Share

BAB 3 Tatapan penuh penghinaan

Sera duduk dengan gelisah di sebuah meja di sudut restoran yang cukup mewah. Pikirannya berkecamuk, terus meyakinkan dirinya bahwa inilah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk menyelamatkan ibunya. Sesekali, dia melirik jam tangannya, berharap waktu segera berlalu dan pertemuan ini segera berakhir.

Matanya terus terpejam rapat, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba, dia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. 

Matanya membelalak tak percaya saat melihat pria yang berdiri di depannya. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang dalam dan penuh arti. "Pak Zayn...?!" serunya, suaranya hampir tidak terdengar.

"Hai, Sera. Sedang menunggu seseorang?" balas Zayn dengan nada dingin yang biasa. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menambah kesan angkuh pada dirinya.

"K-kenapa Bapak ada di sini?" Sera tergagap, masih tak percaya akan bertemu Zayn di sini. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.

Zayn mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. "Karena ini restoran umum dan tidak ada yang melarang saya untuk datang," jawabnya sambil menyandarkan diri ke kursi.

Sera menggigit bibir bawahnya, menyadari betapa bodohnya pertanyaannya barusan. Sementara itu, tangannya mulai bergetar, dan keringat dingin terus mengalir. Atmosfer di sekitarnya tiba-tiba terasa lebih panas, seakan pendingin ruangan yang ada hanyalah pajangan semata.

Tanpa diduga, Zayn mengulurkan sapu tangannya. "Pakailah, wajahmu sudah seperti kepiting rebus," katanya dengan tenang, membuat Sera semakin malu.

"Tidak usah, Pak," tolak Sera dengan halus, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Zayn mengangkat alisnya, menatap Sera dengan tatapan tajam. "Ada apa? Kamu sedang menunggu seseorang?" tanyanya dengan santai, seolah menikmati setiap detik kegelisahan yang melingkupi wajah Sera.

"A-ada yang ingin saya temui, Pak. Dan saya tidak mau orang itu salah paham melihat Bapak ada di sini," sahut Sera setelah menarik napas panjang. Dia merasa semakin terdesak, takut orang yang ditunggunya datang dan salah paham melihatnya bersama Zayn.

Zayn mengernyitkan alisnya, berpura-pura bodoh dengan maksud dari kata-kata Sera. "Kenapa kamu takut dia salah paham? Memangnya apa yang kita lakukan?" tanyanya dengan nada yang sedikit mengejek.

Wajah Sera semakin memerah, rasa malu dan marah bercampur aduk di dalam dirinya. Dia tidak tahu bagaimana lagi menghadapi Zayn. Mungkinkah pria itu sengaja mempermainkan dirinya setelah kemarin dia menolak tawarannya?

"Saya mohon, Pak...." Suara Sera terdengar semakin lemah, hampir seperti bisikan.

Namun, Zayn tidak mengindahkan kegelisahan gadis itu. Dengan santainya, dia memesan minuman kepada pelayan dan duduk di samping Sera. Kehadirannya yang begitu dekat membuat Sera semakin tak nyaman.

"Kamu yakin tidak mau minum?" tanya Zayn sambil menoleh ke arah Sera yang langsung menggelengkan kepala dengan cepat.

Saya hanya ingin kamu pergi dari sini! teriak Sera dalam hatinya, tetapi mulutnya terkunci rapat.

"Saya penasaran sekali, pria seperti apa yang kamu tunggu sampai kamu menolak tawaran saya," kata Zayn kemudian, suaranya sarat dengan nada ingin tahu dan sedikit sindiran.

Sera merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Tawaran Zayn adalah mimpi buruk yang tidak ingin dia ingat lagi. Dia tidak pernah membayangkan harus berhadapan dengan pria itu dalam situasi seperti ini, terutama setelah penolakannya yang tegas kemarin.

Sera hanya bisa meremas jari-jarinya dengan semakin kuat. Kegelisahan memenuhi hatinya, seakan-akan waktu bergerak terlalu lambat di restoran yang ramai ini. Dia terus terdiam, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap sosok yang ditunggunya segera tiba.

"Berhentilah minum, Pak. Nanti Bapak bisa mabuk," tegur Sera akhirnya setelah melihat Zayn menuangkan wine ke dalam gelasnya lebih dari dua kali. Kegelisahan di hatinya semakin membesar, ditambah lagi dengan kehadiran atasannya yang selalu membuatnya merasa tidak nyaman.

