Sera duduk dengan gelisah di sebuah meja di sudut restoran yang cukup mewah. Pikirannya berkecamuk, terus meyakinkan dirinya bahwa inilah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk menyelamatkan ibunya. Sesekali, dia melirik jam tangannya, berharap waktu segera berlalu dan pertemuan ini segera berakhir.
Matanya terus terpejam rapat, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba, dia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya.
Matanya membelalak tak percaya saat melihat pria yang berdiri di depannya. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang dalam dan penuh arti. "Pak Zayn...?!" serunya, suaranya hampir tidak terdengar.
"Hai, Sera. Sedang menunggu seseorang?" balas Zayn dengan nada dingin yang biasa. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menambah kesan angkuh pada dirinya.
"K-kenapa Bapak ada di sini?" Sera tergagap, masih tak percaya akan bertemu Zayn di sini. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Zayn mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. "Karena ini restoran umum dan tidak ada yang melarang saya untuk datang," jawabnya sambil menyandarkan diri ke kursi.
Sera menggigit bibir bawahnya, menyadari betapa bodohnya pertanyaannya barusan. Sementara itu, tangannya mulai bergetar, dan keringat dingin terus mengalir. Atmosfer di sekitarnya tiba-tiba terasa lebih panas, seakan pendingin ruangan yang ada hanyalah pajangan semata.
Tanpa diduga, Zayn mengulurkan sapu tangannya. "Pakailah, wajahmu sudah seperti kepiting rebus," katanya dengan tenang, membuat Sera semakin malu.
"Tidak usah, Pak," tolak Sera dengan halus, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Zayn mengangkat alisnya, menatap Sera dengan tatapan tajam. "Ada apa? Kamu sedang menunggu seseorang?" tanyanya dengan santai, seolah menikmati setiap detik kegelisahan yang melingkupi wajah Sera.
"A-ada yang ingin saya temui, Pak. Dan saya tidak mau orang itu salah paham melihat Bapak ada di sini," sahut Sera setelah menarik napas panjang. Dia merasa semakin terdesak, takut orang yang ditunggunya datang dan salah paham melihatnya bersama Zayn.
Zayn mengernyitkan alisnya, berpura-pura bodoh dengan maksud dari kata-kata Sera. "Kenapa kamu takut dia salah paham? Memangnya apa yang kita lakukan?" tanyanya dengan nada yang sedikit mengejek.
Wajah Sera semakin memerah, rasa malu dan marah bercampur aduk di dalam dirinya. Dia tidak tahu bagaimana lagi menghadapi Zayn. Mungkinkah pria itu sengaja mempermainkan dirinya setelah kemarin dia menolak tawarannya?
"Saya mohon, Pak...." Suara Sera terdengar semakin lemah, hampir seperti bisikan.
Namun, Zayn tidak mengindahkan kegelisahan gadis itu. Dengan santainya, dia memesan minuman kepada pelayan dan duduk di samping Sera. Kehadirannya yang begitu dekat membuat Sera semakin tak nyaman.
"Kamu yakin tidak mau minum?" tanya Zayn sambil menoleh ke arah Sera yang langsung menggelengkan kepala dengan cepat.
Saya hanya ingin kamu pergi dari sini! teriak Sera dalam hatinya, tetapi mulutnya terkunci rapat.
"Saya penasaran sekali, pria seperti apa yang kamu tunggu sampai kamu menolak tawaran saya," kata Zayn kemudian, suaranya sarat dengan nada ingin tahu dan sedikit sindiran.
Sera merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Tawaran Zayn adalah mimpi buruk yang tidak ingin dia ingat lagi. Dia tidak pernah membayangkan harus berhadapan dengan pria itu dalam situasi seperti ini, terutama setelah penolakannya yang tegas kemarin.
Sera hanya bisa meremas jari-jarinya dengan semakin kuat. Kegelisahan memenuhi hatinya, seakan-akan waktu bergerak terlalu lambat di restoran yang ramai ini. Dia terus terdiam, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap sosok yang ditunggunya segera tiba.
