"Iya, dong, kan—" ucapannya terhenti.
"Kan, aku udah lama kenal sama Mbak Mel," sambungnya."Ngomong-ngomong, kamu nggak punya pacar, Lan? Mbak gak pernah liat kamu bawa teman perempuan ke rumah kaya temen-temen kamu," tanya Melly."Aku enggak punya pacar, Mba. Aku, tuh, naksir sama perempuan udah sekitar kurang lebih lima tahunan yang lalu, tapi dia udah punya pasangan." Dengan tatapan mata yang serius, Dilan mulai bercerita."Oh, ya? Kok, bisa selama itu? Mbak mau tau dia orangnya kaya gimana sampai kamu gak bisa berpaling ke yang lain?""Aku suka banget sama dia, Mbak. Dia itu ceria, selalu tersenyum, dewasa, dan pekerja keras. Yang pasti sholeha juga. Yaah … kaya Mbak Mel ajalah.""Kamu ngapain aja selama itu? Kejar, doong! Gercep langsung kamu lamar aja biar gak ditarik sama cowok lain," seru Melly antusias setelah menghabiskan baksonya."Gitu, ya, Mbak ...," jawab Dilan dengan mata yang menerawang ke sana kemari."Maaf, Mi. Alan gak bi—"Tiba-tiba Rosa tersungkur ke lantai dan tak sadarkan diri.Roby yang ada di dekatnya terkejut dan bergegas bangkit dari kursi, lalu memegangi Lian yang berteriak histeris. Alan pun ikut turun dari kursi menghampiri maminya, lantas menyangga kepala dengan lengan kirinya. Lengan kanannya meraih kedua kaki maminya, kemudian mengangkat dan memindahkannya ke sofa."Hhh ... Harusnya dapet piala aktris terbaik, tuh," decak Melly sembari menggeleng-gelengkan kepala tanpa berpindah dari tempatnya makan. Ia kembali fokus makan dan menyuapi Alea sambil menikmati drama yang ada di hadapannya."Mi, mami banguun, Mii …!" Suara Lian pura-pura khawatir. Ia menepuk-nepuk pelan pipi maminya."Tuh, kaan, Laan! Kamu, sih, nolak permintaan Mami. Kamu gimana, sih! Jadi anak lelaki paling besar harusnya patuh sama Mami! Kalau gak bisa bahagiain Mami, minimal kamu nurutin kemauan Mami!" ujar Lian menegurnya dengan mimik wajah pura-pura k
Melly berjalan mendekati meja Siska, lalu menggebrak keras meja hingga Siska terlonjak dan menutup mata karena begitu terkejut.“Emang ini perusahaan punya bapak kamu jadi bisa datang sesukamu, duduk di ruangan luas ber-AC, santai-santai main Hp?! Iya! Bukannya kerja!”Siska melirik ke arah Linda berharap diberi tahu siapa wanita yang sedang memarahinya itu."Siska, beliau adalah Vice President Melby Corporation." Linda menjelaskan dengan tegas.Siska tersentak. “Vi-vice Pre-president?” Setelah tergagap, ia segera berdiri menghampiri Melly lantas membungkuk berkali-kali sebagai permintaan maaf."Ma-maaf, saya tidak akan mengulanginya.”"Apa kamu masih ingin ingin bekerja di sini!""I-iya, Bu. Sa-saya butuh pekerjaan ini."Butuh? Kenapa butuh pekerjaan receh ini? Bukannya keluarga dia sudah kaya? Pekerjaan dia sebelumnya pun cukup bagus, pikir Melly."Kalau begitu tunjukkan kinerja terbaikmu! Kalau sampa
Seminggu lagi, ya, Mbak, kita harus angkat kaki dari sini? Ehm, maaf maksudnya Mbak dan keluarga yang angkat kaki dari sini!" Melly hanya tersenyum dan itu membuat Lian bingung."Apa maksud kamu!""Karena Mbak yang bakal angkat kaki dari sini, jadi silakan cari rumah lain untuk Mbak tinggalin nanti!""Kurang ajar kamu. Aku enggak akan pernah pergi dari rumah ini. Ini adalah rumah adikku dan kamu gak ada hak di sini! Yang ada kamu angkat kaki dan siap-siap buat pisah sama Alan!" tukas Lian terpancing emosi.Melly melihat Bi Sum yang berlari menghampiri dan akan membantu majikannya itu, tetapi Melly memberi kode dengan lambaian tangannya agar jangan mendekat.Melly melirik ke lengan Lian yang masih menyentuh lehernya. Kemudian, merengkuh lengan dan mendorong tubuh Lian hingga tersungkur ke lantai."Kalau aku gak ada hak, lantas apa hak Mbak di sini? Sadar diri, ya, Mbak. Mbak itu punya suami yang masih sehat dan bekerja. Harusnya M
