Seminggu lagi, ya, Mbak, kita harus angkat kaki dari sini? Ehm, maaf maksudnya Mbak dan keluarga yang angkat kaki dari sini!" Melly hanya tersenyum dan itu membuat Lian bingung.
"Apa maksud kamu!""Karena Mbak yang bakal angkat kaki dari sini, jadi silakan cari rumah lain untuk Mbak tinggalin nanti!""Kurang ajar kamu. Aku enggak akan pernah pergi dari rumah ini. Ini adalah rumah adikku dan kamu gak ada hak di sini! Yang ada kamu angkat kaki dan siap-siap buat pisah sama Alan!" tukas Lian terpancing emosi.Melly melihat Bi Sum yang berlari menghampiri dan akan membantu majikannya itu, tetapi Melly memberi kode dengan lambaian tangannya agar jangan mendekat.Melly melirik ke lengan Lian yang masih menyentuh lehernya. Kemudian, merengkuh lengan dan mendorong tubuh Lian hingga tersungkur ke lantai."Kalau aku gak ada hak, lantas apa hak Mbak di sini? Sadar diri, ya, Mbak. Mbak itu punya suami yang masih sehat dan bekerja. Harusnya M"Siapa kamu!" tanya Dilan ketika melihat pria bermasker dan bertopi yang sudah menghajarnya itu.Pria itu pun membuka masker dan topinya agar terlihat jelas."M-mas Bima?" Dilan mundur selangkah dari tempatnya tersungkur.Melly gegas bersembunyi di balik tubuh atletis kakak kandungnya. Ia pun kaget sekaligus bersyukur ada yang menyelamatkannya sebelum terlambat."Kamu sudah gila!" hardik Bima."Kenapa berani kurang ajar dengan iparmu sendiri!" tegasnya membentak Dilan yang tertunduk memegangi sudut bibirnya yang terluka."Ada apa ini!" suara Lian yang tiba-tiba muncul dari ruang tamu."Ooh, kalian beraninya keroyokan! Dilan kemari!" perintah Lian. "Aku laporin kalian ke Mami karena mengeroyok Dilan. Dasar! Keluarga gak berpendidikan gini, nih!" serangnya."Dasar Keluarga Gak Berakhlak!" gumam Melly.Bima melangkah pelan mendekati Lian. "Kamu itu gak tahu masalahnya, jadi tutup mulutmu!”"Aku li
"Ya, udah. Aku tambahin uang belanja kamu, tapi ... kamu pulang, ya?" Alan merajuk."Baik, tapi ada syaratnya." "Apa syaratnya?""Segera aku kasih tau syaratnya. Oh, ya. Besok pagi tolong antarkan aku ke undangan. Nanti aku kirim alamat tempatku jadi ART sekarang.""Iya, Yang."'Baiklah semua sudah siap, undangan sudah disampaikan ke Mami dan Lian melalui Siska. Persiapan sudah diatur Event Organizer ternama. Juga konsumsi sudah dipesan untuk jumlah tamu kurang lebih dua ribu orang.'***Pukul enam pagi Melly dan keluarganya sudah bersiap pergi untuk acara perayaan puncak Melby Corporation. Keluarga Melly diantar oleh Pak Cahyadi yang baru saja selesai membersihkan mobilnya. Tinggal Melly yang sedang menunggu dijemput suaminya.Melly berdandan yang beda dari biasanya. Ia memakai gamis berwarna peach berlapis tille asymetrys dengan aksen payet di area dada, model lengannya balon, kepalanya ditutupi pasmina polos
"Baiklah, tidak perlu berlama-lama lagi. Untuk menyampaikan sambutan dan mengesahkan pembukaan kita panggilkan saja beliau—“Lampu sorot diputar-putar, degup jantung Melly sudah berloncatan ke sana kemari karena pertama kalinya ia akan tampil di hadapan sekian banyak orang. Ia berulang kali menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan."Ini dia … CEO … dari Melby Corporation … Mellyyy Saaabiraaa." Semua lampu dan mata tersorot padanya, riuh penonton pun bertepuk tangan.Alan terkesiap saat mendengar nama yang sangat dikenalnya disebut-sebut serta lampu tertuju pada wanita di sampingnya. Ia memegang pergelangan tangan Melly saat berdiri. "Yaang?"Melly melepas tangannya, kemudian berjalan ke atas panggung. Ia melirik sekilas dengan senyuman dan tatapan tajam ke arah meja Siska dengan penuh kemenangan.Lampu sorot mengikuti langkah Melly sampai atas panggung, kemudian semua lampu dinyalakan sampai seisi gedung terang benderang. Se
"Ini rumah siapa, Pi, kok Melly ngajak kita ke sini? Apa relasi kenalannya atau partner kerjanya?" tanya Mami mertua pada suaminya yang sedang memarkirkan mobil.Hakim hanya tersenyum berbinar, sepertinya ia memiliki prasangka yang benar. "Masuk aja dulu, Mi, nanti juga kita tahu," ujarnya."Wow ...." Begitu ekspresi Lian ketika memasuki rumah besar nan mewah."Kamu yakin Melly ngasih alamat ini?" tanya Siska."Iya, ini ... sesuai, kan?" tunjuk Lian pada secarik kertas."Ini, kan, rumah yang aku bilang tempat Melly kerja jadi babu!" ketusnya."Serius kamu, Sis? Jangan-jangan Melly jadi sukses karena dibiayain majikannya. Diih enak banget dia, modal orang lain aja belagu!" decak Lian. Mereka berdua lantas turun dari mobil.Mereka semua masuk ke rumah mewah itu bersamaan, beberapa staf asisten dan chef pribadi sudah berbaris di pintu masuk dan membungkukkan badannya masing-masing. Salah seorang kepala asisten turut memandu
