"Kalian ngapain?" Almera mengulangi pertanyaannya karena tidak mendapat respon dari dua orang yang membuat hatinya sakit.
Mereka tetap pada kegiatannya, seolah di rumah ini hanya ada mereka berdua. Dadanya semakin sesak saat mereka tidak berhenti justru semakin memanas.
Kenapa sakit sekali? Seharusnya dia sadar, bahwa sejak awal Romeo memang bukan miliknya.
Semua ini hanya sementara, tetapi tetap saja rasanya begitu menyakitkan, seperti ditikam belati tumpul dan berkarat."Mas!" teriak Almera tidak tahan.
Dua orang berbeda kelamin itu tersentak dan menghentikan kegiatannya lalu menoleh ke sumber suara. Tidak ada raut kaget sedikit pun dari keduanya saat melihat Almera berdiri di seberang meja dengan mata berkaca-kaca. Seolah apa yang mereka lakukan layak dilihat orang lain, terutama Almera.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Romeo tajam tanpa mengubah posisinya yang hampir menindih Citra di ujung sofa. Bahkan baju keduanya sudah tidak rapi lagi.
Halo, Kakak-kakak, happy reading ❤️ Gimana nih sama bab ini? Kalian tim Almera atau Citra? Sayang kalian 🤗
Perlahan tatapan Widya berubah menjadi tajam lalu berdiri tegak di depan dua orang yang sudah menyakiti sahabatnya. "Wow! Ternyata kayak gini ya kehidupan rumah tangga sahabat gue. Benar-benar mengejutkan." Tidak ada lagi air mata yang mengalir. Kini hanya ada amarah dan kebencian di dalam dirinya. Matanya menatap Citra dan Romeo dari atas ke bawah dengan pandangan menilai. Tidak lupa juga dengan jarinya yang ikut bergerak menunjuk keduanya. "Kelihatannya kalian cocok deh," celetuk Widya membuat Citra mengangkat dagunya angkuh. Perlahan bibirnya terangkat membentuk senyum kemenangan. Dari dulu, sekarang dan selamanya, hanya dia seorang yang bisa memiliki Romeo. "Yang satu brengsek, yang satunya gatal. Aw, so sweet banget deh," lanjutnya tersenyum meremehkan. Tangan Romeo terkepal. Ucapan gadis di depannya ini berhasil membangkitkan emosi yang tadi sempat padam. "Apa
Cinta dan luka memang satu. Jika sudah jatuh cinta maka harus siap menerima luka. Cinta, satu kata yang dapat membuat hidup seseorang berubah. Entah kebahagiaan yang menghadirkan tawa, atau kesedihan yang mengundang air mata. Semua orang pasti menginginkan sebuah cinta yang indah. Cinta yang berakhir dalam ikatan suci pernikahan. Saling menyayangi, melindungi dan membahagiakan satu sama lain. Bukan seperti Almera. Pernikahan atas dasar perjodohan yang menghadirkan cinta dan luka secara bersamaan. Almera mencintai Romeo, tetapi Romeo mencintai Citra. Almera berusaha menjadi istri yang baik untuk Romeo, sedangkan Romeo berusaha menjadi pacar yang baik bagi Citra. Terkadang cinta memang selucu itu. Ikatan suci yang dikhianati, kebohongan, bahkan kekerasan yang diterima Almera tidak mampu menghilangkan rasa cintanya. "Bodoh, gue bodoh banget," gumam Almera dengan kepala tertunduk sedih. Air matanya tidak berhenti meng
Sudah satu minggu sejak pertengkaran Almera dan Romeo ketika memergoki suaminya berciuman panas dengan Citra. Sejak saat itu pula keduanya tidak saling bertegur sapa. Mereka memang masih tinggal satu rumah, tetapi bersikap seolah tidak ada orang lain selain dirinya sendiri. Bahkan Almera tidur di kamar tamu. Merasa sangat enggan untuk bertatap muka dengan Romeo, karena kejadian saat itu masih terbayang-bayang. Namun, hari-hari Almera tidak semulus jalan tol. Selalu ada kejadian yang menguji kesabarannya. Contohnya saja seperti sekarang. Dengan tidak tahu dirinya Romeo bermesraan dengan Citra di meja makan. "Makin hari makin enggak tahu diri mereka," gumam Almera melihat keduanya dari ruang keluarga. Dirinya sangat lapar dan sialnya, di meja makan ada dua sejoli yang sedang bermesraan dengan canda tawa. "Gue laper, tetapi kalau ke sana kasihan sama hati gue," gumam Almera lagi, kemudia
