita adalah salah, lalu perceraian adalah salah satu halal yang dibenci oleh Allah. "Terima kasih untuk masukanmu, mas. Akan tetapi aku tidak ingin berc
Sementara itu di Red's Hotel, Leo membaringkan Astrid yang berada dalam gendongannya ke atas tempat tidur sebelum akhirnya tubuhnya sendiri berada di atas tubuh wanita itu dengan tangan sebagai penyangga. Leo menatap wajah cantik Astrid dengan penuh seksama. Tapi entah mengapa dia justru melihat wajah Moza. Leo mengedipkan matanya berkali-kali untuk menghilangkan bayangan Moza itu. 'Kenapa ini? Kenapa aku melihat wajah Moza?' batinnya tidak terima. Astrid yang melihat itu, menyipitkan matanya tajam. "Kenapa sayang? Apa ada yang salah dengan wajahku?" Leo menggeleng. "Tidak. Tidak ada yang salah dengan wajahmu. Akan tetapi aneh sekali. Aku melihat wajah Moza di wajah kamu." Astrid menipiskan bibir. Apa yang diucapkan Leo barusan jelas melukainya. Bagaimana bisa saat sedang bersamanya seperti ini, Leo malah melihat wajah Moza. Jangan-jangan Leo sudah mencintai Moza melebihi cinta Leo kepadanya. "Mungkin itu karena kamu belum terbiasa denganku, Leo. Bukankah selama bertahun-tahun k
Moza terhenyak ketika tiba-tiba dia sudah berada dalam pelukan seseorang. Dari otot-otot tangan yang terpegang, Moza tahu yang menangkapnya adalah seorang laki-laki. Tapi siapa?Moza mendorong tubuh depan pria itu dengan panik. Tapi pria itu memeluknya cukup erat dan tenaganya sebagai seorang wanita tidak bisa mendorongnya. "Siapa kamu?! Lepaskan aku!" teriak Moza sembari terus mendorong tubuh pria itu, mencoba keluar dari dekapan kuat itu. Sementara Bayu, tampak tenang saja sembari terus memeluk Moza. Dia merasakan pergerakan tubuh Moza membuat hasratnya kian terpancing akibat pergesekan tubuhnya dan tubuh wanita yang kini dalam dekapannya. Dia ingin melakukan yang lebih dari ini, tapi...Dengan berat hati, Bayu lalu melepaskan tubuh Moza. Pikirannya masih waras saat ini untuk tidak berbuat nekad tanpa ada rencana di awal. Bayu sering menjebak orang hingga tak berkutik. Dan orang-orang yang berada dalam genggamannya selalu tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi saat ini, dia belum memili
Leo terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Sebenarnya dia belum tidur dengan kenyang karena semalam mereka bertempur hingga jam tiga pagi. Baik Leo maupun Astrid sama-sama memiliki gelora hasrat yang luar biasa sehingga mereka terus merasa tidak terpuaskan. Mereka baru puas setelah melakukan sebanyak beberapa ronde. Tapi sinar matahari pagi masuk menyusup melalui celah-celah tirai jendela dan membuat silau mata Leo sehingga silau Itulah yang membangunkan Leo. Ah, bahkan kepalanya terasa pusing. Dia masih ingin memejamkan matanya. Leo menoleh ke sebelah kiri. Astrid masih tertidur nyenyak di pangkuannya. Semalam istri keduanya ini sangat ganas. Malah lebih ganas dari dirinya. Astrid tidak cukup dua kali, dia meminta untuk yang ketiga kali atau bahkan yang keempat kali. Leo sebenarnya sudah hampir menyerah di yang ketiga tapi Astrid terus merangsangnya sehingga lagi-lagi kepunyaannya berdiri. Bagi seorang laki-laki, tentu senang jika terus diberi. Lagian, dia tidak terlalu capek karena
