Aku tinggal di rumah kecil, dipinggir kota. Tak ada satu barang pun yang berharga hanya piano tua peninggalan ayahku, selain kasur, cermin setengah pecah dan rak buku yang sudah lapuk. Juga keramik lantai atau pun karpet pada lantai yang sudah kusam. Dinding berlapis cat warna putih polos. Sangat sukar menggambarkan kondisi ruangan tanpa penerangan yang memadai.
Aku langsung ke toilet untuk sekedar membuanng air dan membersihkan tubuhku, lalu setelah itu aku terbaring dikasur dengan semua rasa letih yang terasa, menatap kosong keatas. Lampu dikamarku cahayanya sudah redup, hanya pantulan pecahan kaca yang sesekali menyilaukan mata. Langit-langit tampak biasa saja. Debu dan kotoran di mana-mana. Tak ada desiran angin, ataupun ringkikan hewan kecil. Hanya kesunyian yang mengisi.
Tiba-tiba saja malam itu hujan turun deras sekali dengan suara petir yang menyambar. Aku masih sulit untuk terlelap mencoba memeramkan mata tapi kantuk tak kunjung datang, suara yang keras dan hujan yang deras itu terus menerus terdengar ditelingaku aku menarik selimut sampai sebahu.
Aku bisa melihat hujan turun dengan derasnya lewat jendela yang berada dipojok kamarku, namun ketika petir sekali lagi menyambar, tersentak mataku melotot. Bukan karena suara petirnya, tapi ketika kilatan cahayanya melewati kamarku, aku melihat bayangan seseorang memantul didinding kamarku.
"Apa yang baru saja aku lihat itu?" bergumam aku dalam hati, membuatku merasa cemas dengan apa yang baru saja aku lihat. Padahal tidak ada orang lain selain aku didalam kamar. Jantungku mulai berdegup dengan kencangnya saat itu.
Suara angin kembali berdesir lirih menyentuh dedaunan muda yang tampak rapuh, tua sebelum waktunya dan berguguran jatuh ke tanah, tersapu lagi dan terus tersapu oleh si angin malam, kembali terulang dalam putaran waktu yang terasa semakin sedikit. Suara khas anjing malam mulai terdengar. Ada yang lembut dan ada yang kasar. Bunyian detik pada jam dinding sangat terasa dalam rumah ini.
Terlintas dalam benakku akan bayangan yang telah aku lihat, seperti seorang pria namun cepat sekali hilangnya.
"Jangan-jangan seseorang yang pernah kulihat di jalan tadi." bergumam aku dalam hati sambli terus memperhatikan kearah jendela dengan bayangan yang telah hilang dari jendela itu.Setidaknya aku harus mencoba untuk melepaskan diri dari jeratan rasa takutku ini. Apa mungkin ada yang ingin berbuat jahat padaku, tetapi untuk apa tidak ada gunanya bukan? padahal aku ini bukan apa-apa dan kemungkinan besar tidak akan jadi apa-apa. Aku tidak ingin terbaring didalam kamar ini dengan rasa takut ini. Kondisi tubuhku saat ini masih terlalu lemah selesai bekerja seharian. Kenapa harus ditambah lagi dengan hal seperti ini, membuat kondisi mentalku menurun.
Langkah awal yang aku ambil, pertama-tama aku mencoba untuk menggerak-gerakkan kaki dan tangan. Rasanya begitu kaku, sesekali menelan ludah melewati kerongkongan, jantung berdegup begitu kencang. Dalam kondisi tubuh yang masih setengah sadar, sulit bagiku untuk memusatkan kekuatan, rasa takut terus menghampiri.
Setelah berhasil berdiri aku turunkan kakiku sampai menyentuh lantai. Permukaan lantai yang kasar menimbulkan rasa tidak nyaman pada telapak kakiku, bagai tertusuk serpihan paku, rasanya sungguh menyiksa.
“Sungguh hal yang sangat aneh, dalam hatiku bertanya-tanya. Apakah aku akan mati saat ini?” Di dalam otakku seolah dipenuhi dengan segala pertanyaan-pertanyaan yang takkan terjawab.Angin malam sesekali mendesah disela jendela kamar tidurku, sesekali dia datang dengan suaranya begitu menakutkan. Ketika aku mendekati jendela untuk mencari tahu, darimana bayangan itu berasal, tidak ada siapa pun disekitar situ. Kilatan petir sekali lagi menyambar, membuat aku takut dan dengan cepat-cepat aku kembali ke kasurku.
