Sesaat aku menelan ludah. Karena perbincangan ini. Mario satunya-satunya teman yang aku punya dan sudah aku anggap sebagai kelurgaku sendiri, dia memiliki nasib yang sama denganku hidup sebatang kara, namun ia tidak pernah ingin menceritakan tentang keluarganya, tetapi tidak apa tentang itu, aku senang ada dia di sini karena hanya dia yang perduli dengan diriku.
Kadang aku harus berhenti untuk menebak apakah hidupku akan terus seperti ini tanpa perubahan. Sekuat tenaga aku bertahan walaupun mendengar banyak ejekan dari orang-orang disekitar. Ada banyak penolakan dalam diri ini tentang apa yang sudah terjadi, tapi hidup harus terus berjalan.
Saat ini aku menyadari apabila aku tidak benar-benar berjuang tentang hidup ini. Tidak ada yang harus aku salahkan, aku tau karena pertengkaran orang tuaku hidupku menjadi serba kekurangan, tetapi sebenarnya aku sangat menyayangi mereka, apalagi aku sangat ingin bisa bertemu lagi dengan ibuku.
Walau jauh dalam lubuk hati ini ada perasaan mengganjal begitu kuat. Pada suatu titik aku mencoba untuk berhenti. Dan bertahan untuk selalu mengejar dan berharap akan balasan lain tentang perjuangan dalam hidup ini.
Aku banyak belajar dari Mario dia banyak mengajariku segala hal tentang kehidupan, dia adalah seorang pekerja keras. Tidak memperdulikan masalah kecil yang datang dikehidupannya. Dikota ini banyak sekali orang-orang kesusahan untuk mendapatkan materi, karena pemerintahan yang amat rakus tidak memperdulikan rakyatnya sendiri.
Tingkat kejahatan amat tinggi dikota ini, terlebih lagi untuk kaum yang memiliki jabatan dan tahta, mereka ada dijalan yang gelap, mereka bisa melakukan apapun yang ingin dilakukan terhadap orang lain.
"Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Mario lirih membuatku sadar dari dalam lamunan. Wajahnya tetap menghadap ke depan, menatap serius kepadaku. Masih seperti dulu, garis tegas diwajahnya menandakan ia enggan menghadapi dunia dengan keluhan. Matanya yang bulat tajam menikam kehampaan yang menyelimutinya.
"Tidak ada, aku hanya berusaha menenangkan diriku." elak aku menutupi apa yang aku rasakan.
“Bagaimana bisa kau mengucapkan kata seperti itu, sedangkan aku paham kau sedang memikirkan masa lalu mu?” Tanyanya seraya menatapku. Aku terdiam, merebah kebelakang, kepalaku menengadah menatap langit-langit rumah, lalu menghela nafas, menerobos waktu kemasa lalu.
“Kupikir kau mengerti… Bagaimana bisa kau mengerti sesuatu yang tak ku jelaskan?” Tanyaku keras, lalu menatapnya lagi, kini ada rasa kesal yang menyelimuti pikiranku.
"Meski mungkin orang lain yang melihatmu akan merasa iba, kasihan, tapi aku tidak. Aku selalu katakan padamu bahwa kau tak boleh mempertanyakan keadaanmu saat ini, karena apa yang tengah terjadi kepadamu, itulah yang terbaik buatmu. Setiap hidup manusia pasti akan berubah, tetapi jika orang itu ingin merubahnya, pilihan hidupnya ada ditangannya sendiri. Tidak usah bergelut dengan masa lalu itu akan menyakitkan.” kata Mario sekali lagi menasehati.
"Kau benar tentang itu, tetapi aku kira semesta tidak berpihak padaku." kataku dengan nada rendah.
"Kamu tidak akan pernah tau tentang itu, teruslah berusaha!" kata Mario menyemangati.
Aku terdiam sebentar membaca pikiran. "Sungguh hebat," ucapku dalam hati. Ia selalu bijak menanggapi hidup, seperti dulu, saat ia mengajakku keluar dari kubangan. Tapi aku baru sadar dan lupa bertanya kenapa ia datang kerumahku pagi ini, karena tidak sering dia datang ke sini.
