"Aku punya syarat buat kamu. Dan … kembalinya aku atau enggak itu tergantung keputusan kamu!" tegasnya pada Alan.
"Mbak Lian ... tolong kembalikan sertifikat rumah milikku!" pekik Melly tiba-tiba."Hhah?! Ta-tapi—" Lian gelagapan dan tak tahu harus menjawab apa."Tapi apa maksud kamu, Lian!" pekik papinya."I-itu, Pi. Aah, itu ... surat-suratnya. Eemm ....""Surat-suratnya kamu kasih ke Debt Collector? Gitu maksudnya?" sambung Melly."Apa!" teriak Papi yang geram. Papi langsung bangkit dari duduknya dan akan segera menyerang Lian, tetapi sigap ditahan oleh Mami dan Dilan yang menghadangnya. Lian menunduk menutupi kepala dengan kedua tangannya, lalu dilindungi oleh Siska."Astagfirullah, Liaaaaan!" Papinya yang geram bukan kepalang, akhirnya melampiaskan emosi dengan menangis."Papi malu punya anak kaya kamu, Li. Papi benar-benar kecewa sama kamu! Sekarang juga kamu pergi dari rumah Melly!" perintah Hakim dengan"Urusan kita belum selesai, Siska. Aku akan sampaikan besok di kantor," ujar Melly tegas. Intonasinya kembali seperti seorang bos yang akan memecat karyawannya.Siska tak menjawab. Ia hanya membungkuk hormat, lalu kembali melangkah ke luar dengan hentakan cepat.Melly tak menoleh lagi. Ia hanya duduk menyeruput teh bunga telang, menelannya dengan tenang, lalu kedua sudut bibirnya melebar dibarengi binar mata kemenangan. Ia menyeringai."Biarkan aja Lian, Mel. Sekali-kali dia mesti dikerasi. Harusnya, dulu Papi didik dia dengan mandiri dan enggak dimanja berlebihan karena dari kecil hidupnya serba kecukupan, mau apa pun pasti dituruti," kata Hakim dengan perasaan menyesal."Gak ada orang tua yang salah, Pi, hanya kurang komunikasi aja. Dan Mbak Lian cuma butuh perhatian khusus makanya dia mengalihkannya ke hal-hal kaya gitu. Semua orang tua pun pasti mau manjain anaknya kalau kondisi memungkinkan. Eh ... kok, Melly malah nasehatin Papi. Maaf ya, Pi
"Alaaaannnnn! Kamu gak bisa kaya gitu sama Kakak! Kamu berdosa, loh, sama Kakak!" teriaknya dari teras rumah.'Masih bisa bilang dosa? Lalu, apa yang dia lakukan selama ini, mencibir, menghujat, menghina, menentang suaminya sendiri, berhutang riba tanpa izin suaminya, aaah terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu.'"Bu Meelllyyyyy ... Lyyyy ... Lyyyyy ...," teriak Bi Sum yang sudah membentangkan lengannya."Bibiiiii ... gimana kabarnya, Bi?" Melly memeluk Bi Sum."Baaik, baik, Bu. Masyaallah, Bibi kangen buanget sama Bu Mel.""Sama, Melly juga kangen, Bi. Maaf, ya, Melly ninggalin Bibi di sini.""Jangan pikirin Bibi, Bu Mel. Sekarang rumah ini sepi gak ada yang ngomel-ngomel lagi walaupun Bibi udah kebal sama omelannya." Dengan serunya Bi Sum bercerita. Belum selesai di situ … cerita Bi Sum masih sangat panjang sekali, tetapi Melly terlalu lelah dan meminta Bi Sum untuk melanjutkan cerita keesokan harinya.Hari senin
Setelah menjemput Alea, Melly mengajaknya jalan-jalan ke mal karena ia belum pernah membawanya berekreasi atau sekedar jalan-jalan mengitari sudut kota. Hari itu ia akan full menemani putri kecilnya seharian. Alea bisa membeli apa pun yang belum pernah ia miliki sebelumnya.Alea berlarian ke sana kemari di dalam mall mengambil satu ruas tali yang mengikat kencang balon yang diberikan oleh seorang pramuniaga dari stand yang mengadakan berpromosi. Lalu, ia masuk ke salah satu toko mainan terbesar di mall itu."Alea mau itu, Bun?" Ia menunjuk mainan istana lengkap persis yang dimiliki Rachel."Kamu gak mau mainan lain? Di sana banyak yang lebih bagus, loh, Al," bujuk Melly.Alea menggeleng. Anak-anak memang cenderung ingin memiliki mainan yang sama dengan teman sepermainannya."Oke. Kamu mau yang lebih besar?" Melly menunjuk mainan istana yang sama, tetapi dengan ukuran lebih besar dan properti lebih lengkap."Iiiih … aku mau, aku m