"Berhentilah minum, Pak. Nanti Bapak bisa mabuk," tegur Sera akhirnya setelah melihat Zayn menuangkan wine ke dalam gelasnya lebih dari dua kali. Kegelisahan di hatinya semakin membesar, ditambah lagi dengan kehadiran atasannya yang selalu membuatnya merasa tidak nyaman.
Zayn tersenyum hambar, senyum yang selalu membuat Sera merasa ada maksud tersembunyi di baliknya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sera, membuat gadis itu terkejut dan semakin gugup. "Memangnya apa yang akan terjadi kalau saya mabuk?" tanyanya dengan nada menggoda.
Sera tidak menjawab. Dia menggeser tubuhnya menjauh saat merasakan hembusan napas pria itu. Namun, Zayn tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Dengan cepat, dia melingkarkan tangannya di pinggangnya, menariknya lebih dekat.
"Jangan terlalu jauh, nanti kamu bisa jatuh," ujar Zayn sambil menahan Sera dengan erat.
Jantung Sera berdebar kencang, aroma alkohol yang kuat membuatnya semakin pusing. Kesadarannya kembali perlahan, dan dengan susah payah, dia mencoba mendorong dada pria itu menjauh.
Namun, Zayn tidak bergeming. Dia mendekatkan bibirnya ke bibir Sera, mencium gadis itu perlahan. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi semakin intens, melumat bibirnya dengan pelan tapi pasti.
Sera terengah-engah sambil mencoba melepaskan diri dari ciuman itu. Dia menarik wajahnya menjauh dan berseru, "A-apa yang...."
Kata-kata di bibir Sera terhenti begitu saja saat tatapannya bertemu dengan mata Pak Damar yang berdiri tidak jauh dari mereka. Wajahnya menunjukkan ekspresi kemarahan yang tidak terbendung.
"Jadi gadis seperti ini yang mau Papa perkenalkan pada kami?" Suara seorang wanita tiga puluhan menggema dengan penuh emosi. Wajahnya merah padam, dan sorot matanya penuh kebencian.
"Papa bilang dia gadis yang polos, sederhana, dan lugu. Tapi apa ini, Pa?" geram wanita lain yang lebih muda dengan sengit sambil melirik ke arah Sera dengan jijik.
"Siapa pria ini, Sera?" sergah Pak Damar dengan tajam, nadanya penuh kecurigaan.
Belum sempat Sera membalas, Zayn sudah menyela lebih dulu, meraih pinggang Sera dengan cengkeraman yang lebih kuat. "Saya Zayn Renola Wiratama, saya calon suaminya," katanya dengan penuh penekanan.
Mata Sera berkaca-kaca. Dia ingin membantah, namun tatapan muak dan kebencian di mata Pak Damar membuatnya ragu. Rasa malu dan terhina melingkupi hatinya.
"Apa kamu memilihnya karena dia bisa memberikan lebih daripada apa yang akan saya beri padamu?" tanya Pak Damar dengan nada menghina, cengkeramannya pada tongkatnya semakin erat.
Sementara cengkeraman Zayn di pinggangnya semakin kuat, rahang pria itu mengeras. Tatapannya menjadi semakin tajam, seolah ingin mencabik-cabik tubuh pria tua di hadapannya. "Apa Anda masih belum sadar juga? Di usia Anda sekarang, apakah Anda tidak malu ingin mempersunting gadis yang lebih cocok jadi cucu Anda sendiri?" desisnya dengan sinis.
"Saya bertanya pada Sera, bukan pada Anda!" geram Pak Damar dengan kesal.
"Sudahlah, Pa. Lebih baik kita pulang saja. Untuk apa sih kita terus mempermalukan diri demi gadis yang tidak berharga ini," sergah salah satu putri Pak Damar dengan tak sabar sambil menarik tangan ayahnya. "Dia tidak pantas menggantikan Mama dan menjadi istri Papa."
Sera hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menahan air matanya. Dia sangat malu, ingin rasanya dia menghilang saja. Seluruh perhatian di restoran kini tertuju pada mereka, membuatnya semakin terpuruk.
