Nadine membiarkannya menariknya begitu saja? Bahkan, dia mengangguk patuh dan mengiakan? Dia sama sekali tidak menghindar?Stendy melihatnya dengan mata memerah. Sebenarnya siapa pria itu? Biasanya, kalau dirinya tidak sengaja menyentuh Nadine, Nadine pasti langsung mundur. Namun, kenapa orang ini ....Jelas, tadi saat Aditya mengobrol dengan pemilik restoran, Stendy sama sekali tidak mendengar apa pun!"Pak ... Pak Stendy?" Manajer proyek yang menemani Stendy dalam inspeksi sudah memanggil dua kali, tetapi tidak mendapat jawaban. Terpaksa, dia menaikkan volumenya dan memanggil lagi."Ada apa?" Tatapan dingin dilontarkan ke arahnya, membuat manajer proyek itu langsung menegang dan sesak napas."Pon ... ponselmu bunyi." Manajer itu menelan ludah dengan gugup, lalu mengusap keringat di dahi.Stendy mengeluarkan ponselnya. Tanpa ekspresi, dia langsung menolak panggilan tersebut. Manajer proyek itu langsung merasa semakin ketakutan dan panik.....Di sisi lain, dua bersaudara itu sudah mul
"Nad, kalian saling kenal?" tanya Aditya dengan nada datar.Nadine mengangguk. "Kenal."Stendy langsung menyambung, "Tentu saja!"Mereka berdua bicara di saat yang bersamaan.Aditya mengangkat alis, mengamati pria di depannya dari atas ke bawah. Semakin dilihat, semakin dia tidak suka.Namun, Stendy sama sekali tidak takut dilihat. Dengan santai, dia menarik kursi di sebelah Nadine dan duduk 'Lihat baik-baik, lihat seberapa kuat pesaingmu. Kalau tahu diri, cepat mundur.'Aditya tersenyum sinis dalam hati. Pria berambut pirang ini memang sombong!"Nad, nggak dikenalin dulu?" Aditya mengangkat dagunya ke arah Stendy. "Pria ini ... kelihatannya bukan tipe yang bakal kamu kenal?"Apa maksudnya? Memangnya dia kelihatan seperti apa? Begitu mendengarnya, Stendy langsung paham bahwa Aditya sedang menyindirnya.Yang lebih membuatnya kesal adalah Nadine tampak sangat memanjakan pria ini. Dia benar-benar berniat memperkenalkan Stendy."Iya, Nadine, orang ini juga kelihatannya bukan tipe yang baka
"Kira-kira seperti itu.""Tsk." Stendy menyipitkan matanya, nada suaranya terdengar berbahaya. "Konan ini benar-benar nggak kapok ya ...."Nadine mengernyit. "Apa?""Nggak ada." Stendy mengalihkan topik. "Gimana perkembangan pembangunan laboratoriumnya?"Nadine menggigit bibirnya pelan.Stendy langsung menyadari sesuatu. "Ada kesulitan? Coba bilang, siapa tahu aku bisa bantu."Inilah yang Nadine tunggu!"Ada!" Memang ada! Bahkan, ada banyak sekali!Dua menit kemudian ...."Jadi, masalahmu itu kurang tenaga kerja? Kamu mau pinjam orang dariku?" Yang dibutuhkan hanya pekerja konstruksi biasa?Nadine mengangguk serius. "Ada masalah?"Stendy menggeleng. "Nggak ada.""Tapi, ekspresimu barusan ...."Stendy tersenyum tipis. "Pisau buat menyembelih sapi dipakai buat memotong ayam. Menurutmu, pisau itu bakal bereaksi gimana?"Nadine tidak bisa berkata-kata."Butuh tenaga kerja, 'kan? Aku pinjamin 30 orang cukup nggak? Atau ... 40?"Nadine dan Aditya berpandangan. Jadi, begini ya dunia para sult
