Saat Nadine melewati rak pakaian di dekat pintu, matanya tertuju pada setelan jas yang tergantung rapi di sana. Hitam pekat, sangat formal, bahkan sedikit terlalu kaku. Meskipun Arnold memang sering mengenakan jas, yang satu ini terlihat lebih kuno.Iya, kuno.Nadine melangkah lebih jauh ke dalam ruangan dan berhenti di samping meja makan. Di atas meja, tersaji empat hidangan yang masih mengepul hangat. Dua lauk utama, satu sayuran, dan satu sup.Arnold menjelaskan dengan santai, "Iga sapi kecap dan tumis daging lada hijau aku pelajari dari kamu. Tumis kubis aku lihat dari video. Sup tomat telur memang sudah bisa dari dulu."Setiap hidangan disebutkan asal-usulnya dengan rinci.Nadine tertawa kecil. "Aku pernah mengajarimu? Kenapa aku nggak ingat?""Kamu memang nggak ngajarin. Tapi aku belajar diam-diam." Sambil berbicara, Arnold sudah mengambilkan dua piring nasi. "Duduklah." Dia juga menyerahkan sendok garpu padanya."Terima kasih."Nadine mengambil sepotong iga dan memasukkannya ke
Arnold bergerak cepat. Setelah selesai merapikan dapur, dia keluar ke ruang tamu dan melihat Nadine sudah selesai mengupas buah dan menyusunnya di piring."Kubilang jangan melakukan ini, kamu malah melakukan itu ya?" Dia menggeleng dengan pasrah.Nadine menusuk sepotong apel dengan tusuk gigi dan menyerahkannya pada Arnold. "Hidup itu harus aktif bergerak, aku nggak mau jadi pemalas."Arnold menerimanya."Oh ya, aku harus buang sampah. Nanti turun bareng ya?""Oke."Setelah membuang sampah, Nadine teringat bahwa kulkas di rumahnya sudah kosong. Belakangan ini, dia sibuk dan tidak sempat belanja. Jadi, dia mengusulkan untuk pergi ke supermarket.Arnold langsung setuju. Tanpa mereka sadari, begitu mereka pergi, Yenny tiba di ujung gang. "Oke, berhenti di sini saja. Mobil nggak bisa masuk lebih jauh."Sopir mengangguk. "Baik, Nyonya."Yenny membuka pintu mobil, lalu tiba-tiba berhenti sebentar dan mengeluarkan sepatu datar yang sudah disiapkan sebelumnya. Hampir saja dia lupa membawanya.
Sopir mengarahkan mobil ke tepi jalan dan berhenti perlahan. "Nyonya."Yenny masuk ke mobil dan menghela napas dengan kecewa. "Kita pulang."Di saat mobil melaju pergi, Arnold dan Nadine baru saja menyeberang jalan dengan membawa kantong belanjaan.Mereka dan mobil itu berpapasan begitu saja."Biar aku saja yang bawa." Sambil bicara, Arnold mengambil semua kantong belanjaan dari tangan Nadine.Nadine tidak berdebat karena percuma. Lagi pula, memang cukup berat.Begitu sampai di ujung gang, Arnold tiba-tiba bertanya, "Kamu sudah mulai terbiasa di Universitas Teknologi dan Bisnis?"Nadine mengangguk. "Laboratoriumnya bukan cuma lengkap, tapi juga luas. Pak Moesda juga baik dan para senior di bawah bimbingannya sangat perhatian. Saat mengambil bahan penelitian, mereka selalu membantu kami mendaftarkannya."Namun, pada akhirnya Nadine tetap membayar semua bahan penelitian itu sesuai daftar harga. Bisa memakai laboratorium secara gratis saja sudah cukup membuatnya merasa tidak enak hati. Ma
"Kenapa? Kok melihatku seperti itu?"Nadine tersenyum. "Nggak apa-apa, cuma tiba-tiba merasa kalau kamu sangat baik."Benar-benar baik, sangat baik."Ayo jalan, jangan berdiri di sini. Nggak dingin?" Arnold tertawa.Nadine menggosok tangannya. "Sedikit."....Hari Sabtu tiba lagi. Nadine bangun lebih pagi, membuat sandwich untuk diri sendiri, menyiapkan susu kedelai untuk sarapan.Saat Arnold hendak keluar, Nadine menyerahkan kantong kertas berisi sandwich dan susu kedelai kepadanya.Arnold menatapnya. "Sarapan?""Hmm!""Kebetulan aku belum makan. Terima kasih."Arnold akan pergi ke laboratorium, begitu juga Nadine. Namun, dia akan merapikan rumah terlebih dahulu sebelum berangkat.Sebelum sempat menyelesaikan pekerjaannya, ponselnya berdering. "Halo?""Nadine! Ini Kak Tasyi! Cepat ke rumah sakit, Bu Freya ...."Di kamar rawat, Nadine bergegas mendorong pintu. "Bu?"Dia melihat Freya berbaring di ranjang rumah sakit dengan infus di tangannya, sementara Tasyi mondar-mandir dengan cemas.
