Aku terus memperhatikan lagak dari Bernando, kalau saja hidupku tidak seperti ini pasti aku sudah menghampiri dan memukul wajahnya itu dengan keras.
Setelah acara makan selesai, akan dimulai pesta dansa. Bernardo berkata, “Sebentar lagi acara dansa dimulai. Siapa yang ingin berdansa denganku silakan minum anggur ini dari sepatuku!” Sambil berkata demikian ia mengangkat tinggi-tinggi sebuah sepatu pantofel yang berwarna hitam. Para hadirin terdiam. Aku berbisik kepada Mario, "aku kesal sekali, bolehkah aku memukulnya sekarang!"
"Sudalah jangan melihatnya, fokus saja dengan pekerjaanmu." seru Mario.
Tetapi saat itu terlihat Bernardo melangkah terhuyung-huyung karena sudah mabuk, menuju keatas panggung menghampiri Belinda yang sedang menghibur dengan suaranya yang merdu. "Hei! sayangku, suarumu sangat indah sekali." kata Bernardo sambil merangkul paksa Belinda saat itu.
"Lepaskan Bernardo! apa yang ingin kau lakukan." seru Belinda memberontak berusaha melepaskan rangkulannya.
"Diam kau!" bentak Bernardo sambil mencengkram keras wajah Belinda, lalu ia memasukan anggur yang ada dalam sepatu itu ke dalam mulut Belinda dengan paksa.
Hadirin tertawa dan bertepuk tangan. Wajah Belinda merah padam, setelah itu Bernardo dengan cepat melemparkan sepatu itu kearah hadirin, Lalu ia menarik paksa Belinda kebawah panggung, hilang di antara tamu-tamu. Seketika hatiku seperti membiru, penuh dengan rasa sesak aku tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Lalu aku duduk dikursi yang berada dibelakangku yang bisa kulakukan hanya bermuram durja, menghkhawtirkan keadaan orang yang aku cintai. Rasa kesal dan sesal menyelimuti diriku, "aku benci dengan diri ini, kenapa aku harus menjadi pecundang seperti ini." bergumam aku dalam hati seraya mengepal tangan ingin memukul wajah pria itu.
"Sudalah Akira! kau tidak perlu khawatir dia pasti akan baik-baik saja." kata Mario mencoba menenangkan diriku.
"Aku ingin pergi dari tempat ini, aku tidak tahan melihat hal seperti itu tadi." kataku dengan penuh amarah.
"Tenangkan dirimu, jika kau pergi dari tempat ini kau tidak akan mengetahui apa yang terjadi pada Belinda." kata Mario menahan kepergianku saat itu.
Sesaat aku berpikir apa yang diucapkan Mario itu ada benarnya juga, aku pun mengurungkan niatku untuk pergi dan tetap bertahan. "Benar apa yang kau katakan, aku harus bersabar sekarang." kataku menghela nafas panjang dan menahan air mata yang sebentar lagi akan keluar.
Tuhan masih menyayangiku sehingga keadaan, makanan yang aku dapati sehari-hari tetap membuatku kuat hingga sejahtera dalam kemewahan. Walaupun hanya jadi pelayan, tapi aku senantiasa menyeringai mendapati senyumku yang terpantul dari keramik-keramik mengkilap, kilauan permata pada cinderamata, dan emas perak dari para saudagar kaya dihadapanku sekarang.
Terkadang, mereka begitu angkuh mengingat orang-orang biasa tak mempedulikannya ketika merengek, mengais, memohon diberi uang atau nasi untuk menyambung nyawanya dengan masa depan. Orang biasa tidak ada yang hidup sejahtera dikota ini.
Di sela-sela mereka aku bekerja sambil membawa nampan yang diatasnya ada cawan berisi anggur mewah, yang terkenal akan citarasanya begitu istimewa meski harganya selangit macam Cheval Blanc dari tahun 1895 dan 1921 dan Haut-Brion dari tahun 1906. "Sikahkan tuan, anggur ini begitu nikmat." kataku menawari para hadirin yang ada disitu.
Namun, ternyata pesta-pesta makan malam yang kerap diselenggarakan itu tak sesuai harapan tuan rumah. Tamu-tamu yang hadir terlihat tak terlalu menikmati jamuan makan malam yang diselenggarakan tuan rumah itu meski hidangan yang disajikan sangat istimewa.
“Sudah sempurna, Tuan. Tuan sudah sangat tampan,” ucapku yang baru saja membawa secawan anggur kepada seorang yang baru saja selesai berias.