Nadine tidak menanggapi ucapan itu. Keduanya terdiam sampai mobil berhenti di ujung gang.Stendy berkata, "Sudah sampai."Nadine mengangguk. "Terima kasih sudah meminjamkan tenaga kerja. Untuk biaya, nanti kakakku yang akan mengurusnya denganmu.""Oke." Stendy juga tidak bilang akan menggratiskannya. Sikapnya yang jelas soal urusan uang membuat Nadine tanpa sadar merasa lega."Sampai jumpa.""Sampai jumpa, Nad."....Aditya bekerja dengan cepat. Keesokan harinya, dia sudah mengambil alih dua tim proyek yang diberikan oleh Stendy.Harga sudah disepakati, kontrak sudah ditandatangani. Di hari ketiga, proyek berjalan seperti biasa.Aditya berkata, "Jadi, hasil diskusi saat ini adalah aku, kamu, dan dia akan meluangkan waktu satu hari setiap minggu untuk mengevaluasi perkembangan proyek."Nadine mengernyit. "Kita berdua saja sudah cukup. Nggak perlu melibatkan Stendy, 'kan?"Mereka tidak mungkin menjadikannya kepala proyek .... Stendy pasti sibuk. Tidak mungkin punya waktu untuk hal-hal ke
Makanan baru saja disajikan sehingga uap panas masih mengepul.Saat Nadine melihat lagi, semuanya adalah makanan favoritnya. Dia menarik kursi dan duduk. "Sudah lama menunggu?"Aditya menggeleng. "Aku juga baru sampai. Pak Stendy yang paling duluan."Jadi, jelas bahwa semua hidangan ini juga dipesan olehnya.Benar, hari ini adalah pertemuan pertama dari "satu minggu sekali" mereka bertiga.Stendy mengambil tas Nadine dan menggantungkannya di rak, lalu kembali duduk. "Kalau begitu ... kita makan sambil bahas saja? Supaya makanannya nggak keburu dingin.""Oke."Mereka mulai makan. Nadine dan Aditya sudah terbiasa dengan tempat ini, jadi mereka makan dengan santai. Namun, ternyata Stendy juga tampak cukup terbiasa.Jika dipikir lagi, dia bahkan bisa makan nasi campur di restoran kecil dekat proyek. Jadi, restoran seperti ini jelas bukan masalah baginya.Aditya diam-diam mengaguminya."Ehem." Setelah menghabiskan dua potong iga, Aditya meletakkan sendoknya dan berdeham, lalu berkata, "Aku
Begitu melihat Reagan, Nadine sedikit terkejut.Restoran kecil ini dekat dengan kampus. Mereka hanya datang saat Reagan mengejarnya dulu. Setelah resmi berpacaran, dia tidak pernah mengajak Nadine makan di tempat seperti ini lagi.Namun, yang benar-benar membuat Nadine kaget dan sulit percaya adalah wanita yang sedang dirangkul oleh Reagan saat ini .... Itu Jinny?Melihat kedekatan mereka, jelas sekali kalau mereka berpacaran. Sejak kapan mereka bersama? Bukan berarti Nadine masih belum move on atau ingin tahu kehidupan asrama mantannya, tetapi sebagai manusia normal, siapa yang tidak penasaran saat ada gosip di depan mata?Kalaupun bukan Reagan dan siapa pun yang dikenalnya itu, Nadine pasti tetap akan bereaksi sama. Lagi pula, manusia memang senang bergosip!Jinny mengikuti arah pandang Reagan. Begitu melihat Nadine, dia langsung tersenyum dan menarik pria di sampingnya mendekat. "Wah, kebetulan sekali, Nad. Nggak nyangka ketemu di sini."Nadine termangu. Apa mereka akrab? Kenapa dia
Nadine tertegun selama dua detik sebelum akhirnya menyadari bahwa Reagan sedang berbicara padanya."Di sekitar Universitas Brata ini cuma ada dua atau tiga restoran yang rasanya lumayan. Sebenarnya wajar kalau ketemu di sini."Sejak tadi saat Jinny terus-menerus mengatakan "kebetulan sekali", Nadine sudah ingin membalas. Kebetulan apanya? Memangnya bertemu teman kampus di restoran dekat universitas sangat langka? Kenapa semua orang menjadikannya kalimat pembuka?Menurut Nadine, ini terlalu dibuat-buat dan sangat berlebihan.Reagan menatapnya. "Kamu marah?"Nadine mengerutkan kening dengan heran.Sorot mata Reagan agak redup. "Hari itu, semua yang kamu katakan sudah kupahami. Cermin yang pecah sulit untuk diperbaiki. Karena kamu sudah melangkah maju, aku pikir aku juga nggak seharusnya terus bertahan di tempat yang sama."Nadine menatapnya. Sejak mereka putus, ini pertama kalinya dia benar-benar memperhatikan pria ini.Reagan tersenyum tipis. "Kaget ya? Sudah lebih dari satu tahun. Bebe