"Saya tidak menyangka hanya segini nilai dirimu, Sera. Saya pikir kamu berbeda," desis Pak Damar dengan tajam sebelum pergi meninggalkan Sera dan Zayn.
Sera berdiri terpaku, merasakan pandangan penuh penghinaan dari orang-orang di sekitarnya. Sementara Zayn masih berdiri di sampingnya, tatapannya penuh dengan amarah yang terpendam.
"Jadi, pada pria tua itu kamu ingin menjual tubuhmu, Sera?" bisik Zayn dengan nada menghina, mendekatkan wajahnya ke telinga Sera.
"Jadi, pada pria tua itu kamu ingin menjual tubuhmu, Sera?" Kata-kata Zayn menghantam Sera bagai tamparan keras. Dia menatap pria di hadapannya dengan campuran emosi - kemarahan, rasa terhina, dan putus asa yang mencekik."Setidaknya dia ingin menikahi saya!" Sera membalas dengan suara bergetar. "Bukan hanya menginginkan tubuh saya seperti... seperti Anda!"Zayn menyeringai, matanya berkilat berbahaya. "Oh? Jadi itu masalahnya?" Dia melangkah mendekat, membuat Sera mundur hingga punggungnya menabrak dinding. "Kalau begitu, saya juga bisa menikahimu. Itu bukan masalah besar."Sera terperangah. "A-apa?""Kamu dengar saya," Zayn berkata dingin. "Saya juga bisa menikahimu kalau saja sejak awal kamu mengajukan syarat itu. Tapi lihat dirimu sekarang, malah memohon pada pria tua renta yang lebih cocok menjadi kakekmu."Mata Sera membelalak, perasaan marah dan hina menyeruak dalam dadanya. Kata-kata Zayn menghancurkan sisa-sisa harga diri yang masih dimilikinya, namun dia tidak punya argumen
Sera duduk di kursi di ruangan dokter, meremas-remas jemarinya yang dingin. Hasil pengecekan menyeluruh yang dilakukan oleh Dokter Aryono baru saja disampaikan, dan perasaan lega bercampur dengan kecemasan memenuhi hatinya.“Rahimmu subur, Sera. Saluran telurnya pun sehat dan terbuka,” ujar Dokter Aryono sambil melepaskan sarung tangannya. “Tidak ada masalah sama sekali. Kalian berdua dalam kondisi prima untuk memiliki anak."Sera menggigit bibir bawahnya, merasakan campuran emosi yang rumit. Dia merasa lega karena rahimnya subur dan dia bisa mengandung anaknya sendiri. Namun, kecemasan menggerogoti hatinya, karena hal ini berarti kesepakatannya dengan Zayn akan terus berlanjut. Dia akan menikah dengan pria itu, mengandung anaknya, melahirkannya, dan menyerahkan anak itu pada istri pertama Zayn.Waktu seakan berhenti di sekitarnya. Bayangan harus menyerahkan anaknya sendiri pada orang lain begitu nyata dan menyakitkan. Dia tidak tahu bagaimana perasaannya nanti.Zayn menepuk pelan pun
"Ikutlah dengan saya malam ini," ujar Zayn dengan nada yang lebih mirip perintah daripada ajakan. Matanya yang tajam menatap Sera, seolah menuntut kepatuhan tanpa pertanyaan.Sera, yang sedang mengoleskan selai kacang di atas roti, menghentikan gerakannya sejenak. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. "Ke mana, Mas?" tanyanya dengan suara selembut mungkin, berusaha tidak menunjukkan kegelisahan yang mulai merayap di hatinya."Nanti juga kamu tahu," sahut Zayn dingin, tanpa repot-repot menoleh ke arah istrinya. Dia sibuk membolak-balik koran pagi, seolah pertanyaan Sera tak lebih penting dari berita hari ini.Sera hanya bisa menghela napas pasrah. Sudah hampir satu minggu mereka menikah, tapi sikap Zayn tak pernah berubah. Dingin, kaku, dan penuh misteri. Namun Sera
