Entah ke mana perginya rasa takut yang tadi Almera rasakan hingga berani menghampiri Romeo. Hatinya terasa sakit dan tidak terima ketika melihat Papa Edward memukul Romeo dengan begitu keras.
Almera akui, dia sangat bodoh dalam masalah cinta. Seharusnya dia senang bukan, karena ada yang menghukum Romeo meskipun hanya satu pukulan? Namun, kenapa hatinya berkata lain?
"Ayo, aku bantu, Mas," ucap Almera hendak membantu Romeo bangkit dari posisi tersungkurnya. Namun sang empu justru menepisnya tanpa perasaan.
Hal itu tentu saja disaksikan oleh Papa Edward. Tangannya sangat gatal ingin menghajar anak semata wayangnya itu. Masa bodoh dengan statusnya sebagai ayah kandung Romeo. Karena kini, hatinya benar-benar dilingkupi emosi yang begitu besar.
"Sayang," panggil Romeo kepada Citra yang berdiri tidak jauh darinya.
Paham dengan kode sang pacar, Citra bergegas menghampiri Romeo dan membantunya berdiri.
"Sakit ya?" tanya Citra mengelus pipi seb
Hai, apa kabar? Semoga sehat selalu ❤️
Mata indah dengan bulu mata lentik yang biasanya berbinar kini tampak redup. Wajah cantik Almera terlihat begitu kacau dengan mata sembab, hidung merah dan jejak air mata. Sejak kepergian papa Edward, Almera sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari halaman depan, tempat yang tadinya di tempati mobil sang papa. Ingatan Almera terlempar pada kejadian di teras tadi. Di mana papa Edward berbincang bahkan sampai tertawa keras karena pikiran konyolnya. Seandainya saja Almera bisa lebih keras dalam mencegah Citra, pasti semuanya tidak berakhir seperti ini. Seandainya juga tadi dia langsung mengajak papa ke taman belakang dan bersenda gurau di sana, pasti tidak ada pertengkaran serta papa Edward tidak mengetahui hal ini. 'Kok gue ngerasa ada yang aneh ya?' tanya Almera di dalam hati. Air mata yang tadinya sudah menggenang di pelupuk matanya pun mendadak hilang kala mengingat sesuatu. Tunggu! Al
"Ya emang rumah orang. Siapa bilang ini rumah tikus?" Widya melirik Amel tidak peduli. "Bukan gitu maksudnya. Ih, kok lo nyebelin banget sih! Mana dari tadi pertanyaan gue enggak dijawab lagi!" geram Amel memukul punggung Widya kesal membuat sang empu melotot kaget. Hingga terjadilah aksi saling pukul dengan mulut yang tidak berhenti berteriak. "Lo yang nyebelin, Amel. Gue dari tadi diem tapi lo malah pukul-pukul. Lo pikir, gue ini samsak apa?" Widya memukul lengan Amel brutal guna melampiaskan kekesalannya. Almera hanya bisa menghela napas lelah melihat tingkah kedua sahabatnya yang bertengkar tidak tahu tempat. Jika tahu akan terjadi hal seperti ini, Almera tidak akan mengajak mereka. Huft! Mau menyesal pun tidak ada gunanya. Tanpa mempedulikan Widya dan Amel yang sudah terduduk di lantai, Almera memilih untuk kembali mengetuk pintu. Hingga tidak lama kemudian, suara pintu yang terbuka membuat Almera menegakkan badannya. "Cari sia-"
Dengan hati yang mulai cemas, Amel memberanikan diri untuk memegang lengan perempuan tersebut, membuat Citra yang hendak kembali membuka suara menoleh. Raut terkejut begitu jelas di wajah keduanya hingga tanpa sadar kakinya melangkah mundur. "I - ini ... ini sebenarnya ada apa?" tanya Amel terbata-bata. Berusaha berpikir positif di saat hati dan pikirannya kacau. "Kenapa wajah lo gitu? Lo kenal dia?" tanya Widya balik seraya menatap dua orang gadis yang masih dalam mode terkejut itu penuh selidik. Tanpa menjawab pertanyaan Widya, Amel melangkah pelan mendekati Almera yang masih duduk di lantai. "Al, dia ... apa benar dia pacar Romeo?" Almera yang masih terisak pelan hanya bisa mengangguk. Tatapannya sama sekali tidak berpaling dari Citra. Melihat bagaimana sikap Citra yang begitu santai disaat dia sedang memohon seraya menangis. "Dia pacar suami gue, Mel," jawab Almera membuat Amel be
