“Saya mau melaporkan suami saya atas tindakan KDRT,” ucap seorang wanita berusia akhir dua puluhan kepada salah satu petugas polisi yang siang itu sedang bertugas di sebuah Polsek di Jakarta Barat.
Si polisi tak begitu menaruh perhatian dan masih fokus pada tumpukan file di mejanya.
“Maaf, Pak, saya mau melaporkan suami saya atas tindakan KDRT,” ulang si wanita dengan suara yang lebih keras dan bernada tak sabar.
“Bisa tunjukkan buktinya?” Si polisi masih tidak memberikan atensi penuh terhadap si pelapor yang gelisah di tempatnya duduk.
“Di sini buktinya,” jawab si wanita dengan nada yang lebih keras.
Si polisi akhirnya mengangkat wajah dan langsung berhadapan dengan seorang wanita muda yang berdiri kaku di hadapannya.
Wanita itu tampak normal. Tidak seperti korban KDRT seperti yang dikatakan wanita itu sebelumnya.
“Boleh tunjukkan bukti KDRT yang dilakukan suami Anda?” ulang petugas polisi itu.
Si wanita langsung menyingkap lengan bajunya. Menunjukkan memar-memar biru yang membekas di sepanjang lengan tangan kanan dan kiri. Lalu menunjukkan memar-memar lain di betis dan paha. Ia berkata kalau itu adalah hasil dipukuli oleh si suami dengan gagang sapu dua hari lalu.
“Ada bukti lain yang menunjukkan kalau benar suami Anda yang memukuli Anda?” tanya si polisi yang agak kaget karena si pelapor wanita itu tidak segan-segan menaikkan rok untuk menunjukkan pahanya. Bahkan hampir menunjukkan memar lain di bagian tubuh yang lebih tertutup, namun si polisi menghentikannya.
“Ada.” Kemudian si wanita menyodorkan ponsel dan menunjukkan video yang tak sengaja terekam ketika suaminya memukuli dirinya.
Si polisi laki-laki itu cukup lama terpaku setelah selesai menonton video dua menit yang ditunjukkan si wanita. “Boleh tunjukkan KTP Anda, Bu? Saya memerlukannya untuk data pelapor,” pintanya kemudian dengan sangat sopan.
Si wanita langsung menunjukkan KTP-nya, meletakkannya di atas meja. Di sana tertera nama lengkap si wanita. Winena Kusuma Jati, kelahiran Jakarta 28 tahun yang lalu. Hari ini kebetulan bertepatan dengan hari lahirnya.
“Baik, Bu Winena. Tunggu sebentar, ya. Saya proses dulu.” kata si polisi yang akhirnya mengetahui nama si pelapor. Petugas polisi itu mengetikkan sesuatu di komputer yang berada di depannya.
“Saya sudah empat kali membuat laporan serupa ke kantor polisi,” ujar Winena yang lebih terdengar seperti gumaman.
“Maaf?” Si polisi menatap Winena dengan bingung.
“Laporan saya sampai sekarang tidak ada yang diproses.”
Tak seperti saat pertama Winena datang tadi, si polisi kali ini menunjukkan simpati. Ia tampak menyesal atas apa yang dialami Winena.
“Saya akan mengusahakan yang terbaik dan memastikan kalau laporan Ibu akan diproses. Kalau data-data sudah lengkap, pihak kepolisian akan membuat laporan panggilan kepada suami Ibu untuk diinterogasi,” jelas si polisi dengan meyakinkan.
Setidaknya kali ini tampaknya akan berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Tiga kali melapor dalam setahun terakhir, tiga-tiganya tidak mendapat tanggapan baik. Bahkan terkesan diremehkan dan dipandang sebelah mata. Seolah-olah melaporkan suami atas tindakan KDRT adalah hal yang hina. Winena selalu merasa pahit saat mengingatnya.
“Terima kasih, Pak.”
