Meskipun kartu yang digunakan adalah kartu tambahan milik Reagan, setidaknya kali ini Eva lebih royal dibanding sebelumnya yang hanya memberikan syal.Keduanya berjalan masuk ke sebuah butik pakaian mewah. Sang pramuniaga yang berpengalaman langsung mengenali Rebecca sebagai pelanggan penting dari penampilannya.Dengan senyum profesional, dia segera menyambut, "Nyonya, ada yang bisa saya bantu? Ini koleksi terbaru kami, elegan dan mewah, sangat cocok dengan aura Anda."Hari ini, Rebecca mengenakan mantel hitam klasik dari Gucci dengan kalung mutiara di lehernya, menonjolkan kesan berkelas dan anggun."Baik, tolong ambilkan dua potong ini. Aku mau coba."Eva yang tadi rela menggigit bibir sambil membayar beberapa tas mahal untuk Rebecca, terlihat tenang dari penampilannya. Namun, hatinya terasa seperti ditusuk jarum. Ratusan juta! Dia tidak pernah menghamburkan uang sebanyak ini seumur hidupnya.Meskipun dia memegang kartu tambahan Reagan, Eva selalu berhati-hati agar tidak terkesan mat
"Eh, di sini." Nadine baru saja keluar dari kamar mandi dan langsung melihat Natasha berdiri di dalam toko sambil melambai ke arahnya.Rebecca tercengang. Tatapannya mengikuti arah pandang Natasha dan dia pun melihat wajah yang tidak asing. Nadine!Eva juga melihat Nadine.Hari ini, Nadine memakai riasan tipis. Mantel trench coat dipadukan dengan sepatu bot panjang berwarna cokelat. Rambutnya dijepit seadanya, memberikan kesan yang santai dan elegan."Bibi." Nadine berjalan mendekat dan menggandeng lengan Natasha dengan santai. "Sudah lama nunggu? Maaf, ya."Nadine bahkan tidak melirik Rebecca atau Eva, seakan mereka tidak ada di sana.Rebecca langsung teringat bagaimana Nadine memutuskan hubungan begitu saja dengan Reagan. Namun, putranya masih terus memikirkannya, bahkan berniat untuk kembali bersama Nadine. Hal itu membuat Rebecca semakin kesal.Melihat situasi ini, Eva langsung bereaksi. Dengan sikap penuh perhatian, dia menuangkan teh ke dalam cangkir dan memberikannya kepada Rebe
Pramuniaga itu tertegun sejenak. Rebecca juga memandang Eva dengan bingung.Eva tersenyum ramah. "Bibi, gimana kalau kubantu pilihkan beberapa pakaian untuk Bibi juga?"Rebecca melirik Natasha, lalu mendengus dalam hati, 'Huh, memangnya cuma kamu yang punya orang untuk bantu milihin pakaian? Aku juga punya!'Dengan semangat kompetitif, dia tersenyum pada Eva dan mengangguk. "Boleh juga. Aku percaya sama seleramu." Saat mengucapkan perkataan itu, Rebecca sudah lupa bagaimana dia pernah mengejek selera Eva yang buruk.Eva langsung beraksi. Dia mulai memilih dengan menunjuk beberapa pakaian kepada dua pramuniaga di belakangnya. Gaya dan sikapnya terlihat penuh percaya diri.Sementara itu, Nadine memilih pakaian dengan cara yang berbeda. Dia selalu memperhatikan warna dan modelnya terlebih dahulu, lalu meraba kain untuk memastikan kualitasnya. Setelah yakin, barulah dia meminta pramuniaga menurunkan pakaian dan meletakkannya satu per satu."Bibi, aku sudah pilihkan dua set pakaian. Coba du