"Oh iyaa, kamu ada perlu apa datang kesini?" tanyaku.
"Aku hanya ingin mengingatkan, kalau nanti malam acara dirumah saudagar kaya itu akan segera dilaksanakan. Aku sudah minta ijin untuk membantu pekerjaan di sana, dan nanti malam kita akan kesana." jelas Mario membawa kabar yang baik.
"Baguslah kalau gitu, aku jadi tidak perlu khawatir lagi karena tabunganku sudah hampir menipis." kataku.
"Oke, ini pekerjaan yang bagus untuk kita menambah penghasilan." kata Mario.
Meski begitu, tetap saja pekerjaan yang harus berurusan dengan manusia yang angkuh dikota ini tidaklah mudah, aku pernah melakukannya beberapa kali jauh lebih berat dari pekerjaanku di bar, beberapa kali juga aku muak melihat tingkah laku orang-orang kaya itu, membuat aku semakin tenggelam dalam pikiran-pikiran soal kesulitan yang akan aku hadapi.
Aku hanya dapat menduga-duga dan berhati-hati menjalani pekerjaan itu, tapi tidak apa pasti aku bisa melewati semua itu meski pun aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
***
Waktu berlalu dengan cepat, malam datang dengan bulan yang bersinar begitu bulatnya.
Gelap malam menjadi saksi semuanya, mengumpulkan segenap kekuatan dengan menjadi kelam, sunyi tak terdengar, jauh di ujung bumi yang tak tergapai.Raga ini mesti belajar membatasi nikmat agar tidak terlalu terbuai dalam kesenangan yang semu. Raga ini mesti berjalan walaupun hanya kesunyian yang seringkali ditemukan. Menghindari segala pandangan yang menambah semakin banyak potensi-potensi bertambah suburnya angan-angan yang seyogyanya selalu saja mendorong hasrat untuk tidak pernah puas akan sesuatu.
Di ruangan pesta yang besar banyak hadirin yang sudah datang. Para tuan dan nyonya yang berpakaian rapih, sedang memamerkan kekayaannya denga wajah kerasnya itu. Yang paling mencolok buatku malam itu adalah Belinda dengan gaun putih yang dia kenakan di atas panggung terlihat amat cantik, aku benar-benar terpesona melihatnya.
Takdir, sebuah kata benda yang perwujudannya semu namun pasti, nyata tapi tidak jelas. Sedihnya, takdir kadang dapat mengkhianati impian. Hidup sehat sejak dini, namun wafat di usia belia. Ayahnya seorang yang amat kaya dikota ini sehingga dia mampu menggelar pesta sebesar itu, namun anaknya Bernardo seorang yang taat pesta dan maksiat, dengan secawan anggur yang ia pegang ditangan ia mampu berbual pada orang-orang, padahal nyatanya dia hanyalah pemalas yang hanya bisa menumpang hidup dengan orang tuanya. "Dengarkan! aku Bernardo anak orang terkaya dikota ini, aku ingin kalian bisa menikmati pesta ini dengan sesuka hati hahaha!" seru Bernando dengan segala kesombangannya dan tawanya itu.
Semacam itulah takdir, apa yang sudah direncanakan dan dilakoni dengan matang hari ini belum tentu masa depannya seturut dengan apa yang dikehendaki. Bak film yang dijeda pada suatu adegan kemudian dipercepat beberapa detik untuk mencapai suatu peristiwa berikutnya.
"Dari dulu aku tidak suka dengan orang ini!" geram aku melihat tingkah Bernardo.
"Siapa yang kau maksud? Bernardo kah!" tanya Mario kepadaku.
"Iya siapa lagi, dia adalah orang yang begitu angkuh. Aku terheran kenapa Belinda bisa menyukainya!" kataku sambil merapihkan cawan yang kosong di atas meja.