Sang tuan mematut diri ke kaca, kira-kira sudah dua puluh kali dalam sepenglihatanku. Sampai sang kaca terlihat bosan untuk memantulkan bayangan tuannya lagi dan lagi. “Kau tak bohong?”
“Tidak, Tuan. Anda sungguh pria yang begitu tampan,” jawabku kepada orang ini, sambil menunduk.
"Benarkah, kau pelayan yang baik. Terimakasih kalau begitu. Sekarang aku bisa berbaur dengan yang lainnya." katanya melangkah menemui seorang wanita yang ada disitu.
Aku mengangguk. “Silahkan, Tuan. Semoga kau menikmati pestanya.”
Kemudian aku beranjak sambil membawa cawan kotor menuju dapur, tidak jauh dari lobi tempat diadakannya pesta. Langkahku terhenti seketika pada ruangan yang pintunya sedikit terbuka disitu, hal pertama yang aku dengar adalah suara pertengkaran seseorang. Tersentak aku saat melihat dari sela-sela pintu yang terbuka ternyata orang di dalam ruangan itu adalah Belinda dan Bernardo. Perasaanku jadi bercamur aduk disitu.
Hal yang lebih parah lagi, mataku terbelalak hatiku amat sangat sakit saat melihat Bernardo menahan tubuh Belinda dengan tangannya, dan dengan cepat ia mecium bibirnya.
Aku langsung menoleh kearah lain, hatiku menolak untuk melihat apa yang sudah terjadi, tanganku seketika terkepal karena begitu kesalnya. Tanpa pikir panjang lagi aku beranjak pergi dari tempat itu, meninggalkan pemandangan yang sangat buruk yang aku lihat. Aku pergi kearah dapur untuk menaruh cawan kotor yang aku bawa diatas meja, langkahku sangat cepat orang-orang yang berkerja dibagian dapur memperhatiakan tingkahku yang aneh menurut mereka. Lalu aku keluar dari pintu belakang, mendorong pintu yang terbuat dari kayu itu dengan kerasnya, hingga suaranya terdengar karena berbenturan dengan tembok. Aku memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut, dengan perasaan yang amat menyakitkan.
Tidak ada yang mendengar, karena aku melihat bahwa semuanya telah hilang.
Melalui angin, dan langit naik ke atas awan membawa ketakutanku.Dari bisikan angin, aku mendengarnya tak sengaja.ikut meyakinkan, dan mengiyakan terasing bersama keriuhan.Dia lakukan apa pun yang bisa ia lakukan,melangkah, menangis, terjatuh, dengan begitu sempurna.Harus saya rangkum dalam kata-kata.
mungkin aku tidak berharga, untuk bisa merawat cinta orang lain dalam hubungan jangka panjang.Semua benar-benar berpisah dengan segudang kisah ceceran keluh kesah.Malam semakin sunyi dan udara dingin terasa semakin menusuk. Perasaanku amat kacau malam ini. Namun aku tetap melangkahkan kedua kakiku di tengah-tengah keheningan yang semakin mencekam.Ada sebuah perasaan yang rasanya keliru dan tidak pantas dilontarkan, tapi bibir ini tak mampu menahan getar hingga limbung dan ada yang terpeleset keluar dari liang ucap."Sial! aku tidak sanggup hidup seperti ini." kataku dengan amarah.Aku tidak tahu apa akibatnya setelah meninggalkan pekerjaanku, tapi aku benar-benar tidak sanggup untuk melihat kenyataan yang begitu pahit. Jiwa ini memberontak, aku tidak pernah ingin menyalahkan kedua orang tuaku setelah apa yang terjadi. Aku benar-benar menyayangi mereka walaupun aku harus hidup seperti ini.Aku menyisiri jalan yang remang-remang di tengah kota. Berbicara pada malam yang redup, jangkrik yang begitu berisik, dan lampu kedap-kedip yang berbaris rapi seperti semut. Ada ratapan yang terpelihara di mataku, wajah