"Siapa kamu!" tanya Dilan ketika melihat pria bermasker dan bertopi yang sudah menghajarnya itu.Pria itu pun membuka masker dan topinya agar terlihat jelas."M-mas Bima?" Dilan mundur selangkah dari tempatnya tersungkur.Melly gegas bersembunyi di balik tubuh atletis kakak kandungnya. Ia pun kaget sekaligus bersyukur ada yang menyelamatkannya sebelum terlambat."Kamu sudah gila!" hardik Bima."Kenapa berani kurang ajar dengan iparmu sendiri!" tegasnya membentak Dilan yang tertunduk memegangi sudut bibirnya yang terluka."Ada apa ini!" suara Lian yang tiba-tiba muncul dari ruang tamu."Ooh, kalian beraninya keroyokan! Dilan kemari!" perintah Lian. "Aku laporin kalian ke Mami karena mengeroyok Dilan. Dasar! Keluarga gak berpendidikan gini, nih!" serangnya."Dasar Keluarga Gak Berakhlak!" gumam Melly.Bima melangkah pelan mendekati Lian. "Kamu itu gak tahu masalahnya, jadi tutup mulutmu!”"Aku li
"Ya, udah. Aku tambahin uang belanja kamu, tapi ... kamu pulang, ya?" Alan merajuk."Baik, tapi ada syaratnya." "Apa syaratnya?""Segera aku kasih tau syaratnya. Oh, ya. Besok pagi tolong antarkan aku ke undangan. Nanti aku kirim alamat tempatku jadi ART sekarang.""Iya, Yang."'Baiklah semua sudah siap, undangan sudah disampaikan ke Mami dan Lian melalui Siska. Persiapan sudah diatur Event Organizer ternama. Juga konsumsi sudah dipesan untuk jumlah tamu kurang lebih dua ribu orang.'***Pukul enam pagi Melly dan keluarganya sudah bersiap pergi untuk acara perayaan puncak Melby Corporation. Keluarga Melly diantar oleh Pak Cahyadi yang baru saja selesai membersihkan mobilnya. Tinggal Melly yang sedang menunggu dijemput suaminya.Melly berdandan yang beda dari biasanya. Ia memakai gamis berwarna peach berlapis tille asymetrys dengan aksen payet di area dada, model lengannya balon, kepalanya ditutupi pasmina polos
"Baiklah, tidak perlu berlama-lama lagi. Untuk menyampaikan sambutan dan mengesahkan pembukaan kita panggilkan saja beliau—“Lampu sorot diputar-putar, degup jantung Melly sudah berloncatan ke sana kemari karena pertama kalinya ia akan tampil di hadapan sekian banyak orang. Ia berulang kali menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan."Ini dia … CEO … dari Melby Corporation … Mellyyy Saaabiraaa." Semua lampu dan mata tersorot padanya, riuh penonton pun bertepuk tangan.Alan terkesiap saat mendengar nama yang sangat dikenalnya disebut-sebut serta lampu tertuju pada wanita di sampingnya. Ia memegang pergelangan tangan Melly saat berdiri. "Yaang?"Melly melepas tangannya, kemudian berjalan ke atas panggung. Ia melirik sekilas dengan senyuman dan tatapan tajam ke arah meja Siska dengan penuh kemenangan.Lampu sorot mengikuti langkah Melly sampai atas panggung, kemudian semua lampu dinyalakan sampai seisi gedung terang benderang. Se