Mario sedikit tertawa lalu berkata padaku, "Dia punya segalanya, dia ada dimana saat melakukan kesalahan apa pun dianggap benar. Kau tidak perlu mengurusi hidupnya. Kalau Belinda bisa bersamanya, itu pasti karena kekayaan yang ia miliki."
"Tetap saja aku tidak menyukai dirinya, dia harus dibuat sadar. Bahkan ayahnya orang yang paling mempunyai pangkat dikota ini, tidak bisa menyadarkannya." kataku mencurahkan kekesalan disitu.
"Suatu hari orang itu akan sadar, waktu lebih jahat dari apa yang kita kira. Semua bisa terjadi tanpa direncanakan." kata Mario.
Aku terus memperhatikan lagak dari Bernando, kalau saja hidupku tidak seperti ini pasti aku sudah menghampiri dan memukul wajahnya itu dengan keras.Setelah acara makan selesai, akan dimulai pesta dansa. Bernardo berkata, “Sebentar lagi acara dansa dimulai. Siapa yang ingin berdansa denganku silakan minum anggur ini dari sepatuku!” Sambil berkata demikian ia mengangkat tinggi-tinggi sebuah sepatu pantofel yang berwarna hitam. Para hadirin terdiam. Aku berbisik kepada Mario, "aku kesal sekali, bolehkah aku memukulnya sekarang!""Sudalah jangan melihatnya, fokus saja dengan pekerjaanmu." seru Mario.Tetapi saat itu terlihat Bernardo melangkah terhuyung-huyung karena sudah mabuk, menuju keatas panggung menghampiri Belinda yang sedang menghibur dengan suaranya yang merdu. "Hei! sayangku, suarumu sangat indah sekali." kata Bernardo sambil merangkul paksa Belinda saat itu."Lepaskan Bernardo! apa yang ingin kau lakukan." seru Belinda memberontak ber
Malam semakin sunyi dan udara dingin terasa semakin menusuk. Perasaanku amat kacau malam ini. Namun aku tetap melangkahkan kedua kakiku di tengah-tengah keheningan yang semakin mencekam.Ada sebuah perasaan yang rasanya keliru dan tidak pantas dilontarkan, tapi bibir ini tak mampu menahan getar hingga limbung dan ada yang terpeleset keluar dari liang ucap."Sial! aku tidak sanggup hidup seperti ini." kataku dengan amarah.Aku tidak tahu apa akibatnya setelah meninggalkan pekerjaanku, tapi aku benar-benar tidak sanggup untuk melihat kenyataan yang begitu pahit. Jiwa ini memberontak, aku tidak pernah ingin menyalahkan kedua orang tuaku setelah apa yang terjadi. Aku benar-benar menyayangi mereka walaupun aku harus hidup seperti ini.Aku menyisiri jalan yang remang-remang di tengah kota. Berbicara pada malam yang redup, jangkrik yang begitu berisik, dan lampu kedap-kedip yang berbaris rapi seperti semut. Ada ratapan yang terpelihara di mataku, wajah
Aku kira pria tua ini adalah salah satu orang jahat yang mempunyai kekuasaan dikota ini bisa saja dia sudah menyuruh orang untuk membuntutiku selama ini, dan mencari tahu tentang kehidupanku selama ini, aku tidak boleh terjebak dengan tawarannya, karena aku tahu orang jujur dikota ini begitu sedikit adanya. "Kenapa? sebenarnya apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku dengan penuh kehati-hatian."Aku akan memberikan apa saja yang kau inginkan, asalkan kau mau melakukan pekerjaan untukku!" katanya meyakinkan."Pekerjaan apa yang ingin kau berikan padaku?" tanyaku."Jika kau ingin katakan ingin dan aku akan memberitahumu, jika kau tidak mengatakan ingin maka aku pun enggan mengatakannya." katanya seakan mekaksaku dengan halus.Aku yakin pasti orang tua ini bukanlah orang yang baik, ajakannya seperti ingin menjebakku saja. Aku tidak percaya, dan memikirkan untuk segera pergi dari tempat itu. "Maaf aku tidak bisa jika kau tidak memberitahunya, senang bisa b