Robi menunduk hormat pada Bayu. "Maaf Tuan Arthur jika saya mengganggu."Melihat Robi menunduk, Bayu langsung melayangkan pandang ke sekitar. Dia takut ada yang melihatnya. Lalu pandangannya kembali pada Robi dengan tatapan kesal. "Apa-apaan kamu hormat begitu?" ucap Bayu setengah berbisik. Menurutnya, dinding pagar juga bisa mendengar. "Aku sudah bilang bukan, jangan hormat padaku di sembarang tempat!""Iya tuan, saya mengerti. Tapi setiap bertemu tuan, tetap saja saya tidak enak jika tidak bersikap hormat karena...""Sudah jangan diteruskan! Kamu mau melaporkan apa?" sela Bayu tidak sabar."Ini tuan, mengenai Pak Leo yang melakukan kecurangan di perusahaan. Saya sudah mendapatkan bukti-buktinya. Hanya kurang beberapa lagi. Kapan anda akan ke perusahaan dan memeriksa bukti-bukti itu?"Bayu terdiam. Sudah lima hari dia tidak berangkat ke perusahaan karena membantu Leo mengurus pernikahannya dengan Astrid. Sebagai orang yang menyamar menjadi supir dan assisten Leo, maka dia tidak akan
Mengetahui Leo akan pulang, Moza langsung menyiapkan makan siang buat suaminya itu. Sup yang tadi pagi dia masak dan sudah dingin, dia hangatkan lagi. Kalau Leo meminta Bayu untuk menjemputnya, itu artinya suaminya pulang sendirian. Karena kalau pulang bersama Astrid, Leo tidak akan meminta Bayu menjemput. Astrid mempunyai mobil sendiri sehingga tidak memerlukan mobil yang lain. Tapi mobil yang dimiliki wanita itu bukan mobil yang didapat dari jerih payah sendiri, melainkan mobil peninggalan orang tua yang sekarang sudah meninggal.Makan siang sudah siap di atas meja makan ketika Moza mendengar suara deru mobil memasuki halaman rumah. Moza langsung melangkah keluar menuju teras. Tepat pada saat itu, Leo keluar dari mobil. Seperti dugaannya, Leo sendirian. Dia tidak bersama Astrid. Moza pun melangkah mendekati Leo dengan senyum yang mengembang. Dengan penuh hormat, dia meraih tangan Leo dan mengecupnya.Melihat senyum itu, Leo pun merasa lega. Ternyata benar apa kata Bayu bahwa Moza ba
"Maksud kamu apa sih?" tanya Haris dengan tatapan penuh selidik. Arthur tersenyum geli. Dia merasa lucu dengan drama ini. Dia lalu mencondongkan wajahnya pada Haris. "Paman mau tau apa yang sebenarnya sudah terjadi?"Haris tidak bereaksi. "Oke, lihat apa yang aku lakukan ya?"Dengan angkuhnya, Arthur mendekati tempat pembaringan Rebeca. Dia lalu duduk di samping Rebeca dekat kepala wanita itu. Dia menatap wajah Rebeca yang tampak lesu tidak berdaya."Oma," Arthur mulai berbisik di dekat telinga Rebeca. Tapi suaranya bisa di dengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu. "Kenapa Oma tidak bangun saja? Memangnya Oma tidak pegal berpura-pura sakit?"Deg.Saat itu juga, jantung Rebeca berdegup kencang. Apa maksud dari ucapan Arthur? Mungkinkah pria itu sudah mengetahui kepura-puraannya?"Sudahlah, Oma. Aku sudah tau kok kalau Oma itu sehat walafiat. Dan sakit Oma ini hanyalah sandiwara saja agar aku mengikuti keinginan Oma untuk menikah dengan Isyana."Melihat itu, Haris geram.
