Lupakan Bella!"Kakakmu?" tanya Bella saat melihat mobil Adip."Sudah, masuklah!" seruku membuka pintu belakang mobil dan membimbing Bella untuk masuk. Aku tidak akan membiarkan Adip menyentuh Bella sedikitpun, bahkan aku tidak akan membiarkannya menemui Bella.Setelahnya menutup pintu belakang, aku mengetuk pintu bagian depan dan Meta langsung membuka kaca. "Met, antar Bela pulang. Saya akan menyusul nanti.""Tapi, Pak ....""Sudah, lakukan saja," selaku."Baik, Pak.""Bi," panggil Bella saat aku hendak meninggalkan mobil.Akupun kembali membungkukkan badan dan melihat ke arah Bella yang sedang duduk di belakang."Kenapa, Bell?" tanyaku."Aku ... akan menunggumu di rumah, berjanjilah kalau kamu akan baik-baik saja," ucapnya ragu namun terlihat tulus. Aku tak menjawab, hanya mengangguk pelan."Hati-hati, Met!" usirku halus, aku tak mau Bella berlama-lama disini Karena Adip sudah terlihat keluar dari mobil dan menuju kemari.Meta menyalakan mesin dan melajukan mobil dengan cepat, sepert
Aku tersenyum geli mendengar ucapannya. Bagaiman mungkin orang seperti dia bisa punya rasa cinta."Ha ha ha ... kamu mau asetku yang mana, Dip?" tanyaku tanpa basa-basi."Aku serius, aku sudah bertemu dengannya di Cafe, sekitar dua tahun yang lalu."Deg ... Jadi, benar mereka sudah bertemu sebelumnya? Dan wajah Adip? Wajah yang kulihat saat ini berbeda dengan Adip sebelumnya. Sebadung-badungnya Adip, aku belum pernah mendengar atau melihat dia dengan wanita. Bisa dibilang kalau masalah wanita, akulah yang lebih banyak menimbulkan asumsi dan gosip."Sudah ku bilang, Bella milikku yang tidak bisa aku berikan padamu. Lupakan Bella!" Kutinggalkan Adip, ia mematung, dan tak melawan sedikitpun. Terlihat aneh memang, Namun itulah kenyataannya."Kita akan bersaing sehat, Bi, untuk masalah ini," teriaknya, kuhentikan sejenak langkahku."Nggak perlu, Dip. Aku dan Bella sudah mengurus persyaratan rujuk. Jadi, lebih baik kamu mencari wanita lain!" jawabku tanpa menoleh."Tapi, semua akan berubah
POV BELLARasa tak rela menyeruak saat Abi berkata akan menetap dan tinggal di Luar negeri. Mungkin ragaku mengijinkan, namun hatiku sebaliknya. Perang batin pun ku alami, hingga akhirnya, hatikulah pemenangnya. Setelah aku menelisik lebih dalam lagi, aku baru menyadari bahwa, cinta itu ada, hanya saja aku enggan mengakuinya karena aku telah dibutakan oleh kebencian pada Abi yang justru menyiksa diriku sendiri.Aku tak mau kehilangan, aku tak mau lagi kejadian yang terjadi terhadapku dan Kak Raka kembali terulang. Aku yang tidak pernah berani mengungkapkan perasaan, akhirnya jatuh dalam ketidak pastian.Malam ini aku putuskan untuk mencobanya lagi. Meski akan sulit namun aku akan berusaha. Abi, tidak ada yang bertanggung jawab padaku sebesar tanggung jawab Abi terhadapku. Dia mampu berkata untuk aku segera menikah dengan Kak Raka demi tanggung jawabnya padaku. Aku tahu kala mengatakan itu hatinya menangis meski raganya terlihat kuat. Rasa ini aku sadari saat Abi meninggalkanku di
POV ABIAmarahku membuncah saat kulihat Bella mengerjakan sesuatu yang kurasa itu bukan bagian dari tugasnya sebagai seorang editor majalah. Rambut semrawut dan barang yang cukup berat bagi seorang wanita, dibawanya sendiri, tanpa ada yang membantu.Melihat ketidak adilan yang terjadi di kantor ini membuat kesabaranku habis. Dari mulai satpam yang berulah, pun tidak ramah dan sekarang Bella, calon istriku sendiri diperlakukan dengan tidak wajar. Kuputuskan untuk mengadakan rapat dadakan. Perombakan sangat diperlukan jika tidak ingin jatuh bangkrut.Semua terlihat sudah berkumpul di ruanganku. Kami duduk di sofa yang ada di dalam ruangan. Mereka cukup pintar dalam mengambil hatiku. Ruangan yang diberikan kepadaku cukup luas dan lengkap."Kalian tau siapa saya?" tanyaku sebelum masuk ke pokok masalah."Kami tau, Bapak adalah Pak Abimana, penanam modal terbesar sekaligus pemegang saham lebih dari 50%," jawab seseorang padaku."Di perusahaan ini ada, kan? Job Desc? Dari saya pertama kesi