Nadine tersenyum lembut. "Desain gaun memang lebih formal. Jadi kupikir, mencoba gaya yang lebih santai mungkin akan memberikan kejutan."Wajah Rebecca terlihat sangat muram. Namun, di hadapan begitu banyak orang, dia tidak bisa meluapkan amarahnya. Dia hanya bisa menekan emosi dalam hati. Eva menggigit bibir, sama sekali tidak menyangka dirinya akan kalah telak dari Nadine.Natasha yang memperhatikan ekspresi keduanya, tersenyum tipis. "Ada saja orang yang salah mengira kerikil sebagai mutiara. Bikin ketawa saja!""Baik, bungkus dua set ini. Aku ambil dua-duanya." Natasha melambaikan tangan pada pramuniaga."Baik, Nyonya. Mohon tunggu sebentar." Pramuniaga itu tersenyum lebar dan segera membawa pakaian untuk diproses di kasir."Yuk, Nadine. Kita jalan lagi, masih ada beberapa toko yang ingin kulihat.""Oke."Setelah Natasha dan Nadine pergi, Rebecca menatap pakaian yang sedang dia kenakan dengan jijik. Dia ingin segera melepaskannya dan melemparkan ke lantai untuk diinjak-injak!Bayan
"Nggak merepotkan kok, Bi. Aku senang sekali bisa temani Bibi berbelanja," ujar Nadine dengan senyum tulus.Hari ini, dia juga mendapatkan banyak inspirasi."Oh, ya. Ada satu hal yang mungkin perlu bantuanmu," kata Natasha sambil memasang ekspresi memelas."Ada apa, Bibi?""Begini, aku lagi persiapkan acara teh. Acara ini adalah pertemuan untuk minum teh, ngobrol santai, dan mendiskusikan budaya teh ....""Awalnya, acara itu akan dibawakan oleh seorang seniman teh senior dari Taman Teh. Bahkan kontraknya sudah ditandatangani. Tapi tadi malam, gurunya malah mendadak jatuh sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit. Sampai sekarang, kondisinya masih belum stabil.""Besok acaranya sudah akan berlangsung dan jelas dia nggak akan bisa hadir. Aku sudah berusaha cari pengganti, tapi belum ada yang cocok. Aku jadi ingat Kelly pernah bilang kalau kamu paham tentang teh dan punya keterampilan menyeduh teh yang bagus. Jadi ...."Natasha berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Maaf kalau permintaan ini
Natasha sudah terbiasa dengan gaya bicara Yenny, jadi dia tidak merasa tersinggung. Dia hanya tersenyum ramah dan berkata, "Kalau seharian di rumah, aku juga bosan. Jadi, kupikir lebih baik adain pertemuan kecil untuk habisin waktu. Kebetulan budaya teh lagi tren akhir-akhir ini, jadi aku pilih tema ini.""Kakak jarang sekali menghadiri acara seperti ini. Kehadiran Kakak hari ini benar-benar sebuah kehormatan bagiku. Silakan masuk ...."Cara bicara Natasha terdengar tulus dan sikapnya pun begitu ramah. Meski biasanya Yenny selalu mencari-cari kesalahan, kali ini dia tidak bisa menemukan celah untuk mengkritik.Tidak lama setelah itu, Rebecca datang bersama Eva. Sebuah wajah baru di acara seperti ini langsung menarik perhatian para tamu yang hadir."Rebecca, siapa ini?" tanya salah seorang wanita dengan penasaran."Gadis dari mana? Kelihatan muda sekali!"Rebecca sudah memikirkan jawabannya sebelum datang. Dengan senyum lebar, dia memperkenalkan Eva kepada para tamu, "Oh, ini putri tema
Senyum Rebecca langsung menjadi kaku. Kenapa reaksi Yenny tidak sesuai dengan yang dia bayangkan?"Hah, cuma kamu?" Yenny mendengus dingin sambil berdiri. Dengan tatapan merendahkan, dia menatap Rebecca dari atas. "Aku dan Natasha memang kadang nggak sejalan, tapi itu urusan Keluarga Arbana. Kamu pikir, siapa kamu sampai bisa ikut campur dan mengadu domba?"Setelah selesai bicara, Yenny langsung berbalik dan pindah ke tempat duduk lain, seolah-olah Rebecca tak layak untuk diladeni. Rebecca dipermalukan di depan umum dan wajahnya memerah karena malu.Natasha melihat semuanya dari jauh. Rasa jijik terhadap Rebecca hampir tidak bisa dia sembunyikan.Meski hubungannya dengan Yenny tidak akur karena perbedaan karakter dan pandangan, mereka tetap satu keluarga. Beda pendapat itu wajar, tetapi membiarkan orang luar ikut campur urusan keluarga? Itu sudah keterlaluan.Rebecca ini pikirannya benar-benar sempit. Otaknya pasti bermasalah.Di sisi lain, Yenny juga tampak tidak puas dengan tempat du
