"Kira-kira seperti itu.""Tsk." Stendy menyipitkan matanya, nada suaranya terdengar berbahaya. "Konan ini benar-benar nggak kapok ya ...."Nadine mengernyit. "Apa?""Nggak ada." Stendy mengalihkan topik. "Gimana perkembangan pembangunan laboratoriumnya?"Nadine menggigit bibirnya pelan.Stendy langsung menyadari sesuatu. "Ada kesulitan? Coba bilang, siapa tahu aku bisa bantu."Inilah yang Nadine tunggu!"Ada!" Memang ada! Bahkan, ada banyak sekali!Dua menit kemudian ...."Jadi, masalahmu itu kurang tenaga kerja? Kamu mau pinjam orang dariku?" Yang dibutuhkan hanya pekerja konstruksi biasa?Nadine mengangguk serius. "Ada masalah?"Stendy menggeleng. "Nggak ada.""Tapi, ekspresimu barusan ...."Stendy tersenyum tipis. "Pisau buat menyembelih sapi dipakai buat memotong ayam. Menurutmu, pisau itu bakal bereaksi gimana?"Nadine tidak bisa berkata-kata."Butuh tenaga kerja, 'kan? Aku pinjamin 30 orang cukup nggak? Atau ... 40?"Nadine dan Aditya berpandangan. Jadi, begini ya dunia para sult
Nadine tidak menanggapi ucapan itu. Keduanya terdiam sampai mobil berhenti di ujung gang.Stendy berkata, "Sudah sampai."Nadine mengangguk. "Terima kasih sudah meminjamkan tenaga kerja. Untuk biaya, nanti kakakku yang akan mengurusnya denganmu.""Oke." Stendy juga tidak bilang akan menggratiskannya. Sikapnya yang jelas soal urusan uang membuat Nadine tanpa sadar merasa lega."Sampai jumpa.""Sampai jumpa, Nad."....Aditya bekerja dengan cepat. Keesokan harinya, dia sudah mengambil alih dua tim proyek yang diberikan oleh Stendy.Harga sudah disepakati, kontrak sudah ditandatangani. Di hari ketiga, proyek berjalan seperti biasa.Aditya berkata, "Jadi, hasil diskusi saat ini adalah aku, kamu, dan dia akan meluangkan waktu satu hari setiap minggu untuk mengevaluasi perkembangan proyek."Nadine mengernyit. "Kita berdua saja sudah cukup. Nggak perlu melibatkan Stendy, 'kan?"Mereka tidak mungkin menjadikannya kepala proyek .... Stendy pasti sibuk. Tidak mungkin punya waktu untuk hal-hal ke
Makanan baru saja disajikan sehingga uap panas masih mengepul.Saat Nadine melihat lagi, semuanya adalah makanan favoritnya. Dia menarik kursi dan duduk. "Sudah lama menunggu?"Aditya menggeleng. "Aku juga baru sampai. Pak Stendy yang paling duluan."Jadi, jelas bahwa semua hidangan ini juga dipesan olehnya.Benar, hari ini adalah pertemuan pertama dari "satu minggu sekali" mereka bertiga.Stendy mengambil tas Nadine dan menggantungkannya di rak, lalu kembali duduk. "Kalau begitu ... kita makan sambil bahas saja? Supaya makanannya nggak keburu dingin.""Oke."Mereka mulai makan. Nadine dan Aditya sudah terbiasa dengan tempat ini, jadi mereka makan dengan santai. Namun, ternyata Stendy juga tampak cukup terbiasa.Jika dipikir lagi, dia bahkan bisa makan nasi campur di restoran kecil dekat proyek. Jadi, restoran seperti ini jelas bukan masalah baginya.Aditya diam-diam mengaguminya."Ehem." Setelah menghabiskan dua potong iga, Aditya meletakkan sendoknya dan berdeham, lalu berkata, "Aku
