Sera duduk dengan gelisah di sebuah meja di sudut restoran yang cukup mewah. Pikirannya berkecamuk, terus meyakinkan dirinya bahwa inilah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk menyelamatkan ibunya. Sesekali, dia melirik jam tangannya, berharap waktu segera berlalu dan pertemuan ini segera berakhir.
Matanya terus terpejam rapat, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba, dia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya.
Matanya membelalak tak percaya saat melihat pria yang berdiri di depannya. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang dalam dan penuh arti. "Pak Zayn...?!" serunya, suaranya hampir tidak terdengar.
"Hai, Sera. Sedang menunggu seseorang?" balas Zayn dengan nada dingin yang biasa. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menambah kesan angkuh pada dirinya.
"K-kenapa Bapak ada di sini?" Sera tergagap, masih tak percaya akan bertemu Zayn di sini. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Zayn mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. "Karena ini restoran umum dan tidak ada yang melarang saya untuk datang," jawabnya sambil menyandarkan diri ke kursi.
Sera menggigit bibir bawahnya, menyadari betapa bodohnya pertanyaannya barusan. Sementara itu, tangannya mulai bergetar, dan keringat dingin terus mengalir. Atmosfer di sekitarnya tiba-tiba terasa lebih panas, seakan pendingin ruangan yang ada hanyalah pajangan semata.
Tanpa diduga, Zayn mengulurkan sapu tangannya. "Pakailah, wajahmu sudah seperti kepiting rebus," katanya dengan tenang, membuat Sera semakin malu.
"Tidak usah, Pak," tolak Sera dengan halus, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Zayn mengangkat alisnya, menatap Sera dengan tatapan tajam. "Ada apa? Kamu sedang menunggu seseorang?" tanyanya dengan santai, seolah menikmati setiap detik kegelisahan yang melingkupi wajah Sera.
"A-ada yang ingin saya temui, Pak. Dan saya tidak mau orang itu salah paham melihat Bapak ada di sini," sahut Sera setelah menarik napas panjang. Dia merasa semakin terdesak, takut orang yang ditunggunya datang dan salah paham melihatnya bersama Zayn.
Zayn mengernyitkan alisnya, berpura-pura bodoh dengan maksud dari kata-kata Sera. "Kenapa kamu takut dia salah paham? Memangnya apa yang kita lakukan?" tanyanya dengan nada yang sedikit mengejek.
Wajah Sera semakin memerah, rasa malu dan marah bercampur aduk di dalam dirinya. Dia tidak tahu bagaimana lagi menghadapi Zayn. Mungkinkah pria itu sengaja mempermainkan dirinya setelah kemarin dia menolak tawarannya?
"Saya mohon, Pak...." Suara Sera terdengar semakin lemah, hampir seperti bisikan.
Namun, Zayn tidak mengindahkan kegelisahan gadis itu. Dengan santainya, dia memesan minuman kepada pelayan dan duduk di samping Sera. Kehadirannya yang begitu dekat membuat Sera semakin tak nyaman.
"Kamu yakin tidak mau minum?" tanya Zayn sambil menoleh ke arah Sera yang langsung menggelengkan kepala dengan cepat.
Saya hanya ingin kamu pergi dari sini! teriak Sera dalam hatinya, tetapi mulutnya terkunci rapat.
"Saya penasaran sekali, pria seperti apa yang kamu tunggu sampai kamu menolak tawaran saya," kata Zayn kemudian, suaranya sarat dengan nada ingin tahu dan sedikit sindiran.
Sera merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Tawaran Zayn adalah mimpi buruk yang tidak ingin dia ingat lagi. Dia tidak pernah membayangkan harus berhadapan dengan pria itu dalam situasi seperti ini, terutama setelah penolakannya yang tegas kemarin.
Sera hanya bisa meremas jari-jarinya dengan semakin kuat. Kegelisahan memenuhi hatinya, seakan-akan waktu bergerak terlalu lambat di restoran yang ramai ini. Dia terus terdiam, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap sosok yang ditunggunya segera tiba.