"Aku punya syarat buat kamu. Dan … kembalinya aku atau enggak itu tergantung keputusan kamu!" tegasnya pada Alan."Mbak Lian ... tolong kembalikan sertifikat rumah milikku!" pekik Melly tiba-tiba."Hhah?! Ta-tapi—" Lian gelagapan dan tak tahu harus menjawab apa."Tapi apa maksud kamu, Lian!" pekik papinya."I-itu, Pi. Aah, itu ... surat-suratnya. Eemm ....""Surat-suratnya kamu kasih ke Debt Collector? Gitu maksudnya?" sambung Melly."Apa!" teriak Papi yang geram. Papi langsung bangkit dari duduknya dan akan segera menyerang Lian, tetapi sigap ditahan oleh Mami dan Dilan yang menghadangnya. Lian menunduk menutupi kepala dengan kedua tangannya, lalu dilindungi oleh Siska."Astagfirullah, Liaaaaan!" Papinya yang geram bukan kepalang, akhirnya melampiaskan emosi dengan menangis."Papi malu punya anak kaya kamu, Li. Papi benar-benar kecewa sama kamu! Sekarang juga kamu pergi dari rumah Melly!" perintah Hakim dengan
"Urusan kita belum selesai, Siska. Aku akan sampaikan besok di kantor," ujar Melly tegas. Intonasinya kembali seperti seorang bos yang akan memecat karyawannya.Siska tak menjawab. Ia hanya membungkuk hormat, lalu kembali melangkah ke luar dengan hentakan cepat.Melly tak menoleh lagi. Ia hanya duduk menyeruput teh bunga telang, menelannya dengan tenang, lalu kedua sudut bibirnya melebar dibarengi binar mata kemenangan. Ia menyeringai."Biarkan aja Lian, Mel. Sekali-kali dia mesti dikerasi. Harusnya, dulu Papi didik dia dengan mandiri dan enggak dimanja berlebihan karena dari kecil hidupnya serba kecukupan, mau apa pun pasti dituruti," kata Hakim dengan perasaan menyesal."Gak ada orang tua yang salah, Pi, hanya kurang komunikasi aja. Dan Mbak Lian cuma butuh perhatian khusus makanya dia mengalihkannya ke hal-hal kaya gitu. Semua orang tua pun pasti mau manjain anaknya kalau kondisi memungkinkan. Eh ... kok, Melly malah nasehatin Papi. Maaf ya, Pi
"Alaaaannnnn! Kamu gak bisa kaya gitu sama Kakak! Kamu berdosa, loh, sama Kakak!" teriaknya dari teras rumah.'Masih bisa bilang dosa? Lalu, apa yang dia lakukan selama ini, mencibir, menghujat, menghina, menentang suaminya sendiri, berhutang riba tanpa izin suaminya, aaah terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu.'"Bu Meelllyyyyy ... Lyyyy ... Lyyyyy ...," teriak Bi Sum yang sudah membentangkan lengannya."Bibiiiii ... gimana kabarnya, Bi?" Melly memeluk Bi Sum."Baaik, baik, Bu. Masyaallah, Bibi kangen buanget sama Bu Mel.""Sama, Melly juga kangen, Bi. Maaf, ya, Melly ninggalin Bibi di sini.""Jangan pikirin Bibi, Bu Mel. Sekarang rumah ini sepi gak ada yang ngomel-ngomel lagi walaupun Bibi udah kebal sama omelannya." Dengan serunya Bi Sum bercerita. Belum selesai di situ … cerita Bi Sum masih sangat panjang sekali, tetapi Melly terlalu lelah dan meminta Bi Sum untuk melanjutkan cerita keesokan harinya.Hari senin
Setelah menjemput Alea, Melly mengajaknya jalan-jalan ke mal karena ia belum pernah membawanya berekreasi atau sekedar jalan-jalan mengitari sudut kota. Hari itu ia akan full menemani putri kecilnya seharian. Alea bisa membeli apa pun yang belum pernah ia miliki sebelumnya.Alea berlarian ke sana kemari di dalam mall mengambil satu ruas tali yang mengikat kencang balon yang diberikan oleh seorang pramuniaga dari stand yang mengadakan berpromosi. Lalu, ia masuk ke salah satu toko mainan terbesar di mall itu."Alea mau itu, Bun?" Ia menunjuk mainan istana lengkap persis yang dimiliki Rachel."Kamu gak mau mainan lain? Di sana banyak yang lebih bagus, loh, Al," bujuk Melly.Alea menggeleng. Anak-anak memang cenderung ingin memiliki mainan yang sama dengan teman sepermainannya."Oke. Kamu mau yang lebih besar?" Melly menunjuk mainan istana yang sama, tetapi dengan ukuran lebih besar dan properti lebih lengkap."Iiiih … aku mau, aku m