Wajah Reagan menjadi suram. "Apa hubungannya denganmu?"Stendy merentangkan kedua tangan dan mengedikkan bahu. "Nggak ada hubungannya sama aku, cuma penasaran saja. Pacar barumu ini kok ... kebetulan banget? Kebetulan kuliah di Universitas Brata, kebetulan seangkatan sama Nadine, kebetulan juga satu fakultas dan jurusan. Kamu benar-benar pintar memilih ya."Reagan tertawa dingin. "Kenapa? Kamu terlalu memperhatikan pacar orang lain, apa karena hobi merebut milik orang lain?""Haha ...." Stendy tertawa terbahak-bahak. "Nggak usah begitu. Dulu kita sahabatan lho, aku cuma peduli sama kamu."Reagan menyeringai, ekspresinya penuh sindiran. "Peduli atau cuma ingin menguji sesuatu, kamu sendiri yang tahu.""Oh? Bisa baca situasi juga?" Stendy tidak menyangkal. Dia memandang Reagan dari atas ke bawah. "Menurutku, pacar barumu ini datang terlalu cepat. Cepat sampai terasa seperti sebuah pertunjukan yang disengaja.""Heh, mau sandiwara atau bukan, terserah kamu mau menganggapnya apa. Jangan hal
Dari cinta monyet hingga sekarang anak mereka sudah sebesar ini, hubungan pasangan ini tetap mesra dan harmonis.Denny meringis kesakitan karena dicubit. Dia lalu berdeham, menyesuaikan ekspresinya. "Maksudku, anak kita sudah besar, mulai merasakan cinta juga hal yang wajar. Mana ada gadis dan pemuda yang nggak jatuh cinta?"Novi menatap Nadine dari atas ke bawah. "Gadis ini punya wajah yang menarik, postur yang bagus, dan yang terpenting auranya luar biasa! Kudengar proyek laboratorium yang mereka bangun sendiri juga diprakarsai olehnya? Hebat sekali!"Semakin dilihat, dia semakin puas. Senyumannya bahkan hampir tidak bisa disembunyikan. "Para petinggi di Universitas Brata bersikap nggak adil, tapi anak ini tetap tenang dalam menghadapi situasi sulit. Dia bahkan menemukan solusi dan berhasil melakukannya! Kalau anak kita menyukai gadis sehebat dan secerdas ini, aku pasti nggak akan menentangnya."Denny tampak berpikir. Sebenarnya, Keluarga Lugiman sudah mencapai puncaknya di generasi
"Sepertinya ada yang salah. Kalau aku nggak salah ingat, Keluarga Sanjaya dan Keluarga Lugiman sebenarnya masih ada hubungan darah. Kalau mengikuti garis keturunan, seharusnya Darius memanggilmu paman?"Inilah alasan mengapa Stendy, seorang pengusaha, tetap bisa menjadi tamu kehormatan di Keluarga Lugiman. Karena mereka masih kerabat!Arnold tersenyum tipis. "Teman kuliah Darius seharusnya juga memanggil begitu. Nggak berlebihan kok kalau memanggil paman."Begitu ucapan itu dilontarkan, wajah Shane langsung menjadi suram. Memang benar Keluarga Sanjaya dan Keluarga Darius masih ada hubungan keluarga. Hanya saja, hubungan mereka sudah begitu jauh hingga nyaris tidak relevan. Bisa dibilang, mereka tidak ada kaitannya sama sekali.Namun, Arnold malah menghubungkan kembali garis keturunan itu, bahkan mengajari mereka sapaan yang benar.Mendengar itu, Nadine mengedipkan mata dan hanya bisa menurut. "Paman."Begitu sapaan itu dilontarkan, dia hampir tidak bisa menahan tawanya.Stendy hanya bi