"Jadi, siapa sebenarnya yang menelepon pagi kemarin? Sampai membuatmu marah hingga masuk rumah sakit.""Hmph!"Nadine tetap tenang. "Biar aku tebak ... Dekan? Seharusnya bukan dia, dia nggak akan repot-repot mengurus hal sepele seperti ini. Kalau begitu ... Wakil Dekan? Tapi, aku dengar dia baru saja kena sanksi karena ada keluhan dari sponsor. Seharusnya dia akan menjaga sikapnya untuk waktu yang lama ...."Sampai di sini, Nadine berhenti sejenak. Bola matanya berputar. "Kalau kedua orang itu sudah dikesampingkan, berarti di seluruh Fakultas Ilmu Hayati, satu-satunya orang yang bisa membuatmu semarah ini adalah Diana."Benar saja, begitu mendengar nama itu, mata Freya langsung melotot karena marah. "Jangan sebut nama dia di depanku!"Nadine mengangguk. "Satu-satunya orang yang bisa melakukan hal kekanak-kanakan seperti ini memang hanya dia.""Kekanak-kanakan? Kalau dia nggak bilang, aku sampai sekarang masih nggak tahu! Masa kamu menyembunyikan masalah sebesar perbaikan sistem keamana
Setelah menenangkan Freya, Nadine membantunya membersihkan tubuh. Sebelum pergi, dia juga mengingatkan agar Freya menunggu sampai infusnya habis dulu sebelum mengurus administrasi kepulangan.Sebelum meninggalkan rumah sakit, Nadine memanggil Tasyi dan berkata, "Aku sudah bicara dengan Bu Freya. Besok akan ada mobil yang menjemput kalian ke tempat pemulihan. Selama di sana, aku titip beliau padamu ya."Tasyi langsung tersenyum lega. "Memang cuma kamu yang bisa mengatasinya! Aku sudah mencoba membujuk dan menasihati berulang kali, tapi dia tetap nggak mau mendengar. Untung ada kamu! Tenang saja, aku pasti menjaga Bu Freya dengan baik!""Terima kasih, Kak Tasyi.""Ah, nggak usah berterima kasih. Ini memang tugasku."Setelah Nadine pergi, Tasyi masuk kembali ke kamar pasien. Freya melirik ke arah pintu. "Dia sudah pergi?""Iya, sudah. Sebelum pergi, dia menitip pesan agar aku menjagamu baik-baik. Nadine benar-benar perhatian."Freya mengangguk pelan. "Dia anak yang baik. Aku yang nggak gu
"Semua berkat dua tim konstruksi dari Pak Stendy yang sangat membantu."Awalnya, mereka hanya dipinjam untuk pekerjaan konstruksi dasar. Namun, Aditya segera menyadari bahwa dirinya telah meremehkan kemampuan mereka. Selain pekerjaan konstruksi, tim ini juga sangat ahli dalam renovasi dan evaluasi material.Jadi, setelah pekerjaan konstruksi dasar selesai, Aditya memutuskan untuk tidak mengembalikan mereka kepada Stendy. Sebaliknya, mereka langsung melanjutkan ke tahap renovasi interior dan pemasangan sistem kontrol pintar."Pak Stendy nggak masalah, 'kan?"Mendengar itu, Nadine juga menoleh ke arah Stendy mengikuti Aditya.Ketika Stendy bertemu dengan tatapan Nadine, dia tersenyum tipis. "Aku nggak masalah." Selama Nadine meminta, berapa pun orang yang dibutuhkan, dia bisa mengaturnya."Terima kasih, Pak Stendy.""Panggil Kak Stendy."Nadine termangu. Lagi-lagi ini.Aditya bersuara, "Hehe .... Terima kasih, Kak Stendy."Stendy seketika tidak bisa berkata-kata.Setelah hampir selesai m
