"Maaf, aku nggak bisa menari." Nadine menolak dengan sopan.Mahasiswa itu tampak kecewa, lalu pergi.Awalnya, Nadine mengira semuanya akan berakhir di situ. Ternyata, setelah satu pergi, yang lain datang lagi.Setelah menolak lima orang berturut-turut, Nadine buru-buru menarik Mikha ke sudut yang agak terpencil dan duduk di sana.Tempatnya cukup tersembunyi, ditambah pencahayaan yang redup, jadi kecil kemungkinan mereka akan diperhatikan.Nadine menghela napas lega. Akhirnya bisa tenang."Kak, kamu benar-benar populer ya! Aku jadi kepikiran mau ngajak kamu dansa juga, hehe.""Oh? Kalau begitu, mungkin bisa kupertimbangkan." Nadine tersenyum tipis.Mikha langsung mengangkat dagu dan membusungkan dada. "Cowok-cowok itu pasti bakal iri setengah mati!""Bagus dong?""Memang bagus!"Di akhir percakapan, mereka tertawa bersama."Aku ambil makanan dulu ya!" kata Mikha."Oke."Setelah Mikha pergi, Nadine membuka botol air mineral yang ada di meja dan meneguknya beberapa kali. Dia benar-benar t
Arnold bahkan tidak mengangkat kepalanya.Calvin berkata, "Coba lihat baik-baik, di undangan ini tertulis 'Acara Temu Kenal'! Bukan 'Konferensi Laporan Akademik Gabungan'!""Aku tahu.""Kalau tahu, kenapa tetap pergi?""Memangnya nggak boleh?""Astaga! Ini benar-benar aneh ...."Tunggu! Calvin seperti menyadari sesuatu, lalu kembali melihat undangan itu. "Fakultas Ilmu Hayati? Bukankah itu fakultas tempat Nadine berada?"Gerakan Arnold yang sedang menyesuaikan alat sedikit terhenti.Calvin langsung mendekat dengan mata menyipit, "Arnold, ini masalah besar! Lebih serius daripada kena santet! Kamu naksir Nadine ya? Dia tahu nggak? Kamu jauh lebih tua darinya, dia bisa terima nggak?"Beberapa pertanyaan itu membuat Arnold terdiam tak bisa menjawab....."Pak? Pak!" Nadine memanggil beberapa kali.Arnold tiba-tiba tersadar. "Apa tadi kamu bilang?""Aku tanya, setelah acara ini selesai, kamu mau pulang atau ke laboratorium?""Pulang."Nadine mengangguk. "Kalau begitu kita bisa ...." Pulang
Di tengah tepuk tangan dan sorakan kegembiraan, sorotan lampu menyapu meja di tengah ruangan. Kemudian, cahaya itu beralih ke sepasang pria dan wanita yang duduk di samping meja.Pembawa acara berkata, "Wah ... sepertinya kita menangkap sepasang kekasih di sini! Boleh perkenalkan diri?"Jinny bangkit dan menerima mikrofon yang diberikan padanya. "Halo semuanya, aku Jinny dari jurusan bioinformatika."Pembawa acara bertanya, "Kalau pria tampan di sebelah? Nggak mau memperkenalkan diri juga?"Reagan tetap diam, ekspresinya tidak banyak berubah.Jinny tersenyum. "Biar aku saja. Ini pacarku, Reagan. Dia bukan mahasiswa kampus ini, hari ini dia datang khusus untuk menemaniku.""Wah!" Ucapan itu langsung memicu sorakan iri dari para peserta.Kebanyakan yang datang malam ini masih lajang, berharap bisa menemukan pasangan. Namun, pasangan ini justru memamerkan kemesraan di depan semua orang, benar-benar menyiksa para jomblo!"Pria tampan ini beruntung sekali!""Jinny adalah wanita idaman di ju