Semua orang menyimak dengan saksama."Natasha, guru yang kamu undang ini sangat hebat. Dari mana kalian kenal? Kenapa yang diundang dulu selalu orang tua?"Pesta teh telah diadakan beberapa kali. Penanggung jawabnya selalu berbeda. Kali ini adalah giliran Natasha. Kebetulan sekali, guru yang diundangnya tiba-tiba sakit sehingga dia meminta Nadine menggantikannya.Seorang wanita segera mengangguk. "Benar, kenapa nggak undang yang cantik begini? Kalian selalu undang yang sudah tua. Begini baru seru.""Setuju, cantik dan enak didengar.""Gadis ini memang cerdas. Suaranya juga nyaman didengar."Eva dan Rebecca sungguh terkejut saat melihat Nadine. Kemudian, mereka harus melihat Nadine duduk di atas panggung sambil menjelaskan dengan fasih.Eva tentu bisa mendengar bahwa orang-orang sibuk memuji Nadine. Semua mengatakan Nadine cerdas, cantik, dan berkarisma. Atas dasar apa? Kenapa semua orang menyukai Nadine?Nadine jelas-jelas tidak mengerti apa pun tentang teh. Atas dasar apa dia duduk di
Kedua orang itu langsung menoleh ke arah Darius. Darius menggaruk kepalanya. "Kenapa kalian melihatku seperti ini ...." Rasanya agak canggung."Darius, sebenarnya keluargamu itu bergerak di bidang apa sih?" Mikha menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.Nadine ikut bertanya, "Aku ingat, terakhir kali kamu bilang orang tuamu ... adalah pegawai negeri?"Kelihatannya, pegawai negeri yang dimaksud bukan pegawai biasa. Nadine hanya menyebutkan secara singkat dan tidak bertanya lebih jauh.Mikha mungkin blak-blakan, tetapi dia juga tahu kapan harus berhenti. Ada yang bilang anak-anak dari keluarga pejabat tinggi biasanya sangat low profile. Jadi, masuk akal kalau Darius tidak pernah menyebutkannya sebelumnya.Darius akhirnya menghela napas lega. "Aku pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusnya.""Oke!" Mikha mengangkat tangan, "Demi laboratorium ...."Darius menyambung, "Demi nggak diusir lagi ...."Keduanya menoleh menatap Nadine.Nadine sempat terdiam, lalu spontan berseru, "M
"Ayahku punya properti, rumahnya tak terhitung jumlahnya! Dia yang selalu mengusir orang lain, nggak ada yang bisa mengusirnya!""Jadi, semuanya harus milik kita sendiri agar kita punya posisi kuat! Akademi meminjamkan kita ruangan bobrok, nggak ada CPRT, alat pemadam kebakaran pun nggak lengkap. Kita mati-matian menghasilkan penelitian, tapi akhirnya semua kredit jatuh ke akademi?""Memangnya di dunia ini ada hal sebaik itu? Aku sudah muak!"Mikha tidak pernah mengalami ketidakadilan seperti ini."Apa hebatnya sih? Cuma sebuah ruangan usang, alat-alatnya pun kita beli sendiri!"Amarah Mikha meledak-ledak. Dia benar-benar tidak bisa menoleransi ketidakadilan ini. Ketika dia melampiaskan kekesalan, air liurnya bahkan hampir menciprat ke mana-mana, membuat Darius dan Nadine melongo."Eh ... apa aku menakuti kalian?" Wajah Mikha yang bulat tampak malu untuk sesaat. Dia buru-buru menjelaskan, "Biasanya aku nggak seperti ini. Tapi kalau sudah marah, aku susah berhenti .... Ehem, ehem!"Dari