Aku menutupi seluruh tubuhku dengan selimut, suara langkah terdengar semakin berat, mendekat. Tiba-tiba saja bunyi tetesan air jatuh kelantai mengiringi suara cakaran di tembok penjuru ruangan, "Apa itu setauku atap rumahku tidak ada yang bocor dan rusak." gumam aku dalam hati. Semuanya terjadi begitu cepat. Dingin, gelap, ketakutan.Semuanya terasa janggal malam ini, kenapa ini harus terjadi padaku. Aku harap kantuk segera datang. Lenyap seketika, meninggalkan luka."Gelap... Di mana aku?" aku bertanya sembari mendengar suara. Suara dari jantungku sendiri yang berdegup mengejar ketakutannya. Tubuhku bergeliat dan menimbulkan suara lain dari gemertak sendi tubuhku. Suara dari tubuh jauh lebih jelas dari pandanganku yang hitam.Tidak ada yang lain kecuali aku. Aku tidak mendengar sebuah pantulan dari apapun. Pantulan yang selalu aku rasakan seperti kemarin. Dari sebuah cahaya, sampai sensasi melihat bayangan seseorang didekat jendela. Hanya diriku sendiri dikamar
Mata bisa menipuku, tapi suara hati tidak. Hal itulah yang mendorongku keluar dari kegelapan waktu. Meninggalkan kesunyian yang selama ini membelenggu diriku. Suara hati itu berwujud harapan. Apakah sesuatu yang konyol, tentu tidak? Aku terdiam di sini, di antara meja dan kursi dapur dan seorang pria yang tidak kukenali sama sekali. Hanya ingin mendengarkan serta memastikan dengan jelas, suara hati ini. Suara hati yang mengarahkan pergi mencari hari esok yang lebih baik. Mencari arti dari kenyataan, menanam benih mimpi lalu menuainya. Tidak lagi menanti dititik yang sama.aku mengatur nafas pelan-pelan dan mengusap seluruh wajah dengan kedua tangan ini agar cepat mendapatkan keputusan. Aku terpejam sejenak, merasakan irama detak jantungku yang mulai normal. Tapi, tiba-tiba derap langkah kaki terdengar dari arah belakang, aku membelakkan mata ketika sebuah tangan menepuk pundaku, " Hey! Akira sedang apa kau?" kemudian aku menengok kebelakang melihat siapa yang datang. Ternyata
Aku menggumpalkan tangan kanan lalu menempelkan dibibirku beberapa kali. Seolah mentransfer energi ketegaran menghirup atmosfer kota. Langkah kaki yang gugup perlahan mulai santai. Kedua bola mataku perlahan berani menantang kilau mentari senja. Sorotan sang senja, menyinari Kota Tua, tanah harapan banyak orang. Terlihat gedung-gedung menjulang tinggi, kontras dengan perumahan kumuh yang landai, menggoreskan garis imajiner tegak lurus. Entah dalam arti sosial atau finansial. Pandanganku beralih pada pengemis yang berkeliaran dipinggir kota. Langkah kakiku terhenti, aku mengamati anak-anak manusia yang terabaikan. Wajah belia mereka tertutup bayangan kemiskinan. Mereka bergelut dengan nasib, menertawakan nestapa dengan luka dan air mata: ketidakberdayaan. Melihat napas mereka yang naik turun, aku berpikir bahwa mereka juga merasa lelah. Lelah karena ketidakberdayaan atau bahagia karena lelah? Lelah dalam kebahagiaan atau bahagia dalam kelelahan? Entahlah.