Romeo mendongak, menatap Rizky dengan tatapan yang begitu tajam. Sedangkan Rizky yang melihat itu mengernyit bingung. Seingatnya, dia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Kenapa bos sekaligus sahabatnya itu menatap dirinya seolah ingin menerkamnya? "Maaf, Pak. Apa saya melakukan kesalahan hingga membuat Bapak marah?" tanya Rizky menunduk sopan. "Iya," jawab Romeo singkat seraya bangkit dari posisi duduknya. Setelah berhadapan dengan Rizky, tanpa ragu dia mendorong laki-laki tersebut hingga mundur beberapa langkah. "Semua ini karena adik kamu itu!" bentak Romeo. "Argh! Kamu tahu? Sekarang, orang tua saya mengancam akan mengambil jabatan serta mengeluarkan saya dari kartu keluarga. Semua itu karena adik kamu, Almera!" Mendengar nama perempuan yang sudah dianggap adiknya sendiri disebut dengan penuh emosi, membuat Rizky menatap Romeo tidak kalah tajam. Sekarang, dia menjalankan peran sebag
Kalimat yang dilontarkan Citra sontak membuat Romeo menegang. Tidak lama kemudian, tawa kecilnya menguar diiringi dengan gelengan tidak percaya. Romeo mendudukkan diri di samping Citra tanpa memberikan jarak sedikit pun. "Sayang, kamu mau apa? Aku ada salah ya?" tanya Romeo menggenggam tangan Citra lembut. Sedangkan sang empu hanya terdiam dengan memalingkan wajah ke kanan. Sangat enggan untuk melihat wajah dan tatapan penuh cinta milik Romeo. Setelah menghela napas pelan, Citra menarik tangannya yang digenggam sang kekasih. Hal itu membuat Romeo protes dan kembali menggenggamnya, bahkan lebih erat dari sebelumnya. "Romeo, aku mau kita putus," ucap Citra tanpa menatap Romeo. "Ha ha kamu bercanda ya? Enggak lucu, Sayang. Sekarang bukan anniv kita atau ulang tahun aku loh," sahut Romeo yang masih tidak percaya. Dengan manja dia merebahkan kepalanya pada bahu kekasihnya. Menghirup dalam aroma yang selalu membuatnya tenang dan juga bergairah.
Romeo yang merasa sudah tidak dapat menahan amarahnya pun bergegas pergi dari rumah kekasihnya. Rasa sakit di hatinya saat mendengar tangisan histeris Citra tidak sebanding dengan rasa sakit saat mendengar kata putus. Semuanya hancur hanya dengan satu kata, putus. Harapannya untuk terus bersama Citra hingga tua nanti dan rasa cintanya yang begitu besar langsung musnah. Romeo mencoba meluapkan emosinya dengan cara kebut-kebutan di jalan. Tidak peduli jika dirinya menabrak hingga menyebabkan kecelakaan sekali pun. Karena sekarang, Romeo hanya ingin meluapkan emosinya meskipun hanya sedikit. Kendaraan roda empat yang dikendarai Romeo berhenti di salah satu tempat favoritnya sewaktu kuliah dulu. Tempat yang berada di jalan Jenderal Sudirman No.kav 52-53, Jakarta Selatan itu merupakan klub malam yang dijadikan tempat nongkrong oleh Romeo bersama teman-temannya. Selain karena memang sangat terkenal, jam buka
