Aku menutupi seluruh tubuhku dengan selimut, suara langkah terdengar semakin berat, mendekat. Tiba-tiba saja bunyi tetesan air jatuh kelantai mengiringi suara cakaran di tembok penjuru ruangan, "Apa itu setauku atap rumahku tidak ada yang bocor dan rusak." gumam aku dalam hati. Semuanya terjadi begitu cepat. Dingin, gelap, ketakutan.
Semuanya terasa janggal malam ini, kenapa ini harus terjadi padaku. Aku harap kantuk segera datang. Lenyap seketika, meninggalkan luka.
"Gelap... Di mana aku?" aku bertanya sembari mendengar suara. Suara dari jantungku sendiri yang berdegup mengejar ketakutannya. Tubuhku bergeliat dan menimbulkan suara lain dari gemertak sendi tubuhku. Suara dari tubuh jauh lebih jelas dari pandanganku yang hitam.
Tidak ada yang lain kecuali aku. Aku tidak mendengar sebuah pantulan dari apapun. Pantulan yang selalu aku rasakan seperti kemarin. Dari sebuah cahaya, sampai sensasi melihat bayangan seseorang didekat jendela. Hanya diriku sendiri dikamar ini.
Mataku mencoba melihat sekeliling berusaha menerjam setitik kecil cahaya untuk menerka sekitar. Kiri kekanan, atas kebawah, depan kebelakang semua arah yang memungkinkan aku coba. Kosong. Hanya itu yang aku hasilkan dari usahaku. Mataku terasa tertutup setelah semua itu.
Tanganku digerakkan. Sebuah usaha untuk meraih sesuatu yang berada disekitar. Jemariku tidak menggenggam apapun. Tidak sekalipun mengenai sesuatu kecuali kegelapan. Aku seperti sedang berada di alam bawah sadarku. Tubuhku membujur. Merasakan bagaimana rupa pria tua yang tersenyum didalam mimpi. Dingin dan misterius.
Keringatku mulai deras. Menyelimuti setiap jengkal kulitku. Menyadarkan keberadaan sebagai satu-satunya makhluk dikegelapan ini. Aku terpejam. Tetapi otakku bekerja agar semua secara tidak logis. Kegelapan ini. Kekosongan ini, ketiadaan ini. Benar-benar membuatku keliru. Mulutku bergumam. Ingataku membawa kedalam sebuah kejadian dimana aku selalu berada dibawah tekanan.
Baru saja aku terpejam dalam tidur, tiba-tiba mata lelahku yang terpajang menangkap banyak darah didinding rumah tepat dihadapanku ketika itu. "Ada apa ini kenapa tubuhku tidak bisa digerakkan." bergumam aku ketika tiba-tiba tubuhku sedang berdiri didekat tempat tidur. Nafasku seketika terhenti. Dan seketika aku mendongak keatas melihat banyak darah yang akan mengguyur tubuhku.
Detik-detik pertama aku hanya bisa mematung melihat pemandangan di atas kepalaku, nafasku tiba tiba tertahan dan dingin seketika menyetrum tubuh dari kaki hingga kepala. Kerongkonganku seakan tercekat dan bahkan aku lupa caranya berteriak.
Aku bangun dari tidurku tersentak, melihat disekeliling kamarku tidak ada yang berubah, semua pada tempatnya, tumpukan buku di sisi tempat tidur, terletak di tempat yang semestinya. Aku bertanya pada diriku, perasaan aneh macam apa ini? mungkin ini cuma perasaanku saja atau mungkin ini hanya semacam efek samping dari tidurku yang kurang nyenyak dimalam sebelumnya.
Pintu kamar aku buka, aku menghirup dalam-dalam udara yang ada disekitar, seolah aliran udara yang masuk itu memberi energi tersendiri pada pagi itu. Tapi setelah aku mulai tersadar dari rasa kantuk, tepatnya tersadar secara penuh, aku melihat sesuatu yang ganjil dari jendela kamarku.
Dengan penuh tanda tanya aku melihat ke luar jendela dan apa yang tersaji di depan mataku sungguh lagi-lagi membuat rasa takut mulai menjalar dalam diriku.