"Ini rumah siapa, Pi, kok Melly ngajak kita ke sini? Apa relasi kenalannya atau partner kerjanya?" tanya Mami mertua pada suaminya yang sedang memarkirkan mobil.Hakim hanya tersenyum berbinar, sepertinya ia memiliki prasangka yang benar. "Masuk aja dulu, Mi, nanti juga kita tahu," ujarnya."Wow ...." Begitu ekspresi Lian ketika memasuki rumah besar nan mewah."Kamu yakin Melly ngasih alamat ini?" tanya Siska."Iya, ini ... sesuai, kan?" tunjuk Lian pada secarik kertas."Ini, kan, rumah yang aku bilang tempat Melly kerja jadi babu!" ketusnya."Serius kamu, Sis? Jangan-jangan Melly jadi sukses karena dibiayain majikannya. Diih enak banget dia, modal orang lain aja belagu!" decak Lian. Mereka berdua lantas turun dari mobil.Mereka semua masuk ke rumah mewah itu bersamaan, beberapa staf asisten dan chef pribadi sudah berbaris di pintu masuk dan membungkukkan badannya masing-masing. Salah seorang kepala asisten turut memandu
"Aku punya syarat buat kamu. Dan … kembalinya aku atau enggak itu tergantung keputusan kamu!" tegasnya pada Alan."Mbak Lian ... tolong kembalikan sertifikat rumah milikku!" pekik Melly tiba-tiba."Hhah?! Ta-tapi—" Lian gelagapan dan tak tahu harus menjawab apa."Tapi apa maksud kamu, Lian!" pekik papinya."I-itu, Pi. Aah, itu ... surat-suratnya. Eemm ....""Surat-suratnya kamu kasih ke Debt Collector? Gitu maksudnya?" sambung Melly."Apa!" teriak Papi yang geram. Papi langsung bangkit dari duduknya dan akan segera menyerang Lian, tetapi sigap ditahan oleh Mami dan Dilan yang menghadangnya. Lian menunduk menutupi kepala dengan kedua tangannya, lalu dilindungi oleh Siska."Astagfirullah, Liaaaaan!" Papinya yang geram bukan kepalang, akhirnya melampiaskan emosi dengan menangis."Papi malu punya anak kaya kamu, Li. Papi benar-benar kecewa sama kamu! Sekarang juga kamu pergi dari rumah Melly!" perintah Hakim dengan
Sementara itu, ponsel di dalam kantong gamisnya bergetar. Melly mengambilnya dan memeriksa sebuah pesan singkat yang masuk.[Selamat kembali miskin, Melly. Hahaha]Melly tercengang dengan isi pesan tersebut. Apalagi setelah melihat nama si pengirim yang terpampang dengan jelas tertulis nama “Mbak Lian”. Pandangannya beredar mencari sosok Lian. Apa dia yang menyebabkan kebakaran rumahnya tersebut? “Kurang ajar! Masih berani unjuk gigi dia!” Melly tersulut emosi.Beruntung kebakaran tak mengenai rumah tetangga di sekitarnya karena jarak bangunan rumah Melly tak terlalu dekat ke dinding pembatas. Tepatnya, rumah Melly berada di tengah-tengah ruang lingkup lahan di antara taman-taman kecil.“Dia harus bertanggung jawab atas semuanya!” Melly meremas ponselnya sambil mencari-cari batang hidung kakak iparnya.“Kamu kenapa?” tanya Alan yang bingung melihat tingkah laku Melly.“Kamu pasti gak percaya ini, Yank.”“Soal a
Pukul empat dini hari, ponsel Alan terus bergetar. Alan dan Melly terlalu lelah hingga tak merasakan getaran di kasur yang berasal dari ponselnya. Enam panggilan tak terjawab muncul di layar ponsel.“Bunda ....” Alga terbangun, memanggil dengan suara mungilnya. Ia merangkul perut Melly, menginginkan asupan ASI karena merasa lapar. “Bunda ....?” panggilnya lagi.Melly terbangun setelah Alga merengek-rengek manja. “Iya, Sayang.”Alga kembali memejamkan mata setelah Melly menyusuinya. Sepuluh detik kemudian, ia baru merasakan ponsel Alan yang bergetar tanpa nada. Di sampingnya, Alan tampak sangat pulas.Tak tega membangunkan Alan, Melly meraih ponsel yang sudah membuatnya terganggu malam-malam. Namun, ia penasaran karena nama Mala yang muncul di layar panggilan.“Halo. Kena—“Kakaaaak! Kak, Mel, halo!” Suara Mala sedikit berteriak, nadanya terdengar cemas. Suasana di telepon juga sangat riuh dan sayup-sayup terdengar orang-orang yan
