"Tapi frekuensi larimu ini ...." Bukankah terlalu sering? Orang yang tidak tahu mungkin mengira dia sedang latihan untuk maraton ....Arnold hanya tersenyum. Jika diperhatikan baik-baik, ada sedikit rasa bersalah tersembunyi di balik senyumannya.Nadine bertanya lagi, "Akhir-akhir ini laboratorium nggak sibuk?""Hm, sebagian pekerjaan sudah kuserahkan ke Calvin."Sementara itu, Calvin yang bekerja keras di laboratorium dengan kesal tiba-tiba bersin. "Achoo! Achoo! Siapa yang membicarakanku?"Arnold bertanya, "Sudah sarapan?"Nadine mengangguk. "Sudah, kamu?""Sudah juga. Ada rencana apa hari ini?"Nadine berpikir sejenak. "Nggak ada, cuma membaca beberapa jurnal.""Kemarin temanku dari Provinsi Diro mengirimkan sekotak jamur liar, kamu ambil saja."Jamur liar? Itu barang langka!"Kenapa kasih aku? Kamu sendiri nggak mau?"Arnold tertawa ringan. "Aku jarang masak di rumah. Kalau disimpan terlalu lama, bisa rusak. Jadi, lebih baik kamu yang ambil.""Ya sudah, aku terima dengan senang hat
Mereka mencuci mangkuk bersama, juga merapikan dapur bersama. Terakhir, mereka keluar rumah bersama untuk membuang sampah.Nadine mengenakan jaket tebal, mengambil kantong sampah, lalu melangkah keluar. Arnold juga kembali ke rumahnya sebentar, lalu keluar lagi dengan dua kantong besar di tangannya."Sudah berapa lama kamu nggak buang sampah?""Setengah bulan ...?"Tak disangka, seorang profesor akan seperti ini. Untungnya, isinya hanya kotak dan kantong plastik, tidak ada sisa makanan atau kulit buah yang bisa membusuk."Ayo."Saat mereka turun, mereka berpapasan dengan pasangan lansia yang tinggal di gedung yang sama. Pasangan itu baru saja selesai membuang sampah dan berjalan pulang dengan bergandengan tangan. Mereka bertemu tepat di depan pintu."Oh, Arnold dan Nadine juga mau buang sampah?""Ya." Arnold mengangguk sopan.Si nenek tersenyum ramah pada Nadine. "Hari ini kamu masak apa? Dari bawah saja sudah tercium aromanya."Nadine membalas, "Hotpot jamur.""Oh! Pakai jamur yang Ar
Nadine selalu penasaran, apakah Arnold sebenarnya memakai parfum atau tidak. Hanya saja, pertanyaan seperti itu rasanya kurang pantas untuk ditanyakan. Jadi, untuk sementara, dia hanya bisa menyimpannya dalam hati.Nadine tersenyum canggung. "Terima kasih, aku lupa bawa syal waktu keluar tadi ...."Sebenarnya, bukan lupa. Lebih tepatnya, dia malas. Dia mengira akan langsung kembali setelah membuang sampah. Apa gunanya memakai syal?Apakah Arnold benar-benar tidak mengerti maksudnya? Atau dia hanya berpura-pura bodoh, lalu diam-diam menyerahkan syalnya tanpa banyak bicara?"Tadi kamu tanya kenapa mereka nggak punya anak, 'kan? Bukan karena mereka nggak mau, tapi kondisi kesehatan Bu Letti nggak memungkinkan."Pada zaman itu, seorang wanita yang tidak bisa melahirkan anak hampir seperti dijatuhi hukuman sosial. Keluarga Kuro tidak bisa menerima hal itu dan memaksa mereka bercerai.Letti merasa bersalah, juga tidak ingin terus mempertahankan hubungan mereka dengan beban tersebut. Akhirnya
