Senyum Rebecca langsung menjadi kaku. Kenapa reaksi Yenny tidak sesuai dengan yang dia bayangkan?"Hah, cuma kamu?" Yenny mendengus dingin sambil berdiri. Dengan tatapan merendahkan, dia menatap Rebecca dari atas. "Aku dan Natasha memang kadang nggak sejalan, tapi itu urusan Keluarga Arbana. Kamu pikir, siapa kamu sampai bisa ikut campur dan mengadu domba?"Setelah selesai bicara, Yenny langsung berbalik dan pindah ke tempat duduk lain, seolah-olah Rebecca tak layak untuk diladeni. Rebecca dipermalukan di depan umum dan wajahnya memerah karena malu.Natasha melihat semuanya dari jauh. Rasa jijik terhadap Rebecca hampir tidak bisa dia sembunyikan.Meski hubungannya dengan Yenny tidak akur karena perbedaan karakter dan pandangan, mereka tetap satu keluarga. Beda pendapat itu wajar, tetapi membiarkan orang luar ikut campur urusan keluarga? Itu sudah keterlaluan.Rebecca ini pikirannya benar-benar sempit. Otaknya pasti bermasalah.Di sisi lain, Yenny juga tampak tidak puas dengan tempat du
Semua orang menyimak dengan saksama."Natasha, guru yang kamu undang ini sangat hebat. Dari mana kalian kenal? Kenapa yang diundang dulu selalu orang tua?"Pesta teh telah diadakan beberapa kali. Penanggung jawabnya selalu berbeda. Kali ini adalah giliran Natasha. Kebetulan sekali, guru yang diundangnya tiba-tiba sakit sehingga dia meminta Nadine menggantikannya.Seorang wanita segera mengangguk. "Benar, kenapa nggak undang yang cantik begini? Kalian selalu undang yang sudah tua. Begini baru seru.""Setuju, cantik dan enak didengar.""Gadis ini memang cerdas. Suaranya juga nyaman didengar."Eva dan Rebecca sungguh terkejut saat melihat Nadine. Kemudian, mereka harus melihat Nadine duduk di atas panggung sambil menjelaskan dengan fasih.Eva tentu bisa mendengar bahwa orang-orang sibuk memuji Nadine. Semua mengatakan Nadine cerdas, cantik, dan berkarisma. Atas dasar apa? Kenapa semua orang menyukai Nadine?Nadine jelas-jelas tidak mengerti apa pun tentang teh. Atas dasar apa dia duduk di
Eva sontak terkesiap. Mana mungkin dia tahu apa yang kurang! Semalam dia memang mencari informasi, tetapi tidak ada satu pun yang diingatnya.Eva memutar bola matanya, lalu berkata, "Aku cuma mau tanya, kamu punya sertifikat seniman teh nggak? Jangan mengalihkan topik pembicaraan.""Mengalihkan topik pembicaraan? Sebagai guru, aku ingin mendengar saran dari muridku dan menjawab keraguan muridku. Memangnya ada yang salah? Kalau kamu merasa wawasanku kurang, kamu harus memperjelasnya. Aku nggak menerima tuduhan nggak berdasar," sahut Nadine.Eva tentu tidak bisa melawan Nadine yang sikapnya begitu tegas. Ketika melihat orang-orang mulai menatapnya, Eva menggigit bibirnya dan tanpa sadar menegakkan punggungnya. "Yang kamu bilang tadi memang nggak salah. Tapi, semua orang yang duduk di sini juga tahu tanpa perlu dijelaskan.""Kalaupun nggak tahu, mereka cuma perlu mencari di internet. Setelah itu, mereka bisa langsung menjelaskan dengan fasih. Beda level seniman teh, beda pemahaman mereka.
