Gina berucap dengan sungguh-sungguh, "Sebenarnya yang ingin kubilang sederhana saja. Sebagai wanita, kita nggak seharusnya mengambil jalan pintas ataupun melakukan sesuatu yang melanggar norma."Nadine mengangguk sebagai tanda setuju. "Memang benar begitu.""Kamu juga setuju, 'kan?" Ekspresi Gina tampak lega, seolah-olah Nadine masih tertolong."Tentu saja.""Baguslah. Aku bisa tenang kalau begitu." Gina mengangguk. "Sebaiknya vila itu dikembalikan. Mungkin butuh biaya penanganan, tapi setidaknya kamu bisa hidup tenang." Nadine termangu. Wajah Gina menjadi agak suram. Apakah nasihatnya ini tidak berguna? "Kenapa? Kamu nggak rela?"Nadine tersenyum dan akhirnya memahami tujuan kedatangan Gina. Dia menyahut, "Bibi, aku setuju dengan pemikiranmu. Wanita memang harus mengandalkan diri sendiri. Tapi ....""Aku nggak mengandalkan siapa pun kok. Jadi, aku anggap kamu cuma berbagi pengalaman denganku tadi. Aku sama sekali nggak tersinggung."Ucapan Nadine sudah sangat jelas. Siapa pun yang tid
Bahkan, dia bisa menanam sayur, memelihara ayam dan ikan! Keluarganya tidak akan kekurangan apa pun!"Eh? Mau pindah ya?" tanya Karen yang berdiri di halaman rumahnya sambil melipat lengan di depan dada. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.Jeremy tidak menghiraukannya dan hanya melanjutkan kesibukannya. Sementara itu, Irene yang berada di dalam rumah mendengar suara Karen. Dia awalnya hendak keluar, tetapi buru-buru mundur supaya tidak bertemu Karen.Karen mencebik. "Sombong sekali! Padahal, kalian pindah karena diusir olehku ...."...."Kak Karen, kamu pergi beli sayur ya?" Ketika Karen dalam perjalanan pulang dari pasar, dia bertemu teman yang cukup dekat dengannya."Ya, telur ayam. Harganya lebih murah kalau perginya agak siang." Karen mengangkat alisnya dengan bangga. Bukannya dia ingin membual, tetapi di antara semua orang yang tinggal di kompleks pengajar, tidak ada yang lebih pintar mengatur waktu selain dirinya."Kalau begitu, lain kali aku juga pergi siangan. Omong-omong k
Jeremy berkata, "Aku minta pendapat Irene dulu ya ....""Apa?" suara Vera terdengar agak kesal. "Memangnya ada masalah apa? Kamu kepala keluarga! Untuk apa menanyakan hal sesimpel ini pada istrimu? Memangnya kamu nggak bisa membuat keputusan sendiri?""Ibu, ini nggak ada hubungannya dengan kepala keluarga atau bukan. Bagaimanapun, aku tetap harus minta pendapat Irene. Ini baru menunjukkan aku menghargainya ....""Dasar nggak berguna! Terserah kamu deh! Nggak masalah juga kalau dia menolak! Pokoknya aku dan ayahmu bakal pergi besok!" Usai berbicara, Vera pun mengakhiri panggilan."Ada apa? Siapa yang telepon?" Irene melihat Jeremy menggaruk kepalanya setelah kembali dari halaman."Ibuku.""Apa yang dia bilang?""Katanya besok mau buat acara di sini. Soalnya besok festival lentera ....""Ide bagus!" Irene tersenyum. "Kalau begitu, undang kakak-kakakmu kemari! Gina juga!"....Keesokan pagi, begitu langit terang, Irene langsung pergi ke pasar. Pukul 4 sore, keluarga mulai berdatangan.Set