Nadine bergegas merapikan dirinya, mengenakan jaket tebal, lalu berlari menuruni tangga sambil mengenakan syal.Begitu sampai di bawah, dia melihat sekelompok anak-anak sudah keluar dengan berbagai alat bermain salju. Salju pertama di musim dingin tahun ini tentu saja terasa istimewa.Di luar keramaian itu, Arnold berdiri di bawah pohon yang tertutup salju, tersenyum padanya.Mata Nadine berbinar. Dia segera berlari ke arahnya. Begitu mendekat, dia baru menyadari ada sebuah ember di dekat kaki Arnold. Di dalamnya terdapat penjepit bola salju, sekop kecil, garu plastik ....Bahkan, penjepit bola salju itu bukan hanya satu, tetapi ada banyak dengan berbagai bentuk!"Ini semua ...." Nadine menelan ludah.Arnold berkata dengan tenang, "Untuk kamu main."Apa? "Profesor, aku ini bukan anak kecil ...."Namun, dua menit kemudian, Nadine melambaikan tangan dengan penuh semangat, "Lihat bebek ini! Bentuknya mirip sekali, 'kan?" Dinosaurus kecil ini juga, lucu banget!""Profesor, pakai sekop keci
"Profesor, Profesor, jangan jalan begitu cepat ...!" Nadine buru-buru mengejar.Setelah Nadine susah payah menyusul, Arnold berbalik dengan ekspresi pasrah. "Seru sekali ya?"Nadine langsung mengangguk seperti anak ayam mematuk beras. "Banget!" Ini benar-benar menyenangkan!Arnold menghela napas. "Tapi, sarung tangan dan syalmu sudah basah.""Nggak apa-apa!" timpal Nadine langsung."Lima belas menit yang lalu, kamu juga bilang begitu. Katanya, main sebentar lagi lalu pulang."Eh! Nadine melongo, dia bilang begitu? Kenapa dia tidak ingat?Arnold berkata, "Ayo pulang. Kalau mau main lagi, harus ganti sarung tangan, syal, dan sepatu dulu."Nadine menunduk dan baru sadar kalau sepatu botnya sudah basah kuyup. Dia sendiri tidak merasa, tetapi Arnold justru lebih dulu menyadarinya."Baiklah." Akhirnya, Nadine menurut dan naik ke atas. Diam-diam, dia mengambil ember dari tangan Arnold yang berisikan semua alat bermain saljunya. "Biar aku saja yang bawa ini."Arnold hanya bisa terdiam. Nadine
"Aku cek di internet, ternyata standar kelayakan perusahaan konstruksi untuk membangun laboratorium sangat tinggi, beda dengan membangun rumah biasa.""Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan sistem keamanan setelah laboratorium selesai dibangun. Ini akan jadi tantangan besar bagi kebanyakan perusahaan konstruksi."Tiga sekawan sedang berkumpul di sebuah kafe.Nadine menyeruput kopinya, lalu membagikan informasi yang sudah dia kumpulkan kepada dua temannya.Di depan Mikha adalah dua porsi tiramisu. Dia makan dengan fokus, tetapi tetap memasang telinga."Ayahku kenal banyak mandor konstruksi, beberapa punya proyek di Kota Juanin. Tapi kemarin aku tanya, mereka cuma bisa bangun rumah biasa, nggak bisa bangun laboratorium."Nadine menghela napas. "Kalau urusan teknis, memang harus orang yang profesional."Darius menambahkan, "Selain itu, lebih baik kita juga menyewa desainer khusus yang bisa menjadi jembatan komunikasi antara kita dan perusahaan konstruksi. Kalau nggak, bisa terjadi
Nadine ikut senang mendengarnya. "Baiklah. Kalau begitu, aku pesan ya!""Tentu saja!" Meskipun begitu, Nadine hanya memesan dua lauk daging, satu sayuran, dan satu sup.Aditya terdiam sejenak. "Cuma ini?""Ya, sudah cukup.""Nggak bisa, harus tambah dua menu lagi.""Jangan! Dua orang saja nggak bakal habis! Kak, hari ini kamu benaran minta diporoti ya?"Aditya tertawa. "Sesekali diporoti adik sendiri nggak masalah.""Serius, nggak perlu. Jangan sampai mubazir nanti.""Ya sudah, terserah kamu saja."Aditya memesan dua kaleng bir. Tidak lama kemudian, makanan datang dan mereka mulai makan sambil mengobrol."Gimana kuliahmu? Sudah mulai terbiasa? Kamu sudah simpan nomor teleponku, 'kan? Kalau butuh bantuan, langsung hubungi aku."Mereka sama-sama jauh dari rumah. Sebagai kerabat, mereka tentu harus saling mendukung dan menjaga."Sejauh ini aman-aman saja. Ada beberapa masalah, tapi masih bisa aku atasi sendiri.""Baguslah, ayo makan." Aditya tersenyum sambil mengambilkan makanan untuk Nad