Begitu melihat Reagan, Nadine sedikit terkejut.Restoran kecil ini dekat dengan kampus. Mereka hanya datang saat Reagan mengejarnya dulu. Setelah resmi berpacaran, dia tidak pernah mengajak Nadine makan di tempat seperti ini lagi.Namun, yang benar-benar membuat Nadine kaget dan sulit percaya adalah wanita yang sedang dirangkul oleh Reagan saat ini .... Itu Jinny?Melihat kedekatan mereka, jelas sekali kalau mereka berpacaran. Sejak kapan mereka bersama? Bukan berarti Nadine masih belum move on atau ingin tahu kehidupan asrama mantannya, tetapi sebagai manusia normal, siapa yang tidak penasaran saat ada gosip di depan mata?Kalaupun bukan Reagan dan siapa pun yang dikenalnya itu, Nadine pasti tetap akan bereaksi sama. Lagi pula, manusia memang senang bergosip!Jinny mengikuti arah pandang Reagan. Begitu melihat Nadine, dia langsung tersenyum dan menarik pria di sampingnya mendekat. "Wah, kebetulan sekali, Nad. Nggak nyangka ketemu di sini."Nadine termangu. Apa mereka akrab? Kenapa dia
Nadine tertegun selama dua detik sebelum akhirnya menyadari bahwa Reagan sedang berbicara padanya."Di sekitar Universitas Brata ini cuma ada dua atau tiga restoran yang rasanya lumayan. Sebenarnya wajar kalau ketemu di sini."Sejak tadi saat Jinny terus-menerus mengatakan "kebetulan sekali", Nadine sudah ingin membalas. Kebetulan apanya? Memangnya bertemu teman kampus di restoran dekat universitas sangat langka? Kenapa semua orang menjadikannya kalimat pembuka?Menurut Nadine, ini terlalu dibuat-buat dan sangat berlebihan.Reagan menatapnya. "Kamu marah?"Nadine mengerutkan kening dengan heran.Sorot mata Reagan agak redup. "Hari itu, semua yang kamu katakan sudah kupahami. Cermin yang pecah sulit untuk diperbaiki. Karena kamu sudah melangkah maju, aku pikir aku juga nggak seharusnya terus bertahan di tempat yang sama."Nadine menatapnya. Sejak mereka putus, ini pertama kalinya dia benar-benar memperhatikan pria ini.Reagan tersenyum tipis. "Kaget ya? Sudah lebih dari satu tahun. Bebe
Wajah Reagan menjadi suram. "Apa hubungannya denganmu?"Stendy merentangkan kedua tangan dan mengedikkan bahu. "Nggak ada hubungannya sama aku, cuma penasaran saja. Pacar barumu ini kok ... kebetulan banget? Kebetulan kuliah di Universitas Brata, kebetulan seangkatan sama Nadine, kebetulan juga satu fakultas dan jurusan. Kamu benar-benar pintar memilih ya."Reagan tertawa dingin. "Kenapa? Kamu terlalu memperhatikan pacar orang lain, apa karena hobi merebut milik orang lain?""Haha ...." Stendy tertawa terbahak-bahak. "Nggak usah begitu. Dulu kita sahabatan lho, aku cuma peduli sama kamu."Reagan menyeringai, ekspresinya penuh sindiran. "Peduli atau cuma ingin menguji sesuatu, kamu sendiri yang tahu.""Oh? Bisa baca situasi juga?" Stendy tidak menyangkal. Dia memandang Reagan dari atas ke bawah. "Menurutku, pacar barumu ini datang terlalu cepat. Cepat sampai terasa seperti sebuah pertunjukan yang disengaja.""Heh, mau sandiwara atau bukan, terserah kamu mau menganggapnya apa. Jangan hal
Setiap tahun, menjelang natal, Fakultas Bioinformatika selalu mengadakan acara pertemuan untuk mahasiswa baru. Pesertanya adalah semua mahasiswa pascasarjana yang masih lajang.Tujuannya adalah memperluas jaringan pertemanan dan membantu mereka lebih cepat beradaptasi dengan kehidupan kampus.Seiring berjalannya waktu, acara ini berubah menjadi ajang resmi cari jodoh. Ini menjadi kesempatan untuk mencari pacar. Tentu saja, mahasiswa yang sudah punya pasangan juga boleh datang bersama kekasihnya.Namun, semua ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Nadine. Setiap hari dia sibuk bolak-balik antara kelas di Universitas Brata dan laboratorium di Universitas Teknologi dan Bisnis. Bahkan saat makan pun, yang ada di pikirannya hanyalah langkah eksperimen dan pengumpulan data.Mana mungkin dia menyisihkan waktu untuk acara pertemuan semacam itu? Jadi, saat menerima undangan, dia langsung merasa bingung.Terlebih lagi di undangan itu, namanya tertulis dengan huruf tebal dan besar. Ini sema