Kenapa tiba-tiba terasa dingin?Kehadiran Arnold di sini hari ini benar-benar di luar dugaan.Dulu, kakek Arnold dan kakek Darius adalah saudara seperjuangan yang membangun segalanya bersama saat masih muda. Namun, seiring waktu, mereka memilih jalan yang berbeda. Satu terjun ke dunia bisnis, sementara satu lagi terjun ke dunia politik.Keduanya mencapai puncak di bidang masing-masing. Selama bertahun-tahun, Keluarga Arbana dan Keluarga Lugiman tetap berhubungan. Namun, karena Keluarga Lugiman sangat merendah, mereka jarang mengadakan pertemuan bersama.Ketika menerima undangan dari Keluarga Lugiman, Adelio menanggapinya dengan sangat serius. Awalnya dia berniat menghadiri sendiri acara ini, tetapi dua hari lalu asmanya kambuh akibat alergi dan dia harus dirawat di rumah sakit.Terpaksa, dia meminta putra sulungnya, Hendro, untuk menggantikan. Namun, Hendro adalah seorang pebisnis sejati. Dalam beberapa tahun terakhir, hubungannya dengan Keluarga Lugiman tidak terlalu erat.Selain itu,
Nadine menarik kembali pandangannya dengan tenang dan kembali fokus menikmati hidangan.Makanan yang disajikan oleh Keluarga Lugiman untuk para tamu tentu luar biasa. Kabarnya, mereka secara khusus mengundang koki jamuan kenegaraan untuk memasak hari ini.Setiap hidangan begitu indah dan lezat. Bahkan, hidangan penutup pun merupakan makanan khas jamuan kenegaraan, yaitu puding almond.Bagi Mikha, makan malam ini benar-benar seperti hadiah yang turun dari langit! "Kak Nadine, ini enak banget. Terus yang ini ... yang ini juga ... cepat makan!"Sambil menikmati makanannya dengan lahap, Mikha tetap menyempatkan diri untuk menyuruh Nadine ikut mencicipi.Nadine pun tertawa. "Iya, iya, aku lagi makan kok."Saat keduanya sedang asyik menikmati hidangan, tiba-tiba Darius berdiri. "Nadine, Mikha, ikut aku sebentar."Keduanya langsung bingung. Mikha bertanya, "Mau ke mana?" Ekspresinya seakan-akan berkata, jangan ganggu aku makan!Darius hanya bisa menghela napas. "Ke meja utama, bertemu dengan
Demi sopan santun, Nadine membalas jabatan tangan itu dengan ringan. Kemudian, dia segera menarik tangannya kembali.Kareem berpikir sejenak, lalu mengulurkan tangan ke arah Mikha. Mikha baru saja selesai makan tar telur dan tangannya masih penuh remah-remah.Melihat hal itu, dia pun merasa sedikit canggung dan buru-buru berkata, "Aku nggak usah salaman deh. Maaf banget.""Nggak masalah, nggak masalah." Kareem melambaikan tangannya, menunjukkan bahwa dia bisa memahaminya.Pada saat ini, pria yang duduk di sebelah Kareem, yang sejak tadi nyaris tidak berbicara, tiba-tiba buka suara. "Nadine ini ... sepertinya wajahnya cukup familier ya?"Nadine mengangkat pandangannya. Sejak tadi, saat Darius memperkenalkan temannya, dia sudah lebih dulu mengenali pria itu.Tidak ada pilihan lain. Terkadang, memiliki ingatan yang terlalu baik justru bisa menjadi hal yang merepotkan.Pria itu jelas bukan seangkatan dengan Darius dan Kareem. Dia terlihat jauh lebih dewasa, dengan tatapan yang tajam dan pe
Rumah Keluarga Lugiman bukanlah vila bergaya barat seperti yang populer saat ini, melainkan sebuah rumah bergaya tradisional dengan halaman luas.Halaman depan dan belakang saling terhubung, dengan tembok abu yang di beberapa bagian mulai mengelupas. Lantainya terbuat dari batu ubin, memberikan kesan kuno pada pandangan pertama.Namun, semakin masuk ke dalam, kehangatan mulai terasa. Tiang-tiang lorong berwarna merah tua memancarkan kesan klasik, sementara atap melengkungnya tampak megah.Di kedua sisi jalan batu itu, terdapat lahan kecil yang digunakan untuk menanam sayuran. Memiliki lahan untuk bercocok tanam di tengah Kota Juanin, tepat di samping Crystal Palace. Ini benar-benar suatu bentuk kebebasan yang luar biasa.Begitu melihat Nadine dan Mikha tiba, Darius langsung keluar untuk menyambut mereka. "Ayo masuk, di dalam lebih hangat. Kenalin, ini orang tuaku."Denny mengenakan setelan abu dengan aura yang tenang dan elegan. Wajahnya tampak dermawan dan berwibawa.Sementara itu, ib