Aditya juga pernah kuliah, secara logika, hal-hal mendasar seperti ini seharusnya tidak mungkin tidak dia ketahui! Terutama sesuatu yang sepenting kontrak."Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk, ditambah ini proyek baru, jadi nggak ada template kontrak yang bisa dijadikan referensi. Waktu menyusun kontrak, aku lupa memasukkan klausul pelanggaran kontrak ...."Setelah ditipu, dia bahkan tidak langsung menyadarinya. Hal pertama yang terlintas dalam pikirannya justru "pihak lain tidak punya etika kontrak" dan "tidak menghormati hasil kerja orang lain". Ini benar-benar ... bodoh.Atau lebih tepatnya, terlalu polos.Bagaimanapun juga, hal pertama yang terlintas di benak Nadine adalah berapa banyak uang yang bisa dikompensasikan.Namun ...."Susun kontrak juga harus kamu lakukan sendiri?"Ekspresi Aditya semakin canggung. "Sebenarnya nggak perlu .... Sebelumnya, semua ini ditangani sama rekan bisnis. Aku cuma ngurus pekerjaan di lapangan. Tapi setengah bulan yang lalu, dia mengajukan pembubaran
Senyuman Inez terlihat agak canggung. "Benarkah? Adik Ipar benar-benar pria yang sayang keluarga ...."Saat semua orang sedang menikmati makan siang, bel pintu rumah tiba-tiba berbunyi."Biar aku saja yang buka," kata Stendy sambil meletakkan peralatan makannya, lalu berjalan menuju pintu depan.Beberapa detik kemudian, terdengar suara Stendy dengan nada terkejut. "Ayah, kenapa kamu bisa datang ke sini?"Mendengar perkataan itu, tangan Irene yang sedang mengambil lauk langsung berhenti.Jeremy juga terlihat bingung dan pikirannya masih sedang menyusun ulang hubungan di keluarga itu. Ayahnya Stendy berarti suaminya Inez dan kakak iparnya Irene.Corwin dan Safir saling memandang dengan tatapan yang khawatir dan bingung. Padahal mereka belum memberi tahu Paulus sudah menemukan Irene, mengapa Paulus bisa tiba-tiba datang ke sini? Apakah Irene yang memberi tahu Paulus? Mungkin juga.Hanya Inez saja yang tubuhnya langsung kaku saat mendengar suara Paulus, lalu tersenyum sinis. Dia berpikir P
Irene menyuruh Nadine untuk menghubungi Stendy karena kakak beradik ini sudah saling mengenal sejak lama. Saat dompet Jeremy dicopet di stasiun kereta cepat dan bertemu dengan Stendy, dia menyebut Presdir Stendy sebagai temannya.Setelah itu, Irene melihat Stendy juga mengantar Nadine dan Jeremy sampai ke bawah apartemen dengan ramah. Oleh karena itu, kesannya terhadap Stendy cukup bagus. Setelah semalam mengetahui identitas Stendy yang sebenarnya, dia diam-diam bersyukur dan merasa semua ini benar-benar takdir.Nadine menganggukkan kepala. "Baik."....Stendy baru bangun tidur sekitar pukul sembilan pagi, tetapi dia masih merasa tidak begitu enak badan karena mabuk dari malam sebelumnya. Dia sudah memutuskan untuk mengurangi merokok dan minum alkohol selama setengah bulan lebih, tetapi bukan berarti tidak menyentuhnya sama sekali. Namun, dia juga tidak pernah sampai mabuk parah seperti kemarin.Setelah bangkit, Stendy mandi dan menelepon resepsionis untuk minta dikirimkan sarapan. Set