"Yang, Alea mana, Yang? Dia baik-baik aja, kan?"Alan merasa berat hati untuk menjelaskan semuanya. "Alea baik-baik aja kok, Bun. Tenang dulu, ya. Kamu harus banyak istirahat.""Di mana Alea? Aku mau ketemu Alea, Yang. Dia pasti di sini, kan? Dia masih sama aku tadi." Melly mencoba beranjak dari tempat tidurnya dengan gelisah.Melihat hal itu, Alan lekas menarik tubuh istrinya yang sempoyongan dan menenggelamkan ke pelukannya. "Alea lagi tidur di kamarnya, Bun. Kalau kondisi kamu lebih baik, kamu bisa ketemu sama Alea secepatnya."Melly merasa tenang setelah mendengar itu. Ia menghela napas dalam-dalam. Pikirannya yang cemas sudah mulai mereda. Alan kemudian membaringkan tubuh istrinya kembali ke ranjang.Beberapa waktu berlalu, Melly tak bisa memejamkan mata walau sudah lama berbaring. Kepalanya terus dihantui ketakutan tentang bagaimana jika dia tak bisa melihat lagi. Bagaimana dengan kehidupannya yang akan datang? Anak-anaknya? Orang t
"Maaf tidak bisa, Bu. Karena ruangan dewasa dan anak dipisah sesuai prosedur rumah sakit," papar perawat ramah itu."Saya akan bayar berapa pun. Tolong lakukan untuk saya, Sus!" Melly meminta dengan tegas."Maaf, Bu, saya tidak berani tanpa seizin dokternya," jawab Suster."Kalau gitu, tolong sambungkan saya dengan dokter yang merawat anak saya sekarang juga!""Ta-tapi—"Suster tega dengan keadaan saya begini?!" Melly menunjuk matanya, "lalu, saya tidak bisa melihat anak saya?" ujar Melly merajuk. Ia menitikkan air mata."Gimana kalau sampe terjadi sesuatu sama anak saya, sedangkan kondisi saya begini dan tidak bisa menjaganya, Suster mau saya salahkan!" tanya Melly sedikit mengancam.Perawat itu bimbang. Di satu sisi ia juga seorang ibu yang bisa merasakan apa yang dialami Melly. Di sisi lain itu bukan wewenangnya untuk memindahkan pasien dengan peralatan lengkap yang tersambung ke tubuhnya."Saya akan coba hub
“Enggak ... itu kesalahan aku, Yaaang! Pak Cahyadi … Alea … jadi begini karena aku ...." Ia menangis sesenggukan sampai terdengar ke luar ruangan. "Tenang dulu ya, Bunda. Pak Cahyadi udah diurus sama Mala. Dia juga udah mewakilkan belasungkawa untuk keluarganya."Melly terdiam. Tangisnya berangsur mereda. Ia lebih tenang dalam pelukan suaminya. Segera ia menghampiri putrinya yang masih terpejam tak sadarkan diri dengan meraba-raba sekitar kamar sampai akhirnya bisa menyentuh Alea.Melly mencari posisi wajah putrinya, memindahkan sentuhannya ke bagian atas kepalanya yang dibalut perban. Ia merendahkan dirinya mendekati wajah Alea ingin mencium, tetapi terhalang selang ventilator. Ia hanya bisa memandang dalam angan-angan melalui sentuhannya.Ia mencoba naik ke ranjang putrinya untuk tidur berdampingan seperti yang biasa mereka lakukan di rumah. Salah satu tangannya berpindah ke atas tubuh Alea. Ia ingin merasakan memeluk dan menggendongnya lagi se