Di sebuah kamar berwarna gold yang begitu luas, terdapat seorang wanita paruh baya yang sedang duduk termenung. Matanya berkali-kali melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam dengan gelisah. Malam ini, malam yang tidak seperti biasanya. Jika biasanya dia bisa tidur nyenyak mulai pukul sembilan, maka berbeda dengan sekarang. Perasaannya tidak nyaman, gelisah tidak menentu dengan pikiran yang tertuju pada sang anak, Almera. Ya, wanita paruh baya tersebut adalah Tina, bundanya Almera. Sedangkan Ayah Grisham sudah tertidur nyenyak di samping Bunda Tina. "Huft, tenang," gumam Bunda Tina mencoba menenangkan diri dengan meminum air putih yang sudah tersedia di nakas samping tempat tidur. Bukannya tenang seperti yang diharapkan, justru perasaan Bunda Tina semakin tidak karuan. Bergerak gelisah dengan kaki yang menendang-nendang kecil selimutnya. Tindakannya itu membuat tidur Ayah Grisham terganggu. Mata yang tadinya tertutup rapat perla
Widya yang kebetulan baru selesai dari kamar mandi tersentak kaget saat mendengar suara bel. Tatapannya terlempar kepada jam dinding. Seketika keningnya berkerut bingung menyadari ini masih terlalu pagi untuk bertamu. Sepertinya dia tidak ada janji dan siapa juga yang mau bertamu di jam lima pagi? Berusaha mengabaikan dan hendak kembali tertidur. Namun baru saja menaiki ranjang, Widya dibuat berdecak kesal lantaran suara bel yang tidak kunjung berhenti. Dengan terpaksa Widya berjalan gontai menuju lantai bawah, membukakan pintu untuk seseorang yang entah siapa sangat menyebalkan di pagi hari ini. "Wid," panggil seseorang dengan suara yang begitu lemah saat pintu sudah dibuka oleh Widya. Sedangkan Widya yang tadinya lesu langsung terbelalak kaget melihat sahabatnya yang berdiri di depannya. Matanya meneliti penampilan Almera yang terlihat begitu kacau. "Al? Lo ... lo kenapa?" Bukannya
Di sebuah ruangan berwarna abu-abu, terdapat seorang pria yang berdiri di dekat jendela. Romeo, pria yang dulunya bertubuh kekar kini semakin kurus. Rambut-rambut halus mulai tumbuh di sekitar dagunya. Bahkan kumisnya sudah tebal seperti bapak-bapak yang ada di warung kopi. Dengan tangan yang berada di saku celana, Romeo menatap kosong langit malam yang penuh bintang. Sudah pukul sepuluh malam, tetapi matanya enggan terpejam. Padahal besok pagi ada rapat penting. Ingatannya kembali berputar pada kejadian beberapa bulan lalu. Di saat Almera masih di sini dan dia melukainya seenak hati. Perasaan bencinya kepada Almera telah melebur menjadi penyesalan. Penyesalan yang sangat dalam. "Bahkan sampai saat ini pun saya belum bisa nemuin kamu," ujar Romeo tersenyum kecut. Hidup memang selalu berputar. Jika dulu nama Almera tidak pernah ada di pikirannya, maka sekarang tiada hari tanpa memikirkan perempuan itu. Semakin memikirkan maka semakin dalam dan besar pu
"Wid, Widya," panggil Almera mengetuk pintu kamar Widya. Ketukan yang awalnya pelan semakin keras dan cepat saat tidak mendapat sahutan dari sahabatnya. "Widya! Widya!" teriak Almera tidak sabaran. Sedangkan di dalam kamar, Widya yang sedang tidur siang pun mulai terusik. Mengubah posisi tidurnya menjadi miring lalu menutup telinganya dengan bantal. Merasa tidak berguna, Widya melempar bantalnya asal dan kembali terlentang. Selanjutnya, dia menendang selimut lalu bangkit dengan mata yang memerah. Antara mengantuk dan marah. Widya membuka pintu kasar. "Apaan sih? Lo ganggu tidur gue tau nggak!" Bukannya merasa takut atau bersalah, Almera justru cengengesan tidak jelas. "Wid, jalan-jalan yuk!" ajak Almera antusias. Dengan gerakan malas, Widya menoleh ke dalam kamarnya, melihat jam yang menunjukkan pukul satu siang. Seketika matanya melotot. "Lo gila? Siang-siang gini lo ngajak gue jalan? Please deh, Al, lo jangan aneh-aneh. Ini panas ban