Chyntia menghela napas. Meskipun tidak menampakkan niat jahatnya, nada bicaranya jelas menyindir.Riana bertanya, "Sebenarnya Nadine kerja apa di ibu kota? Kerjaannya pasti hebat sekali, 'kan? Soalnya orang biasa nggak bakal bisa menghasilkan uang sebanyak itu."Nadine mengenyit. Irene menarik tangannya untuk memberi isyarat agar Nadine tidak perlu repot-repot. Serahkan saja semuanya kepadanya."Kak Riana, Kak Chyntia, nggak sehebat itu. Setelah tamat kuliah, Nadine memang nggak lanjut S2. Tapi, dia juga nggak nganggur. Dia pernah melakukan berbagai kerjaan untuk menghasilkan uang."Gina tersenyum dingin. "Bagus kalau uang itu hasil kerja kerasnya. Aku sih takutnya dia aneh-aneh di luar sana."Ekspresi Irene tetap terlihat tenang. "Terima kasih atas perhatianmu. Tapi, Nadine sudah besar. Dia pasti punya rencana ke depannya. Sebagai orang tua dan seniornya, kita cuma perlu mendukungnya."Chyntia mengangkat alis. "Rencana? Maksudmu, Nadine bakal kembali ke ibu kota untuk cari kerja atau
Orang-orang langsung menuju ke lantai dua. Mereka mengikuti sumber suara hingga akhirnya tiba di depan kamar Nadine.Terlihat Cecil duduk di lantai dengan dua tas di sampingnya. Ketika melihat keluarganya, dia langsung menangis dan mengentakkan kakinya."Cecil, ada apa? Jangan buat Ibu takut." Chyntia menghampiri dan berjongkok di sampingnya. "Ayo, berdiri dulu ....""Nggak mau! Nadine harus minta maaf padaku! Kalau nggak, aku nggak mau berdiri!"Nadine terkekeh-kekeh. "Ya sudah. Kamu mau duduk atau berbaring pun boleh.""Kamu ...."Tatapan Chyntia menjadi agak suram. "Kenapa harus minta maaf? Beri tahu Ibu, apa yang terjadi?""Ibu! Nadine menamparku ....""Apa?" Chyntia memelotot, lalu berbalik untuk menatap Nadine. "Kenapa kamu menamparnya?""Bibi, maaf sekali. Tadi aku dengar ada suara waktu kembali ke kamar. Kukira ada maling, makanya ....""Sebenarnya aku juga ingin tanya, kenapa Kak Cecil tiba-tiba muncul di kamarku? Bahkan, dia menggeledah barang-barangku." Sambil berbicara, Nad
Memangnya Nadine benar-benar mengira dirinya masih sama seperti Nadine yang dulu? Setelah lulus bertahun-tahun, masih ingin belajar lagi? Jangan mimpi! Setelah hasilnya keluar nanti, Nadine pasti akan malu!Riana berkata, "Setelah dengar perkataan Gina, aku jadi penasaran juga."Gina tersenyum tipis. "Ya, kita semua penasaran sekali. Nadine, kamu periksa sekarang dong? Biar kami semua ikutan lihat. Nggak usah merasa terbebani. Bagaimanapun hasilnya, baik nilainya tinggi maupun rendah, diterima atau nggak, semuanya nggak masalah."Irene melirik putrinya dan refleks ingin menolak. Namun, Nadine malah tersenyum dan berkata, "Baiklah."Sekelompok orang berkumpul di depan komputer. Nadine sebelumnya sudah memasukkan nomor ujian dan kata sandinya, sekarang dia hanya perlu menekan tombol "Enter" untuk melihat nilainya."Ayah, kamu saja yang periksa," katanya."Ah, aku?" balas Jeremy."Ya, bukankah waktu ujian masuk perguruan tinggi dulu, kamu juga yang bantu aku memeriksanya?""Baik." Jeremy
Nadine sempat khawatir akan melewatkan ulang tahun Irene. Namun, untungnya sehari sebelum hari H, buku itu tiba tepat waktu.Irene memegang buku itu dengan penuh kasih, "Kamu tahu dari mana aku sudah lama mencari set buku ini?""Ibu sudah bilang berkali-kali," Nadine mengangkat alis. "Rasanya mustahil kalau aku nggak tahu."Irene mendengus kecil, "Hmph, siapa suruh kamu lama sekali nggak pulang ke rumah .... Tapi tetap saja, terima kasih, Sayang. Aku suka sekali sama hadiah ini."Irene tersenyum hangat, lalu memberikan pelukan erat kepada Nadine. Tatapannya penuh kelembutan, dan tangannya perlahan membelai rambut putrinya. "Setahuku, dulu kamu selalu berambut panjang. Kenapa sekarang dipotong pendek?" tanya Irene.Nadine bersandar padanya, "Potong pendek nggak bagus ya?""Bagus. Bagaimanapun juga, anakku tetap cantik!" jawab Irene dengan tegas.Nadine tersenyum kecil, lalu memeluknya lebih erat. "Tes tertulis sudah lulus, sebentar lagi wawancara ya? Apa kamu harus kembali ke ibu kota?"