Di bawah cahaya lampu jalan, Nadine, Aditya, dan Stendy berjalan sambil mengobrol. Angin malam berembus kencang. Napas mereka berubah menjadi uap putih yang melayang di udara."Nad, mau minum teh susu? Aku traktir." Aditya tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih.Nadine hendak menjawab. Tiba-tiba, seorang pemuda berjalan ke arahnya dan berhenti di depan mereka.Di bawah tatapan bingung mereka bertiga, pria itu seperti sedang melakukan trik sulap. Dia mengeluarkan sebuket mawar dari belakangnya dan menyodorkannya kepada Nadine."Ha ... halo! Aku mahasiswa pascasarjana tahun ketiga di Universitas Teknologi dan Bisnis. A ... aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Ini bunga untukmu, semoga kamu suka!""A ... apa kita boleh bertukar kontak? Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tahu ini terlalu mendadak. Aku sendiri juga nggak bisa percaya, tapi ... memang itu yang terjadi. Aku harap kamu bisa memberiku kesempatan ...."Nadine sama seka
Aditya tidak bisa merespons!Nadine berkata, "Pak Stendy, kamu sudah bisa melepaskan tanganmu sekarang."Stendy tersenyum tipis, seolah-olah baru menyadari sesuatu. Namun, bukannya melepaskan, tangannya yang tadi hanya menggantung di udara kini benar-benar merangkul bahu Nadine.Tubuhnya ramping dan mungil. Bahkan melalui jaket tebal, dia masih bisa merasakan betapa kurusnya gadis itu.Aroma samar dari tubuh Nadine tanpa sadar menyusup ke dalam hidung. Seluruh tubuh Stendy menegang.Detik berikutnya, Nadine berputar dengan lincah dan meloloskan diri dari pelukannya. Stendy bereaksi cepat. Begitu melihatnya kabur, dia segera mengulurkan tangan, berniat menariknya kembali.Yang satu kabur, yang satu mengejar. Yang satu menghindar, yang satu memburu.Nadine akhirnya kesal. "Stendy! Kamu belum selesai juga?"Stendy tersenyum semakin lebar. "Bagus, akhirnya kamu nggak memanggilku Pak Stendy lagi."Di saat keduanya sedang berselisih, tak jauh dari sana di bawah cahaya lampu jalan, Arnold ber
Di bawah cahaya lampu jalan, Nadine, Aditya, dan Stendy berjalan sambil mengobrol. Angin malam berembus kencang. Napas mereka berubah menjadi uap putih yang melayang di udara."Nad, mau minum teh susu? Aku traktir." Aditya tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih.Nadine hendak menjawab. Tiba-tiba, seorang pemuda berjalan ke arahnya dan berhenti di depan mereka.Di bawah tatapan bingung mereka bertiga, pria itu seperti sedang melakukan trik sulap. Dia mengeluarkan sebuket mawar dari belakangnya dan menyodorkannya kepada Nadine."Ha ... halo! Aku mahasiswa pascasarjana tahun ketiga di Universitas Teknologi dan Bisnis. A ... aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Ini bunga untukmu, semoga kamu suka!""A ... apa kita boleh bertukar kontak? Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tahu ini terlalu mendadak. Aku sendiri juga nggak bisa percaya, tapi ... memang itu yang terjadi. Aku harap kamu bisa memberiku kesempatan ...."Nadine sama seka
"Semua berkat dua tim konstruksi dari Pak Stendy yang sangat membantu."Awalnya, mereka hanya dipinjam untuk pekerjaan konstruksi dasar. Namun, Aditya segera menyadari bahwa dirinya telah meremehkan kemampuan mereka. Selain pekerjaan konstruksi, tim ini juga sangat ahli dalam renovasi dan evaluasi material.Jadi, setelah pekerjaan konstruksi dasar selesai, Aditya memutuskan untuk tidak mengembalikan mereka kepada Stendy. Sebaliknya, mereka langsung melanjutkan ke tahap renovasi interior dan pemasangan sistem kontrol pintar."Pak Stendy nggak masalah, 'kan?"Mendengar itu, Nadine juga menoleh ke arah Stendy mengikuti Aditya.Ketika Stendy bertemu dengan tatapan Nadine, dia tersenyum tipis. "Aku nggak masalah." Selama Nadine meminta, berapa pun orang yang dibutuhkan, dia bisa mengaturnya."Terima kasih, Pak Stendy.""Panggil Kak Stendy."Nadine termangu. Lagi-lagi ini.Aditya bersuara, "Hehe .... Terima kasih, Kak Stendy."Stendy seketika tidak bisa berkata-kata.Setelah hampir selesai m