Zayn melangkah masuk ke dalam bar eksklusif itu. Langkahnya mantap dan penuh percaya diri, kontras dengan Sera yang tertinggal di belakang, berjuang dengan setiap langkahnya. Sepatu hak tinggi yang dipakainya seolah menjadi musuh terbesarnya malam ini.Sera berusaha menyeimbangkan tubuhnya, napasnya terengah-engah. Dia melirik punggung Zayn yang semakin menjauh, berharap suaminya akan menoleh dan membantunya. Namun, harapan itu pupus seketika.Sera berusaha menyeimbangkan diri, kakinya gemetar seperti anak rusa yang baru belajar berjalan. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas tali yang membentang di atas jurang. Sementara Zayn terus melangkah, seolah tak menyadari atau lebih tepatnya, tak peduli dengan kesulitan yang dihadapi istrinya."Bisa lebih cepat?" Suara Zayn akhirnya memecah keheningan di antara mer
Denyut sakit yang berdentam di kepala Sera menyambutnya kembali ketika dia membuka matanya. Perlahan, dia mencoba memfokuskan pandangan dalam remang-remang kamar yang asing.Sera merasakan lembut seprai di kulitnya yang telanjang, terselimuti hingga leher. Kebingungan dan rasa takut mulai merayap dalam dirinya saat kesadaran perlahan kembali. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya yang terasa lemah dan kaku, seolah baru saja melalui badai hebat.Dengan tangan gemetar, Sera menyentuh kepalanya yang berdenyut. Potongan-potongan ingatan berkelebat dalam benaknya, namun tak satu pun membentuk gambaran utuh tentang apa yang telah terjadi.Tiba-tiba, matanya menangkap bayangan di sudut ruangan, jeritan tertahan lolos dari bibirnya.Jantung Sera seakan berhenti ber
"Kenapa kamu mengusir semua orang yang ingin melayanimu?" Suara Zayn memecah keheningan, nadanya sedingin es.Sera membisu. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Dia tidak berusaha menyembunyikannya, membiarkan kesedihannya terlihat jelas di hadapan suaminya.Zayn duduk di tepi ranjang, jarak mereka begitu dekat hingga Sera bisa merasakan napasnya yang hangat dan tatapan tajam yang terpancar dari matanya. "Kamu ingin keluar dengan tampilan seperti ini?" desisnya geram, kesabarannya mulai menipis.Masih tak ada jawaban. Sera memalingkan wajah, menghindari tatapan Zayn yang terasa membakar. Hatinya seolah tercabik-cabik setiap kali dia memandang wajah pria yang kini menjadi suaminya itu.Amarah mulai menguasai Zayn. Dia mengepalkan tangan hingga b
"Saya ingin bercerai, Mas."Kata-kata itu meluncur dari bibir Sera, bergetar namun penuh tekad. Tiga hari menunggu dalam ketidakpastian telah memberinya waktu untuk mengumpulkan keberanian ini. Sementara Zayn, yang baru saja kembali entah dari mana, menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Sera meremas tangannya kuat-kuat, berusaha menguatkan diri untuk melanjutkan. "Tidak peduli meski saya harus membayarnya dengan bekerja seumur hidup. Saya pasti akan membayar hutang saya."Mata Zayn yang tajam menusuk langsung ke jiwa Sera, seolah hendak menelanjangi setiap pikiran dan niatnya. "Kamu tahu kan berapa kali lipat jumlah keseluruhan yang harus kamu bayar jika membatalkan kontrak ini secara sepihak?" Suaranya dingin dan kasar.Sera menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusah
Sera menatap Zayn dengan mata membulat, kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba bersedia mengantarnya pulang terasa begitu ganjil."M-mas mau mengantar saya?" tanyanya ragu-ragu saat Zayn memasuki mobil dan duduk di sampingnya.Zayn hanya melirik sekilas sebelum memerintah sopirnya, "Jalan, Pak." Nada suaranya datar, tak memberikan petunjuk apa pun tentang apa yang ada dalam pikirannya.Selama perjalanan, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Zayn, seperti biasa, tenggelam dalam percakapan bisnis di teleponnya. Sementara Sera, pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib yang menanti di ujung perjalanan ini.Ketika mobil berbelok ke arah yang asing, alarm internal Sera mulai berbunyi nyaring. "K-kita mau pergi ke mana, Mas?" tanyanya