Nadine melihat ekspresi tak berdaya di wajah Arnold dan tak bisa menahan tawa."Ambil saja, Paman. Daging sapi bumbu buatan ayahku ini luar biasa enak, nggak semua orang bisa mencicipinya.""Kamu memanggilku apa?" Dia melangkah mendekat dan satu tangan bertumpu di dinding. "Hmm?"Nadine tak punya ruang untuk mundur lagi, hanya bisa menatapnya dengan wajah polos. "Aku cuma menyampaikan kata-kata ayahku, bukan aku yang mengatakannya.""Pak, lorong ini sempit. Kamu ... nggak mau mundur sedikit?"Arnold teringat bahwa dirinya masih sakit dan khawatir menularkannya pada Nadine. Dia menghela napas pelan, menarik kembali tangannya, lalu mundur ke samping.Nadine sekali lagi merasa kagum. Pria ini benar-benar mudah diajak bicara dan sangat gentleman.Arnold menerima daging sapi itu, sementara Nadine membawa sisanya kembali ke rumah. Dia lalu memotret dan mengirimkannya kepada Jeremy.Balasan segera masuk.[ Sudah kasih Arnold? ][ Sudah, sudah! Ayah, bukankah kamu terlalu baik padanya? ]Jerem
Nadine agak tertegun. "Untukku? Lalu, kamu ...."Arnold berkata, "Aku nggak kedinginan.""Terima kasih."Setibanya di ujung gang, Arnold meminta Nadine menunggu sebentar, lalu masuk ke minimarket di samping. Tak sampai satu menit, dia keluar dengan dua cangkir minuman di tangannya."Nah."Nadine menerimanya, lalu mencium aromanya dengan penasaran. "Apa ini?""Teh merah jahe."Nadine mengangkat alis. "Minimarket menjual ini?" Kenapa dia sama sekali tidak punya kesan tentang itu?"Menu musiman, baru saja tersedia.""Punyamu juga?"Arnold menggeleng. "Bukan, aku pesan teh gandum hitam."Nadine menggenggam cangkir kertas itu, telapak tangannya terasa hangat. Ditambah jaket yang masih menyelimutinya, seluruh tubuhnya seperti dipenuhi kehangatan. Bahkan, pipinya tampak agak merah.Setelah naik tangga, Nadine melepaskan jaket itu dan mengembalikannya kepada Arnold. "Terima kasih, selamat malam."Arnold tersenyum tipis. "Selamat malam."Keduanya pun masuk ke rumah masing-masing.Setelah mandi,
Arnold hari ini ada kelas. Saat jam istirahat, dia mendengar dua mahasiswa membicarakan bahwa ada laboratorium di Fakultas Ilmu Hayati yang diberikan surat perintah renovasi oleh dinas pemadam kebakaran.Awalnya dia tidak terlalu peduli, sampai tiba-tiba nama Nadine disebut dalam percakapan mereka. Begitu bertanya lebih lanjut, dia baru tahu bahwa laboratorium yang dimaksud adalah milik Nadine.Tanpa berpikir panjang, Arnold langsung menuju ke sana dan tiba tepat saat ketiga orang itu sedang berbicara."Pak." Nadine menyapanya, "Kenapa tiba-tiba ke sini? Silakan masuk."Mikha dan Darius juga segera menyapa.Arnold berkata, "Aku sudah tahu semuanya. Kalau renovasi pemadam kebakaran dilakukan sesuai prosedur, setidaknya akan memakan waktu 2 bulan. Untuk sementara, pakai saja laboratoriumku. Kalian bisa memindahkan semua peralatan ke sana, pasti muat."Kedengarannya memang solusi yang cukup baik .... Namun, Mikha dan Darius tidak langsung menyetujui. Mereka justru menatap Nadine untuk mem
"Siapa yang menyuruh kalian masuk? Laboratorium kami nggak menerima hewan berkaki dua. Kalau punya akal, cepat pergi sebelum kami bertindak.""Siapa yang kamu maki, hah?" Kaeso berang hingga wajahnya memerah.Darius menimpali dengan santai, "Siapa yang menanggapi, berarti dia yang kumaki. Lihat saja, langsung ada binatang yang merasa tersindir.""Kamu ...."Nella tersenyum sinis. "Apa yang kalian banggakan sih? Seluruh laboratorium nggak bermasalah, cuma laboratorium kalian yang harus direnovasi. Malu-maluin saja, tapi masih berani keras kepala!""Kudengar, perbaikan keamanan kebakaran bisa makan waktu berbulan-bulan. Kasihan, kalian jadi nggak bisa pakai laboratorium dalam waktu dekat. Apa hebatnya menerbitkan makalah di Science? Nyatanya tetap nggak dianggap penting oleh fakultas. Ngapain sok hebat?"Nadine tersenyum. "Sebenarnya aku malas bicara karena takut kamu nggak sanggup menerimanya. Tapi kalau dipikir lagi, bersikap baik pada binatang buas sama saja dengan menyiksa diri sendi