Akhirnya setelah dipikirkan dan setelah meminta pendapat Amelia, Moza ikut pulang bersama Arthur meski hatinya masih berkecamuk. Tapi dia memberi penegasan kapada suaminya itu bahwa di rumah nanti, dia ingin berpisah kamar dulu seperti yang pernah dia lakukan sampai tiga hari sesuai dengan kesepakan mereka. Arthur setuju dan akan secepatnya menyelesaikan masalah ini tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Kamu tenang saja, ya. Masalah ini pasti akan selesai dengan baik. Aku butuh dukungan kamu untuk sabar dan jangan lagi melarikan diri. Kamu boleh marah padaku. Marah saja. Tapi jangan lagi melarikan diri. Aku sedang mencari jalan yang terbaik," ucap Athur sembari menggenggam tangan Moza. Moza mengangguk. "Iya, mas. Tapi waktu itu ketika aku marah dan tidak mau dikecup sama mas, mas balik marah sama aku dan langsung memaksaku."Glek.Arthur menelan salivanya. "Oh, kalau yang waktu itu sih aku sedang khilaf. Aku syok karena tiba-tiba kamu menolak.""Tapi tetap saja namanya mas tidak te
"Aku lelah hidup seperti ini, Mel. Mengapa masalahku selalu ada orang ketiga? Mas Arthur memang berkata bahwa dia tidak akan menduakan aku dan lebih memilih diriku daripada keluarganya. Akan tetapi aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku tidak mau dia berdosa mengabaikan keinginan almarhum kakek dan oma-nya. Gara-gara kehadiranku, oma-nya sampai sakit. Aku sepertinya jadi beban keluarganya."Amelia menghela nafas panjang. "Aku bingung mau memberi solusi apa, Moz. Aku merasa pendapat kalian berdua sama-sama benar. Kamu yang tidak nyaman di posisi ini lalu merasa lelah dan Mas Arthur yang lebih memilih kamu daripada keluarganya. Dia tidak mau dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia cinta.""Iya, bagaimana kalau oma-nya meninggal gara-gara ini? Aku merasa serba salah. Aku sudah capek dengan yang terjadi. Karena itu, aku merasa ingin menyerah saja. Aku tidak apa-apa kok hidup tanpa Mas Arthur.""Yakin kamu bisa hidup tanpa dia? Kamu itu sedang hamil anak dia. Jadi tentu saja kamu me
Di ruangannya Arthur tampak gelisah. Apa yang terjadi semalam membuatnya tidak lagi fokus dengan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan saat ini. Rasanya pikirannya yang ruwet ini tidak bisa di ajak untuk bekerja. Roby yang sejak tadi ada bersama Arthur, sejak tadi memperhatikan atasannya tersebut. Dia ikut prihatin dengan masalah pelik yang menimpa Arthur. Dia ingin membantu jika memang memiliki cara yang tepat. Tiba-tiba saja, dia berfikir tentang sesuatu. Ini memang bukan untuk menyelesaikan masalah. Tapi ini adalah sesuatu yang membuat masalah menjadi jelas dan Arthur bisa mengambil keputusan dengan baik."Tuan." Panggilan itu cukup mengejutkan Arthur. Pria itu langsung menoleh pada Roby. "Ya, ada apa?""Ada yang ingin saya sampaikan.""Sampaikanlah saja."Roby mendekati Arthur dan membisiki sesuatu. Arthur angguk-angguk. Dia tampak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Roby."Bagus itu. Aku setuju jika kamu mau melakukan itu. Aku akan mendukungnya. Kerjakan sekarang juga dan
"Kamu keterlaluan Ar! Bisa-bisanya kamu menolak keinginan terakhir Oma! Kamu debat keinginan oma dan kakek kamu sendiri hanya demi seorang wanita! Kami ini keluargamu! Harusnya kamu mendengarkan keinginan kami juga! Lihat, Yana kamu buat tersinggung! Dan sekarang Oma jadi tidak sadarkan diri gara-gara kamu! Puas kamu!"Kalimat penuh amarah Haris terus berdengung di telinganya. Dia tidak menyangka kalau gara-gara penolakannya, Rebeca akhirnya tidak sadarkan diri. Semua keluarga sekarang menyalahkan dirinya. Mereka menganggap bahwa dirinya terlalu keras karena mempertahankan pendapatnya untuk tidak menyakiti istrinya dengan menikah lagi tapi menganggap tak punya hati kepada oma-nya sendiri.Akhirnya karena perdebatan itu, Rebeca pingsan dan akhirnya tidak sadarkan diri."Tuan masih memikirkan kejadian di rumah sakit tadi?" tanya Roby yang sejak tadi memperhatikan Arthur dari kaca tengah mobil."Ya, tentu saja aku memikirkannya. Kamu tau bukan kalau aku tidak mungkin mengingkari janjiku
Arthur mengalihkan pandangan dari layar tipisnya ke Candra yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Setiap kali melihat orang-orang Rebeca, hatinya langsung merasa tidak enak. "Maaf tuan saya mengganggu," ucap Candra setelah mengangguk hormat. Arthur menatap tajam pada Candra. "Ada perlu apa kamu datang kemari? Apa kamu dapat perintah dari Oma untuk membujukku bertunangan dengan Isyana?""Tidak tuan. Saya tidak datang untuk itu.""Lalu?""Saya datang untuk memberi kabar yang kurang baik kepada anda."Kening Arthur mengerut. "Memangnya kabar apa?"Candra menunduk seolah sedih. "Nyonya...nyonya Rebeca drop. Dia sekarang terbaring di rumah sakit. Dia ingin bertemu dengan cucu-cucunya. Karena itu saya datang kesini tuan. Saya harap secepatnya anda mengunjungi Nyonya Rebeca. Karena walaupun anda tidak menyukainya, dia tetaplah nenek anda yang harus anda hargai dan hormati. Apalagi saat ini keadaan Nyonya sangat memprihatikan."Arthur terdiam. Selama ini setahunya Rebeca memang kerap drop.