Petugas polisi itu tersenyum sopan. Setelah meminta Winena untuk melengkapi data-data, laki-laki berusia pertengahan tiga puluhan itu mempersilakan Winena untuk pulang. Tentu saja setelah memastikan kalau Winena benar-benar tidak membutuhkan hal lain
“Hati-hati di jalan, Bu.”Winena meninggalkan kantor polisi dengan perasaan yang campur aduk. Ada beban berat yang bergelantungan di hati. Kalau kali ini laporannya diproses dan bisa sampai naik ke pengadilan, itu artinya ia harus bersiap menghadapi suaminya di meja hijau.
***“Faris, please, berhenti,” ratap Winena. Ia memegangi pipi kirinya yang kemerahan sambil meringis.Rasa panas dan perih menjalar saat sekali lagi tamparan keras itu melayang di pipi Winena hingga tubuhnya tersungkur. Kening wanita itu nyaris saja menghantam pinggiran meja rendah yang berada di ruang tamu rumahnya.“Dasar istri kurang ajar!” teriak laki-laki yang ia panggil Faris itu dengan garang. Suara kerasnya terdengar menakutkan. Menggelegar memenuhi ruangan.“Faris, kamu salah paham,” kata Winena dengan cepat dan . Ia menatap Faris dengan takut-takut. Permohonan untuk berhenti memukuli dirinya tercetak jelas di mata. “Aku cuma ngobrol sebentar sama Mario tadi. Kami nggak sengaja ketemu di depan–”Namun, seolah telinganya tuli, Faris tak peduli dengan penjelasan Winena. Faris kembali memukul Winena. Faris tak memedulikan istrinya yang sudah lemas dan terlihat sangat kacau dengan pakaian ya
Seharian ini, hampir semua stasiun TV lokal ramai memberitakan tentang vonis hukuman 10 tahun penjara yang dijatuhkan hakim kepada terpidana korupsi Armandio Jati. Tak berbeda dengan tayangan di layar TV LED berukuran 32 inch di ruangan Pak Rudi–kepala jaksa di salah satu kejaksaan negeri di Jakarta. Ya, setelah kembali dari pengadilan, Pak Rudi langsung menyalakan TV bahkan sebelum mempersilakan jaksa juniornya, Sena, yang ikut masuk ke ruangannya itu duduk.“Kamu sudah bekerja dengan sangat keras di kasus ini, Sena. Saya bangga sekali sama kamu!”Kalimat yang dilontarkan oleh Pak Rudi itu tak begitu Sena perhatikan. Jaksa muda itu sedang fokus menatap layar TV yang menayangkan gambar Armandio Jati dalam balutan baju napi berwarna oranye diboyong polisi menuju ke rumah tahanan setelah persidangan berakhir.Ada kepuasan tersendiri yang Sena rasakan melihat si koruptor yang sempat menjadi buronan selama tiga tahun karena melakukan korupsi asuran
Selama beberapa detik, Sena tidak mengatakan apa-apa selain memandangi wanita di depannya dengan berusaha untuk tetap menunjukkan ekspresi normal.“Mbaknya mau pergi ke mana? Saya antar,” kata Sena dengan sangat hati-hati.“Pergi, saya harus pergi jauh dari sini.” Wanita bernama Winena–berdasarkan identitas diri yang sempat Sena lihat–itu menggeleng panik. Matanya memancarkan ketakutan dan perlahan air mata menggenang di pelupuk. Suaranya terbata-bata saat kembali berkata, “Dia mengusir saya pergi. Saya nggak tahu harus ke mana. Saya … saya nggak punya tempat untuk pulang.”Sena menahan napas. Tenggorokannya tiba-tiba seperti tersumbat sesuatu hingga rasanya seperti tercekik. Dadanya pun sesak.Sena tidak perlu diberitahu dua kali. Ia merasa ada sesuatu hal yang berbahaya yang tengah mengancam wanita di depannya. Bukannya ia ingin berasumsi, tetapi Sena bisa melihat tanda-tanda perlawanan dari memar-m