Zayn tersenyum hambar, senyum yang selalu membuat Sera merasa ada maksud tersembunyi di baliknya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sera, membuat gadis itu terkejut dan semakin gugup. "Memangnya apa yang akan terjadi kalau saya mabuk?" tanyanya dengan nada menggoda.

Sera tidak menjawab. Dia menggeser tubuhnya menjauh saat merasakan hembusan napas pria itu. Namun, Zayn tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Dengan cepat, dia melingkarkan tangannya di pinggangnya, menariknya lebih dekat.

"Jangan terlalu jauh, nanti kamu bisa jatuh," ujar Zayn sambil menahan Sera dengan erat. 

Jantung Sera berdebar kencang, aroma alkohol yang kuat membuatnya semakin pusing. Kesadarannya kembali perlahan, dan dengan susah payah, dia mencoba mendorong dada pria itu menjauh.

Namun, Zayn tidak bergeming. Dia mendekatkan bibirnya ke bibir Sera, mencium gadis itu perlahan. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi semakin intens, melumat bibirnya dengan pelan tapi pasti.

Sera terengah-engah sambil mencoba melepaskan diri dari ciuman itu. Dia menarik wajahnya menjauh dan berseru, "A-apa yang...."

Kata-kata di bibir Sera terhenti begitu saja saat tatapannya bertemu dengan mata Pak Damar yang berdiri tidak jauh dari mereka. Wajahnya menunjukkan ekspresi kemarahan yang tidak terbendung.

"Jadi gadis seperti ini yang mau Papa perkenalkan pada kami?" Suara seorang wanita tiga puluhan menggema dengan penuh emosi. Wajahnya merah padam, dan sorot matanya penuh kebencian.

"Papa bilang dia gadis yang polos, sederhana, dan lugu. Tapi apa ini, Pa?" geram wanita lain yang lebih muda dengan sengit sambil melirik ke arah Sera dengan jijik.

"Siapa pria ini, Sera?" sergah Pak Damar dengan tajam, nadanya penuh kecurigaan.

Belum sempat Sera membalas, Zayn sudah menyela lebih dulu, meraih pinggang Sera dengan cengkeraman yang lebih kuat. "Saya Zayn Renola Wiratama, saya calon suaminya," katanya dengan penuh penekanan.

Mata Sera berkaca-kaca. Dia ingin membantah, namun tatapan muak dan kebencian di mata Pak Damar membuatnya ragu. Rasa malu dan terhina melingkupi hatinya.

"Apa kamu memilihnya karena dia bisa memberikan lebih daripada apa yang akan saya beri padamu?" tanya Pak Damar dengan nada menghina, cengkeramannya pada tongkatnya semakin erat.

Sementara cengkeraman Zayn di pinggangnya semakin kuat, rahang pria itu mengeras. Tatapannya menjadi semakin tajam, seolah ingin mencabik-cabik tubuh pria tua di hadapannya. "Apa Anda masih belum sadar juga? Di usia Anda sekarang, apakah Anda tidak malu ingin mempersunting gadis yang lebih cocok jadi cucu Anda sendiri?" desisnya dengan sinis.

"Saya bertanya pada Sera, bukan pada Anda!" geram Pak Damar dengan kesal.

"Sudahlah, Pa. Lebih baik kita pulang saja. Untuk apa sih kita terus mempermalukan diri demi gadis yang tidak berharga ini," sergah salah satu putri Pak Damar dengan tak sabar sambil menarik tangan ayahnya. "Dia tidak pantas menggantikan Mama dan menjadi istri Papa."

Sera hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menahan air matanya. Dia sangat malu, ingin rasanya dia menghilang saja. Seluruh perhatian di restoran kini tertuju pada mereka, membuatnya semakin terpuruk.

"Saya tidak menyangka hanya segini nilai dirimu, Sera. Saya pikir kamu berbeda," desis Pak Damar dengan tajam sebelum pergi meninggalkan Sera dan Zayn.

Sera berdiri terpaku, merasakan pandangan penuh penghinaan dari orang-orang di sekitarnya. Sementara Zayn masih berdiri di sampingnya, tatapannya penuh dengan amarah yang terpendam.

"Jadi, pada pria tua itu kamu ingin menjual tubuhmu, Sera?" bisik Zayn dengan nada menghina, mendekatkan wajahnya ke telinga Sera.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status