Nadine mengeluarkan sebuah sertifikat berwarna merah. Di sampulnya, tertulis jelas bahwa itu adalah sertifikat seniman teh. Sementara itu, Nadine adalah seniman teh level tinggi."Sudah puas? Atau perlu lihat lebih dekat supaya kamu nggak kira penglihatanmu bermasalah?" Nadine mendongak menatap Eva dengan tatapan datar.Eva membelalakkan matanya dengan tidak percaya. Dia tidak menduga Nadine benar-benar punya sertifikat seniman teh.Meskipun fakta telah terpampang jelas, Eva masih tidak ingin mengakui kemampuan Nadine. Dia berdalih, "Sertifikat bisa dipalsukan."Nadine tertawa mendengarnya. "Sertifikat yang dikeluarkan negara punya nomor unik. Kamu boleh periksa di internet untuk memastikannya."Seseorang segera memeriksa, lalu sengaja berseru, "Wow! Benaran ada! Informasinya juga sama! Ini bukan sertifikat palsu!"Eva menggertakkan gigi dan masih berusaha menjatuhkan Nadine. "Kenapa memangnya? Kalaupun kamu punya sertifikat, belum tentu wawasanmu tentang teh bagus. Di zaman sekarang,
"Kita berkumpul dan menikmati teh untuk mendapat pencerahan dan mencari makna hidup. Di musim semi, bunga akan bermekaran setiap tahun tanpa terkecuali. Hidup ini indah dan bermakna. Semoga kalian bahagia selalu. Terima kasih."Usai berbicara, Nadine bangkit dan memberi hormat. Suasana hening sejenak sebelum menjadi meriah. Semua orang bertepuk tangan dengan kuat. "Bagus, bagus sekali!"Dessy mempunyai bisnis teh. Dia datang untuk menambah wawasannya tentang teh. Ketika melihat guru yang diundang begitu muda, dia pun merasa tidak puas. Menurutnya, anak muda tidak punya pengalaman sehingga tidak mungkin paham tentang teh.Namun, setelah melihat cara Nadine menyeduh teh dan mendengar penjelasannya, Dessy sungguh takjub. Banyak seniman teh yang pintarnya hanya berteori dan tidak pintar menyeduh teh. Sebagai pebisnis teh yang sukses, sebagai orang yang tumbuh besar bersama teh, Dessy tentu merasa tidak puas.Namun, Nadine berbeda. Nadine bukan hanya bisa berteori, tetapi juga jago dalam pr
"Bu Rebecca, apa semua orang di keluargamu begitu nggak tahu aturan? Sebaiknya kamu didik dengan baik. Jangan sampai reputasi keluargamu yang tercoreng.""Aku cuma tahu seleramu kurang bagus, tapi ternyata penilaianmu juga sangat buruk! Sebenarnya kalian kenal dari mana? Dia nggak tahu aturan sekali!"Semua orang mengkritik dan menatap Eva dengan tatapan meragukan, merendahkan, dan mencela. Bagaimana bisa selera putra Keluarga Yudhistira begitu buruk? Kenapa malah memilih wanita seperti ini?Eva tidak tahan dengan kritikan yang ada. Tubuhnya sampai terhuyung.Selama ini, Rebecca diremehkan karena latar belakangnya. Dia berjerih payah bertahun-tahun agar diterima oleh orang kalangan atas. Namun, Eva malah membuatnya malu dan dikritik seperti ini.Rebecca sungguh gusar dan menyesal. Jika tahu hasilnya seperti ini, dia tidak akan membawa Eva kemari. Dia jelas-jelas sudah menyuruh Eva membuat persiapan, tetapi Eva malah membuat kacau semuanya. Eva ingin mempermalukan Nadine, tetapi akhirny