Kosong. Hanya itu yang dapat Winena rasakan setelah ia menguras habis air matanya karena berita tentang kematian ayahnya. Winena menatap pantulan bayangan dirinya di depan cermin yang ada di kamar mandi kamar hotelnya dengan tatapan nanar. Rambutnya berantakan. Matanya merah dan bengkak. Bekas air mata mengering di pipi dan mungkin bercampur ingus dan keringat. Rupa wajahnya sudah tidak karuan.Winena menanggalkan pakaiannya satu per satu. Hingga tak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Dengan tangan yang agak gemetar, Winena menyentuh bekas memar yang membiru, luka lama dan luka baru yang seolah berkelindan menampakkan diri di setiap jengkal tubuhnya. Memar-memar biru itu yang selalu ia dapat setiap hari. Seolah menjadikan tubuhnya sebagai samsak adalah hal paling memuaskan untuk Faris.Namun, itu bukanlah sesuatu yang penting untuk diingat untuk saat ini. Winena terlalu terluka karena ayahnya pergi begitu saja setelah menorehkan banyak derita pada keluar
Winena meninggalkan kamar hotel hanya membawa tas selempang kecilnya yang berisi ponsel dan dompet. Pakaian bekas yang Winena kenakan semalam ia tinggalkan teronggok di lantar kamar mandi kamar hotelnya. Sudah tidak ia butuhkan lagi. Saat mencapai luar gedung hotel 50 lantai itu, kebetulan sekali ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Winena langsung masuk ke dalam taksi dan meminta supir taksi itu untuk mengantarkannya ke rumah sakit di mana jasad ayahnya sedang diautopsi. Membayangkan bagaimana tubuh ayahnya yang sudah tidak bernyawa dibedah demi mencari tahu pasti akibat kematian pria itu memberikan sensasi mengerikan pada tubuh Winena. Bulu kuduknya merinding, bukan karena kedinginan, melainkan karena dunianya yang sudah hancur itu dihentakkan hingga runtuh. Satu per satu rasa sakit yang membuat tubuhnya koyak itu menghantamnya terus-menerus. Saat tinggal setengah perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Winena kemudian melayang ke momen-momen saat keluarganya masih utuh da
"KAMU DI MANA, SENA?! MUTERIN INDONESIA DULU KAMU, HA? KENAPA NGGAK SAMPAI-SAMPAI?! KATANYA TADI SUDAH DEKAT?!" Gendang telinga Sena berdenging perih karena teriakan dari Pak Rudi. Belum ada sepuluh menit sejak Pak Rudi menghubunginya tadi, tidak bisakah atasannya itu bersabar sedikit? Sena juga bukannya sedang mengulur-ulur waktu untuk datang. Ia hanya sedang terjebak kemacetan lalu lintas. "Di jalan agak macet, Pak." "Jangan banyak alasan, Sena! Cepatlah datang dan selesaikan kekacauan yang sudah kamu perbuat! Tinggalkan mobilmu dan lari ke sini, Anak bodoh!" Sena menjambaki rambutnya dengan kasar. Pak Rudi yang benar-benar menunjukkan sisi terburuknya sebagai atasan. Sena nyaris lupa bahwa Pak Rudi selama ini selalu mengayomi anak-anak buahnya. Kali ini, Sena tidak melihat itu. Pak Rudi melimpahkan semuanya kepada Sena. Menyalahkan anak buahnya yang selama ini hanya tahu bagaimana caranya bekerja keras dan bekerja dengan baik. Bertanggung jawab pada setiap kasus yang diberikan k
Sena sudah tidak peduli lagi meski ia masih punya kewajiban untuk memantau proses investigasi atas kematian Armandio Jati. Sena terlalu marah dan muak kepada orang-orang yang dengan mudahnya menumpahkan semua kesalahan kepada dirinya sehingga ia langsung meninggalkan rumah sakit bahkan sebelum melihat jasad Armandi Jati dengan mata kepalanya sendiri. Ia mendengar suara salah satu rekan kerjanya yang memanggil-manggil namanya, tetapi Sena pura-pura tidak mendengar. Sena melangkah dengan langkah lebar-lebar menuju ke tempat mobilnya ia parkirkan beberapa saat yang lalu. Tanpa membuang waktu, Sena meninggalkan rumah sakit dengan mengemudikan mobilnya pada kecepatan tinggi hingga mendapat makian dan klakson beruntun dari kendaraan lain yang mau tidak mau harus mengalah jika tidak ingin terjadi kecelakaan. Pada momen ini, Sena benar-benar tidak peduli jika dirinya ditilang oleh polisi karenma melanggar peraturan lalu lintas. Yang ingin Sena lakukan sekarang adalah menjauh dari semua hal ya