Aku kira pria tua ini adalah salah satu orang jahat yang mempunyai kekuasaan dikota ini bisa saja dia sudah menyuruh orang untuk membuntutiku selama ini, dan mencari tahu tentang kehidupanku selama ini, aku tidak boleh terjebak dengan tawarannya, karena aku tahu orang jujur dikota ini begitu sedikit adanya. "Kenapa? sebenarnya apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku dengan penuh kehati-hatian."Aku akan memberikan apa saja yang kau inginkan, asalkan kau mau melakukan pekerjaan untukku!" katanya meyakinkan."Pekerjaan apa yang ingin kau berikan padaku?" tanyaku."Jika kau ingin katakan ingin dan aku akan memberitahumu, jika kau tidak mengatakan ingin maka aku pun enggan mengatakannya." katanya seakan mekaksaku dengan halus.Aku yakin pasti orang tua ini bukanlah orang yang baik, ajakannya seperti ingin menjebakku saja. Aku tidak percaya, dan memikirkan untuk segera pergi dari tempat itu. "Maaf aku tidak bisa jika kau tidak memberitahunya, senang bisa b
Aku menutupi seluruh tubuhku dengan selimut, suara langkah terdengar semakin berat, mendekat. Tiba-tiba saja bunyi tetesan air jatuh kelantai mengiringi suara cakaran di tembok penjuru ruangan, "Apa itu setauku atap rumahku tidak ada yang bocor dan rusak." gumam aku dalam hati. Semuanya terjadi begitu cepat. Dingin, gelap, ketakutan.Semuanya terasa janggal malam ini, kenapa ini harus terjadi padaku. Aku harap kantuk segera datang. Lenyap seketika, meninggalkan luka."Gelap... Di mana aku?" aku bertanya sembari mendengar suara. Suara dari jantungku sendiri yang berdegup mengejar ketakutannya. Tubuhku bergeliat dan menimbulkan suara lain dari gemertak sendi tubuhku. Suara dari tubuh jauh lebih jelas dari pandanganku yang hitam.Tidak ada yang lain kecuali aku. Aku tidak mendengar sebuah pantulan dari apapun. Pantulan yang selalu aku rasakan seperti kemarin. Dari sebuah cahaya, sampai sensasi melihat bayangan seseorang didekat jendela. Hanya diriku sendiri dikamar
Mata bisa menipuku, tapi suara hati tidak. Hal itulah yang mendorongku keluar dari kegelapan waktu. Meninggalkan kesunyian yang selama ini membelenggu diriku. Suara hati itu berwujud harapan. Apakah sesuatu yang konyol, tentu tidak? Aku terdiam di sini, di antara meja dan kursi dapur dan seorang pria yang tidak kukenali sama sekali. Hanya ingin mendengarkan serta memastikan dengan jelas, suara hati ini. Suara hati yang mengarahkan pergi mencari hari esok yang lebih baik. Mencari arti dari kenyataan, menanam benih mimpi lalu menuainya. Tidak lagi menanti dititik yang sama.aku mengatur nafas pelan-pelan dan mengusap seluruh wajah dengan kedua tangan ini agar cepat mendapatkan keputusan. Aku terpejam sejenak, merasakan irama detak jantungku yang mulai normal. Tapi, tiba-tiba derap langkah kaki terdengar dari arah belakang, aku membelakkan mata ketika sebuah tangan menepuk pundaku, " Hey! Akira sedang apa kau?" kemudian aku menengok kebelakang melihat siapa yang datang. Ternyata
Aku menggumpalkan tangan kanan lalu menempelkan dibibirku beberapa kali. Seolah mentransfer energi ketegaran menghirup atmosfer kota. Langkah kaki yang gugup perlahan mulai santai. Kedua bola mataku perlahan berani menantang kilau mentari senja. Sorotan sang senja, menyinari Kota Tua, tanah harapan banyak orang. Terlihat gedung-gedung menjulang tinggi, kontras dengan perumahan kumuh yang landai, menggoreskan garis imajiner tegak lurus. Entah dalam arti sosial atau finansial. Pandanganku beralih pada pengemis yang berkeliaran dipinggir kota. Langkah kakiku terhenti, aku mengamati anak-anak manusia yang terabaikan. Wajah belia mereka tertutup bayangan kemiskinan. Mereka bergelut dengan nasib, menertawakan nestapa dengan luka dan air mata: ketidakberdayaan. Melihat napas mereka yang naik turun, aku berpikir bahwa mereka juga merasa lelah. Lelah karena ketidakberdayaan atau bahagia karena lelah? Lelah dalam kebahagiaan atau bahagia dalam kelelahan? Entahlah.