"Kamu ...."Freya mengucapkan setiap kata dengan jelas, "Aku yang akan melindungi anak-anakku. Aku lebih memilih melepaskan kehormatan kosong itu daripada membiarkan orang-orang yang telah menyakiti mereka mendapatkan keuntungan dengan mudah!""Sudahlah, begitu saja. Kali ini aku nggak mencantumkan namaku dan di masa depan pun aku nggak akan mencantumkannya. Pihak universitas sebaiknya mempersiapkan mental, jangan sampai nanti terkejut seperti hari ini."Ben tidak bisa berkata-kata. Dia sudah bisa membayangkan bahwa kelak sebanyak apa pun prestasi akademik yang diraih Nadine, Mikha, dan Darius, itu tidak akan ada hubungannya lagi dengan universitas mereka.Hans melihat wajah Ben yang tampak pucat. Dengan hati-hati, dia bertanya, "Gimana? Masih ada jalan tengah?""Jalan tengah kepalamu! Perpanjang hukuman disiplin Konan sampai 12 bulan!" Usai mengatakan itu, Ben berbalik dan masuk ke kantornya, membanting pintu dengan keras.Hans merinding. Seumur hidupnya, dia belum pernah melihat Ben
"Bagaimana mungkin?"Belum lagi Nadine, Mikha, dan Darius masih merupakan mahasiswa Universitas Brata, bahkan dosen pembimbing sekaligus penulis korespondensi mereka adalah Freya, yang juga masih merupakan staf pengajar resmi di universitas!"Kalau nggak dicantumkan di bawah nama universitas, lalu mereka pakai nama apa?"Sekretaris itu menyahut, "Laboratorium Absolut."Hans tiba-tiba teringat sesuatu. Dia segera meraih tetikus, membuka jurnal itu, dan mencari nama Freya berulang kali. Namun, dia tidak menemukannya di mana pun.Hans bergumam, "Nggak ada penulis korespondensi? Nggak, nggak ... ini nggak mungkin ...."Sekretaris berujar, "Menurut aturan, kalau nggak ada penulis korespondensi, secara otomatis penulis pertama dianggap sebagai penulis korespondensi. Jadi, secara teknis, ini nggak melanggar aturan."Memang tidak melanggar aturan, tetapi kenapa Freya melakukan ini? Dia bisa mencantumkan namanya dan menikmati kehormatan ini. Kenapa dia memilih untuk tidak melakukannya?Saat ini
Ekspresi Hans akhirnya membaik. "Apa kita perlu menenangkan Freya?"Ben menggeleng. "Nggak perlu. Aku mengenal Freya dengan baik. Dia nggak tertarik pada perebutan kekuasaan atau intrik internal. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang benar-benar fokus pada akademik.""Tapi, gimana dengan ketiga mahasiswa di bawah bimbingannya? Juga laboratorium yang sempat ramai diberitakan di koran?"Ben mengetuk meja kerjanya. Di atasnya tergeletak koran yang kebetulan menampilkan laporan tentang laboratorium yang dibangun oleh Nadine, Mikha, dan Darius. Kali ini, dia terdiam cukup lama.Hans pun tidak berbicara dan hanya menunggu.Setelah beberapa saat, Ben akhirnya berkata, "Biarkan saja mereka. Tiga mahasiswa ini ... mereka punya uang, punya lahan, dan bisa meloloskan perizinan. Harus diakui, mereka memang punya kemampuan.""Tapi, membangun laboratorium bukan berarti mereka pasti bisa menghasilkan penelitian yang berarti. Masa depan mereka masih belum bisa dipastikan.""Sekalipun mereka be