"Saya gak sangka polisi sampai mencari ke sana, Pak?" tanya Alan."Bukan kami, Pak. Ada orang yang membawanya kemari tadi pagi."Mata mereka saling beradu tatap keheranan. Semuanya bertanya-tanya akan siapa menggelandang Siska ke kantor polisi."Siapa membawa dia ke sini, Pak?" tanya Lisa ingin tahu.Mata polisi itu seperti mencari seseorang di ruangan yang luas itu. Kemudian, seorang pria dan seorang wanita memasuki ruangan."Itu dia orangnya!" sahut Polisi Deri, menunjuk orang yang baru saja masuk dengan menggunakan kacamata hitam bersama seorang lelaki di belakangnya.Lisa, Mala, dan Alan serempak menoleh ke arah yang ditunjuk Pak Deri. Semuanya makin tersentak ketika melihat kedua orang yang berjalan mendekati mereka itu.Sementara itu, Siska malah mengerlingkan mata dengan sudut mulut mencibir. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa yang datang. "Melly?" ujar Lisa."Kak Bima?" sahut Mala.Melly
"Permisi ...," ujar dua perawat datang menggantikan pakaian Alea dengan kain polos berwarna putih.Suasana haru memenuhi ruangan. Alan sudah menghubungi kedua orang tua dan mertuanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya di rumah duka.Semua sudah bersiap pergi. Namun, Melly belum boleh pulang karena keadaannya yang belum pulih total dengan lengan dan kepala yang masih dibebat perban. Mala ingin menemaninya di rumah sakit. Akan tetapi, Melly tidak memperbolehkannya.Saat itu ia hanya ingin menyendiri, mengingat masa-masa terakhir bersama putrinya. Pada hari kecelakaan adalah hari di mana ia benar-benar merasa paling bahagia sebelum akhirnya berujung duka.***Ambulance sudah sampai di rumah Alan. Terlihat orang-orang yang mengurus jenazah sudah siap di sana bersama para tamu yang akan memberikan ucapan duka.Pukul 14.30 jenazah Alea sudah siap dimakamkan setelah selesai disalati. Seluruh keluarga beriringan mengantar jenazah ke t
“Shoot!"Dokter Dimas menggunakan alat pacu jantung lagi! Lalu, seorang perawat meletakkan defibrilator ke tempatnya semula.Dokter Dimas melakukan CPR lagi dengan satu telapak tangannya. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali—Tiba-tiba … terdengar suara ventilator berbunyi normal lagi."Alhamdulillah," sahut Dokter Dimas diikuti semua orang yang ada di ruangan."Tekanannya sudah normal semua, Dok," jelas salah satu perawat seraya melepas tabung ventilasi manual dan menggantinya dengan dengan mesin.Alan menyungkurkan dirinya di lantai, saling berpelukan dan menangis bersama istrinya."Dokter ... terima kasih banyak, Dok. Terima kasih ....""Sudah jadi tugas saya, Pak. Nanti perawat akan mengontrol kondisinya selama enam jam ke depan. Tolong diawasi terus, ya, Pak. Saya permisi dulu."Dokter Dimas keluar ruangan bersama dua perawatnya yang membawa mesin defibrilator.Sementara, Melly berjalan d