Bahkan Nadine sendiri pun belum memiliki gambaran yang jelas. Arnold menatapnya dengan sedikit senyuman, "Kamu sendiri bilang, gagal itu cuma 'kemungkinan kecil'. Aku lebih percaya pada kemungkinan besar yang akan terjadi."Nadine tersenyum, "Kalau begitu, aku terima doa baikmu."....Wawancara pascasarjana di Universitas Brata dijadwalkan pada awal Maret. Nadine memilih satu set pakaian formal, dipadukan dengan sepatu kulit hitam berhak rendah. Penampilannya sederhana dan konservatif. Meski tidak mencolok, penampilannya tetap formal.Sebelum keluar rumah, dia memikirkan sesuatu dan mengambil selembar syal sutra bermotif oranye-hijau. Dia mengikat syal itu di lehernya, memberikan sedikit sentuhan unik pada pakaian yang awalnya tampak biasa-biasa saja.Malam sebelumnya sempat turun hujan, sehingga jalanan basah dan angin terasa lembap. Di ruang tunggu, Nadine melihat banyak orang yang terus keluar masuk. Ada yang menghela napas berat, ada pula yang terlihat sangat gugup.Namun, Nadine t
Jeremy berucap, "Ngapain kamu tanya-tanya? Lagian, Nadine pasti nggak tahu urusan pribadi dia. Untuk apa tanya Nadine? Nanti tanya langsung ke Arnold saja."Irene malah mengangguk setuju. "Ya, nanti kalau ada kesempatan, aku tanya langsung ke dia.""Kamu ini ... malah anggap serius omonganku." Jeremy cukup terkejut.Irene memutar bola matanya. "Nad, ada gula batu nggak?""Ada, aku ambilkan." Nadine segera berdiri dan berjalan ke dapur.Melihat putrinya pergi, Irene baru berbicara pada Jeremy, "Nadine tinggal sendirian dan Arnold tetangganya. Mereka tetangga dan punya hubungan baik. Masa aku nggak boleh tanya?""Benar juga, istriku selalu berpikir dengan menyeluruh. Hehe ...."Irene memelotot. "Jangan mendekat. Nanti Nadine lihat gimana?""Ehem!" Jeremy langsung duduk tegak. "Ya sudah."Kamar sudah beres, bahkan Nadine mengganti ranjang baru untuk orang tuanya. Seprai dan selimut juga baru. Setelah dicuci bersih dan dikeringkan, semuanya baru dipasang."Kalian tidur siang saja dulu. Nan
Jeremy segera mengangguk. "Ya, ya, nanti kita ngobrol lagi."Arnold mengangguk ringan, lalu pergi. Setelah masuk, Nadine langsung meletakkan koper. Irene dan Jeremy mulai mengamati tempat tinggal putri mereka.Dua kamar tidur, satu ruang tamu. Tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil.Meskipun tata letak dan kondisi bangunan terlihat agak tua, dekorasi interiornya cukup bagus. Sofa, lemari, dan peralatan rumah tangga semuanya baru.Beberapa kerusakan yang tidak bisa diperbaiki ditutupi dengan pernak-pernik. Ada yang ditutupi, ada yang disembunyikan sehingga terlihat cukup rapi. Sekilas, ini tampak seperti apartemen kecil yang elegan dan hangat.Awalnya, ketika mereka melihat lorong tangga yang kotor dan berantakan, mereka sudah tidak menaruh harapan terhadap tempat tinggal putri mereka.Namun, setelah masuk, mereka baru menyadari bahwa pemikiran mereka sudah salah. Irene justru sangat puas.Bukan hanya karena Nadine berhasil mendekorasi rumah ini dengan begitu indah, tetapi juga k