"Berhentilah minum, Pak. Nanti Bapak bisa mabuk," tegur Sera akhirnya setelah melihat Zayn menuangkan wine ke dalam gelasnya lebih dari dua kali. Kegelisahan di hatinya semakin membesar, ditambah lagi dengan kehadiran atasannya yang selalu membuatnya merasa tidak nyaman.
Zayn tersenyum hambar, senyum yang selalu membuat Sera merasa ada maksud tersembunyi di baliknya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sera, membuat gadis itu terkejut dan semakin gugup. "Memangnya apa yang akan terjadi kalau saya mabuk?" tanyanya dengan nada menggoda.
Sera tidak menjawab. Dia menggeser tubuhnya menjauh saat merasakan hembusan napas pria itu. Namun, Zayn tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Dengan cepat, dia melingkarkan tangannya di pinggangnya, menariknya lebih dekat.
"Jangan terlalu jauh, nanti kamu bisa jatuh," ujar Zayn sambil menahan Sera dengan erat.
Jantung Sera berdebar kencang, aroma alkohol yang kuat membuatnya semakin pusing. Kesadarannya kembali perlahan, dan dengan susah payah, dia mencoba mendorong dada pria itu menjauh.
Namun, Zayn tidak bergeming. Dia mendekatkan bibirnya ke bibir Sera, mencium gadis itu perlahan. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi semakin intens, melumat bibirnya dengan pelan tapi pasti.
Sera terengah-engah sambil mencoba melepaskan diri dari ciuman itu. Dia menarik wajahnya menjauh dan berseru, "A-apa yang...."
Kata-kata di bibir Sera terhenti begitu saja saat tatapannya bertemu dengan mata Pak Damar yang berdiri tidak jauh dari mereka. Wajahnya menunjukkan ekspresi kemarahan yang tidak terbendung.
"Jadi gadis seperti ini yang mau Papa perkenalkan pada kami?" Suara seorang wanita tiga puluhan menggema dengan penuh emosi. Wajahnya merah padam, dan sorot matanya penuh kebencian.
"Papa bilang dia gadis yang polos, sederhana, dan lugu. Tapi apa ini, Pa?" geram wanita lain yang lebih muda dengan sengit sambil melirik ke arah Sera dengan jijik.
"Siapa pria ini, Sera?" sergah Pak Damar dengan tajam, nadanya penuh kecurigaan.
Belum sempat Sera membalas, Zayn sudah menyela lebih dulu, meraih pinggang Sera dengan cengkeraman yang lebih kuat. "Saya Zayn Renola Wiratama, saya calon suaminya," katanya dengan penuh penekanan.
Mata Sera berkaca-kaca. Dia ingin membantah, namun tatapan muak dan kebencian di mata Pak Damar membuatnya ragu. Rasa malu dan terhina melingkupi hatinya.
"Apa kamu memilihnya karena dia bisa memberikan lebih daripada apa yang akan saya beri padamu?" tanya Pak Damar dengan nada menghina, cengkeramannya pada tongkatnya semakin erat.
Sementara cengkeraman Zayn di pinggangnya semakin kuat, rahang pria itu mengeras. Tatapannya menjadi semakin tajam, seolah ingin mencabik-cabik tubuh pria tua di hadapannya. "Apa Anda masih belum sadar juga? Di usia Anda sekarang, apakah Anda tidak malu ingin mempersunting gadis yang lebih cocok jadi cucu Anda sendiri?" desisnya dengan sinis.
"Saya bertanya pada Sera, bukan pada Anda!" geram Pak Damar dengan kesal.
"Sudahlah, Pa. Lebih baik kita pulang saja. Untuk apa sih kita terus mempermalukan diri demi gadis yang tidak berharga ini," sergah salah satu putri Pak Damar dengan tak sabar sambil menarik tangan ayahnya. "Dia tidak pantas menggantikan Mama dan menjadi istri Papa."
Sera hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menahan air matanya. Dia sangat malu, ingin rasanya dia menghilang saja. Seluruh perhatian di restoran kini tertuju pada mereka, membuatnya semakin terpuruk.
"Saya tidak menyangka hanya segini nilai dirimu, Sera. Saya pikir kamu berbeda," desis Pak Damar dengan tajam sebelum pergi meninggalkan Sera dan Zayn.
