POV ABIAmarahku membuncah saat kulihat Bella mengerjakan sesuatu yang kurasa itu bukan bagian dari tugasnya sebagai seorang editor majalah. Rambut semrawut dan barang yang cukup berat bagi seorang wanita, dibawanya sendiri, tanpa ada yang membantu.Melihat ketidak adilan yang terjadi di kantor ini membuat kesabaranku habis. Dari mulai satpam yang berulah, pun tidak ramah dan sekarang Bella, calon istriku sendiri diperlakukan dengan tidak wajar. Kuputuskan untuk mengadakan rapat dadakan. Perombakan sangat diperlukan jika tidak ingin jatuh bangkrut.Semua terlihat sudah berkumpul di ruanganku. Kami duduk di sofa yang ada di dalam ruangan. Mereka cukup pintar dalam mengambil hatiku. Ruangan yang diberikan kepadaku cukup luas dan lengkap."Kalian tau siapa saya?" tanyaku sebelum masuk ke pokok masalah."Kami tau, Bapak adalah Pak Abimana, penanam modal terbesar sekaligus pemegang saham lebih dari 50%," jawab seseorang padaku."Di perusahaan ini ada, kan? Job Desc? Dari saya pertama kesi
Siapakah Anwar?"Apa ... apa maksudmu, Bi?" tanya Bella dengan nada suara yang masih seperti biasanya dan sedikit tersenyum, mungkin dia mengira bahwa aku sedang mengerjai dirinya seperti biasa."Sayang, maaf ... maaf kalau aku baru mengatakannya sekarang.""Kamu jangan bercanda, Bi." "Aku serius, Bell." Bella mulai menarik tangannya dari genggamanku. Dan jantungku mulai berdegup, rasa takut akan kehilangan kembali menyeruak saat melihat respon Bella untuk pertama kalinya."Maaf ya, Sayang ...." Ucapku masih dengan suara pelan, menatapnya yang kini mulai enggan menatapku namun tampak tersenyum kecut. "Sayang ....""Siapa yang tega melakukan itu, Bi?" ucap Bella dengan suara yang mulai bergetar."Apa salah Papaku? Kenapa dia tega melakukan itu, Abi!" sambungnya lagi, mecengkeram jasku dan menggoncang kasar tubuhku."Bell, awalnya aku mengira itu adalah rekan Bisnisku namun nyatanya aku salah.""Lalu, kenapa kamu merahasiakannya dariku? Aku anaknya! kenapa, Bi?" katanya meninggikan su
POV BELLAKenyataan memang pahit namun harus dihadapi tidak bisa dihindari. Pak Anwar, aku tahu siapa dia. Dialah penyebab traumaku dalam gelap, dia adalah sahabat Papaku, dulu, sebelum semua berubah karena sebuah konflik yang rumit.Ingin marah pada Abi, namun apa gunanya. Marah tidak akan mengembalikan Papa. Justru akan memperburuk hubunganku dengan Abi. Sekarang aku harus bisa bersikap lebih dewasa, menilai semua tidak berdasarkan egoku sendiri, aku harus belajar lebih bijaksana. Mungkin Papa memang pergi dengan cara yang berbeda namun bukan berarti Papa akan masih bersamaku saat ini, kan? Karena umur sudah ditetapkan olehNya. Entah bagaimana dan dengan jalan seperti apa. Kita tidak bisa menambah atau menguranginya.Sesaat aku merasa melambung saat Abi menceritakan setiap detail perasaannya padaku, namun hatiku tetap merasa sakit, saat nama Tari disebut kembali. Suara kenikmatan itu terus menghantuiku."Bi, aku masih sakit, saat ingat kamu dan Tari melakukannya ...."celetukku."