Tepat diseberang jalan aku melihat pria tua yang semalam berdiri termangu dengan raut muka datar tanpa ekspressi seperti yang kulihat dalam mimpiku semalam.
Aku putuskan untuk pergi keluar rumah untuk menemui pria tua itu, banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya, tetapi ketika aku membuka pintu dengan segala cahaya dari luar masuk kedalam rumahku, lagi-lagi pria itu lenyap tak nampak disana.
Keadaan ini membuatku khawatir, Banyak hal buruk yang aku temui. Ditengah kekacauan ini aku bingung, limpung dan seakan tidak ada sandaran, tentang apa yang harus aku lakukan.
Aku melangkah menuju dapur dan duduk dikursi dekat meja makan menyandarkan tubuh kebelakang kursi yang terbuat dari kayu itu, sambil mengingat mimpi semalam, mencari-cari alurnya dari awal sampai akhir, aku menampilkannya lagi di angan-anganku. Sempat terbangun dalam keadaan yang sama seperti dalam mimpi, raut wajah ketakutan, terkejut hingga terasa nyata dan terbawa dalam bangun saat aku diguyur begitu banyak darah dalam mimpi.
Teringat dengan jelas pula malam itu listrik padam, lampu tiada yang bersinar, gelap gulita menambah kecemasan yang di rundung pilu. Kuputar ingatanku lebih jauh sebelum aku mendapat mimpi itu.
Meski telah tuntas tapi kenapa pikiran ini tak bisa jernih. Aku menuangkan segelas air dari atas meja lalu menenggaknya melewati kerongkonganku yang kering. Butir keringat yang menggulir dikepala dan leherku, atau juga sepasang mata merah ini yang memancarkan lemas, lebih disebabkan karena dugaan-dugaan tentang kemungkinan terpelik yang akan dialami; "apa lagi setelah ini, mungkinkah ada yang lebih buruk. Ah, kuharap tidak, batinku bergejolak, semoga bisa berdamai. Tapi, jika bisa berdamai.
Belum selesai aku menenggak air minum yang kedua, tersamar aku melihat seseorang duduk dikursi yang berada bersebrangan denganku. Aku terkejut, terbatuk-batuk karena air yang aku minum sampai melewati hidungku. Apa yang kulihat disitu sangat mustahil adanya? aku melihat pria tua yang tadi menghilang dipinggir jalan, kini ada dihadapanku. Dari mana orang ini datangnya?
"Hey! tenang Akira kenapa kau terburu-buru?" tanya pria tua ini dengan santainya.
"Ba..bagaimana kau bisa ada dirumahku, kau ini apa?" gagap aku menjawab dirinya.
"Kau selalu tidak sadar dengan kedatangan orang ya, bagaimana dengan tidurmu apakah nyenyak?" pria tua ini langsung memotong pembicaraan tanpa menjawabku.
"Untuk apa kau mengetahui tentang mimpiku, apakah kau ini hantu?" bentak aku padanya karena sudah dibuat bingung.
"Hahaha!" pria tua ini malah tertawa terbahak-bahak seperti sedang mendengarkan lelucoan.
"Apa yang kau tertawakan? tidak ada yang melucu saat ini." kataku dengan nada menekan.
"Apa aku tidak salah mendengar, kau berbicara tentang hantu barusan. Apa kau percaya hantu Akira?" katanya sambil terus tertawa.
Aku kira pria ini sudah gila, kenapa dia begitu santai seperti ini. Setelah banyak ketakutan yang aku alami karena disebabkan oleh dirinya.
"Tentu saja tidak sebelum ini, tapi setelah melihatmu aku percaya sekarang." kataku.
"Tenang Akira, hantu itu tidak ada. Aku hanya manusia biasa, tetapi jika aku menjelaskan siapa diriku sebenarnya, apa kau akan percaya!" jelasnya meyakinkanku.
Aku sesaat berpikir menatap pria tua aneh ini. "Tentu saja aku tidak percaya padamu, kau adalah orang aneh yang selalu datang dengan tiba-tiba dan lenyap dengan sekejap mata. Bagaimana aku bisa percaya." kataku.