"Ada deh ...." Nadine merasa agak malu untuk dibahas.Nadine dan Reagan berpacaran selama enam tahun. Selama dua tahun pertama, dia sibuk kuliah. Selama empat tahun terakhir, dia terus tinggal di vila. Hanya ada Reagan di hidupnya.Reagan membuat sangkar cinta yang mengurung Nadine dengan erat. Namun, Nadine juga tidak menganggur selama beberapa tahun itu. Selain mengurus hidup Reagan, dia mengisi waktu luang dengan membaca buku dan belajar.Seiring hubungan keduanya meregang, Reagan menjadi jarang pulang dan Nadine akhirnya punya waktu untuk diri sendiri. Dia mengikuti banyak les dan ujian, mengisi seluruh waktu luang dengan berbagai aktivitas.Nadine selalu ingat dengan perkataan ayahnya. "Wawasan nggak ada habisnya. Manusia seharusnya terus belajar meskipun sudah tua. Makin banyak yang dikuasai, makin banyak jalan yang bisa dilalui."Mungkin secara tidak sadar, Nadine tidak pernah berani menganggap Reagan sebagai sandarannya.....Setelah kelas selesai, Nadine tidak bisa langsung pe
Christine tampak bersemangat. Ini karena Yenny jarang mengikuti acara seperti ini. Kalaupun ikut, Yenny hanya setor muka. Itu sebabnya, dia ingin teh temannya dicicipi guru.Nadine menghampiri keduanya, lalu mendongak dan bertemu pandang dengan Yenny. Yenny pun termangu sejenak. Mungkin karena merasa canggung, dia mendengus dengan angkuh.Di mata Nadine, tingkah sombong ini hanya untuk menutupi kecanggungannya.Christine berkata lagi, "Bu, coba cicipi tehnya."Nadine berkumur dengan air putih dulu, lalu baru menyesapnya. Setelah tertegun sesaat, dia baru memberi penilaian jujur, "Daun teh terlalu banyak, air terlalu sedikit, warna terlalu gelap, rasa agak pahit. Seharusnya suhunya nggak cukup panas, makanya aroma teh nggak merata.""Pfft ...." Christine tidak bisa menahan tawanya. "Sudah kubilang, kalau kamu nggak ikuti langkahnya, rasanya pasti nggak enak. Kamu malah bilang nggak bakal ketahuan. Bu Nadine tahu semua, 'kan?"Wajah Yenny pun menjadi masam. Yang dikatakan Nadine memang b
Wanita itu selesai berbicara, lalu berbalik dan pergi dengan langkah tegas. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai dengan ritme yang mantap. Teddy hanya tertawa kecil, sama sekali tidak memedulikan kutukan wanita itu.Pahitnya cinta?Huh! Omong kosong!Belum lama wanita itu pergi, seorang gadis muda keluar dari bar. Dia mengenakan rok pendek, memperlihatkan sepasang kaki panjang nan putih, rambut ikalnya terurai indah, dengan riasan wajah yang sempurna."Pak Teddy ...."Gadis itu mendekat dengan percaya diri, mengira pria itu tidak akan menolak. Namun, di luar dugaannya, Teddy justru menghindar dengan cepat. Dia mengulurkan tangannya dan malah merangkul pinggang Kelly serta menariknya ke dalam pelukannya.Kelly yang tadinya sedang asyik menonton drama, langsung terkejut. Teddy menatap gadis itu dengan santai. "Maaf ya, kamu telat datang."Gadis itu menggigit bibirnya, melirik Kelly dengan kesal, lalu pergi dengan berat hati."Pakai aku sebagai tameng?" Kelly melipat tangan di depan dada
Untuk pertama kalinya, Nadine merasakan kekaguman yang mendalam. Dia belum tahu bahwa emosi kompleks ini disebut ... kekaguman terhadap kekuatan.....Sementara itu, setelah mengantar Arnold dan Nadine pulang, Kelly berbalik arah dan mengemudi menuju bar. Perjalanannya mulus, sampai dia tiba di depan bar dan bersiap untuk parkir ....Bam!Sebuah Maserati melesat dari samping dan menabrak bagian belakang mobilnya.Kelly langsung marah. Dia membuka pintu dengan keras, turun, dan berjalan ke arah mobil tersebut."Hei! Kamu tahu cara nyetir nggak?! Gas nggak bisa kamu lepas, ya?! Di jalan begini kamu ngebut? Ngebut oke, tapi nggak lihat jalan? Mobilku setengah badan belum masuk parkiran, kamu nggak lihat atau gimana?! Sampai bisa tabrak kayak gini?!"Pintu pengemudi Maserati terbuka, seorang pria keluar dengan senyum santai. "Hah, aku kira siapa. Cuma masalah kecil, jangan marah-marah gitu."Teddy mendekati Kelly dengan wajah penuh senyum tak berdosa."Oh, ternyata kamu, Pak Teddy ...." Ke