Setelah menenangkan Freya, Nadine membantunya membersihkan tubuh. Sebelum pergi, dia juga mengingatkan agar Freya menunggu sampai infusnya habis dulu sebelum mengurus administrasi kepulangan.Sebelum meninggalkan rumah sakit, Nadine memanggil Tasyi dan berkata, "Aku sudah bicara dengan Bu Freya. Besok akan ada mobil yang menjemput kalian ke tempat pemulihan. Selama di sana, aku titip beliau padamu ya."Tasyi langsung tersenyum lega. "Memang cuma kamu yang bisa mengatasinya! Aku sudah mencoba membujuk dan menasihati berulang kali, tapi dia tetap nggak mau mendengar. Untung ada kamu! Tenang saja, aku pasti menjaga Bu Freya dengan baik!""Terima kasih, Kak Tasyi.""Ah, nggak usah berterima kasih. Ini memang tugasku."Setelah Nadine pergi, Tasyi masuk kembali ke kamar pasien. Freya melirik ke arah pintu. "Dia sudah pergi?""Iya, sudah. Sebelum pergi, dia menitip pesan agar aku menjagamu baik-baik. Nadine benar-benar perhatian."Freya mengangguk pelan. "Dia anak yang baik. Aku yang nggak gu
"Jadi, siapa sebenarnya yang menelepon pagi kemarin? Sampai membuatmu marah hingga masuk rumah sakit.""Hmph!"Nadine tetap tenang. "Biar aku tebak ... Dekan? Seharusnya bukan dia, dia nggak akan repot-repot mengurus hal sepele seperti ini. Kalau begitu ... Wakil Dekan? Tapi, aku dengar dia baru saja kena sanksi karena ada keluhan dari sponsor. Seharusnya dia akan menjaga sikapnya untuk waktu yang lama ...."Sampai di sini, Nadine berhenti sejenak. Bola matanya berputar. "Kalau kedua orang itu sudah dikesampingkan, berarti di seluruh Fakultas Ilmu Hayati, satu-satunya orang yang bisa membuatmu semarah ini adalah Diana."Benar saja, begitu mendengar nama itu, mata Freya langsung melotot karena marah. "Jangan sebut nama dia di depanku!"Nadine mengangguk. "Satu-satunya orang yang bisa melakukan hal kekanak-kanakan seperti ini memang hanya dia.""Kekanak-kanakan? Kalau dia nggak bilang, aku sampai sekarang masih nggak tahu! Masa kamu menyembunyikan masalah sebesar perbaikan sistem keamana
"Kenapa? Kok melihatku seperti itu?"Nadine tersenyum. "Nggak apa-apa, cuma tiba-tiba merasa kalau kamu sangat baik."Benar-benar baik, sangat baik."Ayo jalan, jangan berdiri di sini. Nggak dingin?" Arnold tertawa.Nadine menggosok tangannya. "Sedikit."....Hari Sabtu tiba lagi. Nadine bangun lebih pagi, membuat sandwich untuk diri sendiri, menyiapkan susu kedelai untuk sarapan.Saat Arnold hendak keluar, Nadine menyerahkan kantong kertas berisi sandwich dan susu kedelai kepadanya.Arnold menatapnya. "Sarapan?""Hmm!""Kebetulan aku belum makan. Terima kasih."Arnold akan pergi ke laboratorium, begitu juga Nadine. Namun, dia akan merapikan rumah terlebih dahulu sebelum berangkat.Sebelum sempat menyelesaikan pekerjaannya, ponselnya berdering. "Halo?""Nadine! Ini Kak Tasyi! Cepat ke rumah sakit, Bu Freya ...."Di kamar rawat, Nadine bergegas mendorong pintu. "Bu?"Dia melihat Freya berbaring di ranjang rumah sakit dengan infus di tangannya, sementara Tasyi mondar-mandir dengan cemas.