Di bawah lampu jalan yang menyala redup.Jantungku terkadang berdegup kencang ketika berjalan sendirian menuju rumahku. Semacam perasaan aneh yang tiba-tiba datang. Aku mempercepat langkahku. Aku ingin agar segera sampai dirumah. Untuk segera beristirahat karena sudah terlalu lelah. Aku memalingkan mataku ke arah lain di sekitar trotoar. Tidak ada siapa-siapa. Sunyi, sementara malam semakin larut. Jam di lenganku menunjuk pukul 23.00. Aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Suara sepatuku menggema memecah kesunyian. Angin bertiup semakin dingin. Mendung menghalangi bintang-bintang. Di langit, bulan separuh berwarna pucat. Cahayanya dihalau awan yang didera angin. Angin malam memainkan rambutku. Beberapa langkah kemudian dalam sekejap mataku tertuju kepada banyak orang yang berkumpul diujung jalan. Terdengar suara wanita berteriak melewati telingaku saat itu "Aaaaahhhh... Siapa saja tolong aku!!!" Aku menghentikan langkahku lalu terdiam
Aku sudah pasrah saat itu, dalam pikiranku pasti malam ini aku akan mati ditangan mereka dengan peluru menembus dikepalaku. Mungkin ini akhir hidupku sesaat aku mengingat segala sesuatu dari masa lalu, "Ini adalah akhir hidupku, penderitaanku akan selesai disini.""Aku tidak takut padamu!!" lirih suaraku menahan semua rasa sakit yang ada.Terlihat dengan mataku pria tersebut seperti akan menarik pelatuk pistolnya, dan pria lain yang berada disekelilingku tertawa jahat ketika melihat penderitaanku. "Hahaha!!!"Aku memejamkan mataku untuk siap mati, namun tiba-tiba saja terdengar suara sesuatu dari atas. Aku pun membuka mata seketika cahaya yang begitu terang menyilaukan mataku dan berandalan yang sedang didekatku. Tidak tahu itu apa, tapi cahayanya hampir membuat mata ini tak sanggup melihatnya, aku pikir apakah itu bintang jatuh dari atas langit. Kalau benar pasti aku akan mati mengenaskan sektika.Semakin dekat, cahanya semakin memudar mataku terbelalak
Di depan kami samar-samar sudah terlihat gerbang barat sebuah desa, sesampainya di gerbang kami sangat terkejut, beberapa bagian benteng sudah rusak dan ada banyak bekas pertempuran. Terlihat penjaga gerbang berlari ke dalam desa, sepertinya akan memberitahu warga yang lain kalau kami akan datang. Kami segera berjalan menuju ke tengah desa. Alvar menuju ke papan pengumuman di dekat pohon beringin besar di tengah desa. Kami berjalan dengan ekspresi muka penuh tanda tanya. Sebenarnya apa yang terjadi?"Wahai saudara-saudaraku, apa yang terjadi di desa kalian ini?” tanya Alvar keras kepada para warga yang menyambut kedatangankami."Desa ini telah diserang banyak kawanan hewan buas. Kami sudah berusaha semampu kami untuk melawan dan mempertahankan desa ini, namum mereka sepertinya sudah sulit untuk bisa di kendalikan.” jawab seorang penjaga gerbang mewakili warga."Hewan-hewan itu bermata merah, mereka seperti diperintah oleh suatu kekuatan.”