Di bawah lampu jalan yang menyala redup.Jantungku terkadang berdegup kencang ketika berjalan sendirian menuju rumahku. Semacam perasaan aneh yang tiba-tiba datang. Aku mempercepat langkahku. Aku ingin agar segera sampai dirumah. Untuk segera beristirahat karena sudah terlalu lelah. Aku memalingkan mataku ke arah lain di sekitar trotoar. Tidak ada siapa-siapa. Sunyi, sementara malam semakin larut. Jam di lenganku menunjuk pukul 23.00. Aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Suara sepatuku menggema memecah kesunyian. Angin bertiup semakin dingin. Mendung menghalangi bintang-bintang. Di langit, bulan separuh berwarna pucat. Cahayanya dihalau awan yang didera angin. Angin malam memainkan rambutku. Beberapa langkah kemudian dalam sekejap mataku tertuju kepada banyak orang yang berkumpul diujung jalan. Terdengar suara wanita berteriak melewati telingaku saat itu "Aaaaahhhh... Siapa saja tolong aku!!!" Aku menghentikan langkahku lalu terdiam
Aku sudah pasrah saat itu, dalam pikiranku pasti malam ini aku akan mati ditangan mereka dengan peluru menembus dikepalaku. Mungkin ini akhir hidupku sesaat aku mengingat segala sesuatu dari masa lalu, "Ini adalah akhir hidupku, penderitaanku akan selesai disini.""Aku tidak takut padamu!!" lirih suaraku menahan semua rasa sakit yang ada.Terlihat dengan mataku pria tersebut seperti akan menarik pelatuk pistolnya, dan pria lain yang berada disekelilingku tertawa jahat ketika melihat penderitaanku. "Hahaha!!!"Aku memejamkan mataku untuk siap mati, namun tiba-tiba saja terdengar suara sesuatu dari atas. Aku pun membuka mata seketika cahaya yang begitu terang menyilaukan mataku dan berandalan yang sedang didekatku. Tidak tahu itu apa, tapi cahayanya hampir membuat mata ini tak sanggup melihatnya, aku pikir apakah itu bintang jatuh dari atas langit. Kalau benar pasti aku akan mati mengenaskan sektika.Semakin dekat, cahanya semakin memudar mataku terbelalak
Aku gundah dan gelisah. Aku menggigil ketakutan, seluruh tubuhku gemetaran. Terduduk lemah dikursi dalam kamarku, aku berusaha menenagkan diri setelah apa yang terjadi. Namun, kenyataan memburuku dengan ketakutan tak terperikan.Seperti benang kusut yang seolah mustahil bisa diurai. Aku lemas dan merunduk. Dadaku terasa sangat sesak dan sakit. Keringat membasahi keningku, mengalir dari pelipis hingga leher. Tengkukku basah, mataku basah.Angin berembus kencang. Pohon-pohon diluar condong searah angin. aku menutupi wajah sebelah kanan dengan telapak tanganku.Sesaat tiba-tiba saja aku mengingat suara desing peluru dan pria tua yang tadi. Saat itu aku baru saja melarikan diri dengan segenap kekuatan kakiku yang mulai lemas ini.Sebagian besar manusia memang tak bisa melawan rasa takutnya, dan kadang-kadang itu bukan sesuatu yang buruk. Kesadaran menyelamatkan diri merupakan hal yang begitu alami.Jalan hidupku masihlah sangat panjang, panda
Di depan kami samar-samar sudah terlihat gerbang barat sebuah desa, sesampainya di gerbang kami sangat terkejut, beberapa bagian benteng sudah rusak dan ada banyak bekas pertempuran. Terlihat penjaga gerbang berlari ke dalam desa, sepertinya akan memberitahu warga yang lain kalau kami akan datang. Kami segera berjalan menuju ke tengah desa. Alvar menuju ke papan pengumuman di dekat pohon beringin besar di tengah desa. Kami berjalan dengan ekspresi muka penuh tanda tanya. Sebenarnya apa yang terjadi?"Wahai saudara-saudaraku, apa yang terjadi di desa kalian ini?” tanya Alvar keras kepada para warga yang menyambut kedatangankami."Desa ini telah diserang banyak kawanan hewan buas. Kami sudah berusaha semampu kami untuk melawan dan mempertahankan desa ini, namum mereka sepertinya sudah sulit untuk bisa di kendalikan.” jawab seorang penjaga gerbang mewakili warga."Hewan-hewan itu bermata merah, mereka seperti diperintah oleh suatu kekuatan.”
