Brakk!
Ratri menatap kosong ketika sang suami keluar dari kamar setelah menutup pintunya dengan kasar. Deraian air mata jatuh membasahi pipinya. Sungguh, bukan hal mudah untuk menahan sakit. Sepuluh tahun dia menikah dan tak pernah sekalipun ia dianggap sebagai seorang istri.
Bahkan anaknya pun tak diakui, padahal jelas-jelas ia mengetahui kalau Adelia adalah darah daging Doni. Demi Tuhan, ia tak pernah sekalipun berhubungan intim dengan Khairul. Laki-laki itu begitu baik dan pandai menjaga diri.
Kenapa begitu keras hati Doni sehingga mengaburkan fakta yang ada di depan mata? Ratri sudah kehilangan kekasihnya dan terpaksa menikah dengan Doni. Masih kurang cukupkah penderitaannya selama ini? Belum termasuk harus menyaksikan Doni yang seringkali pulang dalam keadaan mabuk, pulang dari tempat hiburan malam dengan mulut bau minuman keras dan dan dari tubuhnya tercium parfum perempuan?
Umar mengangkat wajahnya. Dia tak lagi menyahut panggilan sang ibunda. Anak laki-laki itu memutar tubuhnya melangkah menuju pintu, keluar dari kamar dan meninggalkan ibunya yang hanya bisa menggelengkan kepala.Umar melangkah perlahan melintasi beberapa ruangan hingga sampai ke teras rumah. Anak laki-laki itu duduk bersila di lantai yang dingin. Matanya kosong menatap kerimbunan pohon kecil yang tumbuh di halaman rumah neneknya.Matanya menyipit tatkala menatap ke depan. Sebuah motor masuk ke halaman rumah dan berhenti tepat di depannya."Umar." Khairul mengerutkan kening melihat sang keponakan duduk bersila, termangu dengan pandangan kosong. Dia bergegas menghampiri dengan Nayra yang berdiri di belakangnya."Umar, kamu kenapa, Nak?" Laki-laki itu berjongkok di hadapannya. Dia menepuk pundak anak laki-laki itu."Tidak ada apa-apa, Om. Barusan
"Ade juga wanita idaman. Kalau nggak, mana mungkin Abang jauh-jauh balik lagi ke Banjarbaru buat jemput kamu.""Oh,ya?" Naila memutar bola matanya malas."Untung Adek terima lamaran Abang. Kalau nggak, gimana nasibnya berkas-berkas yang sudah Abang persiapkan sebelum berangkat ke sana." Naila tertawa. Suaranya lantas tertahan ketika menyadari sang putri yang tertidur di dekatnya."Berani benar Abang ambil spekulasi. Padahal belum tentu juga Adek terima.""Abang berpatokan pada sebuah keyakinan bahwa jodoh itu sudah diatur oleh Allah. Mungkin memang jalannya harus berliku. Abang harus menikah dengan Nana lebih dulu sebelum bisa menikahi Ade.""Abang harus pacaran dulu dengan kak Ratri," ketus Naila. Dia masih saja teringat cerita masa lalu sang suami. Sebuah cerita masa lalu yang membangkitkan rasa cemburunya, tapi sengaja ia pendam sendiri dalam hati."Astaga, Ade, masih b
"Nayra sedang tidur, Bang." Naila menoleh pada suaminya seraya menyodorkan ponsel itu. "Angkat aja, De. Tidak apa-apa, cuma bang Ammad itu yang telepon," jawab Khairul seolah ia bisa membaca kegelisahan di hati istrinya. Naila menggeser layar hijau dan terlihat jelas wajah Ammad di seberang sana." "Ade," tegurnya setelah laki-laki itu mengucapkan salam. "Iya, Bang, ini Ade. Abang lagi apa?" Naila mendekatkan layar ke wajah sang suami. "Abang lagi di rumah, De. Kebetulan kerjaan Abang hari ini sudah selesai, jadi cepat pulang. Kamu gimana kabarnya, De? Apa sudah sampai di Pekanbaru?" "Iya, Bang. Ade sudah di Pekanbaru." "Bang, tiga hari lagi kami akan mengadakan resepsi." Kali ini Khairul yang bicara. "Abang harus datang ya. Kan tidak jauh juga, dari Padang Sidempuan ke Pekanbaru. Tidak sampai sehari semalam perjala