Mata pembawa acara berbinar. "Kalau begitu, Pak Investor yang terhormat, aku ingin mewakili semua wanita lajang di ruangan ini, termasuk diriku sendiri, untuk menanyakan satu pertanyaan, boleh?"Stendy membuat gerakan tangan mempersilakan."Baik! Pertanyaannya adalah ... apakah kamu masih lajang?"Stendy menyahut "Saat ini, iya.""Lalu, apakah kami masih punya kesempatan?" Pembawa acara ini memang cukup berani."Nggak.""Kenapa?""Karena aku sudah punya seseorang yang kusukai."Sambil berbicara, tatapannya yang penuh senyuman mengarah langsung kepada Nadine.Arnold tetap tanpa ekspresi, tetapi botol air mineral di tangannya sudah berubah bentuk.Mikha melirik Stendy yang sedang menggoda Nadine, lalu melirik Nadine yang tetap tanpa reaksi. Dia akhirnya memilih untuk menunduk dan fokus makan. 'Hmm, enak sekali.'Stendy mengabaikan suara kekecewaan dari sekitar, mengembalikan mikrofon, lalu duduk kembali.Dari sudut matanya, dia melihat Nadine sedang makan dan pipinya sedikit menggembung
Reagan mengangkat alis. Akhirnya, dia mengulurkan tangannya ke arah Jinny. Sambil membungkuk sedikit, dia membuat gerakan mengundang yang sesuai standar.Jinny tersenyum dan meletakkan tangannya di telapak tangan Reagan. Keduanya pun melangkah ke tengah lantai dansa.Ketika Nadine dan Mikha kembali dari toilet, mereka tepat melihat pemandangan ini. Pria tampan dan wanita cantik, sangat serasi. Baguslah.Nadine menarik kembali pandangannya dengan tenang, tetapi tiba-tiba ... dua tangan muncul di hadapannya. Kiri dan kanan.Stendy dan Arnold secara bersamaan mengulurkan tangan untuk mengajaknya berdansa.Mikha terkejut sampai mundur setengah langkah untuk keluar dari "zona pertempuran." Ini ... sebuah kompetisi maskulinitas?Stendy tersenyum. "Nadine, bolehkah aku mendapat kehormatan untuk mengajakmu berdansa?"Arnold juga tersenyum. "Kebetulan sekali, aku juga berpikir hal yang sama dengan Pak Stendy."Stendy menoleh ke arahnya, Arnold menatap balik tanpa ragu sedikit pun. Bau persainga
"Olive?" Wilfred memanggil dua kali, tetapi wanita itu tidak merespons. Akhirnya, dia meletakkan tangannya di bahu Olive dan menekannya sedikit. Saat itu, Olive baru tersadar."Apa yang kamu katakan barusan?""Aku tanya, apa yang sedang kamu lihat?""Nggak ada." Olive menepis tangan Wilfred dari bahunya. "Aku ada urusan dengan Pak Arnold."Selesai berkata begitu, dia langsung berlari ke arah Arnold.Wilfred menatap tangannya yang kosong, lalu menatap Olive yang tergesa-gesa. Dia mengernyit bingung. Dia tidak menyangka ternyata Olive tertarik dengan acara sosial semacam ini.Namun, kalau dia ingin datang, Wilfred tentu akan menemaninya. Itu sebabnya, dia secara khusus menemui pengurus BEM dan menyatakan kesediaannya untuk hadir sebagai perwakilan dosen pembimbing.Ya, Wilfred bukan hanya bekerja di laboratorium Arnold, tetapi juga memiliki posisi di kampus.Benar saja, saat Olive melihat undangan itu, senyumannya berseri-seri, bahkan lebih cerah dari matahari.Wilfred jarang melihatnya
Setelah Arnold pergi, Olive juga tidak tertarik untuk tetap tinggal. "Aku pulang dulu." Usai bicara, dia meninggalkan Wilfred, lalu berbalik dan pergi begitu saja.Wilfred tampak bingung. Dia membuka mulut dan hendak mengejarnya untuk bertanya apa yang terjadi, sekaligus mengantarnya pulang. Namun, dia tiba-tiba teringat bahwa sebagai perwakilan pembimbing, dia masih punya tugas lain malam ini, sehingga tidak bisa meninggalkan tempat itu.Olive bisa pergi sesuka hatinya, bebas melakukan apa yang dia mau, tetapi dia tidak bisa.Wilfred tak kuasa menghela napas. Mereka sudah berstatus sebagai sepasang kekasih, tetapi kenapa dia selalu merasa bahwa Olive begitu jauh darinya .... Saking jauhnya hingga dia merasa seolah-olah tidak pernah benar-benar memahami isi hati gadis itu.Apalagi sejak mereka mulai berpacaran, selain berpegangan tangan, mereka bahkan belum pernah berciuman. Dia menundukkan kepala dengan sedikit kecewa.Tiba-tiba, sebuah sosok menabraknya."Maaf! Maaf! Aku nggak membua