"Itu terserah dirimu ingin percaya atau tidak, aku juga malas menjelaskannya, tapi aku mempunyai penawaran untukmu." katanya sambil membakar sebatang rokok yang menyelinap dijemarinya.
"Aku sudah pernah menjabnya bukan! aku tidak tertarik dengan tawaranmu itu!" jawab aku dengan penuh percaya diri.
"Hem, coba kau pikirkan lagi. Apakah kau tidak ingin mendapatkan kekayaan? Dan apakah kau tidak ingin mendapatkan wanita yang kau cintai itu?" tanya dia semakin meyakinkan.
Rasa percaya diriku seketika memudar saat dia menawarkan hal itu kepadaku, aku mulai berpikir tapi juga tidak yakin dengan kebenaraan yang pria tua ini bicarakan.
"Hem, kenapa harus aku? Kenapa kau tidak mencari orang lain saja?" kataku.Dia tersenyum tipis dan tatapannya semakin serius melihatku, "Kau adalah orang yang terpilih Akira. Jangan menyia-nyiakan kesempatan ini. Pikirkan lagi tentang segalanya.
Dalam hitungan detik aku langsung terbuai, menundukan kepalaku memikirkan tawarannya. "Mungkin saja dia benar-benar serius dengan ini, kalau memang benar pasti aku bisa merubah hidupku lebih baik lagi. Keinginanku untuk bisa bersama Belinda bisa terwujudkan." kataku membatin.
Mata bisa menipuku, tapi suara hati tidak. Hal itulah yang mendorongku keluar dari kegelapan waktu. Meninggalkan kesunyian yang selama ini membelenggu diriku. Suara hati itu berwujud harapan. Apakah sesuatu yang konyol, tentu tidak? Aku terdiam di sini, di antara meja dan kursi dapur dan seorang pria yang tidak kukenali sama sekali. Hanya ingin mendengarkan serta memastikan dengan jelas, suara hati ini. Suara hati yang mengarahkan pergi mencari hari esok yang lebih baik. Mencari arti dari kenyataan, menanam benih mimpi lalu menuainya. Tidak lagi menanti dititik yang sama.aku mengatur nafas pelan-pelan dan mengusap seluruh wajah dengan kedua tangan ini agar cepat mendapatkan keputusan. Aku terpejam sejenak, merasakan irama detak jantungku yang mulai normal. Tapi, tiba-tiba derap langkah kaki terdengar dari arah belakang, aku membelakkan mata ketika sebuah tangan menepuk pundaku, " Hey! Akira sedang apa kau?" kemudian aku menengok kebelakang melihat siapa yang datang. Ternyata
Aku menggumpalkan tangan kanan lalu menempelkan dibibirku beberapa kali. Seolah mentransfer energi ketegaran menghirup atmosfer kota. Langkah kaki yang gugup perlahan mulai santai. Kedua bola mataku perlahan berani menantang kilau mentari senja. Sorotan sang senja, menyinari Kota Tua, tanah harapan banyak orang. Terlihat gedung-gedung menjulang tinggi, kontras dengan perumahan kumuh yang landai, menggoreskan garis imajiner tegak lurus. Entah dalam arti sosial atau finansial. Pandanganku beralih pada pengemis yang berkeliaran dipinggir kota. Langkah kakiku terhenti, aku mengamati anak-anak manusia yang terabaikan. Wajah belia mereka tertutup bayangan kemiskinan. Mereka bergelut dengan nasib, menertawakan nestapa dengan luka dan air mata: ketidakberdayaan. Melihat napas mereka yang naik turun, aku berpikir bahwa mereka juga merasa lelah. Lelah karena ketidakberdayaan atau bahagia karena lelah? Lelah dalam kebahagiaan atau bahagia dalam kelelahan? Entahlah.