Masih sangat membekas di ingatan Winena saat ayahnya memberikan banyak sekali wejangan dan pelajaran hidup yang harus Winena terapkan saat dewasa nanti. Saat itu umur Winena baru memasuki 14 tahun. Ada banyak prinsip yang Winena pegang teguh karena nasihat dari ayah tercintanya itu. "Cinta pertama? Cinta pertamaku ayah! Nanti kalau sudah besar, aku mau menikah dengan ayah!" Terbersit dengan sangat jelas bayangan Armandio Jati yang tertawa hingga matanya menyipit kala mendengar anaknya berkata demikian. "Ayah sudah menikah dengan Ibu, Win. Kamu nggak bisa menikah sama Ayah. Nanti Ibu cemburu dan sedih." "Terus aku nikahnya sama siapa, Yah? Aku maunya yang kayak Ayah!" "Nanti, Win. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan bertemu dengan laki-laki yang baik. Laki-laki yang jauh lebih baik dari Ayah." Armandio Jati adalah satu orang dewasa paling favorit dalam hidup Winena saat masa kecil dulu. Setiap ucapan dan tindakan pria itu selalu membuat Winena kagum. Bahkan, meski ibunya juga
Anakku tersayang, WinenaSaat kamu menerima surat ini, mungkin Ayah sudah tidak ada di dunia lagi. Melalui surat ini, Ayah ingin mengatakan betapa besar rasa syukur dan rasa bangga Ayah bisa memiliki kamu sebagai anak. Kamu sudah berkali-kali mendengar dari Ibu kalau dulu kami sangat menanti-nantikan kehadiran anak dalam pernikahan kami yang sudah bertahun-tahun. Saat kami sudah nyaris menyerah, kamu hadir melengkapi kebahagiaan kami. Kamu selalu menjadi kebahagiaan kami, Win.Bahkan, saat hubungan Ayah dan Ibu sudah tidak seperti dulu lagi, kami selalu mencintai kamu sama besarnya seperti saat kamu masih berada di rahim ibumu.Tentang keadaan Ayah dan Ibu yang telah berubah dan akhirnya berimbas ke kamu, menyakiti kamu, Ayah minta maaf, Nak. Maaf, karena Ayah sudah merusak keluarga impian yang selalu kamu inginkan.Winena, Ayah sangat menyesal karena menciptakan dunia yang mengerikan untuk kamu tinggali. Tetapi Ayah yakin kalau kamu akan bisa menemukan dunia yang lebih indah daripada
"Kamu ingat nggak sih, Win, kalau kamu masih punya utang ke aku yang belum kamu bayar?" Sena memainkan rambut panjang Winena. Ujung-ujung jarinya perlahan turun, menyentuh tulang selangka Winena yang tidak tertutup apa-apa. Setelah pergumulan Sena dan Winena di atas tempat tidur beberapa saat yang lalu, mereka masih bergelung di balik selimut tanpa mengenakan pakaian kembali. Bukan karena malas bergerak, tetapi Winena tidak cukup puas jika hanya satu ronde. Mereka hanya istirahat sejenak sebelum melanjutkan kesenangan bersama. "Utang apa? Es krim?" Winena mengernyit. Sena berdecak, tetapi tak urung terkekeh. Soal cemilan, mereka punya selera yang berbeda sehingga mereka tak pernah mengusik cemilan milik masing-masing. Tetapi semuanya berubah begitu saja saat Winena hamil. Segala jenis cemilan yang dulu tidak disukainya, kini semuanya masuk ke perut. Terutama cemilan-cemilan milik Sena yang dulunya selalu dihindari Winena. "Bukan, Sayang. Tapi soal renang. Udah berapa kama sejak kam