Sopir mengarahkan mobil ke tepi jalan dan berhenti perlahan. "Nyonya."Yenny masuk ke mobil dan menghela napas dengan kecewa. "Kita pulang."Di saat mobil melaju pergi, Arnold dan Nadine baru saja menyeberang jalan dengan membawa kantong belanjaan.Mereka dan mobil itu berpapasan begitu saja."Biar aku saja yang bawa." Sambil bicara, Arnold mengambil semua kantong belanjaan dari tangan Nadine.Nadine tidak berdebat karena percuma. Lagi pula, memang cukup berat.Begitu sampai di ujung gang, Arnold tiba-tiba bertanya, "Kamu sudah mulai terbiasa di Universitas Teknologi dan Bisnis?"Nadine mengangguk. "Laboratoriumnya bukan cuma lengkap, tapi juga luas. Pak Moesda juga baik dan para senior di bawah bimbingannya sangat perhatian. Saat mengambil bahan penelitian, mereka selalu membantu kami mendaftarkannya."Namun, pada akhirnya Nadine tetap membayar semua bahan penelitian itu sesuai daftar harga. Bisa memakai laboratorium secara gratis saja sudah cukup membuatnya merasa tidak enak hati. Ma
Arnold bergerak cepat. Setelah selesai merapikan dapur, dia keluar ke ruang tamu dan melihat Nadine sudah selesai mengupas buah dan menyusunnya di piring."Kubilang jangan melakukan ini, kamu malah melakukan itu ya?" Dia menggeleng dengan pasrah.Nadine menusuk sepotong apel dengan tusuk gigi dan menyerahkannya pada Arnold. "Hidup itu harus aktif bergerak, aku nggak mau jadi pemalas."Arnold menerimanya."Oh ya, aku harus buang sampah. Nanti turun bareng ya?""Oke."Setelah membuang sampah, Nadine teringat bahwa kulkas di rumahnya sudah kosong. Belakangan ini, dia sibuk dan tidak sempat belanja. Jadi, dia mengusulkan untuk pergi ke supermarket.Arnold langsung setuju. Tanpa mereka sadari, begitu mereka pergi, Yenny tiba di ujung gang. "Oke, berhenti di sini saja. Mobil nggak bisa masuk lebih jauh."Sopir mengangguk. "Baik, Nyonya."Yenny membuka pintu mobil, lalu tiba-tiba berhenti sebentar dan mengeluarkan sepatu datar yang sudah disiapkan sebelumnya. Hampir saja dia lupa membawanya.
Saat Nadine melewati rak pakaian di dekat pintu, matanya tertuju pada setelan jas yang tergantung rapi di sana. Hitam pekat, sangat formal, bahkan sedikit terlalu kaku. Meskipun Arnold memang sering mengenakan jas, yang satu ini terlihat lebih kuno.Iya, kuno.Nadine melangkah lebih jauh ke dalam ruangan dan berhenti di samping meja makan. Di atas meja, tersaji empat hidangan yang masih mengepul hangat. Dua lauk utama, satu sayuran, dan satu sup.Arnold menjelaskan dengan santai, "Iga sapi kecap dan tumis daging lada hijau aku pelajari dari kamu. Tumis kubis aku lihat dari video. Sup tomat telur memang sudah bisa dari dulu."Setiap hidangan disebutkan asal-usulnya dengan rinci.Nadine tertawa kecil. "Aku pernah mengajarimu? Kenapa aku nggak ingat?""Kamu memang nggak ngajarin. Tapi aku belajar diam-diam." Sambil berbicara, Arnold sudah mengambilkan dua piring nasi. "Duduklah." Dia juga menyerahkan sendok garpu padanya."Terima kasih."Nadine mengambil sepotong iga dan memasukkannya ke