"Maaf, aku nggak bisa menari." Nadine menolak dengan sopan.Mahasiswa itu tampak kecewa, lalu pergi.Awalnya, Nadine mengira semuanya akan berakhir di situ. Ternyata, setelah satu pergi, yang lain datang lagi.Setelah menolak lima orang berturut-turut, Nadine buru-buru menarik Mikha ke sudut yang agak terpencil dan duduk di sana.Tempatnya cukup tersembunyi, ditambah pencahayaan yang redup, jadi kecil kemungkinan mereka akan diperhatikan.Nadine menghela napas lega. Akhirnya bisa tenang."Kak, kamu benar-benar populer ya! Aku jadi kepikiran mau ngajak kamu dansa juga, hehe.""Oh? Kalau begitu, mungkin bisa kupertimbangkan." Nadine tersenyum tipis.Mikha langsung mengangkat dagu dan membusungkan dada. "Cowok-cowok itu pasti bakal iri setengah mati!""Bagus dong?""Memang bagus!"Di akhir percakapan, mereka tertawa bersama."Aku ambil makanan dulu ya!" kata Mikha."Oke."Setelah Mikha pergi, Nadine membuka botol air mineral yang ada di meja dan meneguknya beberapa kali. Dia benar-benar t
"Bagaimana mungkin?"Belum lagi Nadine, Mikha, dan Darius masih merupakan mahasiswa Universitas Brata, bahkan dosen pembimbing sekaligus penulis korespondensi mereka adalah Freya, yang juga masih merupakan staf pengajar resmi di universitas!"Kalau nggak dicantumkan di bawah nama universitas, lalu mereka pakai nama apa?"Sekretaris itu menyahut, "Laboratorium Absolut."Hans tiba-tiba teringat sesuatu. Dia segera meraih tetikus, membuka jurnal itu, dan mencari nama Freya berulang kali. Namun, dia tidak menemukannya di mana pun.Hans bergumam, "Nggak ada penulis korespondensi? Nggak, nggak ... ini nggak mungkin ...."Sekretaris berujar, "Menurut aturan, kalau nggak ada penulis korespondensi, secara otomatis penulis pertama dianggap sebagai penulis korespondensi. Jadi, secara teknis, ini nggak melanggar aturan."Memang tidak melanggar aturan, tetapi kenapa Freya melakukan ini? Dia bisa mencantumkan namanya dan menikmati kehormatan ini. Kenapa dia memilih untuk tidak melakukannya?Saat ini
Ekspresi Hans akhirnya membaik. "Apa kita perlu menenangkan Freya?"Ben menggeleng. "Nggak perlu. Aku mengenal Freya dengan baik. Dia nggak tertarik pada perebutan kekuasaan atau intrik internal. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang benar-benar fokus pada akademik.""Tapi, gimana dengan ketiga mahasiswa di bawah bimbingannya? Juga laboratorium yang sempat ramai diberitakan di koran?"Ben mengetuk meja kerjanya. Di atasnya tergeletak koran yang kebetulan menampilkan laporan tentang laboratorium yang dibangun oleh Nadine, Mikha, dan Darius. Kali ini, dia terdiam cukup lama.Hans pun tidak berbicara dan hanya menunggu.Setelah beberapa saat, Ben akhirnya berkata, "Biarkan saja mereka. Tiga mahasiswa ini ... mereka punya uang, punya lahan, dan bisa meloloskan perizinan. Harus diakui, mereka memang punya kemampuan.""Tapi, membangun laboratorium bukan berarti mereka pasti bisa menghasilkan penelitian yang berarti. Masa depan mereka masih belum bisa dipastikan.""Sekalipun mereka be