Wilfred sedikit terkejut. "Kamu juga sering ke toko itu?""Iya! Kue-kue mereka enak."Wilfred sebenarnya jarang memperhatikan gantungan kecil seperti itu.Di satu sisi, Olive menganggap benda-benda seperti itu kekanak-kanakan. Di sisi lain, dia merasa dirinya sudah berusia 30-an, kalau masih menggantung hal-hal seperti ini di ponsel, rasanya kurang dewasa.Namun, gantungan ini sudah ada sejak dia membeli ponsel barunya, dan karena tidak terlalu mencolok, dia membiarkannya tetap di sana. Tak disangka, mata gadis ini cukup tajam untuk langsung menyadarinya."Kamu sudah coba berapa kali?" tanya Mikha penuh penasaran."Kalau dihitung total ... mungkin sekitar tiga kali?"Mendengar jawaban itu, Mikha hampir menggertakkan giginya. Kenapa orang lain bisa seberuntung ini, sementara dia selalu apes?!Wilfred melihat ekspresi kesal Mikha hingga tidak bisa menahan tawa. "Kalau kamu nggak keberatan, kasih aku alamat, deh. Aku masih punya satu edisi spesial di rumah, bisa aku kirim buat kamu."Mikh
Senyuman Inez terlihat agak canggung. "Benarkah? Adik Ipar benar-benar pria yang sayang keluarga ...."Saat semua orang sedang menikmati makan siang, bel pintu rumah tiba-tiba berbunyi."Biar aku saja yang buka," kata Stendy sambil meletakkan peralatan makannya, lalu berjalan menuju pintu depan.Beberapa detik kemudian, terdengar suara Stendy dengan nada terkejut. "Ayah, kenapa kamu bisa datang ke sini?"Mendengar perkataan itu, tangan Irene yang sedang mengambil lauk langsung berhenti.Jeremy juga terlihat bingung dan pikirannya masih sedang menyusun ulang hubungan di keluarga itu. Ayahnya Stendy berarti suaminya Inez dan kakak iparnya Irene.Corwin dan Safir saling memandang dengan tatapan yang khawatir dan bingung. Padahal mereka belum memberi tahu Paulus sudah menemukan Irene, mengapa Paulus bisa tiba-tiba datang ke sini? Apakah Irene yang memberi tahu Paulus? Mungkin juga.Hanya Inez saja yang tubuhnya langsung kaku saat mendengar suara Paulus, lalu tersenyum sinis. Dia berpikir P
Irene menyuruh Nadine untuk menghubungi Stendy karena kakak beradik ini sudah saling mengenal sejak lama. Saat dompet Jeremy dicopet di stasiun kereta cepat dan bertemu dengan Stendy, dia menyebut Presdir Stendy sebagai temannya.Setelah itu, Irene melihat Stendy juga mengantar Nadine dan Jeremy sampai ke bawah apartemen dengan ramah. Oleh karena itu, kesannya terhadap Stendy cukup bagus. Setelah semalam mengetahui identitas Stendy yang sebenarnya, dia diam-diam bersyukur dan merasa semua ini benar-benar takdir.Nadine menganggukkan kepala. "Baik."....Stendy baru bangun tidur sekitar pukul sembilan pagi, tetapi dia masih merasa tidak begitu enak badan karena mabuk dari malam sebelumnya. Dia sudah memutuskan untuk mengurangi merokok dan minum alkohol selama setengah bulan lebih, tetapi bukan berarti tidak menyentuhnya sama sekali. Namun, dia juga tidak pernah sampai mabuk parah seperti kemarin.Setelah bangkit, Stendy mandi dan menelepon resepsionis untuk minta dikirimkan sarapan. Set