"Bagaimana?" tanya Romeo kepada Rizky yang berdiri di depannya. Saat ini keduanya berada di ruangan Romeo.Rizky mengernyit tidak paham. Ini Bosnya bertanya tentang apa sih? "Maaf, Pak, maksudnya apa ya?""Bagaimana kabar pencarian Almera? Apa sudah menemukan jejak?" tanya Romeo memperjelas, membuat bibir Rizky membentuk bulatan kecil seraya mengangguk pelan."Maaf, Pak. Belum ada," jawab Rizky menatap Romeo sendu. "Terakhir kali mereka berdua berada di rumah Widya."Romeo menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Punggung tegapnya dia sandarkan pada sandaran kursi. Perlahan matanya terpejam dengan tangan kanan yang memijat pelan pelipisnya. Kepalanya semakin sakit, begitu pula dengan rasa bersalah dan juga gelisah.Kapan dia bisa bertemu Almera? Harus berapa lama lagi dia menunggu kabar tentang keberadaan sang istri? Atau mungkin selamanya dia t
Hal yang paling membahagiakan bagi para orang tua adalah dengan kehadiran anggota keluarga baru. Apalagi seorang bayi mungil yang menggemaskan. Meskipun tidak ada hubungan darah, tetapi orang tua Widya begitu antusias saat mendengar kabar tentang kehamilan Almera. Mereka yang awalnya sedang perjalanan bisnis di Bandung langsung terbang ke Bali. Selama perjalanan, senyum Vania dan Efendi - orang tua Widya tidak luntur satu detik pun. Perasaan mereka benar-benar bahagia. Brak! Suara pintu yang dibuka kencang sukses membuat Almera yang sedang menonton kartun terlonjak kaget. Belum sempat melihat siapa pelakunya, Almera kembali dikejutkan dengan sebuah pelukan yang sangat erat. Sampai membuat badannya sedikit terhuyung. Tidak jauh berbeda dengan Almera, Widya dan Nenek Mia yang berada di dapur pun juga terkejut. Keduanya saling pandang lalu berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat Almera dengan perasaan panik. Takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada ibu h
"Nek, Widya mana?" tanya Almera kepada Nenek Mia yang sedang menata makanan di meja.Mendengar suara seseorang yang semalam membuatnya khawatir, lantas Nenek Mia menghentikan kegiatannya dan mendongak. Terlihat Almera yang memakai dress berwarna abu-abu selutut berdiri empat langkah di depannya."Kamu sudah bangun, Nak? Ayo makan dulu!" ajak Nenek Mia tanpa menjawab pertanyaan Almera. Kakinya bergerak gesit menghampiri Almera dan menuntunnya duduk. Senyumnya pun merekah bahagia.Semua rasa khawatir yang dia rasakan semalam langsung sirna.Almera duduk dengan wajah bingungnya. "Nenek, Widya mana?""Oh itu Widya lagi di toko," jawab Nenek Mia santai yang mendapat tatapan penuh binar dari Almera."Almera mau ke sana! Ayo, Nek! Al udah dari kemarin-kemarin pingin ke toko roti punya Nenek." Almera menatap antusias Nenek Mia yang hendak meng
"Inget ya, Al, lo nggak boleh makan sembarangan. Harus banyak istirahat. Nggak boleh banyak pikiran," ucap Widya seraya menuntun Almera menaiki tangga menuju kamarnya. Sejak Almera sadar dan diperiksa bahwa sahabatnya itu hamil, Widya tidak berhenti mengeluarkan petuah-petuah dengan kalimat yang sama secara berulang. Terutama nenek Mia yang sangat antusias hingga langsung membuat kue untuk dibagikan ke tetangga. Sedangkan sang empu justru menutup mulut rapat-rapat dengan pandangan kosong. Pikiran dan perasaannya menjadi campur aduk. Meskipun sudah menikah dan menginginkan malaikat kecil hadir di rumah tangganya, tetapi tidak cara seperti ini. Calon anaknya hadir karena paksaan yang Romeo kira bahwa dirinya adalah Citra, kekasihnya. Bukan atas dasar saling mau dengan balutan cinta yang menggebu. Ada rasa terkejut, sedih, marah dan senang di hati Almera. Kenapa anak ini hadir di saat dirinya masih dibaluti rasa takut dan pergi dari Romeo? Bagaimana cara dia men