Dua tahun kemudian.....Rasanya, seperti mimpi.Tujuh tahun yang lalu, saat Winena menikah dengan Faris rasanya tidak seperti ini. Saat itu, Winena hanya melewatinya dengan hati yang berbunga-bunga dan perasaan yang menggebu-gebu ingin segera menyambut kehidupan rumah tangganya bersama Faris.Bersama Sena, Winena terus-menerus menemukan perjalanan yang benar-benar baru yang menantang dan penuh kejutan. Segalanya terasa berbeda. Dan Winena tidka punya waktu untuk membandingkan dengan pernikahan pertamanya dahulu. Sebab, Winena terlalu bahagia karena akhirnya bisa mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan bersama Seba setelah lika-liku hubungan mereka selama dua tahun terakhir.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena mendengar namanya disebutkan dengan merdu dalam ijab qabul. Winena menangis terisak saat haru menyelebungi seluruh sel dalam tubuhnya yang meneriakkan kebahagiaan.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena merasakan jantungnya berdebar keras saat akan menyambut malam
Nindi sontak kembali berbalik untuk menatap Sena dan langsung memberikan tatapan tajam dan sengit yang bisa diartikan sebagai, "Kenapa wanita itu ada di sini?" "Lho, Mas nggak bilang kalau lagi ada yang jenguk." Ibu masuk diikuti Winena yang sama sekali tidak menatap Sena. "Kalau tahu begitu tadi porsinya bisa Ibu lebihin biar kita bisa sekalian makan siang bersama." "Nindi udah mau balik kok, Bu," balas Sena dengan tatapan yang tidak lepas dari Winena yang sibuk mengeluarkan makanan dari kantong plastik yang tadi wanita itu bawa. "Cantik namanya. Persis seperti orangnya," puji Ibu. "Teman Sena di kejaksaan juga, Mbak Nindi?" Sena dapat melihat gerakan tangan Winena yang terhenti selama beberapa detik sebelum kembali melanjutkan kegiatannya. Wanita itu masih pura-pura tidak memedulikan Sena maupun Nindi. "Bukan, Tante." Nindi yang lebih dulu mendekat untuk menyalami tangan Ibu. Hanya jabat tangan singkat, tanpa mencium punggung tangan. "Saya public figure. Bekerja di dunia hibura
Sena termenung lama menatap ke luar jendela rumah sakit setelah rekan-rekan kerjanya yang menjenguknya satu per satu pamit undur diri. Sudah beberapa hari lalu Sena mendengar cerita singkat dari Tante Elis bahwa Winena sekarang ada di Jakarta. Bahwa Winena sudah keluar dari tempat kerjanya di Yogyakarta karena keadaan Om Tirta memburuk. Winena ada di dekatnya. Setelah tiga bulan lamanya Sena berjauhan dengan Winena, kini Sena bisa kembali berdekatan dengan wanita yang ia cintai dan rindukan dengan sangat. Sena sempat berharap setelah mengetahui bahwa wanita itu juga sempat menunggui dirinya selama operasi yang kedua. Namun, hingga satu minggu kemudian, saat Sena sudah diizinkan pulang, Winena tidak datang lagi. Sena sadar bahwa dirinya sekarang tampak sangat menyedihkan karena masih mengharapkan sosok yang telah mencampakkannya tanpa mau diajak kompromi sama sekali. Namun, harap itu benar-benar tak bisa dipupus, terutama setelah kunjungan Tante Elis yang tidak lagi menunjukkan kebe
"Ibu mau minta maaf, Win," ucap Ibu setelah sepuluh menit menit awal hanya berbasa-basi.Pagi tadi, saat Winena sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ibu mengirim pesan. Mengingatkan Winena tentang rencana pertemuan mereka. Dan Winena pun langsung setuju untuk bicara di kantin rumah sakit saja sekalian makan siang."Minta maaf untuk apa, Bu?""Karena pernah melukai hati kamu dengan kata-kata menyakitkan dan membuat hubungan kamu dengan Sena rusak. Ibu sangat menyesal karena menempatkan kalian pada situasi sulit. Maafkan Ibu ya, Nak."Winena dihantam rasa sakit di dada karena ucapan Ibu yang terdengar begitu sedih. Membuat Winena ingin menangis. "Bukan salah, Ibu. Perpisahan saya dan Sena terjadi karena pilihan saya sendiri."Ibu tersenyum sedih. "Pilihan kamu itu ada karena penolakan demi penolakan keras Ibu terhadap kamu, kan? Ibu yang minta kalian berpisah. Ibu yang menginginkan kalian hanya berteman."Winena diam saja. Sebab, apa yang dikatakan Ibu benar adanya. Namun, Winena