Rizky dan Amel saling pandang dengan mata menyipit. "Dijual!" seru keduanya kompak, membuat Widya terlonjak kaget. "Bisa pelan-pelan aja enggak sih ngomongnya? Kaget gue," ketus Widya menatap mereka tajam. Bukannya takut atau merasa bersalah, mereka justru tertawa melihat wajah Widya yang semakin tidak enak dipandang. "Wid, emang siapa pelakornya? Dan juga, dia ngerusak hubungan siapa?" tanya Amel mencondongkan badannya ke depan sehingga wajahnya dengan Widya begitu dekat. Widya menempelkan telapak tangannya di wajah Amel lalu mendorongnya tanpa perasaan. Raut wajahnya menjelaskan kalau dia begitu risih dengan kelakuan sahabatnya itu. "Ish, lo tuh ya kasar banget jadi cewek. Ngomong baik-baik 'kan bisa, mana dorongnya pakai tenaga dalam lagi!" sungut Amel memegang wajahnya yang terasa sedikit sakit. "Bodo amat," ujar Widya tidak peduli membuat Amel mendengkus kesal. Selalu seperti ini. Dia akan kalah jika sudah berhadapan denga
"Siapa ya?" tanya Almera linglung membuat seseorang tersebut terkekeh geli. Meskipun Almera belum bisa melihat wajah orang itu dengan jelas, tetapi telinganya masih normal. Dia sangat familiar dengan suara tegas ini. "Papa!" pekik Almera terkejut hingga spontan berdiri dengan tubuh kakunya. Seseorang itu yang tidak lain adalah Papa Edward tertawa lepas melihat ekspresi menantunya. "Hai, Anak papa." "H - hai, Pa," balas Almera gugup. Bagaimana bisa Papa mertuanya tiba-tiba berada di sini? Almera menggeser tubuhnya ke kanan guna melihat ke belakang Papa Edward. Matanya mengedar ke sekitar, menari seseorang yang menemani Papanya ke sini. "Almera, cari siapa?" tanya Papa Edward ikut melihat ke arah belakangnya. Almera mengerjap pelan kemudian menatap Papa Edward dengan wajah bingungnya. "Papa, mama mana?" tanya Almera balik.
Entah ke mana perginya rasa takut yang tadi Almera rasakan hingga berani menghampiri Romeo. Hatinya terasa sakit dan tidak terima ketika melihat Papa Edward memukul Romeo dengan begitu keras. Almera akui, dia sangat bodoh dalam masalah cinta. Seharusnya dia senang bukan, karena ada yang menghukum Romeo meskipun hanya satu pukulan? Namun, kenapa hatinya berkata lain? "Ayo, aku bantu, Mas," ucap Almera hendak membantu Romeo bangkit dari posisi tersungkurnya. Namun sang empu justru menepisnya tanpa perasaan. Hal itu tentu saja disaksikan oleh Papa Edward. Tangannya sangat gatal ingin menghajar anak semata wayangnya itu. Masa bodoh dengan statusnya sebagai ayah kandung Romeo. Karena kini, hatinya benar-benar dilingkupi emosi yang begitu besar. "Sayang," panggil Romeo kepada Citra yang berdiri tidak jauh darinya. Paham dengan kode sang pacar, Citra bergegas menghampiri Romeo dan membantunya berdiri. "Sakit ya?" tanya Citra mengelus pipi seb