"Alhamdulillah."Laki-laki itu sudah selesai dengan makannya. Dia mencuci tangan dan mengeringkannya dengan menggunakan tisu yang tersedia di meja tamu.Pemandangan seisi rumahnya terlihat tidak terlalu baik. Di sana-sini terlihat berantakan, karena memang tak ada yang merapikan. Ammad sendiri tidak pandai mengurus rumah, di samping dia memang sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari sebagai pengawas lapangan sebuah proyek pembangunan sebuah pusat perbelanjaan di daerahnya.Tanpa menghiraukan situasi rumahnya yang berantakan, Ammad mengambil ponsel dan kunci motor. Dia bergegas melangkah menuju pintu depan kemudian keluar dari rumah ituSekejap kemudian laki-laki itu sudah dalam perjalanan menuju rumah Rosita. Hatinya mulai terasa menghangat dengan perhatian kecil yang ditunjukkan oleh Rosita dengan mengirimkan makan siang. Sesuatu hal yang dulu pernah begitu di rindukannya.Dul
"Tumben Abang main kemari? Biasanya selalu sibuk." "Hari ini Abang tidak sibuk, karena pekerjaan sudah hampir selesai. Tinggal finishing saja. Mungkin satu atau dua hari ke depan proyek itu selesai." Ammad tersenyum. "Alhamdulillah ... semangat ya, Bang!" Ah, kata-kata yang terdengar dari mulut Rosita begitu manis. Andai saja dulu dia selalu mengucapkan kata-kata itu, pasti dia tidak akan pernah tergoda oleh pesona Naila. "Di mana Fitri?" tanyanya. Ada perasaan canggung saat berhadapan dengan wanita itu sekarang. "Dia sedang tidur, Bang. Kalau Abang mau melihat Fitri, silakan Abang masuk ke dalam kamarku Ammad menggelengkan kepala. "Nanti saja, De. Abang mau ngobrol dulu sama kamu." Rosita mengerutkan kening. "Apakah penting, Bang?" "Nggak terlalu penting juga," sahut Ammad. "Kapan Ade selesai nifa
Semua orang boleh saja menganggap dia sebagai perempuan laknat, tukang selingkuh bahkan perempuan lacur. Dia bisa menerima hal itu, tetapi adakah yang menyadari bagaimana perasaan seorang istri ketika suaminya jatuh hati pada perempuan lain? Dia akui selama ini dia memang salah. Dia hanya fokus kepada anak-anak, memastikan bagaimana agar gaji sang suami setiap bulannya hanya untuk keluarga. Dia tak sadar bahwa sang suami begitu merindukan kemesraan dan perhatian seperti saat mereka baru menikah. Apakah laki-laki itu sedang puber kedua? Ah, entahlah, tetapi kemungkinan seperti itu ada, mengingat usia suaminya yang tak lagi muda. Dari situlah kisah itu bermula. Rosita yang sakit hati memilih menjalin hubungan dengan laki-laki lain, seorang pejabat daerah sekaligus pengusaha. Laki-laki yang memanjakan dirinya, bukan cuma materi, tapi juga urusan di ranjang. Rosita duduk di pinggir ranjang. Matanya lekat m
Hari H resepsi perkawinan Khairul dan Naila semakin dekat. Kesibukan begitu terasa. Setiap anggota keluarga besar Khairul memiliki tugas masing-masing. Meskipun semuanya sudah di tangan pihak Wedding Organizer, tetap saja mereka tidak bisa santai. Hari ini Khairul dan Naila tengah fitting baju pengantin di sebuah butik yang cukup terkenal di kota Pekanbaru. "Bagaimana, Bang?" tanya Naila. Suaranya mengagetkan Khairul yang tengah asyik memandangi istrinya. Di ruangan tertutup itu hanya ada mereka berdua. Gaun berwarna putih dengan jilbab berwarna putih pula membuat wanita itu terlihat begitu anggun, apalagi dengan mahkota silver di kepalanya. "Ade cantik," puji Khairul. "Bajunya sangat pas dengan ukuran tubuh Ade." "Alhamdulillah.... Berarti tidak perlu diapa-apain lagi ya, Bang. Cukup begini saja," sahut Naila. Ade juga sudah merasa nyaman dengan baju ini," sambungnya. Laki-laki itu m
Perempuan itu merasakan jantungnya berdegup kian cepat saat dia mengalungkan tangan ke leher suaminya, lalu mengecup bibirnya sekilas. "Tempat ini sangat indah. Bagaimana mungkin Ade tidak menyukai tempat ini?" "Sebenarnya Abang ingin mengajakmu ke tempat wisata alam Mayang, tapi kalau ke tempat itu rasanya lebih baik dengan membawa serta Nayra. Saat ini Abang hanya ingin berduaan dengan kamu, menikmati bulan madu kita." Kata-kata bulan madu membuat pipi Naila memerah. Perempuan itu merasa dirinya sudah tua dan rasanya tak pantas kalau pernikahan mereka harus disertai dengan sesi bulan madu. Membayangkan semua keromantisan yang tercipta, rasanya dia tak sanggup. "Lah kok Ade jadi terdiam sih? Kenapa?" Khairul menangkap semburat malu di wajah istrinya. "Ade malu?" bisiknya. "Ade sudah tua, Bang. Masa iya masih memer