Di bawah lampu jalan yang menyala redup.Jantungku terkadang berdegup kencang ketika berjalan sendirian menuju rumahku. Semacam perasaan aneh yang tiba-tiba datang. Aku mempercepat langkahku. Aku ingin agar segera sampai dirumah. Untuk segera beristirahat karena sudah terlalu lelah. Aku memalingkan mataku ke arah lain di sekitar trotoar. Tidak ada siapa-siapa. Sunyi, sementara malam semakin larut. Jam di lenganku menunjuk pukul 23.00. Aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Suara sepatuku menggema memecah kesunyian. Angin bertiup semakin dingin. Mendung menghalangi bintang-bintang. Di langit, bulan separuh berwarna pucat. Cahayanya dihalau awan yang didera angin. Angin malam memainkan rambutku. Beberapa langkah kemudian dalam sekejap mataku tertuju kepada banyak orang yang berkumpul diujung jalan. Terdengar suara wanita berteriak melewati telingaku saat itu "Aaaaahhhh... Siapa saja tolong aku!!!" Aku menghentikan langkahku lalu terdiam
Aku sudah pasrah saat itu, dalam pikiranku pasti malam ini aku akan mati ditangan mereka dengan peluru menembus dikepalaku. Mungkin ini akhir hidupku sesaat aku mengingat segala sesuatu dari masa lalu, "Ini adalah akhir hidupku, penderitaanku akan selesai disini.""Aku tidak takut padamu!!" lirih suaraku menahan semua rasa sakit yang ada.Terlihat dengan mataku pria tersebut seperti akan menarik pelatuk pistolnya, dan pria lain yang berada disekelilingku tertawa jahat ketika melihat penderitaanku. "Hahaha!!!"Aku memejamkan mataku untuk siap mati, namun tiba-tiba saja terdengar suara sesuatu dari atas. Aku pun membuka mata seketika cahaya yang begitu terang menyilaukan mataku dan berandalan yang sedang didekatku. Tidak tahu itu apa, tapi cahayanya hampir membuat mata ini tak sanggup melihatnya, aku pikir apakah itu bintang jatuh dari atas langit. Kalau benar pasti aku akan mati mengenaskan sektika.Semakin dekat, cahanya semakin memudar mataku terbelalak
Aku gundah dan gelisah. Aku menggigil ketakutan, seluruh tubuhku gemetaran. Terduduk lemah dikursi dalam kamarku, aku berusaha menenagkan diri setelah apa yang terjadi. Namun, kenyataan memburuku dengan ketakutan tak terperikan.Seperti benang kusut yang seolah mustahil bisa diurai. Aku lemas dan merunduk. Dadaku terasa sangat sesak dan sakit. Keringat membasahi keningku, mengalir dari pelipis hingga leher. Tengkukku basah, mataku basah.Angin berembus kencang. Pohon-pohon diluar condong searah angin. aku menutupi wajah sebelah kanan dengan telapak tanganku.Sesaat tiba-tiba saja aku mengingat suara desing peluru dan pria tua yang tadi. Saat itu aku baru saja melarikan diri dengan segenap kekuatan kakiku yang mulai lemas ini.Sebagian besar manusia memang tak bisa melawan rasa takutnya, dan kadang-kadang itu bukan sesuatu yang buruk. Kesadaran menyelamatkan diri merupakan hal yang begitu alami.Jalan hidupku masihlah sangat panjang, panda
Aku tercengang, bukan hanya karena dia seperti bisa membaca pikiranku. Semua yang dikatakan olehnya baru saja membuatku terheran-heran. "Apa maksudmu ilmuwan yang lain? apa ada seseorang yang menjelajah waktu selain dirimu?""Apa kau sudah percaya sekarang Akira!? kalau aku adalah seorang penjelajah waktu." katanya, secara tidak sadar aku seperti terbawa atas apa yang dia bicarakan."Ma..m.. maksudku, bukan seperti itu!" gagap aku sampai tidak bisa berkata-kata."Sudah aku sudah tau itu!""Apa maksudmu sudah tau? apa kau bisa membaca pikiranku?" cetus aku."Tidak! itu bisa kulihat semuanya diwajahmu." katanya dengan senyuman yang aneh itu.Aku tidak percaya dengannya, aku rasa dia benar bisa membaca pikiranku. Karena beberapa kali dia melakukan hal itu. Kalau dia bilang hanya bisa melihatnya dari mimik wajahku, sekarang aku pun merasa bisa membaca mimik wajahnya kalau dia sedang berbohong saat ini. "Aku yakin dia bisa membaca pikiranku." ber