Seperti biasa, Moza akan membersihkan dirinya sebelum tidur. Begitu pun dengan malam ini. Kebiasaan itu sudah dia terapkan sejak remaja. Moza tidak suka dengan make up tebal tapi membersihkan diri adalah kewajiban baginya.Setelah membersihkan diri dan menggosok gigi, Moza keluar dari dalam kamar mandi. Tak langsung naik ke atas tempay tidur, wanita itu melakukan perawatan wajah sebelum tidur yang rutin dia lakukan. Perawatannya simpen kok. Hanya meneteskan beberapa tetes serum ke kulit wajahnya. Sudah itu saja. Menurutnya, serum baik untuk menjaga kesehatan kulit wajah agar tetap sehat dan kenyal. Setelah perawatan wajahnya yang simpel itu selesai, Moza mematikan lampu kamar dan hanya membiarkan lampu tidur untuk tetap menyala. Tidur dalam keadaan gelap membuat tidur lebih nyenyak dan berkualitas. Paginya, biasanya tubuhnya akan terasa fit dan semangat pergi bekerja.Usai kamar agak gelap dan hanya remang-remang saja, Moza naik ke atas tempat tidur. Dia membaringkan tubuhnya di atas
Pagi ini Moza senang sekali karena bisa ke perusahaan lagi. Dia sengaja berangkat pagi dan tidak pamitan pada Arthur karena takut dilarang oleh suaminya itu. Jadi daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik dia pergi sendiri menggunakan taksi. Sehari Moza tidak bekerja saja, Aditya merasa ada yang kurang. Dia kehilangan orang yang bisa dia ganggu. Akhirnya, ketika melihat Moza berangkat, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bercengkrama dengan wanita itu. Dia bercerita mengenai masa kecilnya yang dikejar-kejar induk ayam lantaran mengganggu anak-anaknya. Karena merasa ceritanya sangata lucu, Moza pun tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua tidak sadar kalau Arthur sudah berdiri di dekat mereka."Ehem! Ehem!" Arthur berdehem kencang sekali. Jelas sekali itu adalah deheman yang dibuat-buat dan bukan karena batuk. Mereka berdua langsung menoleh dan terkesiap begitu tahu kalau Arthur telah berdiri di dekat mereka. Wajah pria itu tampak tidak senang.Tawa Moza dan
Mendengar Arthur menyetujui dirinya untuk pisah kamar, Moza langsung berdiri dan menyodorkan tangan kanannya pada Arthur. "Kalau begitu mana kuncinya?"Alis Arthur terangkat ke atas. "Semangat sekali sih untuk pisah kamar sama aku.""Aku mau cepat makan, mas. Aku lapar.""Lalu apa hubungannya makan dengan kunci kamar?""Aku tidak mau makan kalau mas belum beri kunci kamar tamu. Aku takut mas mengingkari janji mas untuk meminjamkan kamar kalau aku makan duluan."Arthur tersenyum. Pria itu langsung berdiri. "Kalau aku mengingkari janji aku, ya sudah. Tidur di kamar ini saja. Begitu saja kok repot.""Oh, oke. Kalau begitu aku tidak akan makan. Biar saja aku dan anakku sama-sama kelaparan."Arthur menipiskan bibir. Sepertinya bayi dalam perut dijadikan senjata bagi Moza untuk mengancamnya. Dasar."Ya, sudah. Aku ambil kunci dulu."Arthur beranjak dari duduknya dan langsung keluar kamar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah kunci. Kedatangan Arthur sudah ditunggu-tunggu ol