Rongga hati yang sepi dan sendirian menciptakan ruang yang hampa pada malam yang terlampau panjang. Hanya diam dan biarkan rasa takut ini menembus pandangan yang selama ini menutupi.
Gambaran atas apa yang tak terjawab, bisa jadi nampak pada keheningan malam. Dipikiran terasa ada jeda panjang merayap pelan antara waktu temaramnya malam hingga sang surya perlahan nampak. Jeda itu terasa melelahkan, menguras apapun yang dinamakan emosi "Sialan! apa aku baru saja melihat hantu tadi," gumam aku dalam hati, akan tetapi tidak seharusnya aku memikirkan hal seperti ini, jawaban atas kondisi aneh tadi. Satu-satunya hal yang harus aku lakukan adalah mencoba meloloskan diri dan bisa tertidur nyenyak.
Dalam ketakutan ini, aku berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa dengan diriku. Dalam hati juga terus memanggil nama tuhan yang kuasa.” Semoga aku dilindungi dari apapun yang ada di sana, amin!”
Serasa berada di ruang kedap suara. Sepertinya rasa penasaranku lebih kuat dibandingkan rasa takut. Aku menguatkan hati dan mengabaikan ketakutan ini. Lalu merapal doa agar bisa kuat menghadapi rasa takut ini. Tetapi jantungku serasa mau copot. Aku sangat kaget. Tubuhku sampai gemetaran. Tiba-tiba terdengar suara pintu berdecit. Nyaliku pun menciut.
Setiap kali mataku ingin terpejam, bayangan orang itu langsung datang dan memenuhi seluruh pikiranku. "Sungguh aku belum bisa melupakan orang itu." kataku dalam hati.
Bersamaan dengan hujan, angin malam sesekali mendesah di sela rintih hujan pada atap, dedaunan, rerumputan dan tanah. Aku mengangakat selimut karena dingin terasa sekali.Agaknya aku sedang berhadapan dengan kekuatan supranatural, jin, setan, atau sejenisnya. Entahlah, aku tak yakin. Bunyi petir semakin keras dan cahayanya mulai menerangi gelapnya malam untuk beberapa detik.
Aku pelan-pelan keluar dari kamar tidur dan berjalan menuju suara tersebut yang sepertinya berasal dari kamar sebelah, bekas peninggalan ayahku. Aku coba membuka pintu, aku tersentak dari disela pintu itu aku melihat dalam posisi berdiri kedua orang tuaku tepat berhadapan dengan diriku dengan wajah yang begitu datar. Dan seluruh orang dikota tempatku tinggal sedang mentertawakan diriku. Tetapi tiba-tiba saja seakan waktu membawaku seperti sedang berdiri dipadang savana yang luas, tempat yang tidak aku ketahui sama sekali. Aku merasakan ada orang yang sedang menghampiri diriku, namun wajahnya tak nampak jelas terhalang oleh cahaya yang begitu bersinar. Dengan suara seraknya ia mengatakan pada diriku, "Kamu memiliki pilhan sekarang dan aku akan datang!" bergema suaranya terdengar ditelingaku. Pikirku saat itu "Apa maksudmu, siapa kau sebenarnya?" perkataan dalam hati dan pikiranku. Tanpa disadar aku sudah berada dimasalaluku, aku melihat masa kecilku yang begitu ketakutan, kar
Suara air mendidih yang bergejolak terdengar, saat aku memasaknya diatas kompor.Aku berulang kali menghela napas. Dan sengaja tidak membuka jendela, aroma masakan itu ingin aku hirup sendirian kali ini.Aku memasak air yang baru dengan memasukkan potongan kentang, wortel, dan beberapa bahan yang lainnya. Nasib hidup sebatang kara harus bisa memasak makanan sendiri. Aku baru akan memasukkan potongan tomat dan seledri, namun urung begitu mendengar suara pantofel mengetuk lantai keramik. Aku menoleh. Menemukan pria dengan kaos lengan panjang berwarna putih yang seakan ikut terkejut dengan memaksakan sepasang mata berwarna coklat itu terbuka lebih lebar. Sejenak jantungku terasa berkedut hebat. "Mario, kau membuatku kaget saja!" aku membatin, dari mana dia datangnya? Jelas, dia tidak ingin menunjukkan keterkejutannya itu secara gamblang. “Maaf pintumu tak terkunci tadi,” kata Mario sambil menunjuk kearah kanan tubuhnya. “Aku takut ada pencuri karena beberapa k