Lumayan juga ....Setidaknya, saat ini Safir masih cukup puas terhadap menantunya, Jeremy. Menantunya ini lembut, perhatian, teliti, penuh pertimbangan, tinggi, dan penampilannya juga tidak buruk. Dia juga lulusan dari Universitas Quar dan sekarang menjadi guru fisika di SMA unggulan. Dia memang bukan orang kaya, tetapi cukup terhormat dan mapan juga."Pangsit isi kucai, telur dan jamur ini sangat segar," kata Safir sambil terus menganggukkan kepala setelah mencicipi beberapa gigitan.Corwin sudah melahap satu mangkuk dan sedang mengambil porsi yang kedua. "Kamu coba yang isi daging sapi dan daun ketumbar ini, rasanya sangat wangi ...."Jeremy dipuji sampai merasa agak malu pun tersenyum canggung dan menggaruk kepalanya. "Asalkan kalian suka makan saja. Aku sudah membuat banyak pangsit. Kalau kurang, nanti aku kukus lagi.""Jangan terus berdiri di sana, duduklah dan makan bareng. Kamu sudah sibuk dari pagi, kamu pasti capek ...," kata Irene.Jeremy langsung mengiakan. Dia mengambil per
"Berkumpulnya satu keluarga itu hal yang baik," kata Corwin dengan nada haru.Jeremy segera mengangguk setuju.Irene baru teringat bahwa dia belum memperkenalkan Jeremy kepada Inez."Ini suamiku.""Halo." Inez tersenyum tipis. "Adik Ipar terlihat sopan dan berwibawa."Kali ini, tidak ada lagi tatapan menilai atau mencela dari matanya.Jeremy membalas dengan anggukan kecil. "Halo."Sopan, tetapi dengan sedikit jarak yang nyaris tak terasa.Orang lain mungkin tidak menyadari, tetapi Irene yang telah hidup bersama dengannya selama bertahun-tahun langsung menangkap gelagat aneh itu.Dia menatap Jeremy dengan heran. Namun, Jeremy hanya menggeleng dan memberikan isyarat lewat mata. Nanti baru dibicarakan.Entah kenapa, kakak ipar yang satu ini memberinya perasaan yang sangat aneh dan tidak nyaman. Karena itulah, dia bersikap hati-hati."Ayah, pangsitnya masih ...." Mau dimasak?Eh? Nadine keluar dari dapur dan langsung tertegun melihat banyak orang di ruang tamu. Detik berikutnya, pandangann
Inez mengikuti alamat yang tertera dalam dokumen dan menemukan tempat tinggal Irene saat ini. Dia berdiri di luar gerbang besi, mendongak menatap vila di hadapannya.Tak disangka, bagian luar kompleks ini terlihat biasa saja. Akan tetapi, setelah masuk, ternyata cukup mengejutkan. Jelas-jelas terdampar sampai ke kota kecil seperti ini, tetapi masih bisa tinggal di vila.Heh .... Sudut bibir Inez terangkat. Adiknya ini memang selalu beruntung sejak kecil. Bahkan saat ke kuil, biksu tua akan keluar menyambutnya, merapatkan tangan, dan berkata bahwa dia ditakdirkan menjadi orang kaya.Sedangkan dirinya, berdiri di samping seperti tak kasatmata. Selama ada Irene di suatu tempat, maka tak akan ada yang memperhatikan dirinya.Setelah melewati taman, Inez sampai di depan pintu utama, tersenyum tipis, dan menekan bel pintu.Yang membukakan pintu adalah Jeremy. Dia sempat menanyakan makanan favorit orang tua Irene. Setelah tahu mereka lebih suka sarapan dengan makanan berbasis tepung, dia pun b
Stendy memilih sebuah bar. Begitu duduk, dia langsung memesan beberapa botol minuman keras, menuangkannya gelas demi gelas tanpa henti. Selama itu, beberapa wanita mencoba mendekatinya, tetapi semuanya diusir tanpa pengecualian.Wajah Stendy memerah karena alkohol. Setelah pandangannya mulai kabur, dia memutuskan untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan, kepalanya pusing dan berat. Saat memejamkan mata, yang muncul hanyalah wajah Nadine.Dia tidak mengerti kenapa dia selalu terlambat satu langkah? Dulu, dia kalah dari Reagan. Sekarang, kalah lagi karena status sialan sebagai sepupu.Haha .... Tuhan tidak pernah berpihak padanya!Begitu keluar dari taksi, Stendy masuk ke lobi hotel dengan sempoyongan. Saat pintu lift terbuka, aroma harum langsung menyeruak, lalu tubuh seorang wanita bersandar padanya. Wanita itu sengaja menggesekkan dadanya ke lengan Stendy, menggoda tanpa malu.Suaranya manis hingga terasa menjijikkan. "Ganteng, sendirian saja? Kamu kelihatannya mabuk. Gimana kalau