“Shoot!"Dokter Dimas menggunakan alat pacu jantung lagi! Lalu, seorang perawat meletakkan defibrilator ke tempatnya semula.Dokter Dimas melakukan CPR lagi dengan satu telapak tangannya. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali—Tiba-tiba … terdengar suara ventilator berbunyi normal lagi."Alhamdulillah," sahut Dokter Dimas diikuti semua orang yang ada di ruangan."Tekanannya sudah normal semua, Dok," jelas salah satu perawat seraya melepas tabung ventilasi manual dan menggantinya dengan dengan mesin.Alan menyungkurkan dirinya di lantai, saling berpelukan dan menangis bersama istrinya."Dokter ... terima kasih banyak, Dok. Terima kasih ....""Sudah jadi tugas saya, Pak. Nanti perawat akan mengontrol kondisinya selama enam jam ke depan. Tolong diawasi terus, ya, Pak. Saya permisi dulu."Dokter Dimas keluar ruangan bersama dua perawatnya yang membawa mesin defibrilator.Sementara, Melly berjalan d
"Permisi ...," ujar dua perawat datang menggantikan pakaian Alea dengan kain polos berwarna putih.Suasana haru memenuhi ruangan. Alan sudah menghubungi kedua orang tua dan mertuanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya di rumah duka.Semua sudah bersiap pergi. Namun, Melly belum boleh pulang karena keadaannya yang belum pulih total dengan lengan dan kepala yang masih dibebat perban. Mala ingin menemaninya di rumah sakit. Akan tetapi, Melly tidak memperbolehkannya.Saat itu ia hanya ingin menyendiri, mengingat masa-masa terakhir bersama putrinya. Pada hari kecelakaan adalah hari di mana ia benar-benar merasa paling bahagia sebelum akhirnya berujung duka.***Ambulance sudah sampai di rumah Alan. Terlihat orang-orang yang mengurus jenazah sudah siap di sana bersama para tamu yang akan memberikan ucapan duka.Pukul 14.30 jenazah Alea sudah siap dimakamkan setelah selesai disalati. Seluruh keluarga beriringan mengantar jenazah ke t
Sementara itu, ponsel di dalam kantong gamisnya bergetar. Melly mengambilnya dan memeriksa sebuah pesan singkat yang masuk.[Selamat kembali miskin, Melly. Hahaha]Melly tercengang dengan isi pesan tersebut. Apalagi setelah melihat nama si pengirim yang terpampang dengan jelas tertulis nama “Mbak Lian”. Pandangannya beredar mencari sosok Lian. Apa dia yang menyebabkan kebakaran rumahnya tersebut? “Kurang ajar! Masih berani unjuk gigi dia!” Melly tersulut emosi.Beruntung kebakaran tak mengenai rumah tetangga di sekitarnya karena jarak bangunan rumah Melly tak terlalu dekat ke dinding pembatas. Tepatnya, rumah Melly berada di tengah-tengah ruang lingkup lahan di antara taman-taman kecil.“Dia harus bertanggung jawab atas semuanya!” Melly meremas ponselnya sambil mencari-cari batang hidung kakak iparnya.“Kamu kenapa?” tanya Alan yang bingung melihat tingkah laku Melly.“Kamu pasti gak percaya ini, Yank.”“Soal a
Pukul empat dini hari, ponsel Alan terus bergetar. Alan dan Melly terlalu lelah hingga tak merasakan getaran di kasur yang berasal dari ponselnya. Enam panggilan tak terjawab muncul di layar ponsel.“Bunda ....” Alga terbangun, memanggil dengan suara mungilnya. Ia merangkul perut Melly, menginginkan asupan ASI karena merasa lapar. “Bunda ....?” panggilnya lagi.Melly terbangun setelah Alga merengek-rengek manja. “Iya, Sayang.”Alga kembali memejamkan mata setelah Melly menyusuinya. Sepuluh detik kemudian, ia baru merasakan ponsel Alan yang bergetar tanpa nada. Di sampingnya, Alan tampak sangat pulas.Tak tega membangunkan Alan, Melly meraih ponsel yang sudah membuatnya terganggu malam-malam. Namun, ia penasaran karena nama Mala yang muncul di layar panggilan.“Halo. Kena—“Kakaaaak! Kak, Mel, halo!” Suara Mala sedikit berteriak, nadanya terdengar cemas. Suasana di telepon juga sangat riuh dan sayup-sayup terdengar orang-orang yan