Lumayan juga ....Setidaknya, saat ini Safir masih cukup puas terhadap menantunya, Jeremy. Menantunya ini lembut, perhatian, teliti, penuh pertimbangan, tinggi, dan penampilannya juga tidak buruk. Dia juga lulusan dari Universitas Quar dan sekarang menjadi guru fisika di SMA unggulan. Dia memang bukan orang kaya, tetapi cukup terhormat dan mapan juga."Pangsit isi kucai, telur dan jamur ini sangat segar," kata Safir sambil terus menganggukkan kepala setelah mencicipi beberapa gigitan.Corwin sudah melahap satu mangkuk dan sedang mengambil porsi yang kedua. "Kamu coba yang isi daging sapi dan daun ketumbar ini, rasanya sangat wangi ...."Jeremy dipuji sampai merasa agak malu pun tersenyum canggung dan menggaruk kepalanya. "Asalkan kalian suka makan saja. Aku sudah membuat banyak pangsit. Kalau kurang, nanti aku kukus lagi.""Jangan terus berdiri di sana, duduklah dan makan bareng. Kamu sudah sibuk dari pagi, kamu pasti capek ...," kata Irene.Jeremy langsung mengiakan. Dia mengambil per
"Berkumpulnya satu keluarga itu hal yang baik," kata Corwin dengan nada haru.Jeremy segera mengangguk setuju.Irene baru teringat bahwa dia belum memperkenalkan Jeremy kepada Inez."Ini suamiku.""Halo." Inez tersenyum tipis. "Adik Ipar terlihat sopan dan berwibawa."Kali ini, tidak ada lagi tatapan menilai atau mencela dari matanya.Jeremy membalas dengan anggukan kecil. "Halo."Sopan, tetapi dengan sedikit jarak yang nyaris tak terasa.Orang lain mungkin tidak menyadari, tetapi Irene yang telah hidup bersama dengannya selama bertahun-tahun langsung menangkap gelagat aneh itu.Dia menatap Jeremy dengan heran. Namun, Jeremy hanya menggeleng dan memberikan isyarat lewat mata. Nanti baru dibicarakan.Entah kenapa, kakak ipar yang satu ini memberinya perasaan yang sangat aneh dan tidak nyaman. Karena itulah, dia bersikap hati-hati."Ayah, pangsitnya masih ...." Mau dimasak?Eh? Nadine keluar dari dapur dan langsung tertegun melihat banyak orang di ruang tamu. Detik berikutnya, pandangann
Inez mengikuti alamat yang tertera dalam dokumen dan menemukan tempat tinggal Irene saat ini. Dia berdiri di luar gerbang besi, mendongak menatap vila di hadapannya.Tak disangka, bagian luar kompleks ini terlihat biasa saja. Akan tetapi, setelah masuk, ternyata cukup mengejutkan. Jelas-jelas terdampar sampai ke kota kecil seperti ini, tetapi masih bisa tinggal di vila.Heh .... Sudut bibir Inez terangkat. Adiknya ini memang selalu beruntung sejak kecil. Bahkan saat ke kuil, biksu tua akan keluar menyambutnya, merapatkan tangan, dan berkata bahwa dia ditakdirkan menjadi orang kaya.Sedangkan dirinya, berdiri di samping seperti tak kasatmata. Selama ada Irene di suatu tempat, maka tak akan ada yang memperhatikan dirinya.Setelah melewati taman, Inez sampai di depan pintu utama, tersenyum tipis, dan menekan bel pintu.Yang membukakan pintu adalah Jeremy. Dia sempat menanyakan makanan favorit orang tua Irene. Setelah tahu mereka lebih suka sarapan dengan makanan berbasis tepung, dia pun b
Stendy memilih sebuah bar. Begitu duduk, dia langsung memesan beberapa botol minuman keras, menuangkannya gelas demi gelas tanpa henti. Selama itu, beberapa wanita mencoba mendekatinya, tetapi semuanya diusir tanpa pengecualian.Wajah Stendy memerah karena alkohol. Setelah pandangannya mulai kabur, dia memutuskan untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan, kepalanya pusing dan berat. Saat memejamkan mata, yang muncul hanyalah wajah Nadine.Dia tidak mengerti kenapa dia selalu terlambat satu langkah? Dulu, dia kalah dari Reagan. Sekarang, kalah lagi karena status sialan sebagai sepupu.Haha .... Tuhan tidak pernah berpihak padanya!Begitu keluar dari taksi, Stendy masuk ke lobi hotel dengan sempoyongan. Saat pintu lift terbuka, aroma harum langsung menyeruak, lalu tubuh seorang wanita bersandar padanya. Wanita itu sengaja menggesekkan dadanya ke lengan Stendy, menggoda tanpa malu.Suaranya manis hingga terasa menjijikkan. "Ganteng, sendirian saja? Kamu kelihatannya mabuk. Gimana kalau