Ketiganya keluar dari restoran."Kak, kamu ini terlalu populer. Sekelompok orang tua itu mengerubutimu seperti fans yang mengejar bias-nya.""Bias?""Oh, maksudku idola."Arnold tertawa kecil. "Hanya karena kepentingan saja, mana ada hubungannya dengan idola?"Kelly mengendus sedikit, "Kamu minum alkohol? Apa kamu nyetir tadi?""Minum sedikit. Tapi nggak nyetir.""Pas banget. Naik mobilku saja, aku antar kamu dan Nadine pulang."Mobil Kelly berhenti di mulut gang karena tidak bisa masuk. Nadine dan Arnold pun turun di sana, lalu berjalan berdampingan ke dalam gang.Langit malam cerah dengan sedikit bintang, angin malam terasa hangat dan tenang. Gang yang sunyi hanya sesekali terdengar suara kucing yang mengeong. Arnold menginjak kantong sampah, lalu karena efek alkohol, tubuhnya sedikit goyah."Kamu baik-baik saja?""Maaf, aku minum terlalu banyak malam ini."Khawatir bau alkohol di tubuhnya akan mengganggu Nadine, Arnold dengan sengaja menjaga jarak darinya. Ucapan "maaf" itu terdenga
Mengingat kejadian mabuk waktu itu, Kelly merasa agak canggung dan mengusap hidungnya. "Semuanya gara-gara ibuku. Dia memaksaku datang ke semacam pesta anak muda, yang sebenarnya cuma pesta kencan buta."Para pria dan wanita muda seperti barang dagangan, dipamerkan di depan semua orang untuk dipilih.Ibu Kelly sebenarnya sangat baik, hanya saja terlalu khawatir.Dia terus bicara soal pasangan yang statusnya tidak setara pasti tidak akan bahagia. Dia bilang, pengalaman hidup membuktikan bahwa cinta pada akhirnya tetap bergantung pada fondasi ekonomi, bla bla bla ....Kelly sangat kesal.Setelah pulang, dia membuat kesepakatan dengan ibunya. Dia setuju soal pasangan yang sepadan, tapi dia sendiri yang harus memilih. Sebagai gantinya, ibu Kelly tidak boleh lagi mengatur pesta kencan buta atau pertemuan serupa tanpa seizinnya.Nadine bertanya, "Milih sendiri?""Iya, selama keluarganya nggak terlalu buruk, ibuku pasti bisa menerimanya. Jadi gampang, aku pilih dari lingkungan kita saja!""Ka
"Olive?" Wilfred memanggilnya sekali lagi."Ada apa?""Tadi kamu telepon agen properti, mau cari rumah ya?"Hati Olive gelisah, takut Wilfred bertanya lebih jauh. Dengan nada ketus, dia menjawab, "Tanya banyak banget sih?! Apa urusannya sama kamu?!"Wilfred merasa sedikit terluka, tapi tidak menunjukkan perasaannya. "Aku 'kan pacarmu, tentu aku peduli.""Aku ini cari pacar, bukan cari bapak.""Kalau kamu merasa aku terlalu cerewet, ya ... aku akan lebih sedikit bicara mulai sekarang." Wilfred berkata hati-hati, takut membuat Olive semakin marah.Melihat Wilfred tidak bertanya lagi soal sewa rumah, Olive diam-diam menghela napas lega. Sikapnya pun mulai melunak. "Berikan padaku." Dia mengulurkan tangan."Apa?""Bubble tea di tanganmu itu, bukannya untukku?""Oh, iya! Hampir lupa ...." Wilfred tersenyum cerah.....Setelah berkutat di laboratorium selama seminggu penuh, akhirnya dua set data berhasil didapatkan. Pekerjaan mereka kini tidak terlalu mendesak lagi. Pada hari Sabtu, Nadine m
Sambil berkata demikian, Nadine menyerahkan kertas dan pena. "Kalau begitu, aku pamit dulu."Stendy hanya bisa tersenyum, "Baik. Sampai jumpa.""Hmm, ayo Pak Arnold. Kedai bubble tea itu kebetulan ada di dekat tempat tinggal kita, cukup menyeberang jalan saja sudah sampai."Terakhir kali dia dan Stendy membahas sesuatu, mereka juga pergi ke tempat itu....."Bubble tea sudah sampai!"Calvin, Kamila, dan Wilfred langsung muncul setelah mendengar kabar itu."Terima kasih, Pak Arnold. Terima kasih juga, Nadine! Membuat dua orang sibuk seperti kalian jadi kurir benar-benar keterlaluan!"Calvin menusukkan sedotan dan mengisapnya dalam-dalam, "Ah, nikmat sekali ...."Kamila mengerutkan dahi, "Seperti itu berlebihan banget nggak, sih?"Wilfred mengambil bubble tea miliknya dan milik Olive, lalu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih kepada Arnold dan Nadine. Setelah itu, dia membawanya ke Olive dengan antusias."Olive, ini punyamu.""Oh."Mendengar bahwa Nadine pergi bersama Arnold untuk m