Melihat kesekitar, aku pun tercengang karena kembali kemasa lalu. Tanpa perlu bukti seketika aku melirik jam yang aku kenakan ditanganku, benar itu pun berbeda waktu itu masih pukul 19.30. Aku sampai tidak percaya jika aku berada ditahun 1960 beberapa tahun yang lalu aku tinggal dikota ini. Aku berhasil mental kebelakang menuju tahun ini, aku masih tidak percaya, Hingga aku mulai berdiri diatas dua kakiku. Kupandadangi dengan mata telanjang apa yang ada disekelilingku,sungguh menentramkan jiwaku.Mataku terpejam sejenak sembari merasakanudara yang merambat pelan melewati aliran darah dalam tubuh ini. Tak akan bosan kelima indera ini menikmati indahnya udara disekeliling yang menebarkan aroma kelembutan disekitar. Mataku akan tetap bisa merasakan indahnya dunia walau terpejam sekalipun.Masih terlihat mobil keluaran lama yang ada ditahun ini dan kereta kuda yang berlalu lalang, mereka yang sudah lama menjadi saksi hidupku dijalan masih ada dan aku kemb
Pria tersebut melepaskan tembakan. suara tembakan mengoyak malam yang remang, dua peluru meluncur berlawanan arah umpama garis nasib yang tak bisa dibendung, menembus tubuh ayahku. Beberapa detik setelahnya, tubuh ayahku tergeletak diatas bangku taman didekat satu pucuk revolver juga selongsong peluru yang kosong. Setelah melepaskan tembakan pria itu melarikan diri begitu saja.Mataku terbelalak melihatnya, tak sanggup berkata-kata lagi. Taman yang tadinya tidak banyak orang, tiba-tiba saja orang-orang berdatangan satu persatu berkerumul disekitar tubuh ayahku. Seperti tanpa kesadaran aku melangkahkan kakiku, melewati keruman itu, disana aku bisa melihat ayahku yang sudah tidak bernyawa.Aku tidak ingat kalau malam itu adalah malam dimana ayahku terbunuh oleh seseorang dan tenyata yang membunuhnya adalah berandalan yang pernah aku temui dan yang aku tahu sekarang ia pun telah tewas juga.Ayahku tergeletak tanpa nyawa dengan wajah tersenyum. Aku menyadari sesuatu
Di depan kami samar-samar sudah terlihat gerbang barat sebuah desa, sesampainya di gerbang kami sangat terkejut, beberapa bagian benteng sudah rusak dan ada banyak bekas pertempuran. Terlihat penjaga gerbang berlari ke dalam desa, sepertinya akan memberitahu warga yang lain kalau kami akan datang. Kami segera berjalan menuju ke tengah desa. Alvar menuju ke papan pengumuman di dekat pohon beringin besar di tengah desa. Kami berjalan dengan ekspresi muka penuh tanda tanya. Sebenarnya apa yang terjadi?"Wahai saudara-saudaraku, apa yang terjadi di desa kalian ini?” tanya Alvar keras kepada para warga yang menyambut kedatangankami."Desa ini telah diserang banyak kawanan hewan buas. Kami sudah berusaha semampu kami untuk melawan dan mempertahankan desa ini, namum mereka sepertinya sudah sulit untuk bisa di kendalikan.” jawab seorang penjaga gerbang mewakili warga."Hewan-hewan itu bermata merah, mereka seperti diperintah oleh suatu kekuatan.”