Diana baru saja dikenai sanksi. Sekarang dia hanya bisa melihat dengan mata kepala sendiri dua laboratoriumnya ditempeli surat perintah perbaikan. Bisa dibilang, ini adalah bencana baginya."Bi ... Bu Diana, sekarang kita harus gimana?" Nella panik dan langsung menarik lengan Diana.Kaeso juga tampak gelisah seperti monyet yang kebingungan. Dia terus menggaruk kepalanya.Ujian akhir sudah dekat dan sekarang laboratorium mereka bermasalah? Itu berarti, proyek penelitian harus dihentikan sementara.Jika hasil penelitian tahap ini tidak bisa diselesaikan, bagaimana dia bisa mengumpulkan hasil? Masalah ini langsung berkaitan dengan indeks prestasi akademiknya, bahkan berdampak pada kelulusannya.Clarine terpaku di tempat. Tanpa perlu bertanya, semua orang tahu siapa dalang di balik semua ini, Nadine dan kelompoknya.Namun, kalau dipikir-pikir, bukankah mereka sendiri juga pernah melakukan hal yang sama kepada pihak lain? Ini hanyalah karma mereka.Jika mereka bisa menggunakan laporan sebag
"Bagus kalau kamu sadar akan hal ini!"Saat itu, ponsel Nella tiba-tiba berdering."Halo?"Entah apa yang dikatakan dari seberang, wajah Nella langsung pucat."Kenapa tiba-tiba ada inspeksi? Nggak mungkin! Bukankah baru saja diperiksa? Baik, aku mengerti! Aku akan segera ke sana!"Panggilan berakhir dengan cepat. Nella menoleh ke Diana, seluruh tubuhnya gemetar. "Bibi ... ini gawat ...."Saat Diana dan Nella tiba di laboratorium, petugas pemadam kebakaran sudah mulai meninggalkan lokasi dengan tertib.Kaeso berlari mendekat dengan wajah panik. "Bu, dua laboratorium kita sama-sama ditempel stiker dari pemadam kebakaran! Kita harus melakukan perbaikan dalam jangka waktu tertentu ...."Pemandangan ini sangat familier. Dua bulan lalu, hal yang sama terjadi pada Nadine, Mikha, dan Darius. Namun, kali ini yang harus melakukan perbaikan adalah mereka sendiri!Diana nyaris tidak bisa memercayai apa yang baru saja didengarnya. Namun, di tangan Kaeso, ada surat resmi dengan stempel yang mustahil
Konan tersenyum dingin. "Menurutmu gimana? Kamu pikir masalah ini bisa diselesaikan dengan mudah? Lihat saja sendiri."Selesai berbicara, dia mengambil dokumen di meja dan melemparkannya ke wajah Diana. Diana mengambilnya dengan tangan gemetar. Semakin dia membaca, wajahnya semakin pucat.Peringatan disiplin, pemotongan dana proyek, pembatalan pengajuan penelitian tingkat nasional tahun depan ....Setiap poin terasa seperti gunung yang menimpanya. Saat akhirnya melangkah keluar dari kantor, punggung Diana terlihat sangat bungkuk.Konan sendiri juga tidak dalam posisi baik. Saat berbicara dengan pihak universitas, dia berhasil melemparkan semua kesalahan ke Diana, tetapi pihak universitas tetap memberinya peringatan karena kelalaian manajemen. Hukuman itu berlaku selama enam bulan.Begitu berita itu menyebar ke fakultas, dekan dan ketua akademik segera memanggilnya untuk berbicara. Meskipun kata-kata mereka terdengar sopan, nada mereka tetap tegas.Jika dihaluskan, mereka menyebutnya se
Reagan memberi instruksi kepada sopirnya. "Putar balik ke Grand Sira.""Baik, Tuan."....Makan malam berlangsung cukup menyenangkan, berkat suasana santai yang sengaja diciptakan oleh Jinny.Hanya saja, selama makan, Reagan meminta sebotol anggur merah. Begitu anggur itu habis, dia sudah tak tahan lagi terhadap efek alkohol. Matanya berkabut, wajahnya tampak mabuk.Melihat keadaannya, Jinny tidak punya pilihan selain membantunya naik ke mobil.Sopir tampak sedikit terkejut. "Tuan Reagan ... eee ....""Dia mabuk. Tolong antar dia pulang ya?" jelas Jinny.Tiba-tiba, sopir bertanya, "Nona Jinny, kamu mau ikut nggak?"Jinny tertegun sejenak."Jangan salah paham. Jam segini, Bibi Julia mungkin sudah pulang, jadi di rumah nggak ada siapa-siapa. Dalam kondisi begini, sebaiknya ada yang menjaga Tuan Reagan. Kalau kamu nggak keberatan ....""Tentu saja nggak keberatan. Ya sudah, ayo pergi." Selesai berkata begitu, Jinny ikut naik ke mobil.Tak lama kemudian, mereka tiba di vila Reagan. Setelah