Diana menyilangkan tangan sambil menatap dari atas. "Laporan apa?""Jangan pura-pura bodoh! Inspeksi pemadam kebakaran di laboratorium lain nggak ada masalah, tapi cuma laboratorium Nadine yang diberi surat perintah perbaikan. Kamu berani bilang ini nggak ada hubungannya denganmu?"Diana tersenyum tipis. "Aku sibuk. Setiap hari harus mengurus laporan dan menulis jurnal, mana ada waktu untuk ribut dengan anak-anak kecil? Tapi ... kalau ada orang lain yang nggak suka dengan mereka, itu di luar kendaliku."Bagaimanapun, dia punya banyak mahasiswa. Kalau ada satu atau dua yang tidak suka dengan kelompok Nadine, itu hal yang wajar, 'kan?"Sekarang kamu semakin berani ya? Berani bertindak tanpa memberitahuku dulu. Kamu ini masih menganggapku sebagai atasanmu atau nggak?"Diana mengerutkan kening. "Kamu memanggilku cuma untuk ini? Sekarang kamu mau membela mahasiswa Freya? Heh, ini bukan gayamu."Konan tertawa dingin. "Kamu pikir trik murahanmu itu sangat cerdas? Dasar bodoh!""Inspeksi pemad
"Saat itu kami ada di laboratorium, bukannya nggak ada orang. Mesin itu cuma nggak digunakan sementara, jadi secara otomatis masuk ke mode siaga. Kami juga akan menggunakannya lagi nanti. Siapa yang akan kurang kerjaan memutus dayanya?" jelas Mikha dengan kesal.Nadine sudah memiliki dugaan di benaknya, tetapi masih perlu memastikannya. "Ayo, kita ke laboratorium seberang."Mikha bingung. "Kenapa kita melihat mereka? Itu 'kan laboratorium dari jurusan lain, nggak ada hubungannya dengan kita ...."Darius juga merasa ada sesuatu yang aneh dan segera mengikuti Nadine. "Kalau disuruh pergi ya pergi, kenapa banyak tanya?"Mikha termangu sesaat. 'Wah, nyalinya semakin besar saja ya!'Ketiganya tiba di laboratorium seberang. Benar saja, sudut ruangan dilengkapi dengan satu set lengkap peralatan pemadam kebakaran."Ini ...." Mikha melongo. "Padahal bulan lalu belum ada!"Mereka memeriksa beberapa laboratorium lain. Hasilnya sama, semua yang sebelumnya tidak memiliki peralatan kini sudah lengka
"Ada apa?" tanya Nadine.Keduanya langsung mendongak, seperti anak kecil yang akhirnya melihat orang tua mereka setelah mendapatkan perlakuan tidak adil.Mikha langsung berlari ke arahnya, matanya sudah memerah bahkan sebelum sempat bicara. Darius menyusul di belakang, ekspresinya jelas tegang dan tangannya juga terkepal erat.Nadine langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dia tetap tenang. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian duduk di luar dan nggak masuk?""Kak Nadine ...." Mikha berusaha menahan air matanya. Meskipun matanya sudah berkaca-kaca, dia tetap bersikeras untuk tidak membiarkannya jatuh. "Kami nggak bisa masuk lagi!""Apa maksudnya nggak bisa masuk lagi?" Nadine terkejut."Kemarin, tim inspeksi kampus dan pemadam kebakaran distrik tiba-tiba datang ke laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ...."Pemeriksaan kebakaran adalah prosedur rutin, jadi mereka berdua tidak berpikir terlalu banyak dan langsung membukakan pintu serta bekerja sama dengan baik.Siapa sangka,