Sesaat aku menelan ludah. Karena perbincangan ini. Mario satunya-satunya teman yang aku punya dan sudah aku anggap sebagai kelurgaku sendiri, dia memiliki nasib yang sama denganku hidup sebatang kara, namun ia tidak pernah ingin menceritakan tentang keluarganya, tetapi tidak apa tentang itu, aku senang ada dia di sini karena hanya dia yang perduli dengan diriku.Kadang aku harus berhenti untuk menebak apakah hidupku akan terus seperti ini tanpa perubahan. Sekuat tenaga aku bertahan walaupun mendengar banyak ejekan dari orang-orang disekitar. Ada banyak penolakan dalam diri ini tentang apa yang sudah terjadi, tapi hidup harus terus berjalan.Saat ini aku menyadari apabila aku tidak benar-benar berjuang tentang hidup ini. Tidak ada yang harus aku salahkan, aku tau karena pertengkaran orang tuaku hidupku menjadi serba kekurangan, tetapi sebenarnya aku sangat menyayangi mereka, apalagi aku sangat ingin bisa bertemu lagi dengan ibuku.Walau jauh dalam lubuk hati ini
Aku terus memperhatikan lagak dari Bernando, kalau saja hidupku tidak seperti ini pasti aku sudah menghampiri dan memukul wajahnya itu dengan keras.Setelah acara makan selesai, akan dimulai pesta dansa. Bernardo berkata, “Sebentar lagi acara dansa dimulai. Siapa yang ingin berdansa denganku silakan minum anggur ini dari sepatuku!” Sambil berkata demikian ia mengangkat tinggi-tinggi sebuah sepatu pantofel yang berwarna hitam. Para hadirin terdiam. Aku berbisik kepada Mario, "aku kesal sekali, bolehkah aku memukulnya sekarang!""Sudalah jangan melihatnya, fokus saja dengan pekerjaanmu." seru Mario.Tetapi saat itu terlihat Bernardo melangkah terhuyung-huyung karena sudah mabuk, menuju keatas panggung menghampiri Belinda yang sedang menghibur dengan suaranya yang merdu. "Hei! sayangku, suarumu sangat indah sekali." kata Bernardo sambil merangkul paksa Belinda saat itu."Lepaskan Bernardo! apa yang ingin kau lakukan." seru Belinda memberontak ber
Malam semakin sunyi dan udara dingin terasa semakin menusuk. Perasaanku amat kacau malam ini. Namun aku tetap melangkahkan kedua kakiku di tengah-tengah keheningan yang semakin mencekam.Ada sebuah perasaan yang rasanya keliru dan tidak pantas dilontarkan, tapi bibir ini tak mampu menahan getar hingga limbung dan ada yang terpeleset keluar dari liang ucap."Sial! aku tidak sanggup hidup seperti ini." kataku dengan amarah.Aku tidak tahu apa akibatnya setelah meninggalkan pekerjaanku, tapi aku benar-benar tidak sanggup untuk melihat kenyataan yang begitu pahit. Jiwa ini memberontak, aku tidak pernah ingin menyalahkan kedua orang tuaku setelah apa yang terjadi. Aku benar-benar menyayangi mereka walaupun aku harus hidup seperti ini.Aku menyisiri jalan yang remang-remang di tengah kota. Berbicara pada malam yang redup, jangkrik yang begitu berisik, dan lampu kedap-kedip yang berbaris rapi seperti semut. Ada ratapan yang terpelihara di mataku, wajah