Mata indah dengan bulu mata lentik yang biasanya berbinar kini tampak redup. Wajah cantik Almera terlihat begitu kacau dengan mata sembab, hidung merah dan jejak air mata. Sejak kepergian papa Edward, Almera sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari halaman depan, tempat yang tadinya di tempati mobil sang papa. Ingatan Almera terlempar pada kejadian di teras tadi. Di mana papa Edward berbincang bahkan sampai tertawa keras karena pikiran konyolnya. Seandainya saja Almera bisa lebih keras dalam mencegah Citra, pasti semuanya tidak berakhir seperti ini. Seandainya juga tadi dia langsung mengajak papa ke taman belakang dan bersenda gurau di sana, pasti tidak ada pertengkaran serta papa Edward tidak mengetahui hal ini. 'Kok gue ngerasa ada yang aneh ya?' tanya Almera di dalam hati. Air mata yang tadinya sudah menggenang di pelupuk matanya pun mendadak hilang kala mengingat sesuatu. Tunggu! Al
"Ya emang rumah orang. Siapa bilang ini rumah tikus?" Widya melirik Amel tidak peduli. "Bukan gitu maksudnya. Ih, kok lo nyebelin banget sih! Mana dari tadi pertanyaan gue enggak dijawab lagi!" geram Amel memukul punggung Widya kesal membuat sang empu melotot kaget. Hingga terjadilah aksi saling pukul dengan mulut yang tidak berhenti berteriak. "Lo yang nyebelin, Amel. Gue dari tadi diem tapi lo malah pukul-pukul. Lo pikir, gue ini samsak apa?" Widya memukul lengan Amel brutal guna melampiaskan kekesalannya. Almera hanya bisa menghela napas lelah melihat tingkah kedua sahabatnya yang bertengkar tidak tahu tempat. Jika tahu akan terjadi hal seperti ini, Almera tidak akan mengajak mereka. Huft! Mau menyesal pun tidak ada gunanya. Tanpa mempedulikan Widya dan Amel yang sudah terduduk di lantai, Almera memilih untuk kembali mengetuk pintu. Hingga tidak lama kemudian, suara pintu yang terbuka membuat Almera menegakkan badannya. "Cari sia-"
Di sebuah ruangan berwarna abu-abu, terdapat seorang pria yang berdiri di dekat jendela. Romeo, pria yang dulunya bertubuh kekar kini semakin kurus. Rambut-rambut halus mulai tumbuh di sekitar dagunya. Bahkan kumisnya sudah tebal seperti bapak-bapak yang ada di warung kopi. Dengan tangan yang berada di saku celana, Romeo menatap kosong langit malam yang penuh bintang. Sudah pukul sepuluh malam, tetapi matanya enggan terpejam. Padahal besok pagi ada rapat penting. Ingatannya kembali berputar pada kejadian beberapa bulan lalu. Di saat Almera masih di sini dan dia melukainya seenak hati. Perasaan bencinya kepada Almera telah melebur menjadi penyesalan. Penyesalan yang sangat dalam. "Bahkan sampai saat ini pun saya belum bisa nemuin kamu," ujar Romeo tersenyum kecut. Hidup memang selalu berputar. Jika dulu nama Almera tidak pernah ada di pikirannya, maka sekarang tiada hari tanpa memikirkan perempuan itu. Semakin memikirkan maka semakin dalam dan besar pu
"Wid, Widya," panggil Almera mengetuk pintu kamar Widya. Ketukan yang awalnya pelan semakin keras dan cepat saat tidak mendapat sahutan dari sahabatnya. "Widya! Widya!" teriak Almera tidak sabaran. Sedangkan di dalam kamar, Widya yang sedang tidur siang pun mulai terusik. Mengubah posisi tidurnya menjadi miring lalu menutup telinganya dengan bantal. Merasa tidak berguna, Widya melempar bantalnya asal dan kembali terlentang. Selanjutnya, dia menendang selimut lalu bangkit dengan mata yang memerah. Antara mengantuk dan marah. Widya membuka pintu kasar. "Apaan sih? Lo ganggu tidur gue tau nggak!" Bukannya merasa takut atau bersalah, Almera justru cengengesan tidak jelas. "Wid, jalan-jalan yuk!" ajak Almera antusias. Dengan gerakan malas, Widya menoleh ke dalam kamarnya, melihat jam yang menunjukkan pukul satu siang. Seketika matanya melotot. "Lo gila? Siang-siang gini lo ngajak gue jalan? Please deh, Al, lo jangan aneh-aneh. Ini panas ban