Siapakah Anwar?"Apa ... apa maksudmu, Bi?" tanya Bella dengan nada suara yang masih seperti biasanya dan sedikit tersenyum, mungkin dia mengira bahwa aku sedang mengerjai dirinya seperti biasa."Sayang, maaf ... maaf kalau aku baru mengatakannya sekarang.""Kamu jangan bercanda, Bi." "Aku serius, Bell." Bella mulai menarik tangannya dari genggamanku. Dan jantungku mulai berdegup, rasa takut akan kehilangan kembali menyeruak saat melihat respon Bella untuk pertama kalinya."Maaf ya, Sayang ...." Ucapku masih dengan suara pelan, menatapnya yang kini mulai enggan menatapku namun tampak tersenyum kecut. "Sayang ....""Siapa yang tega melakukan itu, Bi?" ucap Bella dengan suara yang mulai bergetar."Apa salah Papaku? Kenapa dia tega melakukan itu, Abi!" sambungnya lagi, mecengkeram jasku dan menggoncang kasar tubuhku."Bell, awalnya aku mengira itu adalah rekan Bisnisku namun nyatanya aku salah.""Lalu, kenapa kamu merahasiakannya dariku? Aku anaknya! kenapa, Bi?" katanya meninggikan su
POV BELLAKenyataan memang pahit namun harus dihadapi tidak bisa dihindari. Pak Anwar, aku tahu siapa dia. Dialah penyebab traumaku dalam gelap, dia adalah sahabat Papaku, dulu, sebelum semua berubah karena sebuah konflik yang rumit.Ingin marah pada Abi, namun apa gunanya. Marah tidak akan mengembalikan Papa. Justru akan memperburuk hubunganku dengan Abi. Sekarang aku harus bisa bersikap lebih dewasa, menilai semua tidak berdasarkan egoku sendiri, aku harus belajar lebih bijaksana. Mungkin Papa memang pergi dengan cara yang berbeda namun bukan berarti Papa akan masih bersamaku saat ini, kan? Karena umur sudah ditetapkan olehNya. Entah bagaimana dan dengan jalan seperti apa. Kita tidak bisa menambah atau menguranginya.Sesaat aku merasa melambung saat Abi menceritakan setiap detail perasaannya padaku, namun hatiku tetap merasa sakit, saat nama Tari disebut kembali. Suara kenikmatan itu terus menghantuiku."Bi, aku masih sakit, saat ingat kamu dan Tari melakukannya ...."celetukku."
AisyahSelang beberapa menit setelah kepergian Abi bersama wanita yang cukup menarik itu, Kak Raka menepuk pundakku pelan, membuatku tersadar."Bella," sapanya."Eh, iya. Kenapa, Kak?""Maaf, ya, yang tadi. Pak Abi benar, seharusnya aku yang mengerjakan pekerjaan tadi." Ia berkata dengan wajah penuh penyesalan."Oh, nggak papa, Kak. Lagian juga masalah sudah selesai.""Ngomong-ngomong semalam kamu kenapa tiba-tiba nggak ada Aku cariin?" tanyanya. Aku heran dengan Kak Raka ini, setiap aku menjauh dia mendekat, sedangkan setiap aku mendekat dia menjauh, sudah seperti tarik ulur aku dibuatnya."Oh, aku ada urusan mendadak," jawabku."Urusan? Urusan apa?" tanyanya menyelidik."Masa depan. Ya udah aku kerja dulu, ya."Kutinggalkan Kak Raka dan kembali ke mejaku. Bersikap sewajarnya teman akan lebih baik daripada bersikap teman tapi dekat tapi tak dianggap. Jam pulang kerjapun tiba, aku segera berbenah karena aku harus ke Jakarta malam ini, kulihat Mbak Mei dan Selly mengeluarkan sesuatu
Begitu tak sabarnya aku membuatku harus mengirim pesan, bahkan sebelum Abi masuk ke dalam hotel. Ia tampak celingukan, mungkin mencari mobil kami namun tak lama ia bergegas masuk. Abi datang setelah beberapa menit lalu masuk ke dalam. "Maaf, Bell. Agak malam," ucapnya begitu masuk bahkan sebelum menutup pintu."Masyaallah, Bell!" sentaknya begitu menoleh ke arahku."Eh, Bell. Apaan pake beginian. Baju kamu kemana? Eh, ada Pak Wawan loh, Bell. Yang sopan kamu!" omelnya, begitu melihat penampilanku."Kan kamu sukanya sama yang seksi-seksi, Bi," sindirku."Jangan ngawur kamu, Bell! Jangan mengada-ada, udah ganti sana, perjalanan kita jauh, loh, dingin lagi. Masuk angin tau." tegasnya. Aku memang sengaja memakai pakaian yang sedikit minim bahan, aku ingin tahu responnya setelah apa yang dilakukan bersama wanita itu."Ganti, buru!" perintahnya penuh penegasan."Ganti dimana?" keluhku."Di mobil, matiin lampunya. Aku tunggu di luar sama Pak Wawan. Aneh-aneh aja, sih. Bella!" Bukan diliha