Aku kira pria tua ini adalah salah satu orang jahat yang mempunyai kekuasaan dikota ini bisa saja dia sudah menyuruh orang untuk membuntutiku selama ini, dan mencari tahu tentang kehidupanku selama ini, aku tidak boleh terjebak dengan tawarannya, karena aku tahu orang jujur dikota ini begitu sedikit adanya. "Kenapa? sebenarnya apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku dengan penuh kehati-hatian."Aku akan memberikan apa saja yang kau inginkan, asalkan kau mau melakukan pekerjaan untukku!" katanya meyakinkan."Pekerjaan apa yang ingin kau berikan padaku?" tanyaku."Jika kau ingin katakan ingin dan aku akan memberitahumu, jika kau tidak mengatakan ingin maka aku pun enggan mengatakannya." katanya seakan mekaksaku dengan halus.Aku yakin pasti orang tua ini bukanlah orang yang baik, ajakannya seperti ingin menjebakku saja. Aku tidak percaya, dan memikirkan untuk segera pergi dari tempat itu. "Maaf aku tidak bisa jika kau tidak memberitahunya, senang bisa b
Aku menutupi seluruh tubuhku dengan selimut, suara langkah terdengar semakin berat, mendekat. Tiba-tiba saja bunyi tetesan air jatuh kelantai mengiringi suara cakaran di tembok penjuru ruangan, "Apa itu setauku atap rumahku tidak ada yang bocor dan rusak." gumam aku dalam hati. Semuanya terjadi begitu cepat. Dingin, gelap, ketakutan.Semuanya terasa janggal malam ini, kenapa ini harus terjadi padaku. Aku harap kantuk segera datang. Lenyap seketika, meninggalkan luka."Gelap... Di mana aku?" aku bertanya sembari mendengar suara. Suara dari jantungku sendiri yang berdegup mengejar ketakutannya. Tubuhku bergeliat dan menimbulkan suara lain dari gemertak sendi tubuhku. Suara dari tubuh jauh lebih jelas dari pandanganku yang hitam.Tidak ada yang lain kecuali aku. Aku tidak mendengar sebuah pantulan dari apapun. Pantulan yang selalu aku rasakan seperti kemarin. Dari sebuah cahaya, sampai sensasi melihat bayangan seseorang didekat jendela. Hanya diriku sendiri dikamar
Mata bisa menipuku, tapi suara hati tidak. Hal itulah yang mendorongku keluar dari kegelapan waktu. Meninggalkan kesunyian yang selama ini membelenggu diriku. Suara hati itu berwujud harapan. Apakah sesuatu yang konyol, tentu tidak? Aku terdiam di sini, di antara meja dan kursi dapur dan seorang pria yang tidak kukenali sama sekali. Hanya ingin mendengarkan serta memastikan dengan jelas, suara hati ini. Suara hati yang mengarahkan pergi mencari hari esok yang lebih baik. Mencari arti dari kenyataan, menanam benih mimpi lalu menuainya. Tidak lagi menanti dititik yang sama.aku mengatur nafas pelan-pelan dan mengusap seluruh wajah dengan kedua tangan ini agar cepat mendapatkan keputusan. Aku terpejam sejenak, merasakan irama detak jantungku yang mulai normal. Tapi, tiba-tiba derap langkah kaki terdengar dari arah belakang, aku membelakkan mata ketika sebuah tangan menepuk pundaku, " Hey! Akira sedang apa kau?" kemudian aku menengok kebelakang melihat siapa yang datang. Ternyata
Di depan kami samar-samar sudah terlihat gerbang barat sebuah desa, sesampainya di gerbang kami sangat terkejut, beberapa bagian benteng sudah rusak dan ada banyak bekas pertempuran. Terlihat penjaga gerbang berlari ke dalam desa, sepertinya akan memberitahu warga yang lain kalau kami akan datang. Kami segera berjalan menuju ke tengah desa. Alvar menuju ke papan pengumuman di dekat pohon beringin besar di tengah desa. Kami berjalan dengan ekspresi muka penuh tanda tanya. Sebenarnya apa yang terjadi?"Wahai saudara-saudaraku, apa yang terjadi di desa kalian ini?” tanya Alvar keras kepada para warga yang menyambut kedatangankami."Desa ini telah diserang banyak kawanan hewan buas. Kami sudah berusaha semampu kami untuk melawan dan mempertahankan desa ini, namum mereka sepertinya sudah sulit untuk bisa di kendalikan.” jawab seorang penjaga gerbang mewakili warga."Hewan-hewan itu bermata merah, mereka seperti diperintah oleh suatu kekuatan.”