"Stendy!" Nadine menyela perkataannya, menatap langsung ke matanya. "Pikirkan baik-baik apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, apa yang seharusnya kamu katakan, baru buka mulut.""Kamu tahu, 'kan?" Pria itu menyudutkannya di antara dinding dan dadanya, kedua tangannya pun menahan di sisi tubuh Nadine."Memangnya kenapa kalau aku tahu? Hubungan kita sekarang nggak pantas untuk ....""Apa hubungan kita?" Stendy menyeringai, sudut bibirnya terangkat dengan getir. "Katakan, aku ini siapamu?""Kakak sepupu.""Mungkin kamu belum tahu, ibuku sebenarnya bukan anak kandung kakek dan nenekku. Itu artinya, kita nggak punya hubungan darah!"Nadine termangu sejenak. "Mau ada hubungan darah atau nggak, aku dan kamu tetap nggak punya peluang untuk bersama.""Kenapa?""Karena aku nggak suka sama kamu."Lagi-lagi kalimat itu! Selalu saja kalimat itu!Stendy mencengkeram bahu Nadine dengan agak kuat. "Kenapa kamu nggak bisa suka sama aku? Kamu dulu pernah suka sama cowok berengsek seperti Reagan, kenap
Kini, Safir merasa sangat bersyukur karena mendengarkan saran dari Stendy yang menyuruhnya melanjutkan pengobatan matanya serta menjaga kesehatannya.Penglihatannya perlahan mulai pulih. Karena itulah, dia akhirnya bisa melihat dengan jelas betapa miripnya wajah cucunya dengan putrinya.Irene kaget mengetahui putrinya dan orang tuanya sudah saling mengenal sejak lama. Nadine pun bercerita tentang pertemuan pertama mereka.Corwin tak kuasa untuk berkomentar, "Aku dan ibumu sudah mencarimu selama bertahun-tahun ke mana-mana, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tak kusangka, ternyata kita sedekat ini, bahkan sempat terlewat dua kali. Untung saja kali ini nggak terlewat lagi."Mendengar itu, Safir teringat bahwa Nadine dan Stendy sudah saling mengenal sejak lama. Ternyata, takdir memang punya jalannya sendiri."Nadine, omong-omong, Stendy itu sebenarnya sepupumu lho. Selama ini, dia sama sekali nggak sadar ...."Sejak tadi, Stendy tidak melontarkan sepatah kata pun. Wajahnya tegang dan k
Nadine buru-buru mencoba menenangkan ayahnya, "Ibu menemukan orang tua kandungnya itu kabar baik."Selama ini, Irene adalah seseorang tanpa masa lalu yang jelas. Dulu, dia pernah punya keinginan untuk mencari asal-usulnya. Namun, setelah sekian lama tanpa hasil, dia sudah berhenti berharap.Kadang-kadang, Irene bahkan membayangkan dirinya seperti tokoh dalam novel. Masa kecil tragis, orang tua dibunuh musuh ....Lambat laun, Irene berhenti memikirkan hal itu dan tak lagi berandai-andai.Namun, Nadine tetap bisa merasakan kerinduan ibunya terhadap keluarga. Jadi, saat Jeremy menyebut kakek dan nenek dari pihak ibunya datang, reaksi pertama Nadine adalah gembira, gembira untuk Irene.Namun, Jeremy jelas belum bisa mencerna semuanya secepat itu."Ayah sudah hidup bersama Ibu sekian lama, masa masih nggak tahu gimana sifatnya? Luarannya kelihatan lembut dan tenang, tapi Ibu itu orang yang punya pendirian kuat. Begitu memutuskan, nggak ada yang bisa menggoyahkannya.""Ayah dan Ibu sudah ber