Malam sedang membawaku berjalan di atas roda mimpi yang berputar kala tidur lelapku. Ya, berjalan, bukan berlari. Karena aku ingin menikmati setiap alunan khayalan yang melintas di depanku. Sekelilingku putih, sangat putih tak berujung. Aku terus berjalan dan berjalan hingga putih di sekitarku semakin lama semakin redup ditelan kegelapan. Kemudian aku mendengar bunyi “Tik..tok..tik..tok..” Seperti suara mesin jam yang sedang mengayun jarum detiknya.Aku juga melihat seperti ada sinar dari luar yang menembus ke dalam duniaku. Bola mataku bergerak ke kiri dan ke kanan. Tempat ini sepertinya tidak asing. Aku teliti lagi dan mencoba mengingat tempat ini. Lalu aku merasakan getaran pada pergelangan tanganku seiring dengan suara yang juga tidak asing."Akira! Kau dimana!?" ternyata itu suara profesor Javier, "Prof.." sebelum aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba saja suara itu lenyap seketika.Jalanan sangat sepi, bulan masih tersenyum cerah. Lampu jalan masi
Tanganku meraba-raba sekitar. Basah. Perlahan, aku menyadari aroma yang menguar dari tempatku berada. Daun. Kelopak mataku terbuka. Pupil mataku mulai menyesuaikan diri dengan cahaya sang surya yang hampir kembali keperaduannya. Setelah terbuka sepenuhnya, aku terduduk dan menatap sekitar. Padang rumput. Aku bangkit berdiri dan mulai berjalan mengikuti ke mana pun kakiku melangkah. Sebulir peluh menetes melewati rahangku. Jantungku berpacu cepat, berlomba-lomba dengan adrenalin yang mengalir deras melalui pembuluh darahku. Tak sedetik pun aku memelankan langkah, berzig-zag di antara pepohonan, melompati akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. Menjemput maut yang siap menyambut kematianku. Tubuhku telah bermandi keringat. Kali ini aku semakin merajalela. Menanggalkan alas kakiku, berlari dan terus berlari, tanpa mempedulikan cabang dan ranting pohon yang mengoyak pakaianku, menggores kulitku, dan meninggalkan rasa perih yang menusuk. Aku bisa saja berhenti. M
Aku percaya tiap kehidupan -baik yang dulu, sekarang, maupun di masa depan kelak- memiliki tujuannya masing-masing. Aku memalingkan wajahku ke arah seorang pemuda yang tegap berdiri di tengah-tengah cekungan bekas dari pertarungan.Berkali-kali aku menarik napas dengan cepat hingga menimbulkan suara dengusan yang bisa terdengar oleh orang yang ada di sekitarku.Angin sore menerpa permukaan kulit memberikan perasaan kering yang tak biasa. Perasaan kosong itu begitu menggangguku, "Akira jangan kau pikirkan apa yang di ucapkannya, dia hanya ingin membuatmu lupa akan dirimu sendiri.. Dia berusaha menyinggung tentang masa lalumu itu." ucap Alvar."Apa kau tidak percaya Akira!? raja kegelapan bisa menghidupkan orang yang telah mati untuk dijadikan pengikutnya. Dengan kata lain temanmu itu sudah di jadikan boneka oleh raja kegelapan untuk menjalani ke inginannya." ujar Cahir."Sudah cukup Cahir, kau terlalu banyak berbual. Apa tujuanmu datang kesini hanya untuk
Sementara itu saat ini suasana semakin mencekam, aku bisa melihat aura kemarahan antara Alvar dan Jugo. Mereka sudah siap menyerang dengan senjatanya masing-masing. "Sebaiknya kita selesaikan saja masalah ini, dari pada kau terus menghalangi perjalanan kami saat ini." tantang Alvar."Kalau itu maumu, aku akan menerimanya. Tapi hari ini aku hanya ingin bertarung dengan Akira, menurutku kau sangat mudah untuk di kalahkan. Sekarang aku ingin menjajal kekuatan dari seorang yang sudah lama di ramalkan untuk menyelamatkan negeri ini." ucap Jugo seakan merendahkan Alvar saat itu.Alvar pun tidak terima karena Jugo sudah meremehkannya saat itu, "Kau jangan banyak bicara Jugo. Kekuatanmu tak sebanding dengan Akira, bahkan kupastikan untuk mengalahkanku pun kau tidak akan sanggup sekarang!" geram Alvar."Aku tidak sepertimu Alvar, kekuatanku sudah terlatih selama ini. Negeri ini bahkan bergantung pada diriku!" ucap Jugo yang semakin congkak."Kalau begitu kau akan
Tetesan air langit kini tiada lagi berhamburan ke bumi. Sang raja cahaya kini mulai menampakkan dirinya yang tersipu malu, terhalang oleh mega. Di balik celah-celah batuan terjal kaki gunung melesat kilatan-kilatan cahaya teduh dan cerah. Menghapus warna hitam di langit saat ini. Pagi telah menyambutku.Suara napasku yang beradu cepat bersama langkah kakiku yang sedang berlari. Ku lewati pohon-pohon besar di depanku. Aku sudah tak peduli bagaimana penampilanku sekarang, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa sampai di tujuanku dengan cepat dan selamat."Sebuah danau!" ujar Alvar.Aku dan Alvar menghentikan langkah sementara ketika kami sampai di sebuah sungai di hadapan kami sekarang, kami yang kehausan karena sepanjang hari sudah berlari dan bertarung dengan beberapa musuh di perjalanan pun meminum air dari sungai tersebut, dan menyimpannya sedikit untuk bekal melanjutkan perjalanan."Kita akan beristirahat sebentar disini Alvar!" ujar aku.