Nadine dan Stendy duduk di samping meja batu dan berbincang tentang sesuatu. Keduanya duduk sangat dekat. Wajah Nadine terlihat serius, sementara Stendy mendengarkan dengan saksama dan sesekali mengangguk.Arnold tidak melewatkan senyum tipis yang muncul di sudut bibir Stendy. Bahkan dari jarak sejauh ini, dia bisa merasakan aura godaan yang memancar. Tatapan Arnold tiba-tiba menjadi lebih dalam.Detik berikutnya, dia mengeluarkan ponsel dan menelepon Calvin."Halo, Arnold, ada apa?""Kamu mau minum bubble tea?""Hah?" Calvin menurunkan ponselnya, memeriksa layar untuk memastikan itu benar-benar Arnold yang menelepon. "Apa maksudnya? Kok tiba-tiba ngomong soal bubble tea?""Mau atau nggak? Aku yang traktir. Kamu bisa tanyakan ke yang lain juga."Calvin langsung berseru dengan suaranya yang keras, "Pak Arnold traktir bubble tea! Siapa yang nggak mau, angkat tangan! Bagus, nggak ada. Jadi kita semua mau.""Baik. Aku akan pergi beli.""Eh ... kenapa nggak pesan saja lewat aplikasi? Kan le
Pukul setengah delapan, Nadine sudah sampai. Orang lain belum datang, tiba-tiba terdengar suara dari ruang istirahat. Diiringi suara langkah kaki, Arnold keluar dari dalam. Mata mereka bertemu, keduanya tertegun.Arnold teringat pelariannya yang tergesa-gesa kemarin, merasa sedikit canggung. Nadine mengingat dirinya yang pura-pura tidur dan tanpa sengaja melihat kejadian itu .... Dia pun merasa tak nyaman."Selamat pagi." Pria itu lebih dulu membuka suara.Nadine mengangguk sedikit, "Pagi."Setelah itu, dia langsung melesat ke meja kerjanya dan mulai sibuk bekerja, sampai-sampai lupa menaruh makan siang yang dibawanya ke dalam kulkas.Arnold berkata, "Kebetulan aku mau ke pantri, aku bantu taruh."Nadine menjawab, "Terima kasih."Saat waktu makan siang, Nadine meninggalkan laboratorium. Baru saja keluar dari gedung, dia melihat Stendy berdiri tidak jauh dengan kedua tangan dimasukkan ke saku.Pria itu mengenakan kemeja dengan gaya santai, kerahnya sedikit terbuka, dipadukan dengan cela
"Waktu ibumu terbuang sia-sia selama ini."Hati Nadine mencelos mendengarnya. Hugo ingin bertemu dengan Irene, tetapi Nadine mengatakan ibunya sedang berada di kota lain. Lagi pula, kontrak Irene dengan Lauren belum berakhir. Nadine tidak ingin merusak mood ibunya.Setelah mendengar tentang kontrak, Hugo langsung meminta salinan elektroniknya dari Nadine. "Nggak usah terburu-buru. Aku akan pelajari kontrak ibumu. Kalau ada apa-apa, aku hubungi kamu. Aku pasti akan tanda tangan kontrak dengan ibumu!"Kalimat terakhir membuat Nadine agak ragu. Bukankah Hugo tidak menandatangani kontrak dengan penulis dan hanya melihat hasil karya?Nadine merasa mungkin Hugo salah bicara atau mungkin dia yang salah dengar. Jadi, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.Saat melihat putrinya begitu serius, Jeremy segera menghentikan pekerjaannya. "Ada apa, Nad? Apa ibumu ada masalah dengan editor itu?""Ada sedikit masalah, bukan masalah besar. Aku sudah mencari cara untuk mengatasinya. Jangan kas