“Enggak ... itu kesalahan aku, Yaaang! Pak Cahyadi … Alea … jadi begini karena aku ...." Ia menangis sesenggukan sampai terdengar ke luar ruangan. "Tenang dulu ya, Bunda. Pak Cahyadi udah diurus sama Mala. Dia juga udah mewakilkan belasungkawa untuk keluarganya."Melly terdiam. Tangisnya berangsur mereda. Ia lebih tenang dalam pelukan suaminya. Segera ia menghampiri putrinya yang masih terpejam tak sadarkan diri dengan meraba-raba sekitar kamar sampai akhirnya bisa menyentuh Alea.Melly mencari posisi wajah putrinya, memindahkan sentuhannya ke bagian atas kepalanya yang dibalut perban. Ia merendahkan dirinya mendekati wajah Alea ingin mencium, tetapi terhalang selang ventilator. Ia hanya bisa memandang dalam angan-angan melalui sentuhannya.Ia mencoba naik ke ranjang putrinya untuk tidur berdampingan seperti yang biasa mereka lakukan di rumah. Salah satu tangannya berpindah ke atas tubuh Alea. Ia ingin merasakan memeluk dan menggendongnya lagi se
"Maaf tidak bisa, Bu. Karena ruangan dewasa dan anak dipisah sesuai prosedur rumah sakit," papar perawat ramah itu."Saya akan bayar berapa pun. Tolong lakukan untuk saya, Sus!" Melly meminta dengan tegas."Maaf, Bu, saya tidak berani tanpa seizin dokternya," jawab Suster."Kalau gitu, tolong sambungkan saya dengan dokter yang merawat anak saya sekarang juga!""Ta-tapi—"Suster tega dengan keadaan saya begini?!" Melly menunjuk matanya, "lalu, saya tidak bisa melihat anak saya?" ujar Melly merajuk. Ia menitikkan air mata."Gimana kalau sampe terjadi sesuatu sama anak saya, sedangkan kondisi saya begini dan tidak bisa menjaganya, Suster mau saya salahkan!" tanya Melly sedikit mengancam.Perawat itu bimbang. Di satu sisi ia juga seorang ibu yang bisa merasakan apa yang dialami Melly. Di sisi lain itu bukan wewenangnya untuk memindahkan pasien dengan peralatan lengkap yang tersambung ke tubuhnya."Saya akan coba hub
"Yang, Alea mana, Yang? Dia baik-baik aja, kan?"Alan merasa berat hati untuk menjelaskan semuanya. "Alea baik-baik aja kok, Bun. Tenang dulu, ya. Kamu harus banyak istirahat.""Di mana Alea? Aku mau ketemu Alea, Yang. Dia pasti di sini, kan? Dia masih sama aku tadi." Melly mencoba beranjak dari tempat tidurnya dengan gelisah.Melihat hal itu, Alan lekas menarik tubuh istrinya yang sempoyongan dan menenggelamkan ke pelukannya. "Alea lagi tidur di kamarnya, Bun. Kalau kondisi kamu lebih baik, kamu bisa ketemu sama Alea secepatnya."Melly merasa tenang setelah mendengar itu. Ia menghela napas dalam-dalam. Pikirannya yang cemas sudah mulai mereda. Alan kemudian membaringkan tubuh istrinya kembali ke ranjang.Beberapa waktu berlalu, Melly tak bisa memejamkan mata walau sudah lama berbaring. Kepalanya terus dihantui ketakutan tentang bagaimana jika dia tak bisa melihat lagi. Bagaimana dengan kehidupannya yang akan datang? Anak-anaknya? Orang t
Setelah menjemput Alea, Melly mengajaknya jalan-jalan ke mal karena ia belum pernah membawanya berekreasi atau sekedar jalan-jalan mengitari sudut kota. Hari itu ia akan full menemani putri kecilnya seharian. Alea bisa membeli apa pun yang belum pernah ia miliki sebelumnya.Alea berlarian ke sana kemari di dalam mall mengambil satu ruas tali yang mengikat kencang balon yang diberikan oleh seorang pramuniaga dari stand yang mengadakan berpromosi. Lalu, ia masuk ke salah satu toko mainan terbesar di mall itu."Alea mau itu, Bun?" Ia menunjuk mainan istana lengkap persis yang dimiliki Rachel."Kamu gak mau mainan lain? Di sana banyak yang lebih bagus, loh, Al," bujuk Melly.Alea menggeleng. Anak-anak memang cenderung ingin memiliki mainan yang sama dengan teman sepermainannya."Oke. Kamu mau yang lebih besar?" Melly menunjuk mainan istana yang sama, tetapi dengan ukuran lebih besar dan properti lebih lengkap."Iiiih … aku mau, aku m