Malam sedang membawaku berjalan di atas roda mimpi yang berputar kala tidur lelapku. Ya, berjalan, bukan berlari. Karena aku ingin menikmati setiap alunan khayalan yang melintas di depanku. Sekelilingku putih, sangat putih tak berujung. Aku terus berjalan dan berjalan hingga putih di sekitarku semakin lama semakin redup ditelan kegelapan. Kemudian aku mendengar bunyi “Tik..tok..tik..tok..” Seperti suara mesin jam yang sedang mengayun jarum detiknya.Aku juga melihat seperti ada sinar dari luar yang menembus ke dalam duniaku. Bola mataku bergerak ke kiri dan ke kanan. Tempat ini sepertinya tidak asing. Aku teliti lagi dan mencoba mengingat tempat ini. Lalu aku merasakan getaran pada pergelangan tanganku seiring dengan suara yang juga tidak asing."Akira! Kau dimana!?" ternyata itu suara profesor Javier, "Prof.." sebelum aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba saja suara itu lenyap seketika.Jalanan sangat sepi, bulan masih tersenyum cerah. Lampu jalan masi
Tanganku meraba-raba sekitar. Basah. Perlahan, aku menyadari aroma yang menguar dari tempatku berada. Daun. Kelopak mataku terbuka. Pupil mataku mulai menyesuaikan diri dengan cahaya sang surya yang hampir kembali keperaduannya. Setelah terbuka sepenuhnya, aku terduduk dan menatap sekitar. Padang rumput. Aku bangkit berdiri dan mulai berjalan mengikuti ke mana pun kakiku melangkah. Sebulir peluh menetes melewati rahangku. Jantungku berpacu cepat, berlomba-lomba dengan adrenalin yang mengalir deras melalui pembuluh darahku. Tak sedetik pun aku memelankan langkah, berzig-zag di antara pepohonan, melompati akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. Menjemput maut yang siap menyambut kematianku. Tubuhku telah bermandi keringat. Kali ini aku semakin merajalela. Menanggalkan alas kakiku, berlari dan terus berlari, tanpa mempedulikan cabang dan ranting pohon yang mengoyak pakaianku, menggores kulitku, dan meninggalkan rasa perih yang menusuk. Aku bisa saja berhenti. M
Aku percaya tiap kehidupan -baik yang dulu, sekarang, maupun di masa depan kelak- memiliki tujuannya masing-masing. Aku memalingkan wajahku ke arah seorang pemuda yang tegap berdiri di tengah-tengah cekungan bekas dari pertarungan.Berkali-kali aku menarik napas dengan cepat hingga menimbulkan suara dengusan yang bisa terdengar oleh orang yang ada di sekitarku.Angin sore menerpa permukaan kulit memberikan perasaan kering yang tak biasa. Perasaan kosong itu begitu menggangguku, "Akira jangan kau pikirkan apa yang di ucapkannya, dia hanya ingin membuatmu lupa akan dirimu sendiri.. Dia berusaha menyinggung tentang masa lalumu itu." ucap Alvar."Apa kau tidak percaya Akira!? raja kegelapan bisa menghidupkan orang yang telah mati untuk dijadikan pengikutnya. Dengan kata lain temanmu itu sudah di jadikan boneka oleh raja kegelapan untuk menjalani ke inginannya." ujar Cahir."Sudah cukup Cahir, kau terlalu banyak berbual. Apa tujuanmu datang kesini hanya untuk
Sementara itu saat ini suasana semakin mencekam, aku bisa melihat aura kemarahan antara Alvar dan Jugo. Mereka sudah siap menyerang dengan senjatanya masing-masing. "Sebaiknya kita selesaikan saja masalah ini, dari pada kau terus menghalangi perjalanan kami saat ini." tantang Alvar."Kalau itu maumu, aku akan menerimanya. Tapi hari ini aku hanya ingin bertarung dengan Akira, menurutku kau sangat mudah untuk di kalahkan. Sekarang aku ingin menjajal kekuatan dari seorang yang sudah lama di ramalkan untuk menyelamatkan negeri ini." ucap Jugo seakan merendahkan Alvar saat itu.Alvar pun tidak terima karena Jugo sudah meremehkannya saat itu, "Kau jangan banyak bicara Jugo. Kekuatanmu tak sebanding dengan Akira, bahkan kupastikan untuk mengalahkanku pun kau tidak akan sanggup sekarang!" geram Alvar."Aku tidak sepertimu Alvar, kekuatanku sudah terlatih selama ini. Negeri ini bahkan bergantung pada diriku!" ucap Jugo yang semakin congkak."Kalau begitu kau akan
Tetesan air langit kini tiada lagi berhamburan ke bumi. Sang raja cahaya kini mulai menampakkan dirinya yang tersipu malu, terhalang oleh mega. Di balik celah-celah batuan terjal kaki gunung melesat kilatan-kilatan cahaya teduh dan cerah. Menghapus warna hitam di langit saat ini. Pagi telah menyambutku.Suara napasku yang beradu cepat bersama langkah kakiku yang sedang berlari. Ku lewati pohon-pohon besar di depanku. Aku sudah tak peduli bagaimana penampilanku sekarang, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa sampai di tujuanku dengan cepat dan selamat."Sebuah danau!" ujar Alvar.Aku dan Alvar menghentikan langkah sementara ketika kami sampai di sebuah sungai di hadapan kami sekarang, kami yang kehausan karena sepanjang hari sudah berlari dan bertarung dengan beberapa musuh di perjalanan pun meminum air dari sungai tersebut, dan menyimpannya sedikit untuk bekal melanjutkan perjalanan."Kita akan beristirahat sebentar disini Alvar!" ujar aku.