Sera berdiri terpaku, merasakan pandangan penuh penghinaan dari orang-orang di sekitarnya. Sementara Zayn masih berdiri di sampingnya, tatapannya penuh dengan amarah yang terpendam.
"Jadi, pada pria tua itu kamu ingin menjual tubuhmu, Sera?" bisik Zayn dengan nada menghina, mendekatkan wajahnya ke telinga Sera.
"Jadi, pada pria tua itu kamu ingin menjual tubuhmu, Sera?" Kata-kata Zayn menghantam Sera bagai tamparan keras. Dia menatap pria di hadapannya dengan campuran emosi - kemarahan, rasa terhina, dan putus asa yang mencekik."Setidaknya dia ingin menikahi saya!" Sera membalas dengan suara bergetar. "Bukan hanya menginginkan tubuh saya seperti... seperti Anda!"Zayn menyeringai, matanya berkilat berbahaya. "Oh? Jadi itu masalahnya?" Dia melangkah mendekat, membuat Sera mundur hingga punggungnya menabrak dinding. "Kalau begitu, saya juga bisa menikahimu. Itu bukan masalah besar."Sera terperangah. "A-apa?""Kamu dengar saya," Zayn berkata dingin. "Saya juga bisa menikahimu kalau saja sejak awal kamu mengajukan syarat itu. Tapi lihat dirimu sekarang, malah memohon pada pria tua renta yang lebih cocok menjadi kakekmu."Mata Sera membelalak, perasaan marah dan hina menyeruak dalam dadanya. Kata-kata Zayn menghancurkan sisa-sisa harga diri yang masih dimilikinya, namun dia tidak punya argumen
Sera duduk di kursi di ruangan dokter, meremas-remas jemarinya yang dingin. Hasil pengecekan menyeluruh yang dilakukan oleh Dokter Aryono baru saja disampaikan, dan perasaan lega bercampur dengan kecemasan memenuhi hatinya.“Rahimmu subur, Sera. Saluran telurnya pun sehat dan terbuka,” ujar Dokter Aryono sambil melepaskan sarung tangannya. “Tidak ada masalah sama sekali. Kalian berdua dalam kondisi prima untuk memiliki anak."Sera menggigit bibir bawahnya, merasakan campuran emosi yang rumit. Dia merasa lega karena rahimnya subur dan dia bisa mengandung anaknya sendiri. Namun, kecemasan menggerogoti hatinya, karena hal ini berarti kesepakatannya dengan Zayn akan terus berlanjut. Dia akan menikah dengan pria itu, mengandung anaknya, melahirkannya, dan menyerahkan anak itu pada istri pertama Zayn.Waktu seakan berhenti di sekitarnya. Bayangan harus menyerahkan anaknya sendiri pada orang lain begitu nyata dan menyakitkan. Dia tidak tahu bagaimana perasaannya nanti.Zayn menepuk pelan pun
"Ikutlah dengan saya malam ini," ujar Zayn dengan nada yang lebih mirip perintah daripada ajakan. Matanya yang tajam menatap Sera, seolah menuntut kepatuhan tanpa pertanyaan.Sera, yang sedang mengoleskan selai kacang di atas roti, menghentikan gerakannya sejenak. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. "Ke mana, Mas?" tanyanya dengan suara selembut mungkin, berusaha tidak menunjukkan kegelisahan yang mulai merayap di hatinya."Nanti juga kamu tahu," sahut Zayn dingin, tanpa repot-repot menoleh ke arah istrinya. Dia sibuk membolak-balik koran pagi, seolah pertanyaan Sera tak lebih penting dari berita hari ini.Sera hanya bisa menghela napas pasrah. Sudah hampir satu minggu mereka menikah, tapi sikap Zayn tak pernah berubah. Dingin, kaku, dan penuh misteri. Namun Sera
Zayn melangkah masuk ke dalam bar eksklusif itu. Langkahnya mantap dan penuh percaya diri, kontras dengan Sera yang tertinggal di belakang, berjuang dengan setiap langkahnya. Sepatu hak tinggi yang dipakainya seolah menjadi musuh terbesarnya malam ini.Sera berusaha menyeimbangkan tubuhnya, napasnya terengah-engah. Dia melirik punggung Zayn yang semakin menjauh, berharap suaminya akan menoleh dan membantunya. Namun, harapan itu pupus seketika.Sera berusaha menyeimbangkan diri, kakinya gemetar seperti anak rusa yang baru belajar berjalan. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas tali yang membentang di atas jurang. Sementara Zayn terus melangkah, seolah tak menyadari atau lebih tepatnya, tak peduli dengan kesulitan yang dihadapi istrinya."Bisa lebih cepat?" Suara Zayn akhirnya memecah keheningan di antara mer