"Bagaimana?" tanya Romeo kepada Rizky yang berdiri di depannya. Saat ini keduanya berada di ruangan Romeo.Rizky mengernyit tidak paham. Ini Bosnya bertanya tentang apa sih? "Maaf, Pak, maksudnya apa ya?""Bagaimana kabar pencarian Almera? Apa sudah menemukan jejak?" tanya Romeo memperjelas, membuat bibir Rizky membentuk bulatan kecil seraya mengangguk pelan."Maaf, Pak. Belum ada," jawab Rizky menatap Romeo sendu. "Terakhir kali mereka berdua berada di rumah Widya."Romeo menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Punggung tegapnya dia sandarkan pada sandaran kursi. Perlahan matanya terpejam dengan tangan kanan yang memijat pelan pelipisnya. Kepalanya semakin sakit, begitu pula dengan rasa bersalah dan juga gelisah.Kapan dia bisa bertemu Almera? Harus berapa lama lagi dia menunggu kabar tentang keberadaan sang istri? Atau mungkin selamanya dia t
Hal yang paling membahagiakan bagi para orang tua adalah dengan kehadiran anggota keluarga baru. Apalagi seorang bayi mungil yang menggemaskan. Meskipun tidak ada hubungan darah, tetapi orang tua Widya begitu antusias saat mendengar kabar tentang kehamilan Almera. Mereka yang awalnya sedang perjalanan bisnis di Bandung langsung terbang ke Bali. Selama perjalanan, senyum Vania dan Efendi - orang tua Widya tidak luntur satu detik pun. Perasaan mereka benar-benar bahagia. Brak! Suara pintu yang dibuka kencang sukses membuat Almera yang sedang menonton kartun terlonjak kaget. Belum sempat melihat siapa pelakunya, Almera kembali dikejutkan dengan sebuah pelukan yang sangat erat. Sampai membuat badannya sedikit terhuyung. Tidak jauh berbeda dengan Almera, Widya dan Nenek Mia yang berada di dapur pun juga terkejut. Keduanya saling pandang lalu berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat Almera dengan perasaan panik. Takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada ibu h
"Nek, Widya mana?" tanya Almera kepada Nenek Mia yang sedang menata makanan di meja.Mendengar suara seseorang yang semalam membuatnya khawatir, lantas Nenek Mia menghentikan kegiatannya dan mendongak. Terlihat Almera yang memakai dress berwarna abu-abu selutut berdiri empat langkah di depannya."Kamu sudah bangun, Nak? Ayo makan dulu!" ajak Nenek Mia tanpa menjawab pertanyaan Almera. Kakinya bergerak gesit menghampiri Almera dan menuntunnya duduk. Senyumnya pun merekah bahagia.Semua rasa khawatir yang dia rasakan semalam langsung sirna.Almera duduk dengan wajah bingungnya. "Nenek, Widya mana?""Oh itu Widya lagi di toko," jawab Nenek Mia santai yang mendapat tatapan penuh binar dari Almera."Almera mau ke sana! Ayo, Nek! Al udah dari kemarin-kemarin pingin ke toko roti punya Nenek." Almera menatap antusias Nenek Mia yang hendak meng
"Inget ya, Al, lo nggak boleh makan sembarangan. Harus banyak istirahat. Nggak boleh banyak pikiran," ucap Widya seraya menuntun Almera menaiki tangga menuju kamarnya. Sejak Almera sadar dan diperiksa bahwa sahabatnya itu hamil, Widya tidak berhenti mengeluarkan petuah-petuah dengan kalimat yang sama secara berulang. Terutama nenek Mia yang sangat antusias hingga langsung membuat kue untuk dibagikan ke tetangga. Sedangkan sang empu justru menutup mulut rapat-rapat dengan pandangan kosong. Pikiran dan perasaannya menjadi campur aduk. Meskipun sudah menikah dan menginginkan malaikat kecil hadir di rumah tangganya, tetapi tidak cara seperti ini. Calon anaknya hadir karena paksaan yang Romeo kira bahwa dirinya adalah Citra, kekasihnya. Bukan atas dasar saling mau dengan balutan cinta yang menggebu. Ada rasa terkejut, sedih, marah dan senang di hati Almera. Kenapa anak ini hadir di saat dirinya masih dibaluti rasa takut dan pergi dari Romeo? Bagaimana cara dia men