Malam sedang membawaku berjalan di atas roda mimpi yang berputar kala tidur lelapku. Ya, berjalan, bukan berlari. Karena aku ingin menikmati setiap alunan khayalan yang melintas di depanku. Sekelilingku putih, sangat putih tak berujung. Aku terus berjalan dan berjalan hingga putih di sekitarku semakin lama semakin redup ditelan kegelapan. Kemudian aku mendengar bunyi “Tik..tok..tik..tok..” Seperti suara mesin jam yang sedang mengayun jarum detiknya.Aku juga melihat seperti ada sinar dari luar yang menembus ke dalam duniaku. Bola mataku bergerak ke kiri dan ke kanan. Tempat ini sepertinya tidak asing. Aku teliti lagi dan mencoba mengingat tempat ini. Lalu aku merasakan getaran pada pergelangan tanganku seiring dengan suara yang juga tidak asing."Akira! Kau dimana!?" ternyata itu suara profesor Javier, "Prof.." sebelum aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba saja suara itu lenyap seketika.Jalanan sangat sepi, bulan masih tersenyum cerah. Lampu jalan masi
Tanganku meraba-raba sekitar. Basah. Perlahan, aku menyadari aroma yang menguar dari tempatku berada. Daun. Kelopak mataku terbuka. Pupil mataku mulai menyesuaikan diri dengan cahaya sang surya yang hampir kembali keperaduannya. Setelah terbuka sepenuhnya, aku terduduk dan menatap sekitar. Padang rumput. Aku bangkit berdiri dan mulai berjalan mengikuti ke mana pun kakiku melangkah. Sebulir peluh menetes melewati rahangku. Jantungku berpacu cepat, berlomba-lomba dengan adrenalin yang mengalir deras melalui pembuluh darahku. Tak sedetik pun aku memelankan langkah, berzig-zag di antara pepohonan, melompati akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. Menjemput maut yang siap menyambut kematianku. Tubuhku telah bermandi keringat. Kali ini aku semakin merajalela. Menanggalkan alas kakiku, berlari dan terus berlari, tanpa mempedulikan cabang dan ranting pohon yang mengoyak pakaianku, menggores kulitku, dan meninggalkan rasa perih yang menusuk. Aku bisa saja berhenti. M
Aku percaya tiap kehidupan -baik yang dulu, sekarang, maupun di masa depan kelak- memiliki tujuannya masing-masing. Aku memalingkan wajahku ke arah seorang pemuda yang tegap berdiri di tengah-tengah cekungan bekas dari pertarungan.Berkali-kali aku menarik napas dengan cepat hingga menimbulkan suara dengusan yang bisa terdengar oleh orang yang ada di sekitarku.Angin sore menerpa permukaan kulit memberikan perasaan kering yang tak biasa. Perasaan kosong itu begitu menggangguku, "Akira jangan kau pikirkan apa yang di ucapkannya, dia hanya ingin membuatmu lupa akan dirimu sendiri.. Dia berusaha menyinggung tentang masa lalumu itu." ucap Alvar."Apa kau tidak percaya Akira!? raja kegelapan bisa menghidupkan orang yang telah mati untuk dijadikan pengikutnya. Dengan kata lain temanmu itu sudah di jadikan boneka oleh raja kegelapan untuk menjalani ke inginannya." ujar Cahir."Sudah cukup Cahir, kau terlalu banyak berbual. Apa tujuanmu datang kesini hanya untuk
Sementara itu saat ini suasana semakin mencekam, aku bisa melihat aura kemarahan antara Alvar dan Jugo. Mereka sudah siap menyerang dengan senjatanya masing-masing. "Sebaiknya kita selesaikan saja masalah ini, dari pada kau terus menghalangi perjalanan kami saat ini." tantang Alvar."Kalau itu maumu, aku akan menerimanya. Tapi hari ini aku hanya ingin bertarung dengan Akira, menurutku kau sangat mudah untuk di kalahkan. Sekarang aku ingin menjajal kekuatan dari seorang yang sudah lama di ramalkan untuk menyelamatkan negeri ini." ucap Jugo seakan merendahkan Alvar saat itu.Alvar pun tidak terima karena Jugo sudah meremehkannya saat itu, "Kau jangan banyak bicara Jugo. Kekuatanmu tak sebanding dengan Akira, bahkan kupastikan untuk mengalahkanku pun kau tidak akan sanggup sekarang!" geram Alvar."Aku tidak sepertimu Alvar, kekuatanku sudah terlatih selama ini. Negeri ini bahkan bergantung pada diriku!" ucap Jugo yang semakin congkak."Kalau begitu kau akan
Tetesan air langit kini tiada lagi berhamburan ke bumi. Sang raja cahaya kini mulai menampakkan dirinya yang tersipu malu, terhalang oleh mega. Di balik celah-celah batuan terjal kaki gunung melesat kilatan-kilatan cahaya teduh dan cerah. Menghapus warna hitam di langit saat ini. Pagi telah menyambutku.Suara napasku yang beradu cepat bersama langkah kakiku yang sedang berlari. Ku lewati pohon-pohon besar di depanku. Aku sudah tak peduli bagaimana penampilanku sekarang, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa sampai di tujuanku dengan cepat dan selamat."Sebuah danau!" ujar Alvar.Aku dan Alvar menghentikan langkah sementara ketika kami sampai di sebuah sungai di hadapan kami sekarang, kami yang kehausan karena sepanjang hari sudah berlari dan bertarung dengan beberapa musuh di perjalanan pun meminum air dari sungai tersebut, dan menyimpannya sedikit untuk bekal melanjutkan perjalanan."Kita akan beristirahat sebentar disini Alvar!" ujar aku.