Malam sedang membawaku berjalan di atas roda mimpi yang berputar kala tidur lelapku. Ya, berjalan, bukan berlari. Karena aku ingin menikmati setiap alunan khayalan yang melintas di depanku. Sekelilingku putih, sangat putih tak berujung. Aku terus berjalan dan berjalan hingga putih di sekitarku semakin lama semakin redup ditelan kegelapan. Kemudian aku mendengar bunyi “Tik..tok..tik..tok..” Seperti suara mesin jam yang sedang mengayun jarum detiknya.Aku juga melihat seperti ada sinar dari luar yang menembus ke dalam duniaku. Bola mataku bergerak ke kiri dan ke kanan. Tempat ini sepertinya tidak asing. Aku teliti lagi dan mencoba mengingat tempat ini. Lalu aku merasakan getaran pada pergelangan tanganku seiring dengan suara yang juga tidak asing."Akira! Kau dimana!?" ternyata itu suara profesor Javier, "Prof.." sebelum aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba saja suara itu lenyap seketika.Jalanan sangat sepi, bulan masih tersenyum cerah. Lampu jalan masi
Tanganku meraba-raba sekitar. Basah. Perlahan, aku menyadari aroma yang menguar dari tempatku berada. Daun. Kelopak mataku terbuka. Pupil mataku mulai menyesuaikan diri dengan cahaya sang surya yang hampir kembali keperaduannya. Setelah terbuka sepenuhnya, aku terduduk dan menatap sekitar. Padang rumput. Aku bangkit berdiri dan mulai berjalan mengikuti ke mana pun kakiku melangkah. Sebulir peluh menetes melewati rahangku. Jantungku berpacu cepat, berlomba-lomba dengan adrenalin yang mengalir deras melalui pembuluh darahku. Tak sedetik pun aku memelankan langkah, berzig-zag di antara pepohonan, melompati akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. Menjemput maut yang siap menyambut kematianku. Tubuhku telah bermandi keringat. Kali ini aku semakin merajalela. Menanggalkan alas kakiku, berlari dan terus berlari, tanpa mempedulikan cabang dan ranting pohon yang mengoyak pakaianku, menggores kulitku, dan meninggalkan rasa perih yang menusuk. Aku bisa saja berhenti. M
Aku percaya tiap kehidupan -baik yang dulu, sekarang, maupun di masa depan kelak- memiliki tujuannya masing-masing. Aku memalingkan wajahku ke arah seorang pemuda yang tegap berdiri di tengah-tengah cekungan bekas dari pertarungan.Berkali-kali aku menarik napas dengan cepat hingga menimbulkan suara dengusan yang bisa terdengar oleh orang yang ada di sekitarku.Angin sore menerpa permukaan kulit memberikan perasaan kering yang tak biasa. Perasaan kosong itu begitu menggangguku, "Akira jangan kau pikirkan apa yang di ucapkannya, dia hanya ingin membuatmu lupa akan dirimu sendiri.. Dia berusaha menyinggung tentang masa lalumu itu." ucap Alvar."Apa kau tidak percaya Akira!? raja kegelapan bisa menghidupkan orang yang telah mati untuk dijadikan pengikutnya. Dengan kata lain temanmu itu sudah di jadikan boneka oleh raja kegelapan untuk menjalani ke inginannya." ujar Cahir."Sudah cukup Cahir, kau terlalu banyak berbual. Apa tujuanmu datang kesini hanya untuk
Sementara itu saat ini suasana semakin mencekam, aku bisa melihat aura kemarahan antara Alvar dan Jugo. Mereka sudah siap menyerang dengan senjatanya masing-masing. "Sebaiknya kita selesaikan saja masalah ini, dari pada kau terus menghalangi perjalanan kami saat ini." tantang Alvar."Kalau itu maumu, aku akan menerimanya. Tapi hari ini aku hanya ingin bertarung dengan Akira, menurutku kau sangat mudah untuk di kalahkan. Sekarang aku ingin menjajal kekuatan dari seorang yang sudah lama di ramalkan untuk menyelamatkan negeri ini." ucap Jugo seakan merendahkan Alvar saat itu.Alvar pun tidak terima karena Jugo sudah meremehkannya saat itu, "Kau jangan banyak bicara Jugo. Kekuatanmu tak sebanding dengan Akira, bahkan kupastikan untuk mengalahkanku pun kau tidak akan sanggup sekarang!" geram Alvar."Aku tidak sepertimu Alvar, kekuatanku sudah terlatih selama ini. Negeri ini bahkan bergantung pada diriku!" ucap Jugo yang semakin congkak."Kalau begitu kau akan
Tetesan air langit kini tiada lagi berhamburan ke bumi. Sang raja cahaya kini mulai menampakkan dirinya yang tersipu malu, terhalang oleh mega. Di balik celah-celah batuan terjal kaki gunung melesat kilatan-kilatan cahaya teduh dan cerah. Menghapus warna hitam di langit saat ini. Pagi telah menyambutku.Suara napasku yang beradu cepat bersama langkah kakiku yang sedang berlari. Ku lewati pohon-pohon besar di depanku. Aku sudah tak peduli bagaimana penampilanku sekarang, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa sampai di tujuanku dengan cepat dan selamat."Sebuah danau!" ujar Alvar.Aku dan Alvar menghentikan langkah sementara ketika kami sampai di sebuah sungai di hadapan kami sekarang, kami yang kehausan karena sepanjang hari sudah berlari dan bertarung dengan beberapa musuh di perjalanan pun meminum air dari sungai tersebut, dan menyimpannya sedikit untuk bekal melanjutkan perjalanan."Kita akan beristirahat sebentar disini Alvar!" ujar aku.