Denyut sakit yang berdentam di kepala Sera menyambutnya kembali ketika dia membuka matanya. Perlahan, dia mencoba memfokuskan pandangan dalam remang-remang kamar yang asing.Sera merasakan lembut seprai di kulitnya yang telanjang, terselimuti hingga leher. Kebingungan dan rasa takut mulai merayap dalam dirinya saat kesadaran perlahan kembali. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya yang terasa lemah dan kaku, seolah baru saja melalui badai hebat.Dengan tangan gemetar, Sera menyentuh kepalanya yang berdenyut. Potongan-potongan ingatan berkelebat dalam benaknya, namun tak satu pun membentuk gambaran utuh tentang apa yang telah terjadi.Tiba-tiba, matanya menangkap bayangan di sudut ruangan, jeritan tertahan lolos dari bibirnya.Jantung Sera seakan berhenti ber
"Kenapa kamu mengusir semua orang yang ingin melayanimu?" Suara Zayn memecah keheningan, nadanya sedingin es.Sera membisu. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Dia tidak berusaha menyembunyikannya, membiarkan kesedihannya terlihat jelas di hadapan suaminya.Zayn duduk di tepi ranjang, jarak mereka begitu dekat hingga Sera bisa merasakan napasnya yang hangat dan tatapan tajam yang terpancar dari matanya. "Kamu ingin keluar dengan tampilan seperti ini?" desisnya geram, kesabarannya mulai menipis.Masih tak ada jawaban. Sera memalingkan wajah, menghindari tatapan Zayn yang terasa membakar. Hatinya seolah tercabik-cabik setiap kali dia memandang wajah pria yang kini menjadi suaminya itu.Amarah mulai menguasai Zayn. Dia mengepalkan tangan hingga b
"Saya ingin bercerai, Mas."Kata-kata itu meluncur dari bibir Sera, bergetar namun penuh tekad. Tiga hari menunggu dalam ketidakpastian telah memberinya waktu untuk mengumpulkan keberanian ini. Sementara Zayn, yang baru saja kembali entah dari mana, menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Sera meremas tangannya kuat-kuat, berusaha menguatkan diri untuk melanjutkan. "Tidak peduli meski saya harus membayarnya dengan bekerja seumur hidup. Saya pasti akan membayar hutang saya."Mata Zayn yang tajam menusuk langsung ke jiwa Sera, seolah hendak menelanjangi setiap pikiran dan niatnya. "Kamu tahu kan berapa kali lipat jumlah keseluruhan yang harus kamu bayar jika membatalkan kontrak ini secara sepihak?" Suaranya dingin dan kasar.Sera menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusah
Sera menatap Zayn dengan mata membulat, kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba bersedia mengantarnya pulang terasa begitu ganjil."M-mas mau mengantar saya?" tanyanya ragu-ragu saat Zayn memasuki mobil dan duduk di sampingnya.Zayn hanya melirik sekilas sebelum memerintah sopirnya, "Jalan, Pak." Nada suaranya datar, tak memberikan petunjuk apa pun tentang apa yang ada dalam pikirannya.Selama perjalanan, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Zayn, seperti biasa, tenggelam dalam percakapan bisnis di teleponnya. Sementara Sera, pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib yang menanti di ujung perjalanan ini.Ketika mobil berbelok ke arah yang asing, alarm internal Sera mulai berbunyi nyaring. "K-kita mau pergi ke mana, Mas?" tanyanya