"Dia memang seperti itu, semakin besar tekanannya, semakin tenang sikapnya." Reagan tiba-tiba berbicara.Jinny tersenyum tipis. "Saat berkeliling tadi, aku melihat laboratorium bukan hanya memiliki area eksperimen, tapi juga ada ruang santai, bahkan dapur juga ada."Reagan mengernyit, lalu tanpa sadar menambahkan, "Itu karena Nadine suka masak dan dia juga sangat berbakat dalam masak. Setiap kali dia makan sesuatu yang dia suka atau menarik perhatiannya, dia akan menghabiskan beberapa hari untuk meneliti cara membuatnya.""Kalau dia menemukan resep dan video tutorial yang nggak cocok, dia akan mencoba sendiri dan membandingkan rasa mana yang lebih baik ...."Jinny tersenyum. "Kalau begitu, dia pasti orang yang sangat teliti."Reagan tersenyum, tatapannya dipenuhi kerinduan. "Ya, dia bukan hanya teliti, tapi juga sangat perhatian. Kalau ada yang sakit kepala atau demam, dia pasti orang pertama yang tahu. Di rumah, dia tahu persis di mana letak barang-barang, sekalipun cuma hiasan kecil
Di samping, Mikha yang sedang mengamati kejadian itu berkedip beberapa kali dan tidak berani bersuara. Situasi ini ... tsk!Nadine mengalihkan pandangannya di antara kedua orang itu. Stendy tersenyum santai, tetapi sebenarnya penuh tekanan dan tidak memberi ruang untuk penolakan.Sebaliknya, Arnold terlihat jauh lebih tenang dan lembut. Nadine bisa memahami itu adalah bentuk toleransi dan dorongan.Keduanya sedang menunggu jawabannya. Nadine sungguh kebingungan. Tiba-tiba, dari sudut matanya, dia melihat sesuatu. Dia bangkit, lalu berjalan ke dispenser air, dan mengambil sebuah cangkir dari lemari atas."Aku rasa lebih baik minum air saja," ucap Nadine.Arnold dan Stendy saling bertukar pandang, lalu masing-masing mengalihkan tatapan.Stendy tersenyum santai. "Kamu sudah bekerja keras sepanjang pagi. Istirahat yang baik. Aku ada urusan, jadi harus kembali ke kantor dulu."Dia juga bukan orang yang kurang kerjaan. Ada banyak urusan di perusahaannya yang menunggu keputusan darinya. Bisa
Nadine mengangguk. "Bisa dibilang begitu."Mikha tak kuasa mengernyit. "Kedengarannya memang lega banget, tapi apakah fakultas bakal setuju? Mereka bukan orang bodoh.""Bu Freya bilang, urusan dengan fakultas akan dia selesaikan. Kita cuma perlu fokus sama penelitian dan melakukan pekerjaan kita dengan baik.""Luar biasa! Itu artinya kita bekerja untuk diri kita sendiri!" Mikha begitu gembira hingga langsung memasukkan dua potong biskuit ke mulutnya.Enak sekali!"Kalau saja ada teh susu panas sekarang, semuanya akan terasa sempurna ...."Belum selesai dia bicara, ponsel Nadine tiba-tiba berdering."Halo?""Halo, ini dari pengantaran makanan. Bisa tolong keluar sebentar untuk ambil pesanan the susu kalian? Saya tidak bisa masuk."Nadine tertegun.Teh susu? Dia tidak merasa memesan apa pun.Namun, karena kurir sudah menunggu, dia memutuskan untuk mengambilnya dulu baru mencari tahu. Saat kembali, di tangannya ada tiga cangkir teh susu panas.Mikha langsung berbinar. "Kak Nadine, kamu be