Di dalam ruangan yang tampak berantakan dengan kertas yang berhamburan, Romeo duduk termenung di meja kerjanya. Beberapa hari tidak datang ke kantor membuat mejanya dipenuhi tumpukan berkas. Karena memang sedang dalam kondisi hati dan pikiran yang kacau, akhirnya tanpa ragu Romeo melempar semua berkas-berkas tersebut. Sebenarnya laki-laki yang memakai kemeja biru muda itu sangat malas untuk bekerja. Dia hanya ingin mencari Almera. Namun, atas paksaan papanya dengan dalih akan membantu mencari Almera, akhirnya Romeo pun menurut. Meskipun sekarang yang dia lakukan hanya duduk termenung. Romeo menunduk dengan tangan yang memegang kening dan mata terpejam lelah. "Almera, maaf," gumamnya. Semenjak kepergian Almera, Romeo merasakan sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Hatinya terasa kosong seolah ada yang hilang. Bahkan Romeo tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimana tidak, setiap memejamkan mata selalu terbayang wajah Almera dari yang tersenyum hingga menangis.
"Sini, Nak, makan!" Nenek Mia melambaikan tangannya memanggil Almera yang baru saja datang dari arah tangga. "Nenek hari ini masak sop buntut, perkedel sama sambal. Kata Widya, kamu suka sama sayur sop." Mendengar perkataan Nenek Mia, Almera langsung mengalihkan pandangannya ke meja makan. Benar, makanan yang disebut Nenek Mia sudah tertata rapi dan terlihat menggoda. "Widya mana, Nek?" tanya Almera setelah duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. "Tadi pamitnya mau ke depan sebentar. Udah biarin aja. Sekarang kamu makan ya? Yang banyak, mau dihabisin juga nggak papa," jawab Nenek Mia seraya mengambil piring Almera lalu mengisinya dengan nasi yang lumayan banyak. Almera dibuat meringis melihat piringnya yang penuh. Porsi makannya tidak sebanyak itu! "Nek, udah nanti aku ambil sendiri aja kalau kurang. Ini kebanyakan," ungkap Almera mengambil alih piring tersebut. "Sekarang kamu makan gih! Nenek mau nyiram tanaman dulu." Tanpa
Sesuai ajakan Widya kemarin, kini sepasang sahabat itu sedang berada di pantai. Sebenarnya, Almera ingin ke pantai ketika hari sudah menjelang sore. Namun apalah daya, Widya sang sahabat dengan tidak tahu dirinya justru membangunkan Almera dari pagi-pagi buta. Bahkan Nenek Mia saja lelah dengan tingkah Widya yang terus merengek untuk segera berangkat. Entah Widya yang memang tidak pernah ke pantai atau ada maksud terselubung hingga gadis itu begitu antusias. "Bagusnya kalau ke pantai itu sore-sore. Sekalian liat sunset," gerutu Almera menghentakkan kakinya kesal. Di dalam hati perempuan yang memakai kaos berwarna biru dan dipadukan dengan hotpants itu tidak berhenti untuk menyumpah serapahi sahabatnya. Bayangkan, Widya membangunkan dirinya dari mulai pukul empat pagi. Cara membangunkannya pun tidak ada sopan-sopannya. Mengguncang, menyiratkan air dan memutar musik dengan volume full tepat di telinganya. Sebenarnya Widya ini ingat tidak sih kalau Almer