Arnold segera menebak identitas mereka berdasarkan usia dan penampilan mereka. Sambil tersenyum, dia mendekat dan menyapa, "Selamat pagi, Paman, Bibi. Namaku Arnold, tetangga Nadine."Nadine segera bereaksi dan segera memperkenalkan mereka, "Ayah, Ibu, ini Profesor Arnold yang meminjamkan laboratorium kepadaku."Jeremy terkejut. "Ternyata profesor yang masih sangat muda, hebat sekali."Irene juga terkejut. Namun, dia segera bereaksi dan tersenyum. "Terima kasih atas perhatianmu kepada putri kami selama ini.""Sama-sama. Panggil saja namaku langsung," ucap Arnold."Eee ...." Jeremy menyadari sesuatu yang dipegang oleh Arnold. Itu adalah sebuah benda dengan sampul kertas cokelat, seperti buku, tetapi bukan buku.Arnold menjelaskan, "Ini adalah buku catatan kalender yang kupinjam dari Profesor Santo di Departemen Fisika Universitas Quar."Khawatir Jeremy tidak mengerti, Arnold menjelaskan lebih lanjut, "Buku catatan kalender adalah tradisi di Departemen Fisika Universitas Quar. Setiap pro
"Bukannya kamu lagi sibuk dengan makalahmu? Kalau kami datang, apa kamu nggak merasa terganggu?""Nggak, makalahku sudah selesai dan sudah dikumpulkan. Sekarang lagi nggak ada kerjaan.""Tapi, sekarang lagi musim panas, peringatan suhu tinggi di seluruh negeri. Apa nggak bahaya kalau keluar untuk liburan sekarang?"Irene sudah tidak tahan mendengar percakapan itu. Dia langsung menyela, "Jangan dengarkan omongan ayahmu. Di wajahnya jelas-jelas tertulis dia ingin sekali pergi."Jeremy berdeham. "Aku 'kan nggak bilang nggak mau pergi."Nadine tertawa. "Ya sudah, sekarang aku pesan tiket kereta cepat untuk kalian."Setelah menutup telepon, Nadine langsung buka aplikasi tiket dan pesan dua tiket bisnis.....Jeremy dan Irene terkejut saat menerima informasi tiket yang dikirimkan putrinya. Ternyata tiketnya untuk besok! Mereka langsung mulai berkemas."Anak ini ada-ada saja. Cuma beberapa jam perjalanan, tapi sampai pesan tiket bisnis. Ini namanya buang-buang uang ...." Jeremy mengomel sambi
Karen yang begitu galak tidak mungkin menerima kerugian seperti itu. Hari itu juga, dia langsung pergi ke kantor agen properti itu, menuntut agar agen muda itu keluar.Namun, penanggung jawab memberitahukan bahwa agen itu sudah mengundurkan diri tiga hari yang lalu.Karena tidak punya cara lain, Karen datang ke kantor dan membuat keributan setiap hari, bahkan mengajak kerabat dan teman-temannya membawa spanduk di luar. Dengar-dengar, kejadian ini sangat heboh.Manajer tidak bisa berbuat apa-apa, jadi akhirnya memberi tahu Karen alamat tempat tinggal Devin. Karen mengikuti petunjuk itu dan datang ke rumahnya.Namun, Devin sama sekali tidak merasa bersalah dan berkata dengan percaya diri, "Ngapain kamu ribut? Lagian, rumahmu sudah kubeli. Uangnya sudah kubayar dan sekarang namaku yang tertera di sertifikat kepemilikan. Ribut juga nggak ada gunanya."Karen duduk di depan pintu rumahnya dan menangis kencang, menggunakan semua trik yang dia kuasai.Devin juga orang yang keras kepala. Ketika
Nadine lantas mengangkat ujung terusannya dan lebih berhati-hati kali ini.Orang-orang tidak menganggap serius insiden kecil tadi. Perhatian mereka lebih terfokus pada Nadine terluka atau tidak.Calvin langsung mengulurkan tangannya. "Nadine, kupinjamkan tanganku. Ada ototnya lho! Aku jamin kamu nggak akan jatuh."Hanya Olive yang memandang pinggang Nadine, seolah-olah ingin menembusnya dengan tatapannya.Saat makan, Wilfred memperhatikan bahwa Olive hanya makan sedikit. Dia khawatir Olive merasa tidak enak badan, jadi bertanya, "Kenapa hari ini makan sedikit sekali? Maagmu kambuh lagi?"Olive sering melewatkan waktu makan dan Wilfred sudah terbiasa mengingatkannya."Makanan hari ini nggak pedas atau berminyak kok. Bagus untuk pencernaan. Nah, ini makanan favoritmu ....""Bisa diam nggak sih?" Olive mendorong tangan Wilfred. "Aku cuma nggak mau makan saja. Kenapa kamu cerewet sekali? Apa aku nggak boleh memutuskan sendiri mau makan atau nggak?"Tangan Wilfred yang sedang mengambil maka