Kami mencoba mengobati kekhawatiran dengan menggumamkan beberapa bait lagu tentang musim panen sambil berjalan diantara pohon-pohon ek yang besar dan berlumut. Matahari sudah terbenam sekitar satu jam yang lalu, kegelapan total mulai turun dan bulan muda belum terbit. Kami melihat sekeliling, memasang telinga untuk gerakan atau suara apapun yang tampak berbahaya.Kami tak mendengar apapun selain suara burung hantu dan jangkrik, kami juga tak melihat apapun selain deretan pepohonan dan semak belukar di sekitar tempat itu. kami kembali menggumamkan lagu sampai telinga ini mendengar suara kemeresak tepat di belakang.Secepat kilat kami berbalik, mencabut busur dan sedetik kemudian sebuah anak panah sudah terpasang. Mata kami mengarah tajam kearah belukar dibelakang, darah ini mengalir lebih cepat dalam nadinya, suara degup jantung terdengar bertalu-talu ditelinga sendiri.Perlahan kami mendekati sumber suara dan tiba-tiba belukar itu bergoyang. Kami terlonjak, mena
"Jarak antara tempat ini ke Haven sekitar dua bulan perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki,” kata Alvar, “Kau tak akan sampai ke Haven tepat waktu tanpa kuda.”Temannya itu tertawa pahit sambil membalik kelinci panggang yang dijerangnya di atas api.“Beruntungnya aku karena kuda yang kubawa dari Yelow Gate terluka parah dan akhirnya mati ketika aku diserang segerombolan Dargo di dekat Creek Hollow,” Bale menggeram dan meludahkan kata Dargo seperti kutukan, “Aku sangat beruntung berhasil membantai sebagian besar dari mereka tanpa terluka. Kuku-kuku mereka seperti dilumuri racun.”Wajah Alvar menjadi semakin suram setelah mendengar cerita rekannya itu. Dargo memang suka membuat onar dan menyerang para pelancong yang melintas di dekat sarang mereka. Namun seingat Alvar jalan besar di Creek Hollow berjarak puluhan league dari Pegunungan Berbatu, dimana gua-gua Dargo berada."Bawalah kepingan uang ini bersamamu, mun
Ketika sudah semakin larut malam, kami memutuskan untuk berhenti dan beristirahat. Karena keadaan di sekitar tempat kami berpijak sekarang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan dikarenakan kabut asap yang semakin tebal, padangan kami benar-benar di butakan karena hal itu. Kami tidak tahu kondisi yang kami lewati di depan bagaimana, tapi melihat kejadian yang terjadi pada Alvar tadi, kemungkinan masih banyak jalan yang berbahaya untuk kami lewati.Aku terperanjat bangun dari tidur setelah mendengar suara lolongan serigala di kejauhan, begitu juga Alvar karena terkejut yang mendengar aku bangun secara tiba-tiba. Kami segera bangkit duduk dari alas tidur dan melingkarkan jari-jari ini di gagang pedang yang tak pernah jauh dari tubuh kami untuk berjaga-jaga. "Ada apa Akira!?" tanya Alvar."Tidak apa, perasaanku tidak enak. Aku kira ada yang memperhatikan kita sekarang." jawab aku.Aku tak pernah menyukai serigala. Terlalu banyak pengalaman buruk tentang me