AisyahSelang beberapa menit setelah kepergian Abi bersama wanita yang cukup menarik itu, Kak Raka menepuk pundakku pelan, membuatku tersadar."Bella," sapanya."Eh, iya. Kenapa, Kak?""Maaf, ya, yang tadi. Pak Abi benar, seharusnya aku yang mengerjakan pekerjaan tadi." Ia berkata dengan wajah penuh penyesalan."Oh, nggak papa, Kak. Lagian juga masalah sudah selesai.""Ngomong-ngomong semalam kamu kenapa tiba-tiba nggak ada Aku cariin?" tanyanya. Aku heran dengan Kak Raka ini, setiap aku menjauh dia mendekat, sedangkan setiap aku mendekat dia menjauh, sudah seperti tarik ulur aku dibuatnya."Oh, aku ada urusan mendadak," jawabku."Urusan? Urusan apa?" tanyanya menyelidik."Masa depan. Ya udah aku kerja dulu, ya."Kutinggalkan Kak Raka dan kembali ke mejaku. Bersikap sewajarnya teman akan lebih baik daripada bersikap teman tapi dekat tapi tak dianggap. Jam pulang kerjapun tiba, aku segera berbenah karena aku harus ke Jakarta malam ini, kulihat Mbak Mei dan Selly mengeluarkan sesuatu
Begitu tak sabarnya aku membuatku harus mengirim pesan, bahkan sebelum Abi masuk ke dalam hotel. Ia tampak celingukan, mungkin mencari mobil kami namun tak lama ia bergegas masuk. Abi datang setelah beberapa menit lalu masuk ke dalam. "Maaf, Bell. Agak malam," ucapnya begitu masuk bahkan sebelum menutup pintu."Masyaallah, Bell!" sentaknya begitu menoleh ke arahku."Eh, Bell. Apaan pake beginian. Baju kamu kemana? Eh, ada Pak Wawan loh, Bell. Yang sopan kamu!" omelnya, begitu melihat penampilanku."Kan kamu sukanya sama yang seksi-seksi, Bi," sindirku."Jangan ngawur kamu, Bell! Jangan mengada-ada, udah ganti sana, perjalanan kita jauh, loh, dingin lagi. Masuk angin tau." tegasnya. Aku memang sengaja memakai pakaian yang sedikit minim bahan, aku ingin tahu responnya setelah apa yang dilakukan bersama wanita itu."Ganti, buru!" perintahnya penuh penegasan."Ganti dimana?" keluhku."Di mobil, matiin lampunya. Aku tunggu di luar sama Pak Wawan. Aneh-aneh aja, sih. Bella!" Bukan diliha
Ancaman AnwarPOV ABICemburu itu tanda cinta. Bella, meski tak mau mengakuinya namun secara tidak langsung dia sudah mengalami itu. Melihatnya seperti itu membuatku semakin cinta, sangat menggemaskan."Siapa? Aisyah?" tanya Bella saat aku mengirim pesan untuk Meta. Ya,aku menyuruhnya untuk menjemput Kyai Khalil dan juga Aisyah besok. Kyai Khalil mengatakan bahwa, akan ada acara di salah satu Pondok Pesantren yang ada di Jakarta besok, dan akan singgah ke rumah pada hari minggunya. Bukan masalah bagiku jika Kyai Khalil datang ke rumah justru aku senang. Namun, yang menjadi masalah adalah Aisyah. Apa Aisyah sudah tidak mengharapkan aku atau masih mengharapkan aku? aku sendiri tidak tahu. Pikiranku bertambah karena mereka datang bersamaan dengan kedatangan Bella di Jakarta. Semoga saja, kedatangan Aisyah tidak mengganggu hubunganku dengan Bella. "Aisyah? Anaknya Kyai Khalil. Kyai di Pesantren yang pernah aku tinggali selama hampir dua tahun, Bell," jawabku apa adanya."Lama sekali, y
POV BELLAAku menggeliat setelah tercium aroma wangi memanjakan hidungku. "Bella, bangun, Bell." Suara lembut yang terdengar membangunkanku membuat aku terperanjat. "Papa,"Aku beringsut dari posisi tidurku."Ini aku, Bell. Abi.""Oh, Abi.""Kamu kangen Papa, Bell?" tanya Abi, aku mengangguk pelan, sejak kepergianku dari rumah ini, aku bahkan tidak berani walau hanya sekedar menyambangi makam Papa."Kamu mau ke makam?" Kembali, kuanggukkan kepalaku kali ini dengan cepat."Ya sudah kamu sarapan dulu, setelah itu ke makam dan ketemu Pak Anwar. Aku tunggu di luar, ya." ucap Abi yang semakin hari membuatku merasa semakin nyaman oleh perlakuan dan perkataannya.Setelah Abi pergi, aku pun beranjak dari tempat tidur. Kuukir senyum saat kulihat kamar yang sudah lama aku tinggalkan masih terlihat sama. Barang yang aku tinggalkan juga masih ada. "Mas Abi melarang saya untuk membuang barang-barang Mbak Bell meski Papanya menyuruh saya membuangnya." Tiba-tiba Asri datang tanpa aku sadari."Asr
"Menikah? Kamu kira nikah itu gampang, ngomong terus berangkat?" protesku.Ia mengangguk cepat. "Gampang, mau, kan?" ucapnya lagi."Kayak kena grebek warga pas berzina aja, nih, Si Abi, nih! Sukanya dadakan mulu, nggak mau modal!" celetukku tak terima, menikah dengan balutan kebaya modern nan indah,pelaminan yang berhiaskan bunga-bunga hanya akan menjadi angan jika aku menuruti kata Abi."Nggak modal gimana? Lah, emang kamu mau mahar berapa? Aku bakal berusaha menuruti, kok, berapa, Bell?" tanyanya tak sabar."Bukan ... bukan masalah mahar, Abi." "Terus?""Dasar, Abi! nggak peka, nggak romantis! Kalau aja nggak ganteng, udah tak, hih, kali!" batinku berucap, tanganku meremas."Ah, sudahlah, Bi. Terserah kamu aja!""Oke.""Oke?oke, Gimana?""Oke, nikah, dong. Kamu bilang terserah aku."Aku tersenyum paksa, rasa tak percaya seakan ada ... saja saat aku bersama Abimana. Mungkin yang bisa aku katakan sekarang hanyalah, orang pintar selalu berpikir sesuai logika bukan perasaan, dan Abiman