"Saya gak sangka polisi sampai mencari ke sana, Pak?" tanya Alan."Bukan kami, Pak. Ada orang yang membawanya kemari tadi pagi."Mata mereka saling beradu tatap keheranan. Semuanya bertanya-tanya akan siapa menggelandang Siska ke kantor polisi."Siapa membawa dia ke sini, Pak?" tanya Lisa ingin tahu.Mata polisi itu seperti mencari seseorang di ruangan yang luas itu. Kemudian, seorang pria dan seorang wanita memasuki ruangan."Itu dia orangnya!" sahut Polisi Deri, menunjuk orang yang baru saja masuk dengan menggunakan kacamata hitam bersama seorang lelaki di belakangnya.Lisa, Mala, dan Alan serempak menoleh ke arah yang ditunjuk Pak Deri. Semuanya makin tersentak ketika melihat kedua orang yang berjalan mendekati mereka itu.Sementara itu, Siska malah mengerlingkan mata dengan sudut mulut mencibir. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa yang datang. "Melly?" ujar Lisa."Kak Bima?" sahut Mala.Melly
"Permisi ...," ujar dua perawat datang menggantikan pakaian Alea dengan kain polos berwarna putih.Suasana haru memenuhi ruangan. Alan sudah menghubungi kedua orang tua dan mertuanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya di rumah duka.Semua sudah bersiap pergi. Namun, Melly belum boleh pulang karena keadaannya yang belum pulih total dengan lengan dan kepala yang masih dibebat perban. Mala ingin menemaninya di rumah sakit. Akan tetapi, Melly tidak memperbolehkannya.Saat itu ia hanya ingin menyendiri, mengingat masa-masa terakhir bersama putrinya. Pada hari kecelakaan adalah hari di mana ia benar-benar merasa paling bahagia sebelum akhirnya berujung duka.***Ambulance sudah sampai di rumah Alan. Terlihat orang-orang yang mengurus jenazah sudah siap di sana bersama para tamu yang akan memberikan ucapan duka.Pukul 14.30 jenazah Alea sudah siap dimakamkan setelah selesai disalati. Seluruh keluarga beriringan mengantar jenazah ke t
“Shoot!"Dokter Dimas menggunakan alat pacu jantung lagi! Lalu, seorang perawat meletakkan defibrilator ke tempatnya semula.Dokter Dimas melakukan CPR lagi dengan satu telapak tangannya. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali—Tiba-tiba … terdengar suara ventilator berbunyi normal lagi."Alhamdulillah," sahut Dokter Dimas diikuti semua orang yang ada di ruangan."Tekanannya sudah normal semua, Dok," jelas salah satu perawat seraya melepas tabung ventilasi manual dan menggantinya dengan dengan mesin.Alan menyungkurkan dirinya di lantai, saling berpelukan dan menangis bersama istrinya."Dokter ... terima kasih banyak, Dok. Terima kasih ....""Sudah jadi tugas saya, Pak. Nanti perawat akan mengontrol kondisinya selama enam jam ke depan. Tolong diawasi terus, ya, Pak. Saya permisi dulu."Dokter Dimas keluar ruangan bersama dua perawatnya yang membawa mesin defibrilator.Sementara, Melly berjalan d