"Stendy!" Nadine menyela perkataannya, menatap langsung ke matanya. "Pikirkan baik-baik apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, apa yang seharusnya kamu katakan, baru buka mulut.""Kamu tahu, 'kan?" Pria itu menyudutkannya di antara dinding dan dadanya, kedua tangannya pun menahan di sisi tubuh Nadine."Memangnya kenapa kalau aku tahu? Hubungan kita sekarang nggak pantas untuk ....""Apa hubungan kita?" Stendy menyeringai, sudut bibirnya terangkat dengan getir. "Katakan, aku ini siapamu?""Kakak sepupu.""Mungkin kamu belum tahu, ibuku sebenarnya bukan anak kandung kakek dan nenekku. Itu artinya, kita nggak punya hubungan darah!"Nadine termangu sejenak. "Mau ada hubungan darah atau nggak, aku dan kamu tetap nggak punya peluang untuk bersama.""Kenapa?""Karena aku nggak suka sama kamu."Lagi-lagi kalimat itu! Selalu saja kalimat itu!Stendy mencengkeram bahu Nadine dengan agak kuat. "Kenapa kamu nggak bisa suka sama aku? Kamu dulu pernah suka sama cowok berengsek seperti Reagan, kenap
Kini, Safir merasa sangat bersyukur karena mendengarkan saran dari Stendy yang menyuruhnya melanjutkan pengobatan matanya serta menjaga kesehatannya.Penglihatannya perlahan mulai pulih. Karena itulah, dia akhirnya bisa melihat dengan jelas betapa miripnya wajah cucunya dengan putrinya.Irene kaget mengetahui putrinya dan orang tuanya sudah saling mengenal sejak lama. Nadine pun bercerita tentang pertemuan pertama mereka.Corwin tak kuasa untuk berkomentar, "Aku dan ibumu sudah mencarimu selama bertahun-tahun ke mana-mana, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tak kusangka, ternyata kita sedekat ini, bahkan sempat terlewat dua kali. Untung saja kali ini nggak terlewat lagi."Mendengar itu, Safir teringat bahwa Nadine dan Stendy sudah saling mengenal sejak lama. Ternyata, takdir memang punya jalannya sendiri."Nadine, omong-omong, Stendy itu sebenarnya sepupumu lho. Selama ini, dia sama sekali nggak sadar ...."Sejak tadi, Stendy tidak melontarkan sepatah kata pun. Wajahnya tegang dan k
Nadine buru-buru mencoba menenangkan ayahnya, "Ibu menemukan orang tua kandungnya itu kabar baik."Selama ini, Irene adalah seseorang tanpa masa lalu yang jelas. Dulu, dia pernah punya keinginan untuk mencari asal-usulnya. Namun, setelah sekian lama tanpa hasil, dia sudah berhenti berharap.Kadang-kadang, Irene bahkan membayangkan dirinya seperti tokoh dalam novel. Masa kecil tragis, orang tua dibunuh musuh ....Lambat laun, Irene berhenti memikirkan hal itu dan tak lagi berandai-andai.Namun, Nadine tetap bisa merasakan kerinduan ibunya terhadap keluarga. Jadi, saat Jeremy menyebut kakek dan nenek dari pihak ibunya datang, reaksi pertama Nadine adalah gembira, gembira untuk Irene.Namun, Jeremy jelas belum bisa mencerna semuanya secepat itu."Ayah sudah hidup bersama Ibu sekian lama, masa masih nggak tahu gimana sifatnya? Luarannya kelihatan lembut dan tenang, tapi Ibu itu orang yang punya pendirian kuat. Begitu memutuskan, nggak ada yang bisa menggoyahkannya.""Ayah dan Ibu sudah ber