Kami mencoba mengobati kekhawatiran dengan menggumamkan beberapa bait lagu tentang musim panen sambil berjalan diantara pohon-pohon ek yang besar dan berlumut. Matahari sudah terbenam sekitar satu jam yang lalu, kegelapan total mulai turun dan bulan muda belum terbit. Kami melihat sekeliling, memasang telinga untuk gerakan atau suara apapun yang tampak berbahaya.Kami tak mendengar apapun selain suara burung hantu dan jangkrik, kami juga tak melihat apapun selain deretan pepohonan dan semak belukar di sekitar tempat itu. kami kembali menggumamkan lagu sampai telinga ini mendengar suara kemeresak tepat di belakang.Secepat kilat kami berbalik, mencabut busur dan sedetik kemudian sebuah anak panah sudah terpasang. Mata kami mengarah tajam kearah belukar dibelakang, darah ini mengalir lebih cepat dalam nadinya, suara degup jantung terdengar bertalu-talu ditelinga sendiri.Perlahan kami mendekati sumber suara dan tiba-tiba belukar itu bergoyang. Kami terlonjak, mena
"Jarak antara tempat ini ke Haven sekitar dua bulan perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki,” kata Alvar, “Kau tak akan sampai ke Haven tepat waktu tanpa kuda.”Temannya itu tertawa pahit sambil membalik kelinci panggang yang dijerangnya di atas api.“Beruntungnya aku karena kuda yang kubawa dari Yelow Gate terluka parah dan akhirnya mati ketika aku diserang segerombolan Dargo di dekat Creek Hollow,” Bale menggeram dan meludahkan kata Dargo seperti kutukan, “Aku sangat beruntung berhasil membantai sebagian besar dari mereka tanpa terluka. Kuku-kuku mereka seperti dilumuri racun.”Wajah Alvar menjadi semakin suram setelah mendengar cerita rekannya itu. Dargo memang suka membuat onar dan menyerang para pelancong yang melintas di dekat sarang mereka. Namun seingat Alvar jalan besar di Creek Hollow berjarak puluhan league dari Pegunungan Berbatu, dimana gua-gua Dargo berada."Bawalah kepingan uang ini bersamamu, mun
Ketika sudah semakin larut malam, kami memutuskan untuk berhenti dan beristirahat. Karena keadaan di sekitar tempat kami berpijak sekarang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan dikarenakan kabut asap yang semakin tebal, padangan kami benar-benar di butakan karena hal itu. Kami tidak tahu kondisi yang kami lewati di depan bagaimana, tapi melihat kejadian yang terjadi pada Alvar tadi, kemungkinan masih banyak jalan yang berbahaya untuk kami lewati.Aku terperanjat bangun dari tidur setelah mendengar suara lolongan serigala di kejauhan, begitu juga Alvar karena terkejut yang mendengar aku bangun secara tiba-tiba. Kami segera bangkit duduk dari alas tidur dan melingkarkan jari-jari ini di gagang pedang yang tak pernah jauh dari tubuh kami untuk berjaga-jaga. "Ada apa Akira!?" tanya Alvar."Tidak apa, perasaanku tidak enak. Aku kira ada yang memperhatikan kita sekarang." jawab aku.Aku tak pernah menyukai serigala. Terlalu banyak pengalaman buruk tentang me