Api menjilat-jilat tirai hotel dengan rakus, menari-nari dalam kegelapan malam yang mencekam. Zayn terpaku di tengah kamar, matanya nanar menatap lidah-lidah merah yang kini merambat ke langit-langit. Napasnya tertahan, bukan karena asap yang mulai mengepul—tetapi karena kenangan yang tiba-tiba menyeruak, menghantamnya dengan kekuatan yang membuatnya gemetar.Lima belas tahun yang lalu. Malam itu juga bermula dengan api—api yang dia sulut sendiri dengan tangan gemetar dan hati yang membara oleh kebencian.Anak muda itu berdiri di sana, tangannya gemetar memegang korek api. Matanya berkaca-kaca, campuran antara amarah dan ketakutan yang begitu mencekik. Bayangan wajah ibunya yang terluka, mata sembab yang selalu menyimpan kesedihan mendalam, dan tubuh rapuh yang menderita dalam diam – semuanya berputar dalam benaknya seperti film rusak yang ter
Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y
Kesadaran menyeruak perlahan, membawa Arneta kembali ke dunia nyata yang lebih menyakitkan dari mimpi terburuknya. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ribuan palu menghantam tanpa henti. Matanya terbuka, mengerjap lemah, hanya untuk bertemu dengan sepasang mata tajam yang menatapnya lekat - mata Gilang, pria yang kini menjadi sumber dari segala deritanya."Kamu sudah bangun?" Suara Gilang terdengar tenang, namun bagi Arneta, setiap kata yang keluar dari mulut pria itu bagaikan racun yang menyebar ke seluruh tubuhnya."Hampir saja mematahkan tangan dokter itu kalau kamu masih belum bangun juga," lanjut Gilang santai, seolah membicarakan cuaca. Kenyataan menghantam Arneta bagai ombak ganas - ini bukan mimpi. Ia telah kembali ke sangkar emasnya yang terkutuk, tempat di mana ia tak lebih dari boneka dalam genggaman Gilang.
Rintik hujan perlahan mereda, meninggalkan aroma basah yang mengambang di udara. Di hadapan rumah yang dulu penuh kehangatan, Arneta berdiri terpaku, seolah waktu membeku di sekelilingnya. Air mata mengalir tanpa henti, setiap tetesnya membawa serpihan kenangan indah yang kini terasa begitu jauh dan mustahil untuk diraih kembali.Bangunan yang dulu bernapas dengan tawa dan canda, kini berdiri sunyi, seakan ikut berkabung atas tragedi yang menimpa penghuninya. Arneta merasakan setiap detik yang berlalu bagaikan pisau yang mengiris jiwanya."Ayo, Ma. Ana pasti ketakutan di dalam," suara Adjie memecah keheningan, menarik Arneta kembali ke realita yang kejam.Nama putrinya bagaikan cambuk yang menghantam kesadaran Arneta. Dengan langkah tergesa, dia menghampiri pintu, jantungnya berdebar kencang. Namun, pintu terkunci r
Kesunyian yang mencekam merayap di sudut-sudut kamar, seolah menelan seluruh kehidupan yang tersisa. Di tengah ruangan itu, Arneta terduduk kaku, tatapannya kosong menembus jendela, menerawang jauh ke cakrawala yang tak terjangkau. Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Adjie, namun bagi Arneta, waktu seakan berhenti, membeku dalam keputusasaan yang mencengkeram.Wajahnya yang dulunya berseri kini tampak pucat dan tirus. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang sayu, saksi bisu dari malam-malam tanpa tidur yang dilaluinya. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya.Suara ketukan lembut di pintu memecah keheningan, diikuti derit engsel yang membuka perlahan. Astuti, dengan langkah hati-hati, memasuki kamar membawa nampan berisi hidangan yang aromanya menguar menggoda. Namun bagi Ar