“Enggak ... itu kesalahan aku, Yaaang! Pak Cahyadi … Alea … jadi begini karena aku ...." Ia menangis sesenggukan sampai terdengar ke luar ruangan. "Tenang dulu ya, Bunda. Pak Cahyadi udah diurus sama Mala. Dia juga udah mewakilkan belasungkawa untuk keluarganya."Melly terdiam. Tangisnya berangsur mereda. Ia lebih tenang dalam pelukan suaminya. Segera ia menghampiri putrinya yang masih terpejam tak sadarkan diri dengan meraba-raba sekitar kamar sampai akhirnya bisa menyentuh Alea.Melly mencari posisi wajah putrinya, memindahkan sentuhannya ke bagian atas kepalanya yang dibalut perban. Ia merendahkan dirinya mendekati wajah Alea ingin mencium, tetapi terhalang selang ventilator. Ia hanya bisa memandang dalam angan-angan melalui sentuhannya.Ia mencoba naik ke ranjang putrinya untuk tidur berdampingan seperti yang biasa mereka lakukan di rumah. Salah satu tangannya berpindah ke atas tubuh Alea. Ia ingin merasakan memeluk dan menggendongnya lagi se
"Maaf tidak bisa, Bu. Karena ruangan dewasa dan anak dipisah sesuai prosedur rumah sakit," papar perawat ramah itu."Saya akan bayar berapa pun. Tolong lakukan untuk saya, Sus!" Melly meminta dengan tegas."Maaf, Bu, saya tidak berani tanpa seizin dokternya," jawab Suster."Kalau gitu, tolong sambungkan saya dengan dokter yang merawat anak saya sekarang juga!""Ta-tapi—"Suster tega dengan keadaan saya begini?!" Melly menunjuk matanya, "lalu, saya tidak bisa melihat anak saya?" ujar Melly merajuk. Ia menitikkan air mata."Gimana kalau sampe terjadi sesuatu sama anak saya, sedangkan kondisi saya begini dan tidak bisa menjaganya, Suster mau saya salahkan!" tanya Melly sedikit mengancam.Perawat itu bimbang. Di satu sisi ia juga seorang ibu yang bisa merasakan apa yang dialami Melly. Di sisi lain itu bukan wewenangnya untuk memindahkan pasien dengan peralatan lengkap yang tersambung ke tubuhnya."Saya akan coba hub
"Yang, Alea mana, Yang? Dia baik-baik aja, kan?"Alan merasa berat hati untuk menjelaskan semuanya. "Alea baik-baik aja kok, Bun. Tenang dulu, ya. Kamu harus banyak istirahat.""Di mana Alea? Aku mau ketemu Alea, Yang. Dia pasti di sini, kan? Dia masih sama aku tadi." Melly mencoba beranjak dari tempat tidurnya dengan gelisah.Melihat hal itu, Alan lekas menarik tubuh istrinya yang sempoyongan dan menenggelamkan ke pelukannya. "Alea lagi tidur di kamarnya, Bun. Kalau kondisi kamu lebih baik, kamu bisa ketemu sama Alea secepatnya."Melly merasa tenang setelah mendengar itu. Ia menghela napas dalam-dalam. Pikirannya yang cemas sudah mulai mereda. Alan kemudian membaringkan tubuh istrinya kembali ke ranjang.Beberapa waktu berlalu, Melly tak bisa memejamkan mata walau sudah lama berbaring. Kepalanya terus dihantui ketakutan tentang bagaimana jika dia tak bisa melihat lagi. Bagaimana dengan kehidupannya yang akan datang? Anak-anaknya? Orang t
Setelah menjemput Alea, Melly mengajaknya jalan-jalan ke mal karena ia belum pernah membawanya berekreasi atau sekedar jalan-jalan mengitari sudut kota. Hari itu ia akan full menemani putri kecilnya seharian. Alea bisa membeli apa pun yang belum pernah ia miliki sebelumnya.Alea berlarian ke sana kemari di dalam mall mengambil satu ruas tali yang mengikat kencang balon yang diberikan oleh seorang pramuniaga dari stand yang mengadakan berpromosi. Lalu, ia masuk ke salah satu toko mainan terbesar di mall itu."Alea mau itu, Bun?" Ia menunjuk mainan istana lengkap persis yang dimiliki Rachel."Kamu gak mau mainan lain? Di sana banyak yang lebih bagus, loh, Al," bujuk Melly.Alea menggeleng. Anak-anak memang cenderung ingin memiliki mainan yang sama dengan teman sepermainannya."Oke. Kamu mau yang lebih besar?" Melly menunjuk mainan istana yang sama, tetapi dengan ukuran lebih besar dan properti lebih lengkap."Iiiih … aku mau, aku m