Kami mencoba mengobati kekhawatiran dengan menggumamkan beberapa bait lagu tentang musim panen sambil berjalan diantara pohon-pohon ek yang besar dan berlumut. Matahari sudah terbenam sekitar satu jam yang lalu, kegelapan total mulai turun dan bulan muda belum terbit. Kami melihat sekeliling, memasang telinga untuk gerakan atau suara apapun yang tampak berbahaya.Kami tak mendengar apapun selain suara burung hantu dan jangkrik, kami juga tak melihat apapun selain deretan pepohonan dan semak belukar di sekitar tempat itu. kami kembali menggumamkan lagu sampai telinga ini mendengar suara kemeresak tepat di belakang.Secepat kilat kami berbalik, mencabut busur dan sedetik kemudian sebuah anak panah sudah terpasang. Mata kami mengarah tajam kearah belukar dibelakang, darah ini mengalir lebih cepat dalam nadinya, suara degup jantung terdengar bertalu-talu ditelinga sendiri.Perlahan kami mendekati sumber suara dan tiba-tiba belukar itu bergoyang. Kami terlonjak, mena
"Jarak antara tempat ini ke Haven sekitar dua bulan perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki,” kata Alvar, “Kau tak akan sampai ke Haven tepat waktu tanpa kuda.”Temannya itu tertawa pahit sambil membalik kelinci panggang yang dijerangnya di atas api.“Beruntungnya aku karena kuda yang kubawa dari Yelow Gate terluka parah dan akhirnya mati ketika aku diserang segerombolan Dargo di dekat Creek Hollow,” Bale menggeram dan meludahkan kata Dargo seperti kutukan, “Aku sangat beruntung berhasil membantai sebagian besar dari mereka tanpa terluka. Kuku-kuku mereka seperti dilumuri racun.”Wajah Alvar menjadi semakin suram setelah mendengar cerita rekannya itu. Dargo memang suka membuat onar dan menyerang para pelancong yang melintas di dekat sarang mereka. Namun seingat Alvar jalan besar di Creek Hollow berjarak puluhan league dari Pegunungan Berbatu, dimana gua-gua Dargo berada."Bawalah kepingan uang ini bersamamu, mun
Ketika sudah semakin larut malam, kami memutuskan untuk berhenti dan beristirahat. Karena keadaan di sekitar tempat kami berpijak sekarang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan dikarenakan kabut asap yang semakin tebal, padangan kami benar-benar di butakan karena hal itu. Kami tidak tahu kondisi yang kami lewati di depan bagaimana, tapi melihat kejadian yang terjadi pada Alvar tadi, kemungkinan masih banyak jalan yang berbahaya untuk kami lewati.Aku terperanjat bangun dari tidur setelah mendengar suara lolongan serigala di kejauhan, begitu juga Alvar karena terkejut yang mendengar aku bangun secara tiba-tiba. Kami segera bangkit duduk dari alas tidur dan melingkarkan jari-jari ini di gagang pedang yang tak pernah jauh dari tubuh kami untuk berjaga-jaga. "Ada apa Akira!?" tanya Alvar."Tidak apa, perasaanku tidak enak. Aku kira ada yang memperhatikan kita sekarang." jawab aku.Aku tak pernah menyukai serigala. Terlalu banyak pengalaman buruk tentang me