Kami mencoba mengobati kekhawatiran dengan menggumamkan beberapa bait lagu tentang musim panen sambil berjalan diantara pohon-pohon ek yang besar dan berlumut. Matahari sudah terbenam sekitar satu jam yang lalu, kegelapan total mulai turun dan bulan muda belum terbit. Kami melihat sekeliling, memasang telinga untuk gerakan atau suara apapun yang tampak berbahaya.Kami tak mendengar apapun selain suara burung hantu dan jangkrik, kami juga tak melihat apapun selain deretan pepohonan dan semak belukar di sekitar tempat itu. kami kembali menggumamkan lagu sampai telinga ini mendengar suara kemeresak tepat di belakang.Secepat kilat kami berbalik, mencabut busur dan sedetik kemudian sebuah anak panah sudah terpasang. Mata kami mengarah tajam kearah belukar dibelakang, darah ini mengalir lebih cepat dalam nadinya, suara degup jantung terdengar bertalu-talu ditelinga sendiri.Perlahan kami mendekati sumber suara dan tiba-tiba belukar itu bergoyang. Kami terlonjak, mena
"Jarak antara tempat ini ke Haven sekitar dua bulan perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki,” kata Alvar, “Kau tak akan sampai ke Haven tepat waktu tanpa kuda.”Temannya itu tertawa pahit sambil membalik kelinci panggang yang dijerangnya di atas api.“Beruntungnya aku karena kuda yang kubawa dari Yelow Gate terluka parah dan akhirnya mati ketika aku diserang segerombolan Dargo di dekat Creek Hollow,” Bale menggeram dan meludahkan kata Dargo seperti kutukan, “Aku sangat beruntung berhasil membantai sebagian besar dari mereka tanpa terluka. Kuku-kuku mereka seperti dilumuri racun.”Wajah Alvar menjadi semakin suram setelah mendengar cerita rekannya itu. Dargo memang suka membuat onar dan menyerang para pelancong yang melintas di dekat sarang mereka. Namun seingat Alvar jalan besar di Creek Hollow berjarak puluhan league dari Pegunungan Berbatu, dimana gua-gua Dargo berada."Bawalah kepingan uang ini bersamamu, mun
Ketika sudah semakin larut malam, kami memutuskan untuk berhenti dan beristirahat. Karena keadaan di sekitar tempat kami berpijak sekarang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan dikarenakan kabut asap yang semakin tebal, padangan kami benar-benar di butakan karena hal itu. Kami tidak tahu kondisi yang kami lewati di depan bagaimana, tapi melihat kejadian yang terjadi pada Alvar tadi, kemungkinan masih banyak jalan yang berbahaya untuk kami lewati.Aku terperanjat bangun dari tidur setelah mendengar suara lolongan serigala di kejauhan, begitu juga Alvar karena terkejut yang mendengar aku bangun secara tiba-tiba. Kami segera bangkit duduk dari alas tidur dan melingkarkan jari-jari ini di gagang pedang yang tak pernah jauh dari tubuh kami untuk berjaga-jaga. "Ada apa Akira!?" tanya Alvar."Tidak apa, perasaanku tidak enak. Aku kira ada yang memperhatikan kita sekarang." jawab aku.Aku tak pernah menyukai serigala. Terlalu banyak pengalaman buruk tentang me