Di dalam ruangan yang tampak berantakan dengan kertas yang berhamburan, Romeo duduk termenung di meja kerjanya. Beberapa hari tidak datang ke kantor membuat mejanya dipenuhi tumpukan berkas. Karena memang sedang dalam kondisi hati dan pikiran yang kacau, akhirnya tanpa ragu Romeo melempar semua berkas-berkas tersebut. Sebenarnya laki-laki yang memakai kemeja biru muda itu sangat malas untuk bekerja. Dia hanya ingin mencari Almera. Namun, atas paksaan papanya dengan dalih akan membantu mencari Almera, akhirnya Romeo pun menurut. Meskipun sekarang yang dia lakukan hanya duduk termenung. Romeo menunduk dengan tangan yang memegang kening dan mata terpejam lelah. "Almera, maaf," gumamnya. Semenjak kepergian Almera, Romeo merasakan sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Hatinya terasa kosong seolah ada yang hilang. Bahkan Romeo tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimana tidak, setiap memejamkan mata selalu terbayang wajah Almera dari yang tersenyum hingga menangis.
"Sini, Nak, makan!" Nenek Mia melambaikan tangannya memanggil Almera yang baru saja datang dari arah tangga. "Nenek hari ini masak sop buntut, perkedel sama sambal. Kata Widya, kamu suka sama sayur sop." Mendengar perkataan Nenek Mia, Almera langsung mengalihkan pandangannya ke meja makan. Benar, makanan yang disebut Nenek Mia sudah tertata rapi dan terlihat menggoda. "Widya mana, Nek?" tanya Almera setelah duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. "Tadi pamitnya mau ke depan sebentar. Udah biarin aja. Sekarang kamu makan ya? Yang banyak, mau dihabisin juga nggak papa," jawab Nenek Mia seraya mengambil piring Almera lalu mengisinya dengan nasi yang lumayan banyak. Almera dibuat meringis melihat piringnya yang penuh. Porsi makannya tidak sebanyak itu! "Nek, udah nanti aku ambil sendiri aja kalau kurang. Ini kebanyakan," ungkap Almera mengambil alih piring tersebut. "Sekarang kamu makan gih! Nenek mau nyiram tanaman dulu." Tanpa
Sesuai ajakan Widya kemarin, kini sepasang sahabat itu sedang berada di pantai. Sebenarnya, Almera ingin ke pantai ketika hari sudah menjelang sore. Namun apalah daya, Widya sang sahabat dengan tidak tahu dirinya justru membangunkan Almera dari pagi-pagi buta. Bahkan Nenek Mia saja lelah dengan tingkah Widya yang terus merengek untuk segera berangkat. Entah Widya yang memang tidak pernah ke pantai atau ada maksud terselubung hingga gadis itu begitu antusias. "Bagusnya kalau ke pantai itu sore-sore. Sekalian liat sunset," gerutu Almera menghentakkan kakinya kesal. Di dalam hati perempuan yang memakai kaos berwarna biru dan dipadukan dengan hotpants itu tidak berhenti untuk menyumpah serapahi sahabatnya. Bayangkan, Widya membangunkan dirinya dari mulai pukul empat pagi. Cara membangunkannya pun tidak ada sopan-sopannya. Mengguncang, menyiratkan air dan memutar musik dengan volume full tepat di telinganya. Sebenarnya Widya ini ingat tidak sih kalau Almer