"Duduklah. Jangan terlalu sungkan, aku nggak terbiasa," ucap Arnold.Nadine pun tertawa dan akhirnya duduk.Arnold berkata, "Aku suka masakanmu, traktiranmu ini adalah ucapan terima kasih terbaik."Setelah itu, Arnold mengangkat mangkuk sup dan membenturkannya dengan ringan ke mangkuk Nadine.Kemudian, Arnold mengambil sepotong sayap ayam yang digoreng hingga keemasan. Kulitnya renyah dengan tepi yang sedikit terbakar dan bagian dalamnya yang berair. Perpaduan ini begitu seimbang dan rasanya sangat kaya."Di luar sana, belum tentu ada sayap ayam seenak ini."Nadine tertawa karena merasa lucu. "Kalau begitu, kamu habiskan saja semua sayap ayamnya."Arnold mengangkat alis dan senyumannya semakin lebar. "Bukan masalah."Makan siang selesai. Sekarang sudah pukul 2 siang. Mereka sama-sama membereskan dapur dan keluar.Arnold akan pergi ke laboratorium, sementara Nadine pergi ke perpustakaan. Karena sejalan, mereka pun berangkat bersama.Sesampainya di persimpangan jalan, Arnold berbelok ke
Nadine tertawa sambil bercanda, "Jangan, jangan. Masa tamu disuruh kerja?""Tamu bilang dia sangat senang bisa membantu."Berkat bantuan Arnold, pekerjaan menjadi lebih cepat selesai.Setelah semua beres, Nadine mengangkat ikan kakap dari air jahe daun bawang, lalu meletakkannya di piring dan mengeringkannya dengan tisu dapur. Kemudian, dia mengoleskan minyak goreng di permukaannya untuk mengunci kesegaran.Pekerjaan Arnold sudah beres Dia hanya bisa berdiri di samping dan menonton. "Perlu bantuan?""Bisa tolong ambilkan kukusan di atas sana?""Oke."Arnold bertubuh tinggi, jadi bisa meraihnya dengan mudah. Hanya saja, kukusan digantung agak tinggi tepat di atas kepala Nadine. Artinya, jika Arnold ingin mengambilnya, dia harus berdiri di belakang Nadine.Begitu Arnold menjulurkan tangan, dia merasa dirinya seperti memeluk Nadine. Untungnya, prosesnya sangat cepat sehingga tidak ada rasa canggung meskipun jarak mereka sangat dekat."Kemarikan kukusannya." Nadine mengulurkan tangannya.A
Nadine yang sekarang sangat tenang, tidak seperti saat baru-baru putus. Dulu dia sering teringat pada Reagan dan mudah terbawa emosi olehnya.Waktu adalah obat yang ampuh. Luka yang dalam sekalipun bisa sembuh. Kini, Nadine sudah melepaskan semuanya.Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang disebabkan oleh Reagan pun perlahan-lahan memudar hingga akhirnya terlupakan."Ada urusan apa?" tanya Nadine."Apa kita bisa ngobrol di tempat lain?""Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.""Nad ....""Apa yang kubilang salah?"Reagan merasa agak frustrasi. Dia melirik Arnold. Orang-orang yang peka pasti tahu mereka harus menjauh untuk sekarang. Namun, Arnold tetap diam di tempatnya tanpa peduli dengan tatapan Reagan yang memberinya isyarat.Mengingat Reagan yang selalu berbuat nekat, Nadine sama sekali tidak berani berduaan dengannya."Kalau nggak ada yang penting, kami pergi dulu," ucap Nadine menatap Arnold. Arnold mengangguk ringan."Kalian berdua? Lalu gimana denganku?" Wa