Tidak pernah terbayang sama sekali di benak Winena akan kembali bertemu dengan Bapak dan Ibu dalam kondisi seperti ini. Kesedihan pekat membayang di wajah kedua orang tua Sena itu yang sejak tadi tidak bisa berhenti mondar-mandir di depan ruang operasi. Ini adalah operasi yang kedua, karena Sena mengalami komplikasi pasca operasi darurat tiga hari yang lalu saat laki-laki itu dilarikan ke rumah sakit.Winena tidak banyak bicara dengan Bapak dan Ibu karena memang saat ini bukan waktu yang tepat. Winena pun berpikir bahwa memang sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi karena hubungannya dengan Sena sudah selesai. Winena berada di sana karena perlu memastikan laki-laki itu selamat dan baik-baik, lalu pergi setelahnya.Selain kedua orang tua Sena, di sana ada Reiga dan juga Pak Rudi, yang diketahui Winena sebagai kepala jaksa di tempat Sena bekerja. Mereka baru saja datang setelah kembali dari kantor polisi untuk dimintai keterangan.Reiga sempat agak kaget melihat ada Winena, mungkin
Jantung Winena masih berdenyut sakit setiap kali kakinya menginjak tanah Jakarta. Tetapi, kali ini sakitnya berdenyut lebih kuat. Berkali-kali lipat lebih sakit jika dibandingkan dengan sebelum ia mengenal Sena. Mengetahui bahwa dirinya berada di satu kota yang sama dengan mantan kekasihnya itu—hingga hari ini Sena masih sibuk mengurus kasus korupsi skala besar yang dilakukan oleh belasan oknum pejabat tinggi negara—membuat Winena khawatir akan sering bersinggungan dengan laki-laki itu saat ia keluar rumah.Kekhawatiran Winena sebenarnya terlalu berlebihan. DKI Jakarta dihuni oleh kurang lebih sebelas juta jiwa penduduk. Seharusnya memang tidak banyak probabilitas untuk bertemu Sena dengan tidak sengaja.Lucunya, yang sama sekali tidak Winena perkirakan adalah... ia bertemu dengan Nindi Fahrani saat turun dari pesawat kelas bisnis. Winena terheran-heran karena ia kira artis sekelas Nindi Fahrani selalu menjadi penumpang first class yang bisa mendapatkan pelayanan khusus dan didampingi
Berpisah dengan Sena adalah patah hati terbesar Winena setelah usaha kerasnya dalam setahun terakhir untuk pulih dari luka karena kehilangan orang tua dan juga akibat perceraiannya dengan Faris.Dan hari ini, terhitung sudah tiga bulan sejak Winena memutuskan Sena secara sepihak di depan rumah orang tua laki-laki itu. Sejak hari itu, Winena tidak pernah lagi bertemu dengan Sena. Laki-laki itu sempat beberapa kali menghubungi Winena dan mengajaknya bertemu, tetapi Winena menolak. Winena tidak siap terluka lagi dan melihat luka yang sama besarnya di mata Sena. Sena menyerah pada percobaan yang entah ke berapa. Yang Winena ingat, ini sudah lebih dari satu bulan sejak ia dan Sena benar-benar telah berhenti berkomunikasi dengan satu sama lain.Segala angan dan harap yang pernah Winena khayalkan bersama Sena telah terbakar menjadi abu. Sudah tak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Winena kira, seiring berjalannya waktu, Winena akan bisa mengikhlaskan dan melanjutkan hidup. Seperti saat Winena